Tak Semua Perkara Baru Menjadi Bid’ah

Nabi Tidak Melakukan Semua Perkara Mubah

Apabila ada orang yang mengharamkan sesuatu dengan berdalih bahwa hal itu tidak pemah dilakukan Rasulullah SAW, maka sebenamya dia mendakwa sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, dakwaannya tidak dapat diterima.

Demikian Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari dalam “Itqanush Shunnah fi Tahqiqi Ma’nal-Bid’ah”. Lebih lanjut beliau mengatakan: ”Sangat bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan semua perbuatan mubah, dan bahkan perbuatan sunnah, karena kesibukannya dalam mengurus tugas-tugas besar yang telah memakan sebagian besar waktunya.

Tugas berat Nabi antara lain menyampaikan dakwah, melawan dan mendebat kaum musyrikin serta para ahli kitab, berjihad untuk menjaga cikal bakal Islam, mengadakan berbagai perdamaian, menjaga keamanan negeri, menegakkan hukum Allah, membebaskan para tawanan perang dari kaum muslimin, mengirimkan delegasi untuk menarik zakat dan mengajarkan ajaran Islam ke berbagai daerah dan lain sebagainya yang dibutuhkan saat itu utnuk mendirikan sebuah negara Islam.

Oleh karena itu, Rasulullah hanya menerangkan hal-hal pokok saja dan sengaja meninggalkan sebagian perkara sunah lantaran takut memberatkan dan menyulitkan umatnya (ketika ingin mengikuti semua yang pernah dilakukan Rasulullah) jika beliau kerjakan.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menganggap cukup dengan menyampaikan nash-nash Al-Qur’an yang bersifat umum dan mencakup semua jenis perbuatan yang ada di dalamnya sejak Islam lahir hingga hari kiamat. Misalnya ayat-ayat berikut:

وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ

“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” (Al-Baqarah [2]: 197)

مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Siapa yang melakukan amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari amal itu.” (QS. Al-An’am [6]: 160)

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj [22]: 77)

وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْناً

“Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, maka akan Kami tambahkan baginya kebaikan atas kebaikan itu.” (QS. Asy-Syura [42]: 23)

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ

“Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat biji sawi, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7)

Banyak juga hadis-hadis senada. Maka siapa yang menganggap perbuatan baik sebagai perbuatan bid’ah tercela, sebenamya dia telah keliru dan secara tidak langsung bersikap sok berani di hadapan Allah dan Rasulnya dengan mencela apa yangtelah dipuji.

.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah

Dari karyanya “Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah” yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan tajuk “Kenapa Takut Bid’ah?”

Wallahu a’lam.

.

Sumber: http://www.nu.or.id/

26 thoughts on “Tak Semua Perkara Baru Menjadi Bid’ah

  1. Setuju….setuju…apapun kebaikan yang kita buat walau tidak dibuat dimasa nabi maka disisi Allah dipandang baik. Kenapa orang salafi suka2 mereka mengatakan amala2 yg dibuat dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya selalu dianggap bid’ah?? oii…

  2. Interesting article
    Saya salafi, kami meyakini bahwa urusan agama (i’tiqad, perkataan, perbuatan, lahir dan batinnya) ini sudah sempurna dan disempurnakan oleh Allah Jalla Jalaaluhu dan telah diterangkan melalui lisan rasulullaah Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam (karena begitulah perintah Allah kepada beliau) dan diaplikasikan langsung dalam kehidupan oleh para shohabat rasulullaah ridwanullaahi ‘alaihim jamii’an. Semua urusan agama tersebut adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah dan taqarrub kepada-Nya.
    Para shohabat itulah yang menjadi patron kami dalam beragama, kami memiliki kaidah indah : “Lau kaana khairan la sabaquuna ‘ilaihi”. Maksudnya Jika sesuatu dalam urusan agama itu baik maka mereka para shohabat telah mendahului kita mengerjakannya.
    Al Imam An Nawawi dalam ‘arbainnya diantaranya memasukkan dua hadits (no 1 dan no. 5) yang disebutkan oleh ‘Ulama diantaranya Al Imam Ahmad rahimahumallah bahwa kedua hadits itu adalah timbangan amalan lahir dan batinnya yang merupakan manifestasi langsung dari dua kalimah syahadat.
    Hadits pertama : Innamal a’maalu bin Niah dst (bisa dicek ke ‘arbain Nawawi)
    hadits ini adalah timbangan batin
    Hadits kedua : Man ‘amila amalan laisa ‘alaihi ‘amruna fa huwa raddun (Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka ditolak.) Ini timbangan lahir.

    Segala sesuatu baik i’tiqad, perkataan, perbuatan. lahir maupun batin (dalam urusan agama) yang dilakukan dalam rangka ketaatan dan taqarrub kepada Allah yang tidak ada perintah dari rasulullaah, maka kami tidak meyakini dan mengamalkannya. Serta kami berlepas diri dari sesuatu itu.

    Jika kemudian saudara-saudara kami dari ummat Islam melakukan sesuatu yang tidak ada contohnya dalam urusan agama, maka kami memiliki kewajiban menasehati (‘amar ma’ruf nahi anil munkar) sesuai dengan kesanggupan kami.

    Jika nasehat itu dianggap sebagai cacian, hujatan dan makian wallaahul musta’aan.

    –> Salam kenal mas Sinrijala. Kalau anda berpendapat seperti itu, maka zaman berhenti hanya sampai era sahabat. Titik. Hal-hal inovasi baru setelah era sahabat adalah bid’ah semua. Apakah demikian? Era sahabat adalah zaman sebelum Sriwijaya. Borobudur pun belum dibangun. Pada kenyataannya kita hidup jauh setelah era sahabat, 14 abad kemudian. Ini kenyataan.

    Setuju bhw islam sudah sempurna. Kesempurnaan Islam ditandai juga dengan tidak menentang kemungkinan adanya hal2 baru. Kaidah anda itu (“Jika sesuatu dalam urusan agama itu baik maka mereka para shohabat telah mendahului kita mengerjakannya”) darimanakah datangnya? Adakah Rasullullah saw sendiri yang mengatakannya demikian? Adakah sahabat mengatakannya? Adakah ulama salaf menyebutnya?

    Dua hadits yg anda utarakan itu benar adanya. Namun anda hanya berhenti di situ dan kemudian menafikan dalil2/ hadits2 yg lain. Bagaimana dengan dalil2 yg ada di artikel di atas? Di mana posisi niat, posisi ikhlas, kemungkinan riya’, di mana posisi adab keutamaan, dlsb? Di mana posisi misal hadits seperti ini,

    “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”.(Shahih Muslim)

    Bahkan para ulama banyak membukukan hadits. Menuliskan kriterianya. Para sahabat tak melakukannya. Kanjeng Nabi saw pun tak memerintahkannya. Para ulama menulis sejarah perjuangan Nabi, keutamaan, mukjizat, dsb. Para sahabat tak melakukannya. Nabi pun tak memerintahkannya.

    Kita berhaji melempar jumrah dari lantai 2 atau 3. Kita berzakat fitrah pakai beras. Ada yg berqurban .. kerbau. Ada yg berkhotbah setelah sembahyang isya’. Bahkan anak2 di zaman sekr pun minta Ulang-Tahun dengan teman2nya. Itu semua .. Para sahabat tak melakukannya. Nabi saw pun tak memerintahkannya.

    Anda mestinya setuju bahwa semua hal2 tersebut di atas termasuk dalam urusan agama, perkara-perkara yang dilakukan dalam rangka ketaatan dan taqarrub kepada Allah. Lalu, .. Bid’ahkah itu semua? Masuk neraka kah?

    Masih banyak yg lain. Kalau anda punya alasan untuk membenarkan contoh2 di atas, maka alasan2 yg sama dapat dipakai untuk amal2 yang anda tuduhkan sebagai bid’ah sesat.

    Maaf kalau ada salah. Maaf kalau tak berkenan. Wallahu a’lam.

    • subhanallah saya setuju… dengan anda. mudah mudahan allah menambahkan ilmu kepada anda dan kepada saya…
      mudah mudahan allah mengampuni kita semua amiiinn…
      kalo boleh saya ingin berteman dg saudara( please sms k 0859200xxxxx)

      –> dengan segala maaf.. mohon komunikasi lewat forum ini saja. Maaf hp anda saya sensor .. agar tak disalahgunakan orang lain.

  3. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.
    Berkaitan dengan kontroversi masalah bid’ah, perkenankan saya urun rembug dalam forum yang mulia ini.
    Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian ‘alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabat beliau.
    a. Allah dan RasulNya tidak menghendaki kita berlebih-lebihan dalam beribadah.
    Allah Ta’ala berfirman QS. Al-Baqarah 2 : 185
    “Allah menghendaki kemudahan padamu semua dan tidak menghendaki kesukaran untukmu semua.” (al-Baqarah: 185)
    Dari Anas r.a., katanya: Ada tiga macam orang datang ke rumah isteri-isteri Nabi s.a.w. menanyakan tentang hal bagaimana ibadahnya Nabi s.a.w. Kemudian setelah mereka diberitahu lalu seolah-olah mereka menganggap amat sedikit saja ibadah beliau. s.a.w. itu. Mereka lalu berkata: “Ah, di manakah kita ini – maksudnya: Kita ini jauh perbedaannya kalau dibandingkan – dari Nabi s.a.w. sedangkan beliau itu telah diampuni segala dosanya yang lampau dan yang kemudian.”
    Seorang dari mereka itu berkata: “Adapun saya ini, maka saya bersembahyang semalam suntuk selama-lamanya.” Yang lainnya berkata: “Adapun saya, maka saya berpuasa sepanjang tahun dan tidak pernah saya berbuka.” Yang seorang lagi berkata: “Adapun saya, maka saya menjauhi para wanita, maka sayapun tidak akan kawin selama-lamanya.”
    Rasulullah s.a.w. kemudian mendatangi mereka lalu bersabda: “Engkau semuakah yang mengatakan demikian, demikian? Wahai, demi Allah, sesungguhnya saya ini adalah orang yang tertaqwa di antara engkau semua kepada Allah dan tertakut kepadaNya, tetapi saya juga berpuasa dan juga berbuka, sayapun bersembahyang tetapi juga tidur, juga saya suka kawin dengan para wanita. Maka barangsiapa yang enggan pada cara perjalananku, maka ia bukanlah termasuk dalam golonganku.” (Muttafaq ‘alaih)
    -Riyadus Salikhin no. 143

    Dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:
    Telah binasa orang-orang yang berlebihan dalam agama. Diucapkan berulang tiga kali. (HR. Muslim) -Riyadus Salikhin no. 143

    Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bersengajalah secara sederhana – tidak sangat muluk-muluk ataupun teledor – dan bertindak luruslah, juga ketahuilah bahawasanya tidak seseorang pun yang dapat selamat kerana amalnya.” Para sahabat bertanya: “Sekalipun Tuan sendiri juga tidak – dapat diselamatkan oleh amalnya – ya Rasulullah.” Beliau s.a.w. menjawab: “Sayapun tidak dapat, kecuali jikalau Allah menutupi diriku -memberikan kurnia padaku – dengan kerahmatan daripadaNya serta dengan keutamaanNya.” (Riwayat Muslim)
    Pengertian hadits ini menurut Imam An-Nawawi : Supaya kita tidak berlebih-lebihan dalam beramal dari apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, sebab yang penting bukan banyaknya, tetapi tepat dan ikhlasnya, dan terus menerus. – Riyadus Salikhin 2 no. 86

    b. Allah dan RasulNya tidak menghendaki kita berlebih-lebihan dalam berdo’a dan berdzikir.
    QS. Al-A’raf 7 : 55
    Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[549].
    Melampaui batas menurut Tafsir Jalalain maksudnya dengan bersuara keras. –Tafsir Jalalain 1, hal. 608.
    Ayat diatas merupakan tuntunan cara berdoa untuk dapat diterima yaitu dengan perasaan merendah diri, menyadari sebagai hamba yang mohon kepada Tuhannya dan suara yang lembut, yang mengharap belas kasih dari yang dimintanya. –Tafsir Ibnu Katsir 3, hal. 441

    Allah SWT juga memerintahkan kita untuk tidak berlebih-lebihan dalam berdzikir.
    QS. Al-A’raf 7 : 205
    Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.

    Abu Musa Al-Asy’ari r.a. berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar orang-orang berdoa dengan suara yang lantang keras, maka beliau bersabda :
    Hai manusia, tahanlah (kasihanilah) dirimu karena kalian tidak berseru kepada Tuhan yang pekak atau jauh, Sesungguhnya kalian berseru kepada Tuhan yang sangat dekat dan maha mendengar (HR. Bukhory-Muslim)
    –Ibnu Katsir 3, hal. 442.

    Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
    Hai manusia, sesungguhnya Dzat yang kamu berdoa kepadanya itu tidaklah tuli dan tidak pula jauh. Sesungguhnya Dzat yang kamu berdoa kepadaNya itu diantara kamu dan diantara tengkuk-tengkuk kendaraanmu (HR. Mutafak Alaih) –Ihya Ulumiddin 2, hal. 401

    c. Rasulullah Shalla;;ahu ‘alaihi wassallam berpesan agar meninggalkan yang meragu-ragukan.
    Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.(Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh)
    Imam An-Nawawi berkata : Keluar dari ikhtilaf ulama lebih utama karena hal tersebut lebih terhindar dari perbuatan syubhat, khususnya jika diantara pendapat mereka tidak ada yang dapat dikuatkan.. –Arba’in no. 11

    d. Rasulullah Shalla;;ahu ‘alaihi wassallam berpesan agar berhati-hati terhadap perkara yang diada-adakan (bid’ah)
    Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat “
    (Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)
    -Abu Dawud no. 4607
    -Tirmidzi no. 2676
    -Arba’in An-Nawawi no. 28
    -Riyadus Salikhin 1, hal.
    Menurut Imam An-Nawawi hadits diatas menegaskan larangan untuk melakukan hal yang baru dalam agama (bid’ah) yang tidak memiliki landasan dalam agama. (Arbain, no.28)

    Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka dia tertolak. (Riwayat Bukhori dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.
    -Sahih Bukhari no. 2697
    -Sahih Muslim no. 1718.
    -Arba’in no. 5
    An-Nawawi berkata : Islam adalah agama yang berdasarkan ittiba’ (mengikuti berdasarkan dalil) bukan ibtida’ (mengada-adakan sesuatu tanpa dalil) dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah berusaha menjaganya dari sikap yang berlebih-lebihan dan mengada-ada.

    Berikut contoh kasus betapa berhati-hatinya para sahabat ketika hendak melakukan suatu ibadah.
    Dari Kaab bin Ujrah bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam : “Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana cara mengucapkan salam, maka bagaimanakah hendaknya kami mengucapkan shalawat?”. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : ucapkanlah
    “Ya Allah, curahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah curahkan rahmat itu kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, dan berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau berkat Ibrahim dani keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau maha terpuji dan Maha mulia. (HR.Bukhari) –Tafsir Ibnu Katsir 6, hal. 325.

    Dari Abi Mas’ud r.a. ia berkata : Rasulullah pernah dating kepada kami, yang waktu itu kami sedang duduk-duduk dengan Sa’ad bin ‘Ubadah, lalu Basyir bin Sa’ad berkata kepadanya : “Kami diperintah untuk bershalawat untuk engkau, maka bagaimana kami harus bershalawat untuk engkau?”
    Rasulullah SAW diam sehingga kami merasa lebih senang kalau seandainya Basyir tidak bertanya. Kemudian beliau bersabda : Ucapkanlah :
    (Ya Tuhanku, curahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah curahkan rahmat itu keluarga Ibrahim, dan berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau berkati keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau maha terpuji dan Maha mulia. (HR.Ahmad, Muslim, Nasai dan Tirmidzi)
    –Nailul Author 2, hal. 580
    –Bulughul Maram, hal.138

    Pada kasus di atas bias diambil pelajaran bahwa untuk bershalawat yang merupakan bentuk ibadah kepada Allah, para sahabat menanyakan cara bershalawat langsung kepada Rasulullah Shalla;;ahu ‘alaihi wassallam. Padahal kalau mereka mau mereka bias membuat shalawat sendiri, bahkan mungkin lebih baik daripada bermacam-macam shalawat hasil karya para ulama masa kini yang sangat popular di kalangan masyarakat islam tertentu.

    Wallahu a’lam.
    Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan rahmat dan ampunan kepada kita semua. Amien Ya Robbal ‘Alamiin.

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.


    –> Tulisan anda tak fokus. Anda menanggapi bagian manakah? Karena tak fokus, saya khawatir diskusi/ komentar melebar ke mana-mana. Itu akan menjadikan diskusi yg tidak baik.

    Tulisan a, b, dan c anda tak berkait dengan topik awal. Hanya bagian d yang berkait. Jawaban komentar #2 saya kira sudah menjawabnya.

    Ok-lah .. Secara garis besar, masing-masing amalan yang dilakukan para ulama pasti insya Allah berdalil. Coba-lah anda pikirkan contoh perkara2 baru yg dlakukan oleh para ulama di jawaban (#2) di atas ini. Semuanya adalah perkara agama yang baru. Apakah anda membenarkan? Jika yaa, alasan2 yang sama dapat dipakai untuk amal-amal yang anda tuduhkan sebagai bid’ah sesat.

    Dan rupanya anda juga tak paham perbedaan antara ibadah mahdah dan ghairu mahdah. Shalawat termasuk ibadah mahdah di dalam shalat, maka tak seorangpun mengganti teks ucapan shalawat di dalam shalat. Shalawat adalah ibadah ghairu mahdah di luar shalat, termasuk ucapan dzikir. Selain itu, Rasul saw membolehkan pujian terhadap beliau (hadits Abbas ra). Maka jangan heran kalau ada banyak sahabat dan para ulama menciptakan pujian kepada baginda Nabi saw, dan menambahkannya di dalam shalawat kepada beliau saw.

    Wallahu a’lam.

    • subhanallah setuju kawan gak fokus tuh….jangan terlalu fanatik dengan istilah bidah, karena boleh jadi orang yang memvonis sesuatu itu bid’ah, sebelum meneliti lebih dalam dialah yang bid’ah..bukankah sesuatu pekerjaan yang baik itu dianjurkan. kenapa kita menyalahkan orang yang berlebihan dalam bersholawat. padahal nabi dihormati dilangit dan di bumi. allah swt pun bersholawat untuknya..jangan menganggap remeh para ulama. karena bagaimanapun mereka berjasa kepada kita. mereka yang merinci caraibadah dengan baik. dan mereka pula yang turut mengumpulkan hadis sehingga kita bisa mengetahuinya.. tanpa mereka( pada hakikatnya Allah) kita gak tahu apa apa..karena kita makhluk baru para ulama jauh lebih hafal dan lebih memahami dari apa yang kita tahu baik itu berupa hadis ataupun kehidupan di jaman nabi dan para sahabat, jadi mereka tidak mungkin sembarangan dalam membuat fatwa(sebagaimana yang dianggap bid’ah tadi)…. mudah-mudahan allah memberi kita taufik dan hidayah amiin,

  4. Da’wah adalah induk semua ‘amalan, Da’wah nabi Saw dan Sahabat adalah dengan pengorbanan harta dan diri serta datang kepada ummat.

    Contoh Da’wah adalah semua kisah di dalam Al-Qur’an, salah satunya adalah kisah utusan kepada penduduk kampung dalam surat Yaasiin.

    Untuk itulah kita diperintahkan mengikuti orang2 yang berda’wah seperti itu, orang yang berda’wah dengan tidak minta upah bahkan ucapan terima kasih

    Ikutilah orang2 yang tidak minta upah, mereka itulah orang2 yang mendapat Hidayah.

    Alam ya’tikum Nadziir?

  5. Assalamu’alaikum wr. wb
    menyimak topik di atas, secara umum memang benar. Tetapi di masa sekarang banyak ulama yang keblablasan dalam menyikapi dalil yang masih terlalu umum.
    Ulama fuqaha’ telah sepakat mengenai makruhnya berjama’ah dalam shalat sunat selain terawih, istisqa’ dan gerhana. tetapi sekarang sholat hajat, sholat taubat, sholat Hadiah semua dilakukan dengan berjama’ah. Saya gak tahu apakah makruh = bid’ah.
    Sesungguhnya bid’ah itu adalah racun yang membunuh, dan sedikit sekali orang yang selamat dari bencananya, sedang perkara yang hak telah muncul bersamanya. Sebab bid’ah itu ada semacam kelezatan dalam hati pemiliknya dan tabiat mereka menganggap bagus, maka mereka tidak mau meninggalkannya.Wassalam
    (source from Majaalisur Rumi in Durrotun Nasihin:781)

    –> Harap setiap perkara/ masalah ditanyakan ke ahlinya. Barusan ada pertanyaan tentang shalat tahajud berjamaah di Majelis Rasulullah. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Namun tak ada yang mem-vonis yang lain sebagai ahli bid’ah.

    Hubungan antara bid’ah dengan makruh (dan status hukum yg lain), al imam al Izz ibn abdissalam yg diikuti ulama2 sesudahnya (imam Nawawi dll) menjelaskannya dengan sangat baik. Kami simpulkan di dalam diagram venn.

    Kalimat anda ini, “Sesungguhnya bid’ah itu adalah racun yang membunuh,…… dst .. smp akhir …..”, mungkin anda benar. Namun saya tak tahu dari referensi mana. Alangkah baiknya jika kalimat itu dikutip persis dari kitabnya, beserta keterangannya. Adakah bunyi haditsnya spt itu?

    Kalau yg saya tahu .. maaf .. justru yang dikhawatirkan Rasulullah saw atas umatnya adalah penyakit cinta dunia. Kata Bid’ah dalam kalimat itu selaras dengan keterangan tentang penyakit wahn yg saya tahu. Nikmat dunia, kelezatan, tak mau meninggalkannya, dll. Itu yang saya ketahui.

    Hadits riwayat `Uqbah bin Amir ra. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. pada suatu hari pernah keluar untuk shalat jenazah seorang pasukan Uhud yang meninggal dunia. Kemudian beliau naik ke atas mimbar dan bersabda: Sesungguhnya aku akan mendahului kalian. Aku akan menjadi saksi kalian. Demi Allah, sesungguhnya sekarang ini aku sudah dapat melihat Telagaku. Sesungguhnya aku telah diberi kunci gudang-gudang bumi atau kunci-kunci bumi. Sesungguhnya demi Allah, aku tidak mengkhawatirkan kalian kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi aku khawatir kalian akan bersaing dalam kehidupan dunia (Mutafaq ‘alaih)

    Maaf kalau ada salah. Ya Allah .. maafkanlah hamba-Mu ini.
    Wallahu a’lam.

    • subhanallah
      kawan minta saya ingin berteman, tolong sms k no hp saya… saya ingin banyak belajar dari anda( 0859200xxxxx)

      –> dengan segala maaf.. mohon komunikasi lewat forum ini saja. Maaf hp anda saya sensor .. agar tak disalahgunakan orang lain.

  6. Assalamu’alaikum Wr.wb
    Terimakasih, atas penjelasannya. Ma’af saudaraku, saya memang manusia biasa yang tak pernah mondok, terimakasih antum meluangkan waktu untuk saya.Saya hanya seorang petualang kebaikan yang belajar dari buku terjemahan, mudah mudahan guru saya bukan setan, karena sebelum baca buku saya selalu baca Al-Fatihah. Kutipan tsbt saya ambil dari Kitab Durratun Nasihin yang mengatakan bahwa sholat Bara’ah berjamah adalah bid’ah, saya sengaja menulis bagian belakangnya saja agar antum mencek di buku tersebut.
    Menurut hemat saya Topik di atas memang terlalu luas, dan antum cenderung menjustifikasi terhadap kebiasaan yang sudah ada, sehingga antum banyak meninggalkan kaidah usul fiqqih dalam menetapkan masalah.
    mafhum terhadap perbuatan nabi yang belum sempat mengerjakan perkara mubah karena alasan kesibukannya menurut saya terlalu berani, karena dengan demikian banyak hujjah yang harus dimansukh.
    Maaf lho, tujuan kita mencari kebenaran. Wassalam.

    –> Wa’alaikum salam wrwb. Maaf .. saya saat ini dalam kondisi yang tak memungkinkan untuk melihat kitab itu. Durratin Nasihin adalah kitab yang banyak dipakai di kalangan pesantren. Ini kitab berisi nasehat2 yang utama, namun bukan kitab utama untuk menetapkan hukum. Anyway .. saya tetap appreciate thd kitab ini.. dan tak ada maksud merendahkannya.

    Saya tak paham maksud anda mengatakan bahwa saya cenderung menjustifikasi terhadap kebiasaan yang sudah ada. Justru topik ini adalah pendapat seorang ulama (dan saya hanya mengutip dari sumbernya).

    Setahu saya, bukankah para ulama akan mengukur setiap hal2 baru yang ditemukan di masyarakat ke pegangan utama agama ini, Al Qur’an dan as Sunnah. Baru setelah itu ditentukan status hukumnya (haram makruh mubah dst). Hadits Muadz ketika diutus ke Yaman mengungkapkan hal yg senada.

    Munculnya ilmu ushul Fiqh juga berbasis dari konsep ini. Berbagai madzab kemudian muncul, karena ada perbedaan cara pandang, penafsiran, metode, dll, dalam menanggapi hal-hal baru untuk kemudian ditelaah berdasarkan kepada sumber hukum utama agama kita.

    Jika kasus2/ perkara2 yg ada di masyarakat adalah hal2 yg terjadi pula di masa Rasul saw, maka tak akan ada perbedaan persepsi. Dan itu bukan hal baru.

    Maaf juga mas … saya juga baru belajar. Kesalahan selalu ada. Tawadlu’ thd para ulama (dan ahlinya) itulah yg selalu kita lakukan. Semoga Allah selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita. Amien.

    Maaf kalau tak berkenan. Wallahu a’lam.

  7. Assalamu’alaikum Wr. Wb.
    Sama-sama mas, saya juga belajar bahkan dari 0. Saya juga kadang alergi mendengar kata bid’ah. Samapi-sampai berjabatan tangan setelah sholat aja dibilang bid’ah, makanya saya ingin sekali sharing dengan kawan-kawan seiman,minimal kita tahu ijtihad para ulama yang melaksanakan perbuatannya. Bukankah menurut hadist jika ijtihatnya benar pahalanya=2, dan jika salah=1.
    Cuma saya pribadi kurang setuju dengan konteks artikel dari buku yang mas sebut di atas yang mengatakan “Sangat bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan semua perbuatan mubah, dan bahkan perbuatan sunnah ….”, karena menurut saya pernyataan tersebut konotasinya sangat kontroversial dengan kaidah hukum islam. Justeru ummat islam itu mengetahui hukum sunnat dikarenakan perbuatan tersebut tidak diwajibkan oleh Rasulullah.
    Dan bahkan kita ini yang jarang sekali bisa mengerjakan semua perbuatan sunnat yang dicontoh Rasul, bukan Rasul yang tidak melaksanakan perbuatan yang menurut kita sunnah atau mubah.
    Gitu lho mas, mohon ma’af jika ada yang salah.
    Wassalam.

    –> Wa’alaikum salam wrwb. Artikel itu saya kira berusaha menjelaskan bahwa perkara2 baru yg tak ada di zaman Nabi saw tidaklah selalu sesat.

    Artikel itu berpegang pada kata bid’ah dalam makna syar’i (definisi Imam Syatibi). Sekali lagi, hanya pada kacamata syar’i. Lihat kembali diagram Venn kami. Sedangkan di luar itu, ada “perkara2 baru” dalam makna umum (bahasa). Ketika ada hal2 baru yang tak ada dibahas di dalam kedua sumber hukum agama kita, setelah ditelaah para ulama, maka kemudian disimpulkan status hukumnya. Sunnah misalnya. Inilah saya kira maksud artikel itu.

    Pakailah makna (alat ukur) yang sama dengan maksud penulis. Perlu diketahui bahwa makna bid’ah Imam Syatibi itu termasuk di dalam bagian bid’ah tercelanya Imam Syafi’i. Jika kita berusaha melihat dengan sudut pandang yang sama dengan penulis artikel, maka insya Allah tak salah paham.

    Yang sering terjadi adalah seseorang memakai makna bid’ah dengan makna Imam Syatibi (yang memaknai bid’ah hanya untuk perkara syar’i) untuk mengukur semua bid’ah dalam makna Imam Syafi’i dan jumhur. Akibatnya, semua bid’ah (definisi Imam Syafi’i) dianggap menjadi sesat. Ini adalah kesalahan yang fatal.

    Maaf kalau ada salah. Wallahu a’lam.

    • Assalamualaikum Wr. Wb.
      Saya setuju jika memang tidak ada larangan memuji atau menyanjung Nabi SAW, tapi terus bagaimana kalau itu saya lakukan pas saya mengumandangkan adzan dengan menambahkan kata ‘sayyidina’ saat sebelum syahadat nabi. Apakah saya termasuk melakukan ahli bid’ah atau justru termasuk ahli cinta rasul. Terima kasih atas jawabannya

      –> wa’alaikum salam wrwb. setahu saya .. teks adzan telah ditetapkan, maka tak ada yang mengubahnya.

    • maaf, urun rembug lagi…

      Saya setuju ungkapan saudaraku no.7 yang ini : “Cuma saya pribadi kurang setuju dengan konteks artikel dari buku yang mas sebut di atas yang mengatakan “Sangat bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan semua perbuatan mubah, dan bahkan perbuatan sunnah ….”, karena menurut saya pernyataan tersebut konotasinya sangat kontroversial dengan kaidah hukum islam. Justeru ummat islam itu mengetahui hukum sunnat dikarenakan perbuatan tersebut tidak diwajibkan oleh Rasulullah.

      “Sangat bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan semua perbuatan mubah, dan bahkan perbuatan sunnah ….”, Kalimat ini sangat mmbahayakan.

      Maaf coba renungkan/analisis kembali pernyataan itu….

      Thanks .

  8. wah..wah….saya kok bingung sama saudara-saudara ini..kalo Alloh SWT dan Rosul-Nya menghendaki kemudahan untuk umatnya, ngapain kita membuat suatu kesukaran untuk diri sendiri. kalo dengan kemudahan itu sudah cukup bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT dan sudah cukup sebagai bukti kecintaan kita kepada Rosul-nya dengan mengikuti semua sunahnya…ngapain kita repot bikin hal baru..seperti maulid nabi…Rosul melarang kita mengikuti kebiasaan kaum lain dalam hal ini kaum nasrani yang juga merayakan hari lahir nabi mereka yg mereka anggap tuhan itu. Rosul juga melarang kita untuk tahlilan saat musibah kematian karena itu adalah bagian dari meratap. kalo masalah perkembangan jaman seperti teknologi ya itu bukan bid’ah…karena kita oleh nabi SAW sahabat disuruh belajar meskipun sampai kenegeri cina…dan itu tidak masuk dalam hal syar’i. teknologi adalah sarana mempermudah hidup manusia,,seperti HP..dulu jaman nabi memang ga ada HP..tapi itu bukan berarti HP adlah bid’ah…tapi itu membantu manusia untuk bisa menjaga silaturrahmi dengan lebih mudah…begitu saudaraku.

    –> Ehm .. ehm .. anda menyebut larangan ttg masalah2 tertentu. Apakah anda dapat tampilkan dalil-dalil larangannya (ttg maulid dan tahlil itu)? Jika tidak, maka anda telah melakukan bid’ah pula. Mengharamkan sesuatu yg tak ada dalil haram-nya. BTW .. topik-topik anda telah kami bahas di artikel yg lain.

    Ada pertanyaan kami. Tahukah anda bhw kitab maulid adalah salah satu jenis kitab sejarah Nabi saw. Bukankah membaca/ menulis sejarah termasuk dalam menuntut/ mengajarkan ilmu? Dari sini saja .. kelihatan anda tak konsisten. Anda katakan membaca maulid (yg adalah sejarah Nabi) adalah terlarang, sedangkan pada saat yg sama mengatakan menuntut ilmu adalah diperintahkan.

    Kemudian … kapan suatu perbuatan baru termasuk dalam kategori syar’i, kapan pula di luar syar’i (ini istilah anda, saya tinggal mengutipnya)? Apa batasannya? Adakah dalil-dalil Qur’an Hadits mengenai pembagian ini? Jika tidak, anda pun melakukan bid’ah pula. Membagi/ menetapkan sesuatu tanpa dalil.

    Ini adalah pertanyaan yg tak pernah terjawab oleh kaum wahabi. Simak artikel kami di Bid’ah Dalam Diagram Venn.

    Maaf kl tak berkenan.

    • waduh kayaknya ada cekcok disini….
      mav saja ya…hanya mengingatkan…sekarang ada ga contoh bahwa nabi Muhammad Saw melaksanakan maulid….itu aja…bisa ga anada buktikan???
      dari kemaren ngasih bukti ga pernah sesuai…
      nih ya perlu anda ketahui….
      kita boleh saja membaca sejarah nabi, tapi kok yang ada faktanya di masyarakat kita ini tu nyanyian berlebihan memuji Rasulullah…sedangkan Rasulullah pernah berkata “Wahai umatku…janganlah kalian berlebih-lebihan memuji diriku…jika kalian mencintai diriku maka tegakkanlah sunnahku”
      Wong jelas nabi ngomong gitu…kok ente malah bikin ini itu si yang ga ada dalilinya???
      coba renungkan…jangan hanya mementingkan diri sendiri aja…
      sedangkan tu sunnah nabi belum beres ente kerjain….ini sok-sok an pake nambah ini itu….
      mav menyinggung…biar sadar….hehehehe

      • setuju ma bung porselen,

        Tidak ada baiknya untuk saling “menyakiti” karena hal-hal yang belum pasti dan jelas.
        Jika amalan tersebut ada yang merasa baik untuk dijalankan, silakan. Tetapi jangan lupa untuk mengutamakan amalan-amalan yang betul – betul diperintahkan dan dianjurkan oleh Rasulullah. Banyak tuh, contohnya macam2 sholat sunnah yang dicontohkan rasulullah, dan belum tentu kita sanggup mengerjakannya sebanyak dan sekualitas beliau. Lebih baik jika kita menghabiskan waktu – waktu kita untuk beribadah sebaik mungkin sesuai contoh – contoh beliau, sehingga tidak sempat terbersit dan terbuang waktu kita untuk melihat kekurangan yang lain.

        Semoga Allah mengampuni segala dosa dan memberikan petunjuk kepada kita semua.

        –> setuju. Namun alangkah baiknya jika imbauan ini disampaikan ke yg suka “menyakiti”. Karena jika anda lihat, tulisan kami insya Allah tak ada yang menyakiti pihak lain, namun lebih ke memperlihatkan dalil-dalil yg menjadi dasar amalan kami. thx

    • Menanggapi komentar no.8, “Ada pertanyaan kami. Tahukah anda bhw kitab maulid adalah salah satu jenis kitab sejarah Nabi saw. Bukankah membaca/ menulis sejarah termasuk dalam menuntut/ mengajarkan ilmu? Dari sini saja .. kelihatan anda tak konsisten. Anda katakan membaca maulid (yg adalah sejarah Nabi) adalah terlarang, sedangkan pada saat yg sama mengatakan menuntut ilmu adalah diperintahkan”.
      Cobalah ihwan survey yang mendalam ke kampung-kapung yang membudayakan Shalawat Albarzanji! Insya-Allah antum mendapatkan fakta kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

      Wallahu a’lam bishawaab

  9. kita pelajari saja apa yang nabi saw laksanakan dan tidak laksanakan. lalu mari kita belajar mengikutinya secara bertahap sebelum kita melangkahi yang dicontohkan nabi kita. semoga kita dijauhkan dari perkara bid’ah. kita semua, saudara2ku.. amin.

  10. saya senang dengan statemen Wahabi atau apalah (karena ada sebagian yg mengku Wahabi adapula yg ga terima disebut Wahabi” :
    “sunnah nabi belum beres ente kerjain, ini sok-sok an pake nambah ini itu”..

    pertanyaan saya :
    sunnah2 apa saja yg sudah kalian kerjakan?
    – mencaci/mengkafirkan muslim ??
    – mengedit/merubah2 kitab2 yg bukan pegangan Wahabi lalu dipake untuk berargumen??
    – memaksakan pendapat sendiri dalam diskusi??
    – menyalahkan orang, tapi begitu yg disalahkan mengutarakan dalil/dasar, tdk pernah dibacapun tidak??
    apakah itu sunnah2 yg Nabi?
    adakah Wahabi yg bisa jawab??

    pernahkah Wahabi baca salawat Nabi? kapan?
    pernahkah Wahabi baca tahlil? kapan?

    ada Wahabi yg bisa jawab?

  11. Assalamualikum
    Tanda – tanda mau kiamat kita saling membenarkan diri sendiri .Perbedaan itu sudah biasa jadi kita yang menemukan dalil hadis masing masing gunakan lah hadis tersebut menurut diri kita. karna kita sudah jauh di tinggal rosulluloh yang utama kita dilarang untuk berlebi-lebihan.
    Wasalam

    • Betul. Sekarang kita bina islam,karena apapun yang yang kita pelajari semua berasal dari Al-quran dan Hadis baik salafi, muhamadiya,NU, dan yang lainya . kita ajak yang belum beriman supaya lebih baik lagi, kita ajak yang belum masuk islam supaya beragama islam. Kenapa kita mesti bersatu karna kepala kita berpikir juga berbeda-beda yang tak mungkin bisa sama jadi betul yang dijelaskan diatas no11 umat Islam itu perlu bersatu bukan lagi berkotak-kotak sendiri percuma saja kita bisa ditertawakan oleh umat yang lain .Trimakasih

      • assalamualaikum
        akhirul kata. untukmu amalanmu, untukku amalanku… selanjutnya bagaimana allah saja. karena kami pun beribadah menurut dalil-dalil nya… baik al quran.. maupun sunnnah.. akan tetapi pesan kami. anda jangan terlalu fanatik dengan istilah bid’ah..sebelum anda benar-benar mengetahui ilmunya

  12. Ass. Wr. Wbr. Rasanya semua pihak mempunyai argumen yang benar, Insya Allah, sesuai dengan tarafan dan “ijtihad” masing2. Janganlah saling mencaci dan menyalahkan karna boleh Jadi Allah menerima semua pihak selama itu ikhlas karna Allah. Jangan kita “menyamakan” fikiran kita, menghukumi seseorang seolah-olah Allah pun akan begitu. Itu artinya seperti kita lah yang memiliki kampung akhirat. Hindarkan Syirik. Hati2. Kuncinya Berprasangka baiklah terhadap Sang Pencipta. Ia Maha Bijaksana dalam menangani segala urusan. Badan kita terdiri dari milyaran unsur yang tidak saling bertabrakan dan menyakiti, malah saling kerjasama. Apa iya Allah akan menghukum yang kita bicarakan yang hanya 2 perkara yang diselisihkan yang semua untuk kebaikan? Wallahu a’lam, wass. wr. wbr.

  13. klo boleh tanya Bagai mana cara meenghusyukan solat kita?

    –> kusyu’ itu konsentrasi. Kalau yang pernah saya dengar, ada sabda baginda Nabi saw bahwa shalatlah seolah-olah kamu melihat Allah swt. Dan jika tidak bisa, maka seolah-olah Allah sedang melihatmu. (koreksi jika salah)

    Namun kusyu’ adalah tingkatan yg paling tinggi. Jangan berkecil hati jika belum bisa kusyu’ 100%. Yang penting dilakukan adalah berusaha kusyu’, bukan kusyu’ itu sendiri.

    wallahu a’lam.

  14. menanggapi komentar sdr Poselin di komentar no 8.
    “kita boleh saja membaca sejarah nabi, tapi kok yang ada faktanya di masyarakat kita ini tu nyanyian berlebihan memuji Rasulullah…sedangkan Rasulullah pernah berkata “Wahai umatku…janganlah kalian berlebih-lebihan memuji diriku…jika kalian mencintai diriku maka tegakkanlah sunnahku”
    yang berlebihan gimana contohnya?
    contoh sederhana banyak orang alergi menyebut Nabi Muhamad SAW dengan awalan sayyidina, habibana namun mereka menyebut ulama mereka dengan awalan hujjatul islam, syaikhul islam bukankan itu juga bidah?siapa yang berlebihan?siapa yang lebih pantas dipuji?Rosulullah apa ulama mereka?kalo mau konsisten harusnya jgn menyebut ulama dengan hujjatul islam, syaikhul islam dll cukup dengan sebutan namanya saja.

Leave a reply to Mang Karta Cancel reply