Benarkah Tarawih 20 Rakaat? (1)

Menyongsong bulan ramadlan.

Sudah lama mengkaji dan mencari, berapakah yang lebih sahih jumlah rakaat sholat tarawih. Setelah googling di berbagai literatur, internet, akhirnya ku pilih salah satu tulisan yang ku anggap layak, dan paling kuat hujahnya.

Namun demikian, tarawih adalah sholat sunnah. Kita kerjakan yang 20 rakaat .. dapat pahala..:)). Mengerjakan yang 8 rakaat.. dapat pahala juga.. :). Tidak mengerjakan tarawih pun tak pe, tidak berdosa.

Semoga dapat diambil manfaatnya. Kebenaran adalah dari Allah swt, dan kesalahan adalah semata-mata dari kami.

Wallahu a’lam.

sumber: http://qa.sunnipath.com/

Pendahuluan
Adalah suatu kenyataan bahwa sholat tarawih merupakan sholat sunnah tambahan yang dilakukan pada bulan ramadlan. Hanya syiah saja yang menolaknya. Demikian juga dengan salafy/wahaby, mereka tidak menganggap bahwa shalat tarawih adalah sholat sunnah tambahan di bulan ramadlan. Mereka meyakini bahawa sholat tahajud yang dikerjakan malam hari di bulan-bulan biasa juga merupakan sholat malam di bulan ramadlan. Jadi tidak ada sholat tambahan di bulan ramadlan. Mereka adalah firqah yang tidak bermadzab, dan mengklaim mengambil hukum langsung dari hadits-hadits nabi saw.

Ada riwayat yang mendukung bahwa tentang adanya (bagusnya) tambahan sholat sunnat di bulan suci ini. Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa baginda Nabi saw bersabda:

Barangsiapa menghidupkan malam-malam di bulan ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, semua dosa-dosanya di masa lalu akan diampuni (Shahih Muslim, vol.1, hal 259)

Hadits ini menandakan bahwa Rasulullah saw menganjurkan umat untuk menghidupkan malam-malam selama bulan ramadlan, semisal dengan sholat malam. Tapi apakah beliau menambah-nambah juga sholat sunnahnya (di bulan suci ini) ?

Mungkinkah beliau seorang Nabi yang menganjurkan sholat malam di bulan ramadlan sementara beliau malah tidak mengerjakannya? Sejarah beliau membuktikan bahwa sabda beliau sesuai dengan perbuatannya. Beliau memberi contoh praktek apa yang beliau katakan. Jadi adalah tidak mungkin beliau meninggalkan sholat sunnah di bulan ramadlan. Beliau pasti mengerjakannya.

Dalam hal jumlah rakaat sholat tarawih, telah berlaku selama dua belas abad, umat ini telah melakukannya dengan 20 rakaat tarawih tanpa ada bantahan dari pihak manapun. Ini telah dipraktekkan sejak masa Rasulullah saw, masa sahabat ra, tabi’in, dan para ulama rhm sampai dua abad yang yang lalu, ketika muncul firqah baru yang menamakan dirinya ahlul hadits mencetuskan teori bahwa tarawih hanya 8 rakaat. Sampai sekarang, sholat tarawih di tanah haramain (Mekkah dan Madinah) adalah 20 rakaat dan ribuan umat islam menyaksikan dan mengerjakannya di bulan ramadlan.

Jika kita anggap bahwa 8 rakaat tarawih adalah yang benar, maka itu berarti bahwa mayoritas umat islam telah menyalahi amalan yang telah dilakukannya selama berabad-abad. Demikian juga, tidak ada masjid dari masa baginda nabi saw sampai dua abad yang lalu mempraktekkan sholat tarawih 8 rakaat. Ada madzab tertentu denagn delapan rakaat, sebagaimana ulama seperti imam Tirmidzi mengatakan dalam Jami’-nya, tetapi tidak ada keterangan dalam kitab-kitab hadits shahih yang menyatakan ada orang mempraktekkan 8 rakaat di masjid manapun.

Dalam tulisan ini, akan dibuktikan bahwa sholat tarawih adalah sholat sunnat tambahan di bulan ramadlan, dan bahwa jumlahnya adalah 20 rakaat. Harapan kami, tulisan ini menghilangkan semua keraguan dan mengklarifikasi masalah-masalah di antara umat islam. Semoga Allah meridloi. Amien.

Bab Satu

Masa-Masa Awal

Ibn Sihab mengisahkan bahwa setelah Nabi saw wafat, orang-orang tetap mempraktekkan sholat tarawih secara sendiri-sendiri dan itu kerjakan di era sayidina Abu Bakar ra dan di awal-awal masa kekhalifahan Umar ra.

Abdur Rahman Ibn Abdil Qarri mengisahkan bahwa dia keluar bersama Umar ra di satu malam dalam bulan ramadlan ke masjid. Orang-orang sedang mengerjakan sholat dalam kelompok-kelompok. Beberapa sholat sendirian atau satu orang sholat sebagai imam dengan beberapa kelompok di belakangnya. Umar ra mengemukakan keinginan beliau untuk menyatukan orang-orang itu di belakang satu imam dan berharap mereka melaksanakan sholat dalam satu jamaah. Beliau berpendapat bahwa hal itu sangat lebih baik dari pada orang-orang bersholat dalam kelompok-kelompok atau sendirian. Kemudian beliau mewujudkan keinginan beliau, menghimpun orang-orang sholat di belakang Ubay Ibn Ka’b ra. (Bukhari vol. 1, hal 269)

Urwa ra mengisahkan bahwa Aisya ra memberitahukan padanya bahwa Nabi saw keluar ke masjid di tengah malam dan bersholat bersama-sama dengan beberapa orang. Keesokan harinya orang-orang itu mengabarkan akan hal ini dan semakin banyak orang yang ikut berjamaah di malam berikutnya. Keesokan harinya kembali orang-orang membicarakan akan hal ini. Pada malam ketiga, masjid penuh. Pada malam ke empat, masjid tidak dapat memenuhi lagi jamaah. Nabi saw hanya datang keesokan harinya untuk sholat subuh. Setelah sholat subuh, beliau berpidato dan mengatakan kepada jamaah bahwa dia mengetahui kehadiran mereka di masjid tetapi beliau tidak datang karena takut bahwa tarawih menjadi diwajibkan atas mereka. Beliau takut bahwa umatnya tidak akan mampu untuk mengerjakannya. (Bukhari vol. 1, hal 269)

Istilah Sunnah
Ketika kata sunnah dipakai, itu tidak hanya sunnah dari Rasul saw, tetapi juga praktek dari empat khalifah sesudahnya. Hal ini diambil dari hadits Rasul saw yaitu,

Peganglah kuat-kuat sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin.(Abu Dawud vol 2 hal 635, Tirmidzi vol 2 hal 108, Sunan Darimi vol 1 hal 43 dan Ibn Majah hal 5).

Hadits ini terang-terangan menandakan bahwa umat islam juga meneladani perkataan dan perbuatan khulafa. Beberapa ulama seperti Syeikh Abdul Ghani Muhaddits Dhelwi memperluas bahwa kata khulafa adalah umum dan menunjuk kepada orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah saw, empat Imam dan khalifah Umar Ibn Abdil Aziz. (Inhajul Hajah hal 5).

Hadits di atas juga secara jelas dapat dijelaskan bahwa sebagaimana wajib mengikuti sunnah Rasulullah saw, juga perlu mengadopsi jalan yang ditempuh khulafaurrasyidin. Dan pendapat para ulama, bahkan jalan yg ditempuh para mujtahid pun seharusnya diadopsi. Semua khulafa dan mujtahidin tidak mengerjakan (sholat tarawih) kurang dari 20 rakaat. Sehingga mengerjakannya kurang dari 20 rakaat adalah berselisih dengan sunnah khulafa.

Sheikh Badrudîn Aini (855 A.H.) berkata dalam tafsirnya tentang Hidayah:

Tidak ada keraguan bahwa pahala diperoleh jika mengikuti Abu Bakar dan Umar ra dan seseorang akan mendapat dosa jika tidak mengikutinya karena kita diperintahkan untuk mematuhi mereka. Rasulullah saw bersabda, “Ikuti keduanya setelah aku yaitu Abu Bakar dan Umar”. Jadi mencontoh jalan mereka adalah wajib dan jika menolaknya harus dicela dan dihukum. (Majmuatul Fataawa, vol.1 hal 215)

Kamâluddin Ibn Humâm (869 A.H.) menuliskan dalam Tahrîrul Usûl: Ulama-ulama Hanafi membagi azimah menjadi:

(a) Fardu – yang mana kewajibannya adalah mutlak
(b) Wajib – yang mana kewajibannya adalah sangat mungkin
(c) Sunnah – cara yang diadopsi dari baginda rasul saw, dan khulafaurrasyidin atau salah satu dari mereka.

Ditunjukkan pada masa tabi’in, Hussami mencatat bahwa istilah sunnah merujuk pada perkataan/perbuatan Rasulullah saw atau Khulafaurrasyidin. Pendeknya, istilah sunnah adalah berlaku umum, merujuk pada sunnah Rasul saw dan sunnah Khulafa. Dan sunnah khulafa adalah 20 rakaat tarawih. Tidak ada di antara mereka yang mengerjakannya kurang dari itu. Mereka yakin bahwa itu adalah petunjuk dari Rasulullah saw untuk bersembahyang lebih di bulan ramadlan.

Bersambung …….

Selengkapnya (1-7) telah saya pdf-kan. Dapat di-download di –Benarkah Tarawih 20 Rakaat.

35 thoughts on “Benarkah Tarawih 20 Rakaat? (1)

  1. “Semua khulafa dan mujtahidin tidak mengerjakan (sholat tarawih) kurang dari 20 rakaat. Sehingga mengerjakannya kurang dari 20 rakaat adalah melawan sunnah khulafa.”

    afwan, kalo sebelum khalifah umar, mereka sholatnya berapa rakkat. Abu bakar tidak mengikuti sunah Khulafa kah ?

    –> Abu Bakar ra adalah khalifah pertama, yang harus kita teladani juga. Kami tidak/belum tahu riwayat tarawih di masa beliau. Riwayat yg masyhur adalah dari sayidina Umar ra di atas.

    • goblog, nabi tidak pernah melakukan tarawih 20 rakaat, melainkan 8,11,13 rakaat. 20 rakaat itu dilakukan pada jaman kholifah umar. goblog lu

      • bukankah nabi menyuruh mengikuti sunnahnya dan sunnah khulafaurrosyidin. berarti anda menuduh sayyidina Umar goblok, dan dari dlu sampai krang di masjidil haram (makkah) melaksakan sholat tarawih 20 raka’at apakah anda menuduh goblok para imam2 masjidil haram sdangkanmereka hafal qur’an dan hhadits

      • Islam akan hancur ya dari orang-orang yang menggoblok-goblokkan sesama muslim seperti komentar di atas, padahal yang biasa teriak maling adalah maling itu sendiri, berarti yang teriak bodoh………..?. kalo hadits cuma satu maka dak perlu ilmu mustholahul hadits, tidak perlu imam muslim, turmudzi dll. imam malik, hanafi, syafi’i dan hambali hidup jauh sebelum kita, kenapa beliau-beliau BERBEDA PENDAPAT??? moga-moga Allah mengampunimu

  2. Alangkah lebih baik jika disertai dalil (hadits Rasulullah maupun atsar Sahabat). Coba kita perhatikan petikan berikut:

    Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : “Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka’at”. Ia berkata : “Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’ fajar” [Furu’ fajar : awalnya, permulaan].

    Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : “Dua puluh raka’at”.

    Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.

    Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : “Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”

    Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.

    Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.

    Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]

    Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :

    1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.

    2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]

    3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I’tidal 1/181]

    4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I’tidal 1/181]

    5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I’tidal 1/181]

    Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I’tidal 1/181]

    –> Salam kenal mas anas.. Ada beberapa tanggapan saya,

    1. Artikel anda di atas, dari manakah sumbernya? Siapa penulisnya? Artikel standard selalu menyertakan sumber dan/atau referensi-nya. Kecuali bila itu tulisan anda sendiri. Jika tidak maka statusnya sama seperti selebaran gelap, atau hoax.

    2. Di artikel anda tertulis riwayat Imam Malik yang 11 rakaat. Padahal madzab tarawih Imam Malik adalah 36 rakaat. Bagaimana anda menjelaskan hal ini? Apa alasan Imam Malik tidak memakai hadits tersebut dalam madzabnya?

    3. Artikel kami ini dibuat ber-seri karena aslinya panjang. Jadi.. mohon dibaca sampai akhir. Karena jawabannya insya Allah ada di sana.

  3. InsyaAllah pendapat yang 20 rakaat itu lebih kuat, apalagi para imam madzhab nggak ada yang pendapatnya kurang dari 20 rakaat.

    Cuma kalau bisa, yang menyelenggarakan tarawih 20 rakaat, jangan kebut2an, masak bisa lebih cepat selesainya ketimbang yang 11 rakaat? Cuma saran aja lho.

    –> Setuju mas… Terlalu cepat bisa menyebabkan tidak tuma’ninah. Padahal tuma’ninah merupakan salah satu rukun sholat. Selain itu, imam juga harus tahu aspirasi (mayoritas) makmum agar tidak menjadi imam yang dibenci.

  4. Shalat Tarawih Nabi & Salafushshalih

    Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai dari dua atau empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.
    Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.
    Bahkan para salaf bertumpu pada tongkat, karena terlalu lamanya berdiri. Dari situ, kemudian setiap empat raka’at, disebut tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz.
    Para sahabat bertanya kepada Aisyah: “Bagaimana shalat Rasul pada bulan Ramadhan?” Dia menjawab,
    “Beliau tidak pemah menambah -di Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at.” (HR Bukhari).
    Kata � (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jedah waktu.
    Rasulullah shalat empat raka’at dengan dua kali salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah,
    “Adalah Rasulullah melakukan shalat pada waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga waktu fajar, sebanyak 11 raka’at, mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, dan melakukan witir dengan satu raka’at.” (HR Muslim).
    Juga berdasarkan keterangan Ibn Umar, bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalat malam itu?” Beliau menjawab,
    “Yaitu dua raka’at-dua raka’at, maka apabila kamu khawatir shubuh, berwitirlah dengan satu raka’at.” (HR Bukhari).
    Dalam hadits Ibn Umar yang lain disebutkan:
    “Shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at”. (HR Ibn Abi Syaibah). 1

    1 Fadhilah Shalat Tarawih
    1.1 Hadits Abu Hurairah:
    “Barang siapa melakukan qiyam (lail) pada bulan Ramadhan, karena iman dan mencari pahala, maka diampuni untuknya apa yang telah lalu dari dosanya.”
    Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan, bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dad Allah. Bukan karena riya’ atau sekedar adat kebiasaan. 2
    Hadits ini dipahami oleh para salafush shaalih, termasuk oleh Abu Hurairah sebagal anjuran yang kuat dari Rasulullah untuk melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih, tahajud, dan lain-lain). 3
    1.2 Hadits Abdurrahman bin Auf
    Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan dimana Allah mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku menyunnahkan qiyamnya untuk orang-orang Islam. Maka barangsiapa berpuasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasta) keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari is dilahirkan oleh ibunya. 4
    Al Albani berkata, “Yang shahih hanya kalimat yang kedua saja, yang awal dha’if.” 5
    1.3 Hadits Abu Dzar:
    Barang siapa qiyamul lail bersama imam sampai is selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh). 6
    Hadits ini sekaligus juga memberikan anjuran, agar melakukan shalat tarawih secara berjamaah dan mengikuti imam hingga selesai.
    2 Shalat Tarawih Pada Zaman Nabi
    Nabi telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
    2.1 Hadits Nu’man bin Basyir,
    Dia berkata:
    Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur. 7
    2.2 Hadits Abu Dzar,
    Dia berkata:
    Kami puasa, tetapi Nabi tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah mengimami karni shalat, sampai lewat sepertiga malam.
    Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima, beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separoh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah, “Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?”, maka beliau bersada,
    Barang siapa shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam (suntuk).
    Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapat falah.
    saya (perawi) bertanya, apa itu falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur. ” 8
    2.3 Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhi berkata:
    Pada suatu malam, di malam Ramadhan, Rasulullah keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumplpulan orang di sebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, Apa yang sedang mereka lakukan?”
    Seseorang menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ali ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat (ma’mum) dengan shalatnya Ubay. ” Beliau lalu bersabda, “Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.” Beliau tidak membencinya. 9
    3 Shalat Tarawih Pada Zaman Khulafa’ur Rasyidin
    1. Para sahabat Rasulullah, shalat tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan secara awza’an (berpencar-pencar).
    Orang yang bisa membaca Al Qur’an ada yang mengimami 5 orang, ada yang 6 orang, ada yang lebih sedikit dari itu, dan ada yang lebih banyak. Az Zuhri berkata,
    “Ketika Rasulullah wafat, orangorang shalat tarawih dengan cara seperti itu. Kemudian pada masa Abu Bakar, caranya tetap seperti itu; begitu pula awal khalifah Umar.”
    1. Abdurrahman bin Abdul Qari’ berkata,
    “Saya keluar ke masjid bersama Umar pada bulan Ramadhan. Ketika itu orang-orang berpencaran; ada yang shalat sendirian, dan ada yang shalat dengan jama’ah yang kecil (kurang dari sepuluh orang). Umar berkata,
    ‘Demi Allah, saya melihat (berpandangan), seandainya mereka saga satukan di belakang satu imam, tentu lebih utama,’
    Kemudian beliau bertekad dan mengumpulkan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar lagi bersama beliau pada malam lain. Ketika itu orang-orang sedang shalat di belakang imam mereka. Maka Umar berkata,’Ini adalah sebaik-baik hal baru.’
    Dan shalat akhir malam nanti lebih utama dari shalat yang mereka kerjakan sekarang.”
    Peristiwa ini terjadi pada tahun 14 H.
    1. Umar mengundang para qari’ pada bulan Ramadhan, lalu memberi perintah kepada mereka agar yang paling cepat bacaanya membaca 30 ayat (3 halaman), dan yang sedang agar membaca 25 ayat, adapun yang pelan membaca 20 ayat (+ 2 halaman).
    2. Al A’raj 10 berkata,
    “Kami tidak mendapatt orang-orang, melainkan mereka sudah melaknat orang kafir (dalam do’a) pada bulan Ramadhan.”
    Dia berkata,
    “Sang qari’ (imam) membaca ayat Al Baqarah dalam 8 raka’at. Jika ia telah memimpin 12 raka’at, (maka) barulah orang-orang merasa kalau imam meringankan.”
    1. Abdullah bin Abi Bakr berkata,
    “Saya mendengar bapak saya berkata,’Kami sedang pulang dart shalat (tarawih) pada malam Ramadhan. Kami menyuruh pelayan agar cepat-cepat menyiapkan makanan, karena takut tidak mendapat sahur’. “
    1. Saib bin Yazid (Wafat 91 H) berkata,
    “Umar memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kita bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dart tarawih, melainkan sudah di ujung fajar.”) 11
    4 Bilangan Raka’at Shalat Tarawih Dan Shalat Witir
    Mengenai masalah ini, diantara para ulama salaf terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.
    1. Sebelas raka’at (8 + 3 Witir), riwayat Malik dan Said bin Manshur.
    2. Tigabelas raka’at (2 raka’at ringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2), atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
    3. Sembilan belas raka’at (16 + 3).
    4. Duapuluh satu raka’at (20 + 1), riwayat Abdurrazzaq
    5. Duapuluh tiga raka’at (20 + 3), riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
    6. Duapuluh sembilan raka’at (28 + 1).
    7. Tigapuluh sembilan raka’at (36 + 3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
    8. Empatpuluh satu raka’at (38 + 3), riwayat Ibn Nashr dart persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni 2/167.
    9. Empatpuluh sembilan raka’at (40 + 9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
    10. Tigapuluh empat raka’at tanpa witir (di Basrah, Iraq).
    11. Duapuluh empat raka’at tanpa witir (dart Said Ibn Jubair).
    12. Enambelas raka’at tanpa witir.
    5 Berapa Raka’at Tarawih Rasulullah?
    Rasulullah telah melakukan dan memimpin shalat tarawih, terdiri dart sebelas raka’at (8 3). Dalilnya sebagai berikut.
    1. Hadits Aisyah: ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang glyamui lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab:
    Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. (HR Bukhari, Muslim).
    Ibn Hajar berkata,
    “Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
    1. Hadits Jabir bin Abdillah ia berkata:
    Rasulullah shalat dengan kami pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan harapan beliau shalat dengan kami.
    Maka kami terus berada di masjid hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama kami,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir diwajibkan atas kalian. ” 12
    1. Pengakuan Nabi tentang 8 raka’at dan 3 witir.
    Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan tads malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?”
    la menjawab,”Para wanita di rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an. Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat dengan mereka 8 raka’at dan witir.
    Maka hal itu menjadi sunnah yang diridhai. Beliau tidak mengatakan apa-apa.” 13
    Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada yang shahih. 14
    6 Berapa Rakaat Tarawih Sahabat dan Tabi’in Pada Masa Umar
    Ada beberapa riwayat shahih tentang bilangan raka’at shalat tarawih para sahabat pada zaman Umar 43 . Yaitu: 11 raka’at, 13 raka’at, 21 raka’at, dan 23 raka’at. Kemudian 39 raka’at juga shahih, pada masa Khulafaur Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus di Madinah. Berikut keterangan pada masa Umar
    1. Sebelas raka’at.
    Umar memerintahkan kepada Ubay dan Tamim Al Dari untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid
    Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih ( � �� ���). Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali ( �� ��).
    1. Tigabelas raka’at
    Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadts ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 raka’at.
    Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
    1. Duapuluh raka’at (ditambah 1 atau 3 raka’at Witir).
    Abdur Razzaq meriwayatkan dart Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih).
    Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dart jalur Yazid Ibn Khushaifah dart Saib Ibn Yazid, bahwa – mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri.
    Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Al Nawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.
    Sementara itu Syaikh Al Albani menganggap, bahwa dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak bisa dijama’ (digabungkan). Maka beliau memakai metode tarjih (memilih riwayat yang shahih dan meninggalkan yang lain).
    Beliau menyatakan, bahwa Muhammad Ibn Yusuf perawi yang tsiqah tsabt (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dart Saib Ibn Yazid 11 raka’at. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat tsiqah (terpercaya) meriwayatkan 21 raka’at. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini -menurut beliau- adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih). 15
    Perlu diketahui, selain Ibn Khushaifah tadi, ada perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab yang meriwayatkan dart Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa Umar 23 raka’at. (HR Abdurrazzaq). 16
    Selanjutnya 23 raka’at diriwayatkan juga dari Yazid Ibn Ruman secara mursal, karena ia tidak menjumpai zaman Umar.
    Yazid Ibn Ruman adalah mawla (mantan budak) sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’ Madinah yang tsiqat tsabt (meninggal pada tahun 120 atau 130 H). Ia memberi pernyataan, bahwa masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melakukar qiyam Ramadhan dengan bilangan 23 raka’at, 17
    7 Bagaimana Jalan Keluarnya?
    Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur adalah:
    1. Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.
    2. Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.
    3. Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
    4. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
    8 Beberapa Kesaksian Pelaku Sejarah
    1. Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla Quraisy, 18 lahir pada masa Khilafah Utsman (antara tahun 24 H sampai 35 H), yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas, (wafat 67 / 68 H), Aisyah dan yang menjadi mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H, memberikan kesaksian:
    “Saya telah mendapati orang-orang (masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3 raka’at witir.” 19
    1. Imam Nafi’ Al Qurasyi, 20 telah memberikan kesaksian sebagai berikut:
    “Saya mendapati orang-orang (masyarakat Madinah); mereka shalat pada bulan Ramadhan 36 raka’at dan witir 3 raka’at.” 21
    1. Daud Ibn Qais bersaksi,
    “Saya mendapati orang-orang di Madinah pada amasa pemerintahan Aban Ibn Utsman Ibn Affan Al Umawi (Amir Madinah, wafat 105 H) dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Al Imam Al Mujtahid, wafat 101 H) melakukan qiyamulail (Ramadhan) sebanyak 36 raka’at ditambah 3 witir.” 22
    1. Imam Malik Ibn Anas (wafat 179 H) yang menjadi murid Nafi’ berkomentar,
    “Apa yang diceritakan oleh Nafi’, itulah yang tetap dilakukan oleh penduduk Madinah. Yaitu apa yang dulu ada pada zaman Utsman Ibn Affan. 23
    1. Imam Syafi’i, 24 mengatakan,
    “Saya menjumpai orang-orang di Mekkah. Mereka shalat (tarawih, red.) 23 raka’at. Dan saya melihat penduduk Madinah, mereka shalat 39 raka’at, dan tidak ada masalah sedikitpun tentang hal itu.” 25
    9 Beberapa Pemahaman Ulama Dalam Menggabungkan Riwayat-Riwayat Shahih Di Atas
    1. Imam Syafi’i, setelah meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar,
    “Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama lebih aku sukai.” 26
    1. Ibn Hibban (wafat 354 H) berkata,
    “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat pan fang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa with.” 27
    1. Al Kamal Ibnul Humam mengatakan,
    “Dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang sunnah adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi, sedangkan sisanya adalah mustahab.” 28
    1. Al Subkhi berkata,
    “Tarawih adalah termasuk nawafil. Terserah kepada masing-masing, ingin shalat sedikit atau banyak. Boleh jadi mereka terkadang memilih bacaan panjang dengan bilangan sedikit, yaitu 11 raka’at. Dan terkadang mereka memilih bilangan raka’at banyak, yaitu 20 raka’at daripada bacaan panjang, lalu amalan ini yang terus berjalan.” 29
    1. Ibn Taimiyah berkata,
    “Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.”
    Beliau juga berkata,
    “Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang shalat. Jika mereka kuat 10 raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul di Ramadhan dan di luar Ramadhan- maka ini yang lebih utama. Kalau mereka kuat 20 raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, karena ia adalah pertengahan antara 10 dan 40.
    Dan jika ia shalat dengan 40 raka’at, maka boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun dari hal itu, maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah salah.” 30
    1. Al Tharthusi (451-520 H) berkata,
    Para sahabat kami (Malikiyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata,
    “Mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat.
    Tatkala masyarakat tidak lagi kuat menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8 raka’at atau 12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj tadi.”
    Telah dikatakan, bahwa pada waktu itu imam membaca antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus hingga yaumul Harrah, 31 maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang berlaku kemudian.
    Bahkan diriwayatkan, bahwa yang pertama kali memerintahkan mereka shalat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir ialah Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut dilakukan terus oleh khalifah sesudahnya.
    Lebih dari itu, Imam Malik menyatakan, shalat 39 raka’at itu telah ada semenjak zaman Khalifah Utsman. Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (wafat 101 H) memerintahkan agar imam membaca 10 ayat pada tiap raka’at.
    Inilah yang dilakukan oleh para imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini yang paling utama dari segi takhfif (meringankan). 32
    1. Ada juga yang mengatakan, bahwa Umar memerintahkan kepada dua sahabat, yaitu “Ubay bin Ka’ab 45 dan Tamim Ad Dad, agar shalat memimpin tarawih sebanyak 11 raka’at, tetapi kedua sahabat tersebut akhirnya memilih untuk shalat 21 atau 23 raka’at. 33
    2. Al Hafidz Ibn Hajar berkata,
    “Hal tersebut dipahami sebagai variasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11 raka’at, atau 21, atau 23 raka’at, tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka. Kalau 11 raka’at, mereka memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika 23 raka’at, mereka meringankan bacaan supaya tidak memberatkan jama’ah. 34
    1. Imam Abdul Aziz Ibn Bazz mengatakan:
    “Diantara perkara yang terkad nng samar bagi sebagian orang adalah shalat tarawih Sebagian mereka mengira, bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil.
    Hadits-hadits shahih dari Rasulullah telah menunjukkan, bahwa shalat malam itu adalah muwassa’ (lelunsa, lentur, fleksibei). Tidak ada batasan tertentu yang kaku. yang tidak boleti dilanggar.
    Bahkan telah shahih dari Nabi, bahwa beliau shalat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebih sedikit dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Ketika ditanya tentang sifat shalat malam, beliau menjelaskan:
    Dua rakaat-dua raka’at, apabila salah seorang kamu khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup shalat yang ia kerjakan. ” (HR Bukhari Muslim).
    Beliau tidak membatasi dengan raka’at-raka’at tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena itu, para sahabat pada masa Umar di sebagian waktu shalat 23 raka’at dan pada waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar dan para sahabat pada zamannya.
    Dan sebagian salaf shalat tarawih 36 raka’at ditambah witir 3 raka’at. Sebagian lagi shalat 41 raka’at. Semua itu dikisahkan dari mereka oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan ulama lainnya. Sebagaimana beliau juga menyebutkan, bahwa masalah ini adalah luas (tidak sempit).
    Beliau juga menyebutkan, bahwa yang afdhal bagi orang yang memanjangkan bacaan, ruku’. sujud, ialah menyedikitkan bilangan raka’at(nya). Dan bagi yang meringankan bacaan, ruku’ dan sujud (yang afdhal) ialah menambah raka’at(nya). Ini adalah makna ucapan beliau.
    Barang siapa merenungkan sunnah Nabi, ia pasti mengetahui, bahwa yang paling afdhal dari semua itu ialah 11 raka’at atau 13 raka’at. di Ramadhan atau di luar Ramadhan.
    Karena hal itu yang sesuai dengan perbuatan Nabi dalam kebiasaannya. Juga karena lebih ringan bagi jama’ah. Lebih dekat kepada khusyu’ dan tuma’ninah. Namun, barangsiapa menambah (raka’at), maka tidak mengapa dan tidak makruh, seperti yang telah talu.” 35
    10 Kesimpulan
    Maka berdasarkan paparan di atas, saya bisa mengambil kesimpulan, antara lain:
    1. Shalat tarawih merupakan bagian dari qiyam Ramadhan, yang dilakukan setelah shalat Isya’ hingga sebelum fajar, dengan dua raka’at salam dua raka’at salam.
    Shalat tarawih memiliki keutamaan yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi menganjurkannya -dan para sahabat pun menjadikannya- sebagai syiar Ramadhan.
    1. Shalat tarawih yang lebih utama sesuai dengan Sunnah Nabi, yaitu bilangannya 11 raka’at. Inilah yang lebih baik. Seperti ucapan Imam Malik,
    “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan, ialah shalat yang diperintahkan oleh Umar, yaitu 11 raka’at, yaitu (cara) shalat Nabi. Adapun 11 adalah dekat dengan 13.” 36
    1. Perbedaan tersebut bersifat variasi, lebih dari 11 raka’at adalah boleh, dan 23 raka’at lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 raka’at.
    2. Yang lebih penting lagi adalah prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah. Kalau bisa lamanya sama dengan tarawihnya ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat adalah yang panjang bacaanya”.
    Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu murni dari al faqir. Ya Allah bimbinglah kami kepada kecintaan dan ridhaMu. Dan antarkanlah kami kepada Ramadhan dengan penuh aman dan iman, keselamatan dan Islam.

    –> Terima kasih artikelnya. Salam kenal mas faisal. Artikel ini karangan anda sendiri ataukah copy paste saja. Kalau copy paste, mohon disertakan sumbernya, daripada dituduh membajak.

    Ada beberapa hal yg perlu ditanggapi,
    1. Anda tampaknya tidak membaca artikel (catatan) kami seluruhnya, yang sampai jilid 7 seri. Semua yang diungkap artikel anda terjawab dikeseluruhan artikel kami. Bacalah sampai khatam dulu.

    2. Dari judulnya, “Shalat Tarawih Nabi dan Salafushshalih”. Namun dari fakta sejarah, tahukah anda bahwa para salafusholeh semua mengerjakan sholat tarawih 20 rakaat plus 3 rakaat witir. Semua imam-imam (ulama) yang anda kutib pendapatnya di atas, semua bertarawih 20 rakaat. Belum ada waktu itu tarawih 8 rakaat. Bahkan Imam Malik mengerjakan 39 rakaat menurut madzabnya. Bacalah tulisan ulama-ulama dari zaman ke zaman ttg shalat tarawih ini, beserta dalilnya. Pendapat yang 11 rakaat baru muncul di abad akhir ini saja, yang kemudian mencocok-cocokkannya dgn hadits, dan menafikan para ulama sebelumnya.

    3. Di bagian akhir anda ajukan pendapat Imam Malik (yang mengatakan memilih 11 rakaat). Bagaimana anda menjelaskan bahwa kenyataannya madzab Imam Malik adalah 39 rakaat shalat tarawih + witir.

    4. Dari mana referensi anda menulis, “23 raka’at lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 raka’at“. Yang kami lihat adalah tarawih 23 rakaat itupun bervariasi, tergantung kebanyakan jamaah/makmum-nya. Ada yang ringan, ada yang panjang. Ada yang 1 bulan mengkhatamkan Al Qur’an, seperti di Masjidil Haram.

    Selain itu, tidak bisa dibandingkan sholat seseorang dengan sholat orang lain. Perbandingan akan akurat jika alat ukurnya sama (dengan shalat orang yang sama). Jika seseorang telah mengerjakan sholat 8 rakaat, tentu saja akan lebih panjang (dan berat) lagi jika ia meneruskan sampai 20 rakaat.

    Maaf kalau ada salah. Wallahu a’lam.

  5. saya kira lebih baik kita kerjakan mana yang kita yakini benar daripada kita harus saling bantah- bantahan karena saya lihat sekarang umat islam sekarang saling benci hanya karena beda pendapat padahal dulu umat islam bersatu meski pendapat mereka bermacam-macam. bagi saya yang penting adalah bagaimana masjid itu selalu ramai dikunjungi orang,masak masjid rame cuma waktu ramadhan. maaf saya berkata seperti ini karena saya sudah prihatin dengan perpecahan yang ada pada orang muslim

    –> Salam kenal mas .. artikel ini ditulis dengan keyakinan bahwa inilah yang lebih mendekati kebenaran, disertai dengan hujah-hujahnya. Dengan bukti2 bahwa hujah kami sangat kuat. Harapan kami, inilah pembahasan ilmu.

    Ketika ada yg berseberangan pedapatnya, kami welcome saja. Namun diskusi yang sehat yang kami harapkan. Komentar caci maki insya Allah saya sensor.

    Semoga ridlo Allah selalu menyertai kita. Amien.

  6. Mas, saya orang awan..

    Tapi secara umum saja …. bisa dilihat..yang 20 rakaat + 3 Witir sudah ratusan tahun dikerjakan di Makkah ( Masjidil Harom ) dan Madinah. Dan itu cukup nyata sebagai bukti.
    Dan pula Apakah sama antara orang yang sholatnya sedikit dengan banyak khususnya di Bulan Ramadhon di hadapan Alloh ( kita anggap semua parameter / variabel si subyek sama ).

    Jarang kita ketemu orang yang sekolah / studi S1 – S2 – S3 begitu selesai kembali ke posisi nya semula dan tidak mengharapkan perubahan. ( Khususnya PNS / TNI / Polisi pasti ingin …. naik gaji / tunjangan, jabatan pun pasti tahun berikutnya pasti pengin naik ). Andai Pemerintah bikin peraturan bagi PNS yg sekolah S2 – S3 – S4 setelah selesai tidak memberikan jaminan kenaikan baik itu karir / jabatan atau materi ( gaji – tunjangan )pasti lah mereka yang akan ke S2 – S3 akan pikir-2 dulu. Apa lagi yang menggunakan biaya sendiri.

    Andai pedagang / pengusaha punya pikiran bahwa dengan modal yang sangat minim bisa memperoleh keuntungan yang besar pasti mereka takkan menambah modalnya. Tapi kan sebaliknya,,, modal besar untung juga besar.

    Mestinya kita juga demikian dalam beribadah… sewaktu-waktu harus juga berpikir yang logis dan sehat. ( + Iman yang mantap )

    Apakah sama di hadapan Alloh ( ganjaran – pahala ) mereka yang bisa sholat fardlu beserta sholat sunnah rawatibnya dengan yg hanya sholat fardhu nya saja ?

    Apakah sama ( pahala / ganjaran ) sholat barjama’ah dengan sholat mumfarid ?

    Apakah sama sholat berjama’ah di masjidil harom dengan sholat berjama’ah di masjid nabawi ?

    Apakah sama orang yg sering / banyak mengucap sholawat dengan orang yang sedikit / jarang membaca / bersholawat kepada Nabi Muhammad s.a.w ?

    Bahkan ‘asar ( bekas wudlu ) seorang mukmin saja akan ada perbedaannya di hadapan Alloh di hari kemudian nanti.

    Lebih-lebih ramadlon semua hadist yg menyeru untuk sholat dan puasa pasti ditegaskan dengan kata-2 Iiemaman wahtisaban ….
    semuanya dengan landasan Iman …dan mengharaf ridlo Alloh semata.

    Semua tentu tidak keluar dari Qur’an – Hadist dan ijema Ulama.
    ( Ahlussunah waljama’ah ).

    Saya di sini tidak memponis atau meng klaim bahwa yang 8 atau 20
    salah satunnya itu benar atau lebih afdlol dari yang lain.

  7. setuju, masak mendebatkan dua sunnah yg keduanya ada riwayatnya harus melanggar hal yang wajib (ukhuwwah), gak masuk akal…

  8. Assalamu’alaikum.Wr.Wb.
    Yang mungkin perlu dibedakan adalah Tarawih dan Qiyamul lail. Qiyam artinya bangun, Lail artinya malam, yg berarti bangun malam. Artinya dikerjakan setelah bangun dari tidur. Nah apakah Rasulullah mengerjakan sholat tarawih setelah tidur atau sebelum tidur? Dan kalau dikerjakan sebelum tidur, apakah bisa disebut sholat tarawih dan dikerjakan sesudah tidur malam (mungkin tengah malam?) disebut sholat tahajjud?

    Qiyamul lail/tahajjud dikerjakan 11 rakaat dan sholat tarawih dikerjakan 20 rakaat berdasarkan isi hadits2 yg disebutkan diatas.

    Afwan jika salah.

  9. Assalamu’alaikum.Wr.Wb.

    Adakah yg punya data hadist ttg sholatnya Abu Bakr Ashshodiq r.a, Ali bin Abi Tholib r.a,dua sahabat yg lbh awal masuk Islam? Apakah keduanya melakukan sholat tarawih berjamaah? Berapa rakaat?

    Yang saya inginkan riwayat kedua sahabat it -tentang tarawih, bukan riwayat yang lain.

    Wassalamu’alaikum.Wr.Wb

  10. Assalamualaikum Wr. Wb

    Salam kenal
    sebenarnya kalau yang saya tahu mengerjakan 8 rakaat ataupun 20 rakaat tidak ada yang salah dan tidak ada yang mendekati benar. kedua duanya benar yang gak benar adalah yang tidak sholat. saya sangat setuju dengan perkataan teman diatas bahwa ibarat kita masuk pns semakin tinggi jabatan maka upah yang dia dapatkan semakin banyak, toh kita mengerjakan 20 rakaat karena berharap lebih banyak pahala yang kita kerjakan. sebenarnya ini bukan masalah yang harus kita perdebatkan melainkan harus kita kerjakan. dieropa mereka sudah beulang kali kebulan balik lagi kebumi kebulan lagi, kita di indonesia hanya bolak balik maslah 8 dan 20 rakaat. jadi kepada teman teman mari kita rapatkan saf agar dengan adanya perbedaan seperti ini tidak akan memecah belah ummta islam

    wassalam
    Minal aidin wall faidzin

  11. yang salah adalah jika menyalahkan salah satu pendapat, tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat, karena keduanya mempunyai dasar masing2. mempersalahkan salah satu pendapat hanya akan menimbulkan perpecahan. saya tidak terlalu suka dengan kelompok muslim yang suka mempersalahkan kelompok lain.

    saya pribadi lebih berpegang jika shalat tarawih adalah 8 rakaat berdasarkan beberapa hadist. mengenai analogi PNS, seperti kurang pas jika diterapkan untuk shalat berjamaah karena kondisi fisik setiap makmum berbeda-beda. contoh lain adalah, kenapa Allah meringankan shalat wajib 50 menjadi 5 waktu? ini membuktikan jika analogi S1 S2 S3 tidak selalu pas diterapkan.

  12. Terhadap adanya ungkapan perbedaan hendaknya tidak ditanggapi negatif. Bagi yang ‘awam ini adalah pengetahuan. Jadi biarkan saja kita beri ruang untuk berbeda pendapat. Bagi saya yang merasa awam malah seneng dengan artikel-artikel di atas. Pada ahirnya saya sendiri ingin mulai membuka literatur-literatur Islam. Jadi gak perlu ada yang merasa tertanggu dengan adanya artikel-artikel ini. Dan yang paling penting bila ingin menanggapi, tanggapilah dengan argumentasi yang kuat berdasarkan referensi yang mu’tabar.

  13. Pingback: Macam-Macam Shalat Sunnah « Catatan harian seorang muslim

  14. Maaf kawan semua ikut sikit aja..sebenarnya perbedaan pendapat itu bukan hal baru tapi sudah hampir basi jadi cape dech debat terus, masalah tarowih itu tidak ada yang tau kecuali Nabi dan para sahabat yang mengikutinya waktu itu jadi kalaukita selalu berdebat, ya paling bersandar pada qaul2 yang sudah ada jadi tak mungkin itu akan selesai sampai kiamaat, Jadi gimana solusinya?… anda punya ilmu jalankan ilmumu! yang lain punya ilmu jalankan ilmunya ! namun untuk orang ahir ini biasanya merujuk pada mazdhab fannya masing2 yang hanafiyah, malikiyah, syafiyah,hanabilah 20 rokaat, jalankan seperti yang beliau2 fatwakan, dan yang al-baniah, utsaminiyah, wahabiyah 8 rokaat, jalankan seperti fatwa beliau ! jadi dah beres dech jangan hujat menghujat, benci membenci, salah menyalahkan dll…aku katakan : hilafiah seperti ini tidak akan berahir sampai hari kiamat . jadi ayo kita bersatu, kalau sama kafirin saja kita rukun bagaimana kita bermusuhan dengan saudara? ini sangat anaeh dan tidak logic, mari berfikir yg luas semoga kita menjadi islam yang Rohmatan lilalamin dan hilafiah sebagai Rahmat. SETUJUUUUUUUUUUUUUU !!!!!!!

    –> anda salah kalau menganggap web ini isinya menghujat. Kami hanya menampilkan hujah amal kami.

  15. semua saudaraku umat islam, sholat tarawih itu hanya sunat bukan hal yang diwajibkan. Untuk apa umat islam sibuk berselisih antara 8 atw 20 rakaat, berjamaah atw sendirian, di masjid atw di rumah. Yang terbaik bagaimana caranya agar masjid banyak jamaahnya disaat sholat fardhu 5 waktu. Kenyataan sekarang sholat sunat tarawih pada doyan dan rajin berjamaah di masjid, giliran sholat wajib masjid sepi. Salam silaturrahmi untuk semua saudaraku seiman. Bersatulah semua umat islam, insya Allah islam kembali berjaya.

    –> ini bukan berselisih saudaraku. Di sini diungkapkan hujah-hujah amal kami. Karena kalau tidak diungkapkan, bagaimana masyarakat bisa tahu bahwa amalan kami pun punya dalil landasan yang kuat.

  16. Pingback: Muhammad Fajarelzhar Al Azhar

  17. Pingback: Macam Macam Sholat Sunnah « Muhammad Fajarelzhar Al Azhar

  18. Pingback: Macam Macam Sholat Sunnah | Muhammad Fajarelzhar Al Haddad

  19. Pingback: MACAM-MACAM SHALAT SUNNAH « sofyanmarwansyah

  20. Pingback: SOLAT SUNNAH « chandrasoehendar

  21. Pingback: Macam macam shalat sunnah | stressblogger

  22. mau 20 mau 8,insya allah dapat pahala asal niatnya karena allah,jangan debat 20 yang paling benar atau 8 paling benar,allah paling tahu isi hati manusia yang mana dapat pahala,wong solat belum tentu keterima ibadahnya udah ribut ,gua bener lu salah ,umat nabi muhamad kok gitu,surga itu mahal dan susah,ga gampang dapat nilai pahala.

  23. Pingback: Macam-macam sholat sunnah « Tafsir Al-qur'an

  24. Pingback: Dua | yunitamashanafiblog

  25. shalat tarawih itu mau dikerjakan 20 rakaat silahkan,8 rakaat juga gak apa2,gak dikerjakan gak berdosa karena shalat ini hukumnya unnah,namun hal ini menjadi sunnah muakad karena sunnah yang sangat dianjurkan,ada sebagian ulama kita yang mengatakan mendekati wajib karena hanya ada pada malam bulan ramadhan,rasulullah hanya mengerjakan shalat tarawih sebanyak 8 rakaat ditambah 3 witir,tetap jaga ukhuwah islamiyah kita meskipun berbeda paham n pendapat,sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara(qs .al-hujarat:10)

Leave a comment