Ijma dan Qiyas Adalah Juga Sumber Hukum Islam

Ijma’ Dan Qiyas
Oleh : Ust. Fahmi Rusydi, Lc.

Sumber Hukum Islam

Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.[2]

Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.[3]

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.

Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[4] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.[5]
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.[6]

Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.[7]

Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.

Ijma’

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.[9]

Sebagaimana firman Allah Swt:

“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)

Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.[10]

Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.[11]

Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .

‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:

1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.[12]

Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:

Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:

Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[13]

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[14]

Kehujjahan Ijma’

Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.

Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).[15]

Qiyas

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[16]

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.

Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)

Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[17]
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.

2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[18]

Kehujjahan Qiyas

Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[19]
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.[20]

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[21]

Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.[22]

Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.

Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[23]

Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.[24]

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.

2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.

3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.

4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[25]

.

Wallahu A’lam.

.

[1] Disampaikan pada kajian keislaman YISC Al-Azhar hari Ahad, tanggal 30 Maret 2008.
[2] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
[4] Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) hal 21-22.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
[6] Lihat, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hal 305.
[7] Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hal 96.
[8] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 402.
[9] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
[10] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
[11] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 469.
[12] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 45-46.
[13] Lebih lanjut lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476.
[14] Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.
[15] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 46-47.
[16] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173.
[17] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[19] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[20] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592.
[21] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[22] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.
[23] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597.
[24] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 58.
[25] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 60. Lebih lanjut lihat hal 60-78.

.

Sumber: http://tebuireng.net/

Catatan:

Dalam beberapa tulisan para wahabi/ salafi, mereka memasukkan “Masalihul-mursalah” sebagai landasan dalil ketika membolehkan hal-hal baru. Ini terlihat dalam berbagai tulisan dan diskusi mereka tentang Bid’ah.


“Masalihul-mursalah” adalah satu metode yang dipakai oleh Imam Maliki dalam madzabnya (madzab maliki) untuk menentukan hukum, sebagaimana tercatat di sini. Rupanya mereka berpegang pada imam Syatibi tentang definisi bid’ah itu, dan as Syatibi adalah seorang ulama bermadzab maliki.


Yang ganjil adalah seharusnya mereka memakai/ mendahulukan Qiyas pula untuk menentukan hal-hal baru sebagaimana imam malik (dan imam-imam madzab lainnya), tidak dari Qur’an dan Hadits langsung ke masalih mursalah. Dalam madzab maliki Qiyas lebih didahulukan daripada masalihul mursalah. Lihat link kami di atas.

Wallahu a’lam.

52 thoughts on “Ijma dan Qiyas Adalah Juga Sumber Hukum Islam

  1. Qiyas itu analogi. Analogi itu imajinasi: membayangkan sesuatu (illat?) sama atau tak sama dengan (illat) lainnya. Meski ada syarat tertentu untuk mengukur keserupaan atau ketidakserupaannya (rukun qiyas), tetap saja praktiknya adalah berimajinasi.

    Mengapa harus berimajinasi kalau ada akal sehat (riset, dsb.) untuk menetapkan hukum?

    “Tahukah Anda, siapa yang pertama sekali menggunakan qiyas dan salah karenanya?” tanya Imam Ja’far Shadiq suatu ketika kepada Nu’man bin Harits (Imam Hanafi), “dialah Iblis yang mengqiyaskan api lebih mulia dibanding tanah, sehingga ia menolak bersujud kepada Adam, dan ia salah!”

    –> Qiyas itu menggunakan akal sehat pula, dengan penelitian/ riset pula. Dari mana definisi anda itu bhw qiyas itu hanya imajinasi ngawur semata. Qiyas itu membandingkan hal2 yg mempunyai sifat2 sama. Ini adalah salah satu sumber hukum yg diambil oleh para salafus shaleh ketika tak menemukannya dari 2 sumber utama (QH).

    • Allah SWT berfirman:
      Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)

      Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (An-Nisa: 83)

      Tafsir Baidhawiy

      { ياأيها الذين ءامَنُواْ أَطِيعُواْ الله وَأَطِيعُواْ الرسول وَأُوْلِي الأمر مِنْكُمْ } يريد بهم أمراء المسلمين في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم وبعده ، ويندرج فيهم الخلفاء والقضاة وأمراء السرية . أمر الناس بطاعتهم بعدما أمرهم بالعدل تنبيهاً على أن وجوب طاعتهم ما داموا على الحق . وقيل علماء الشرع لقوله تعالى : { وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرسول وإلى أُوْلِي الامر مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الذين يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ } { فَإِن تَنَازَعْتُمْ } أنتم وأولو الأمر منكم . { فِي شَيْءٍ } من أمور الدين ، وهو يؤيد الوجه الأول إذ ليس للمقلد أن ينازع المجتهد في حكمه بخلاف المرؤوس إلا أن يقال الخطاب لأولي الأمر على طريقة الالتفات . { فَرُدُّوهُ } فراجعوا فيه . { إِلَى الله } إلى كتابه . { والرسول } بالسؤال عنه في زمانه ، والمراجعة إلى سنته بعده . واستدل به منكرو القياس وقالوا : إنه تعالى أوجب رد المختلف إلى الكتاب والسنة دون القياس . وأجيب بأن رد المختلف إلى المنصوص عليه إنما يكون بالتمثيل والبناء عليه وهو القياس ، ويؤيد ذلك الأمر به بعد الأمر بطاعة الله وطاعة رسوله فإنه يدل على أن الأحكام ثلاثة مثبت بالكتاب ومثبت بالسنة ومثبت بالرد إليهما على وجه القياس .

      Tafsir Ibnu ‘Ujaibah
      { فإن تنازعتم } أنتم وأولو الأمر ، أو بعضكم مع بعض أي : اختلفتم في حكم شيء من أمر الدين فلم تعلموا حكمه ، { فردّوه إلى الله } أي : إلى كتاب الله ، { و } إلى { الرسول } في زمانه ، أو سنته بعد موته ، فإن لم يوجد بالنص فبالقياس . فالأحكام ثلاثة : مثبت بالكتاب ، ومثبت بالسنة ، ومثبت بالرد إليهما على وجه القياس . وعن إبراهيم بن يسار قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : « اعملُوا بالقرآن : أحلُّوا حَلاَلهُ ، وحرَّمُوا حرامَهُ ، وآمنوا بِه ولا تكفُروا بشيءٍ منهُ ، وما اشتبه عليكُم فردُّوه إلي الله تعالى وإلى أولى العِلم من بَعدي ، كيما يُخبرُونكم به » ، ثم قال : « وليَسعُكُم القرآن وما فيهِ من البَيَانِ؛ فإنه شافعٌ مشفَّعٌ ، وما حِلٌ مُصدَّقَّ » ، وأن له بكل حَرفٍ نُورًا يومَ القِيَاَمَة « .

      Tafsir Arraziy:
      المسألة الرابعة : اعلم أن قوله : { فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْء فَرُدُّوهُ إِلَى الله والرسول } يدل عندنا على أن القياس حجة ، والذي يدل على ذلك أن قوله : { فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْء } إما أن يكون المراد فان اختلفتم في شيء حكمه منصوص عليه في الكتاب أو السنة أو الاجماع ، أو المراد فان اختلفتم في شيء حكمه غير منصوص عليه في شيء من هذه الثلاثة ، والأول باطل لأن على ذلك التقدير وجب عليه طاعته فكان ذلك داخلا تحت قوله : { أَطِيعُواْ الله وَأَطِيعُواْ الرسول وَأُوْلِى الأمر مِنْكُمْ } وحينئذ يصير قوله : { فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْء فَرُدُّوهُ إِلَى الله والرسول } إعادة لعين ما مضى ، وإنه غير جائز . وإذا بطل هذا القسم تعين الثاني وهو أن المراد : فان تنازعتم في شيء حكمه غير مذكور في الكتاب والسنة والاجماع ، واذا كان كذلك لم يكن المراد من قوله : { فَرُدُّوهُ إِلَى الله والرسول } طلب حكمه من نصوص الكتاب والسنة . فوجب أن يكون المراد رد حكمه إلى الأحكام المنصوصة في الوقائع المشابهة له ، وذلك هو القياس ، فثبت أن الآية دالة على الأمر بالقياس .
      فان قيل : لم لا يجوز أن يكون المراد بقوله : { فَرُدُّوهُ إِلَى الله والرسول } أي فوضوا علمه إلى الله واسكتوا عنه ولا تتعرضوا له؟ وأيضاً فلم لا يجوز ان يكون المراد فردوا غير المنصوص إلى المنصوص في أنه لا يحكم فيه إلا بالنص؟ وأيضا لم يجوزلا أن يكون المراد فردوا هذه الأحكام إلى البراءة الأصلية؟ قلنا : أما الأول فمدفوع ، وذلك لأن هذه الآية دلت على أنه تعالى جعل الوقائع قسمين ، منها ما يكون حكمها منصوصا عليه ، ومنها ما لا يكون كذلك ، ثم أمر في القسم الأول بالطاعة والانقياد ، وأمر في القسم الثاني بالرد إلى الله وإلى الرسول ، ولا يجوز أن يكون المراد بهذا الرد السكوت ، لأن الواقعة ربما كانت لا تحتمل ذلك ، بل لا بد من قطع الشغب والخصومة فيها بنفي أو إثبات ، واذا كان كذلك امتنع حمل الرد إلى الله على السكوت عن تلك الواقعة ، وبهذا الجواب يظهر فساد السؤال الثالث .
      وأما السؤال الثاني : فجوابه أن البراءة الأصلية معلومة بحكم العقل ، فلا يكون رد الواقعة اليها ردا إلى الله بوجه من الوجوه ، أما إذا رددنا حكم الواقعة إلى الأحكام المنصوص عليها كان هذا ردا للواقعة على أحكام الله تعالى ، فكان حمل اللفظ على هذا الوجه أولى .
      المسألة الخامسة : هذه الآية دالة على أن الكتاب والسنة مقدمان على القياس مطلقا ، فلا يجوز ترك العمل بهما بسبب القياس ، ولا يجوز تخصيصهما بسبب القياس ألبتة ، سواء كان القياس جليا أو خفيا ، سواء كان ذلك النص مخصوصا قبل ذلك أم لا ، ويدل عليه أنا بينا أن قوله تعالى : { أَطِيعُواْ الله وَأَطِيعُواْ الرسول } أمر بطاعة الكتاب والسنة ، وهذا الأمر مطلق ، فثبت أن متابعة الكتاب والسنة سواء حصل قياس يعارضهما أو يخصصهما أو لم يوجد واجبة ، ومما يؤكد ذلك وجوه أخرى : أحدها : أن كلمة «ان» على قول كثير من الناس للاشتراط ، وعلى هذا المذهب كان قوله : { فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْء فَرُدُّوهُ إِلَى الله والرسول } صريح في أنه لا يجوز العدول إلى القياس إلا عند فقدان الأصول . الثاني : أنه تعالى أخر ذكر القياس عن ذكر الأصول الثلاثة ، وهذا مشعر بأن العمل به مؤخر عن الأصول الثلاثة . الثالث : أنه صلى الله عليه وسلم اعتبر هذا الترتيب في قصة معاذ حيث أخر الاجتهاد عن الكتاب ، وعلق جوازه على عدم وجدان الكتاب والسنة بقوله : «فإن لم تجد» الرابع : أنه تعالى أمر الملائكة بالسجود لآدم حيث قال : { وَإِذ قُلْنَا للملائكة اسجدوا لآِدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ } [ البقرة : 34 ] ثم إن إبليس لم يدفع هذا النص بالكلية ، بل خصص نفسه عن ذلك العموم بقياس هو قوله : { خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ } [ الأعراف : 12 ] ثم أجمع العقلاء على أنه جعل القياس مقدما على النص وصار بذلك السبب ملعونا ، وهذا يدل على أن تخصيص النص بالقياس تقديم للقياس على النص وانه غير جائز . الخامس : أن القرآن مقطوع في متنه لأنه ثبت بالتواتر ، والقياس ليس كذلك ، بل هو مظنون من جميع الجهات ، والمقطوع راجح على المظنون . السادس : قوله تعالى { وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ الله فأولئك هُمُ الظالمون } [ المائدة : 45 ] وإذا وجدنا عموم الكتاب حاصلا في الواقعة ثم انا لا نحكم به بل حكمنا بالقياس لزم الدخول تحت هذا العموم . السابع : قوله تعالى : { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تُقَدّمُواْ بَيْنَ يَدَىِ الله وَرَسُولِهِ } [ الحجرات : 1 ] فاذا كان عموم القرآن حاضر ، ثم قدمنا القياس المخصص لزم التقديم بين يدي الله ورسوله . الثامن : قوله تعالى : { سَيَقُولُ الذين أَشْرَكُواْ لَوْ شَاء الله } [ الأنعام : 148 ] إلى قوله : { إِن تَتَّبِعُونَ إلى الظن } [ الأنعام : 148 ] جعل اتباع الظن من صفات الكفار ، ومن الموجبات القوية في مذمتهم ، فهذا يقتضي أن لا يجوز العمل بالقياس ألبتة ترك هذا النص لما بينا أنه يدل على جواز العمل بالقياس ، لكنه إنما دل على ذلك عند فقدان النصوص ، فوجب عند وجدانها أن يبقى على الأصل . التاسع : أنه روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : « إذا روي عني حديث فاعرضوه على كتاب الله فلإن وافقه فاقبلوه وإلا ذروه » ولا شك أن الحديث أقوى من القياس ، فاذا كان الحديث الذي لا يوافقه الكتاب مردوداً فالقياس أولى به . العاشر : أن القرآن كلام الله الذي لا يأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد ، والقياس يفرق عقل الانسان الضعيف ، وكل من له عقل سليم عُلِمَ أن الأول أقوى بالمتابعة وأحرى .

  2. asllmlkm???? saudara seiman

    menurut akhi.. apa saja sumber ajaran islam dan bagaimana penjelasan menurut para ulama???

    tolong dibales

    –> Bukannya artikel di atas itu adalah penjelasan ulama? Jika kurang jelas.. kami ada artikel sejarah empat madzab. Silakan simak.

  3. Assalamu’alaikum
    Sangat setuju dengan uraian di atas.pada dasarnya kita sering melakukan ijma’ ataupun qiyas meskipun secara lisan menolaknya, entah karena gengsi atau apa??
    Contoh dalam menentukan hilal, menurut nashnya kalau gak lihat bulan maka genapkanlah, bukan hisaplah/ramalkannya.
    Zakat fitrah tidak ada perintah dengan beras apalagi uang, tapi praktiknya??
    Khubah dengan pakai tombak bisa diqiyas dengan tongkat atau dengan senapan mesin.
    Tapi yang hujjah dari mimpi wali termasuk kategori yang mana??
    Wallahua’lam

    –> Wangalaikum salam wrwb. Saya tak tahu apa definisi anda tentang hujah? Kelihatan anda meremehkan sekali ketika ada mimpi seorang wali/ ulama. Kalau seseorang (ulama ataupun orang biasa) mendapat petunjuk-Nya dari mimpi, apa salahnya. Namun mimpi itu ada berbagai jenis.

    Setahu saya .. tak ada hujah dalam hal syariat (sumber hukum) yg berasal dari mimpi. Kalau petunjuk atau nasehat atau hikmah .. ada. Bukankah kadang Allah memberikan petunjuk-Nya melalui mimpi (misal setelah sholat istikharah). Bukankah bermimpi jumpa dengan Rasul saw adalah sebuah karunia. Syetan tak dapat menyaru sebagai Nabi saw.

    Saya teringat cerita .. Setelah selesai dengan kitabnya Sahih Bukhari, Imam Bukhari bermimpi berjumpa baginda Nabi saw. Imam Bukhari menepis (mengusir, membersihkan) lalat yang mengitari tubuh mulia saw. Dari sini,.. semoga anda tahu .. sejauh mana mimpi (yg benar/ hikmah) dipakai sebagai hikmah/ petunjuk.

    Wallahu a’lam.

  4. Assalamu’alaikum Mas
    Mohon maaf kalau terjadi misunderstanding di antara kita,karena dengan cara ini mungkin saya akan mendapatkan petunjuk.
    Saya sangat percaya dengan mimpinya nabi Ibrahim, Nabi Muhammad saw yang banyak terdapat dalam hadis,dan mimpinya para wali.
    Inti permasalahnnya adalah pada hadiah 11 bacaan surat al-ikhlas aja, karena perlu ditakhrij dan di tahqiq, dan yang menurut Imam Syafi’i dalam kitab al- Umm “Bacaan surat al-quran tidak bisa dihadiakan kepada mayit”.Mungkinkah Imam Syafi’i belum tahu adanya mimpi wali tersebut?
    Wallahu a’lam

    –> Wa’alaikum salam wrwb. Mimpi para Nabi dan mimpi baginda Rasul saw telah diceritakan di dalam Al Qur’an dan hadits. Maka itu menjadi hujah yang kuat.

    Dalam hal ini .. itu adalah petuah seorang imam/ ulama. Anda boleh tak mempercayainya dan tak mengamalkannya. Tak berdosa. Tapi mimpi itu tak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. Dalam madzab Syafi’i (dan empat madzab), hadiah pahala adalah sampai. Demikian yg saya tahu. Imam al Haddad (ttg hadiah bacaan surat al-ikhlas 11) pun seorang ulama syafiiyah.

    Saya meragukan terjemah kitab al Umm anda (maaf). Telah saya gambarkan alasannya dalam ilustrasi mesin honda di bengkel suzuki di komentar artikel yang lain. Lebih-lebih lagi mereka kaum wahabi (jika benar terjemah anda ada pengantar dari syaikh bin baz, salah seorang ulama wahabi) suka memutilasi kitab-kitab salaf. Apakah ada jaminan bahwa (terjemah) kitab itupun tak digunting tambal?

    Untuk lebih mantabnya, coba tanyakan ke Majelis Rasulullah mengenai hal ini tentang sampai tidaknya hadiah pahala di dalam madzab syafi’i (serta al Umm anda). Dapat anda sertakan terjemahan kitab al Umm anda ke sana. Hanya harus bersabar sedikit. Sekarang pakai quota. Atau … tanyakan ke seorang ulama syafiiyah di lingkungan anda.

    Semoga berkenan. Wallahu a’lam

    • Apa yang ana baca dalam al. um memang benar iamam syafie mengatakan baca alquran tidak sampai kpd mayat…..
      adapun mimpi…..mimpi tidak boleh dijadfikan hujah nak buat hukum yg tiada melainkan mimpi nabi….mimpi ulama hanya boleh meyokong apa yang memang dah ada dalilnya….adapun masalah tauhid dan ibadah khusus tidak boleh sama sekali digunakan kias masalah kias hanya bab perkara yang tak pernah berlaku pada zaman nabi atau sahabat…macam dadah mana ada dizaman nabi atau sahabat ,,ulama mengkiaskan dg arak…ada pun orang mati …d zaman nabi beratus2 orang yang mati dikalangan sahabat sendiri….jd apa yng nabi buat bila berlaku kematian itulah ibadat yg disuruh …..

  5. Assalamu’alaikum Mas
    Alhamdulillah atas jawabannya, cukup pas bagi saya. Yang kurang pas adalah Anda selalu suudhon dengan ulama Wahabi.Bagi saya mana yang baik kita ambil, mana yang gak baik kita tinggalkan tanpa harus memiliki sikap antipati pada ulama.
    Bagi saya subhat transfer pahala itu gak penting, karena pada akhirnya yang dihisaf pertamakali adalah solat.
    Para sahabat Rasulullah saw. aja selalu takut dan cemas kalau ibadahnya tidak diterima Allah, padahal Syurga sudah nyata menjadi haknya.Tapi manusia sekarang suka mengobral pahala untuk orang lain padahal pahala dirinya???
    Wallahu a’lam

    –> Jika anda mempelajari sejarah wahabi atau menyimak sepak terjang mereka, mungkin anda akan berpendirian seperti kami. Wallahu a’lam.

      • CARI aja di blognya ABU SALAFI klik. (bukan promosi).
        di BLOG yang ono , Islam Wahabi begitu diagungkan.

        salut dan saya juga setuju–ngarah rame… FIRQAH ISLAM beuki pabeulit nu mana nu ingkar, nu mana nu kufur, nu mana nu kafir, semua CLAIM paling murni dan paling lurus, puguh we lucu siga jalangkung.

        Begitu banyak Orang yang tidak tuntas baca TURAST,kemudian jadi USTADZ-ketika di tanya bacaan sujud sahwi..bingung..tapi kalo bacaan PELET……. wah ..ngolotok jiga rambutan, katalar diluar hulu….

  6. Sebuah tanya jawab di eramuslim. Menarik untuk disimak,

    Assalamualaikum, Wr. Wb.

    Ustadz Ahmad, Rohimakumullah.

    Baru-baru ini ana menghadiri taklim mingguan di madjid kita di perumahan. Setelah menyimak apa yang disampaikan oleh guru atau penceramah waktu itu, ada sedikit pertanyaan/permasalahan yang mengganjal dalam hati ana.

    1. Apa memang benar ada hadist Nabi, SAW yang melarang para ulama “ulama mazhab” untuk mengkiaskan suatu perkara dalam mentukan hukum syariah, sebagai mana disampaikan oleh seorang ustadz “A” dalam tasiahnya tersebut, Beliau mengutip hadist Nabi SAW, yang artinya kira-kira ” Janganlah kalian mengiaskan suatu perkara dalam Islam, karena kias itu hanyalah bangkai”, bagaimana ustadz??

    2. Beliau, ustadz tersebut juga melarang kita mengikuti ijtihad para ulama “termasuk ulama mazhab”, sepanjang masih kita temukan hadits shoheh dalam perkara tesebut. Dengan alasan para Imam mazhab selalu mengatakan “apabila ada hadits shoheh itulah mazhabku, tinggalkan pendapatku.”

    Ana jadi tambah bingung ustadz. Bukankah yang menyimpulkan suatu hadist itu shoheh atau dhoif adalah para ulama hadist yang merupakan hasil ijtihad mereka RA? Bagai menyikapinyaustadz?? Terimakasih.

    Wassalamualikum, Wr. Wb.

    S.harist
    Jawaban

    Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    Menarik sekali persoalan yang anda angkat ini dan memang sepanjang sejarah seolah telah menjadi bahan polemik berkepanjangan, antara ‘kubu’ ahli hadits dan ‘kubu’ ahli fiqih.

    Padahal sebenarnya kalau kita dudukkan secara seksama permasalahannya, tidak ada yang perlu diributkan.

    Metodologi Qiyas

    Qiyas adalah satu di antara empat sumber pengambilan hukum Islam yang telah disepakati oleh seluruh lapisan ulama sepanjang zaman. Dan qiyas ini juga diakui dan digunakan oleh para tokoh muhadditsin yang besar.

    Tidak ada satu pun ulama fiqih atau pun ulama hadits yang menentang kedudukan qiyas dalam agama, kecuali orang-orang zindiq atau musuh-musuh Islam. Atau kemungkinan besar yang terjadi hanyalah sekedar kesalahan dalam memahami istilah qiyas.

    Salah satu bukti bahwa qiyas telah digunakan dengan damai oleh seluruh lapisan umat adalah ketika kita mengeluarkan zakat fithr dengan beras atau uang. Dalam kasus itu, jelas sekali kita pakai qiyas.

    Sebab tidak ada satu pun nash baik Quran maupun sunnah dari Rasulullah SAW bahwa beliau dahulu mengeluarkan zakat dengan beras atau uang. Dalam hal ini, diakui atau tidak, sebenarnya qiyas sudah kita pakai dan kita dijalankan tanpa kita sadari. Dan diakui oleh semua kalangan ulama manapun.

    Dan kalau tidak digunakan qiyas, maka bangsa Indonesia terpaksa mengeluarkan zakat fithr dengan kurma atau gandum. Dan rasanya kami belum pernah melihat ada yang melakukannya di negeri kita. Lagian, siapa yang mau makan siang hanya kurma doang?

    Hakikat Qiyas

    Qiyas terjadi karena adanya kesamaan ‘illat dalam dua kasus. Ada al-ashlu (pokok) yang sudah punya hukum karena ada nashnya, dan ada al-far’u (cabang) yang belum punya hukum karena tidak ada nashnya.Lalusetelah diteliti dengan seksama, didapat bahwa antara keduanya ada ‘illat yang sama. Maka hukumnya perkara far’u pun diqiyaskan dengan hukum al-ashl. Dalam hal zakat fithr ini ‘illat-nya adalah quth yaitu makanan pokok.

    Ganja tidak pernah diharamkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Yang disebutkan keharamnnya hanyalah khamar. Dan secara pisik, khamar dikenal sebagai minuman perasan buah anggur yang telah mengalami fermentasi tertentu. Sedangkan ganja bukan minuman, ganja adalah daun tanaman ganja yang dikeringkan dan dihisap asapnya.

    Tapi kita semua sepakat mengharamkan ganja, karena punya ‘illat yang sama dengan khamar, yaitu al-iskar (memabukkan). Pada hakikatnya kita sebenarnya bukan sekedar menerima konsep qiyas, bahkan sudah mempraktekkannya.

    Sebaliknyakalau kita tidak pakai qiyas, ganja tidak haram untuk digunakan. Sebab tidak ada satu pun nash baik di Quran maupun di Sunnah yang menyebutkan keharaman daun ganja.

    Maksud Larangan Menggunakan Qiyas

    Sebenarnya ketika ada larangan untuk menggunakan qiyas, yang dimaksud bukanlah qiyas yang dikenal dalam ilmu ushul fiqih. Tetapi maksudnya penggunaan akal atau logika padahal secara tegas dan jelas-jelas telah bertentangan dari nash Quran atau Sunnah, tanpa bisa ditafsiri lagi. Itulah maksud dari larangan, “Janganlah kalian mengiyaskan agama.”

    Contoh sederhananya, ketika Allah SWT melarang kita makan babi, maka jadikanlah larangan dari Allah itu sebagai sebab dari kita tidak memakannya. Dan jangan mendahulukan logika dan menjadikan nash hanya sebagai isyarat keharaman. Misalnya, kita mengubah dasar pelarangan dari nash menjadi logika, lalu kita bilang bahwa haramnya babi karena binatang itu jorok, kotor dan mengandung cacing pita.

    Padahal ketika diharamkan, tidak ada keterangan sedikit pun bahwa penyebab haramnya semata-mata karena babi itu hewan yang jorok, kotor dan mengandung cacing pita.

    Dan cara itu justru akan jadi titik masalah sendiri, sebab sangat dimungkinkan ke depan orang bisa melakukan rekayasa genetika hewan babi dan menghasilkan varitasbabi yanghigienis, bulunya putih bersih, keringatnya wangi, tinggalnya di dalam rumah bukan dikandang, tiap hari creambath, pedikure, dan ditangani oleh para dokter ahli. Intinya, sama sekali jauh dari sifat kotor dan jorok. Bahkan teknologi pangan telah berhasil mematikan cacing pita, virus dan segala jenis penyakit di dalam daging babi, maka apakah saat itu babi menjadi halal dimakan?

    Jawabnya tetap tidak halal, karena nash Quran telah tegas menyebutkan bahwa babi itu haram dimakan. Haramnya bukan karena apa-apa, tetapi karena ‘kebabian’-nya itu sendiri. Semata-mata karena nash Quran dan Sunnah yang mengharamkan, bukan sekedar akal manusia.

    2. Tidak Mengikuti Ulama Mazhab dan Ikuti Hadits Shahih

    Ungkapan seperti ini ada sisi benarnya tapi juga ada sisi tidak benarnya. Sisi benarnya, kita memang harus mendahulukan hadits shahih dari pada perkataan manusia. Itu jelas dan tegas sekali, seterang matahari di siang bolong yang cerah.

    Tapi pernyataan itu akan jadi tidak benar kalau kemudian dipahami bahwa ulama mazhab itu tidak menggunakan hadits shahih. Ini adalah sebuah tuhmah (tuduhan) yang teramat keji kepada para ulama. Seolah-olah ulama mazhab itu goblok, bodoh dan tolol karena tidak paham membedakan mana hadits shahih dan dhaif.

    Rupanya di zaman sekarang ini ada oknum-oknum yang ingin menjatuhkan citra para ulama fiqih. Dan kemudian dikesankan kalau ulama fiqih itu tidak paham hadits, atau malah dituduh sebagai orang yang kerjanya memakai hadits yang dhaif.

    Semua Ulama Mazhab Mendahulukan Hadits Shahih

    Semua ulama mazhab sudah pasti mendahulukan hadits shahih. Bahkan para pendiri dan ulama seniornya banyak yangberkapasitas sebagai muhaddits. Tidak ada rumusnya kalau ada ulama, apalagi mujtahid mutlak semacam Imam Asy-Syafi’i misalnya, kok dibilang tidak mengerti hadits atau tidak mau menggunakan hadits shahih.

    Sementara jarak waktu yang memisahkan antara beliau dengan Rasulullah SAW hanya terpaut 140 tahun saja. Sementara era keemasan para muhadditsin seperti Al-Bukhari dan lainnya, baru dimulai 200 tahun sepeniggal Rasulullah SAW. Jadi era para imam mazhab yang empat itu lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada era para muhaddits besar.

    Secara nalar yang sederhana, kemungkinan keselamatan periwayatan akan lebih baik kalau sanadnya tidak terlalu panjang.

    Keshahihan Hadits: Khilafiyah

    Kalau di dalam ilmu fiqih kita mengenal istilah khilafiyah, maka di dalam ilmu kritik hadits kita juga mengenal kejadian yang sama. Ternyata para muhaddits itu pun tidak luput dari perbedaan pendapat.

    Makajangan dikira keshahihan suatu hadits adalah kebenaran yang mutlak dan satu. Tiap hadits yang dibilang shahih itu sebenarnya masih bersifat tentatif dan subjektif. Shahih menurut siapa dan dha’if menurut siapa?

    Kita ambil contoh sederhana, sebuah hadits yang dibilang shahih oleh seorang muhaddits, belum tentu dishahihkan oleh muhaddits lainnya. Belum tentu ketika Al-Bukhari menshahihkanhadits, lalu hadits itu dishahihkan juga oleh At-Tirmizy. Dan hal yang sama berlaku juga sebaliknya.

    Dan yang lebih ajaib, ada tokoh yang sering mengeluarkan statemen tentang keshahihan atau kedhaifan suatu hadits, terkadang dia mengoreksi lagi pernyataannya. Bahkan bukan mengoreksi tapi memang keluar dari kekurang-telitiannya dalam mengeluarkan statemen.

    Salah satu yang bisa kita sebut misalnya Syeikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Beliau banyak berjasa dalam meneliti hadits, sehingga kitab hadits yang enam itu beliau pilah lagi berdasarkan mana yang shahih dan mana yang tidak shahih. Sehingga jumlah jilidnya menjadi lebih tebal dan banyak, tentu saja harganya lebih mahal.

    Namun setelah diteliti, ternyata ada banyak juga muncul ketidak-konsistenan seorang Al-Albani. Di satu kitab, beliau menshahihkan suatu hadits, tapi hadits yang sama di kitab lainnya dibilangnya dhaif. Lalu mana yang benar? Wallahu a’lam. Hanya beliau dan Allah SWT saja yang tahu.

    Intinya, keshahihan suatu hadits sebenarnya juga masalah khilafiyah juga. Ketika ada seorang tokoh mengatakan bahwa suatu haditsi itu shahih, maka keshahihan hadits itu harus dipahami terbatas pada ijtihad dan pendapatnya. Belum tentu muhaddits lain mengatakannya shahih. Dan hal yang sama berlaku pula ke balikannya.

    Karena itulah ketika Al-Imam Asy-Syafi’i tetap mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh itu sunnah muakkadah, kita tidak bisa menuduh bahwa beliau sebagai ahli bid’ah, lantaran kita menganggap tidak ada hadits yang shahih tentang qunut shubuh.

    Meski para ulama lainnya banyak yang mendhaifkan hadits tentang qunut shalat shubuh, namun As-Syafi’i punya alasan tersendiri mengapabeliau bersikeras mengatakan bahwa hadits itu shahih. Dan beberapa ratus tahun kemudian, hadits itu dishahihkan oleh Imam Al-Baihaqi, muhaddits besar di era tahun 300-a hijriyah. Beliau lahir tahun 384 hijriyah.

    Kesimpulan

    Mazhab dan para ulamanya tidak bisa dijadikan tandingan hadits shahih, tetapi sebaliknya, semua mazhab dan ulamanya adalah para pembela hadits shahih. Salah besar kalau kita punya paradigma keliru seperti itu. Kalau ternyata pendapat ulama mazhab berbeda, harus diketahui bahwa pendapat para ulama hadits dalam menshahihkan hadits pun berbeda juga.

    Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    Ahmad Sarwat, Lc

    • @ yth Ahmad Sarwat,Lc.– Mas tolong jelaskan KHILAFIYAH itu apa…

      Apa mungkin untuk menentukan Hadis Dha’if / Hadis Shahih itu harus pakai Ijtihad.

      Sepuluh Muhadisun mengatakan-hadis ini mulus tanpa cacat dan dapat dimasukan kedalam Hadis Shahih.. kemudian dua orang mengatakan, Dha’if./ dua orang mengatakan..Hasan.bagaimana nasib hadis tersebut.

      Lalu bagaimana dengan istilah -SANAD dan ISNAD.

      Lalu bagaimana dengan-JARH wa TA’DIL (penilaian kredibilitas para perawi dan peng implementasian nya).

      kasus ke 1 – alBani berkata-bahwa Shalat Tarawih lebih dari “sebelas” hukumnya haram.dan sampai sekarang dimasjidil haram dikerjakan 23 raka’at- dan pernah dikerjakan sampai 33 raka’at (pakai kunut Nazilah),ketika pada awal kehancuran Taliban di Afghan.(kalau haram Berapa Milyar Orang Muslim yang nyemplung ke Neraka dan pasti abadi,karena dengan sengaja merubah Shalat).

      kasus ke 2 – alBani berkata-bahwa EMAS yang melingkar pada tubuh (perhiasan EMAS yang dipakai) perempuan.adalah Haram (dalam Hadis Rasulullah SAW, mengijinkan untuk perempuan/melarang untuk lelaki).

      Kasus ke 3 – Bin BAZ berkata bahwa KAWIN MUT’AH itu HALAL.sedangkan Rasulullah SAW..bahkan Al-Qur’an mengharamkannya.

      Kalau misal memang ke Shahih an Hadis itu dari hasil Ijtihad,berarti seluruh Hadis Sufi itu…Shahih dan dapat diamalkan.–berarti Jamaah Tabligh itu tidak sesat/Mu’tazilah itu aliran yang halal/Hizbut Tahrir itu Halal.tidak sesat dan menyesatkan.

      Tolong ya Mas…jangan sampai muncul istilah -Umat Islam jumud, karena para Ulamanya sudah pintar jadi Mujtahid semua…….

      wassalam.

      –> maaf .. saya bukan ustadz sarwat Lc., mohon disampaikan langsung ke website-nya saja.

  7. memang sebenarnya sikap yang berlebihan adalah sikap orang-orang yang mengatasnamakan ormas NU, dulu Muhammadiyah musuhnya, sekarang muncul gerakan dakwah salafy yang banyak mengerogoti warga NU sehingga murtad dari NU, kalo memang memiliki hujjah yang tepat dan dapat diterima akal sehat tentunya salafy/wahabi tidak laku. Tetapi kenyataannya ?
    Kaum wahabi tidak memandang siapapun dan golongan manapun, mereka berdakwah dengan dalil, berbicara dengan dalil, melarang dengan dalil, memerintah juga dengan dalil. Sehingga wajar jika gerakan wahabi/salafy semakin besar dan banyak diterima oleh kaum terpelajar yang tidak hobby taklid tanpa dalil. Yang tidak bisa menerima dakwah salafy/wahabi karena memang sudah terlanjur termakan fitnah dari zaman ibnu taimiyah sehingga menutup diri dari apapun yang berbau wahabi/salafy.
    Tapi bagi kebanyakan yang sedang mencari kebenaran hakiki hujjah yang dibawa kaum wahabi/salafy sangat bisa diterima akal sehat.
    Sebagian besar orang yang menjadi pengikut wahabi/salafy berlatar belakang NU karena NU memang ormas ternesar khususnya di Jawa.
    Kok Wahabi/salafy laris walau dihadang dengan cara apapun ?

    –> Tulisan awal berusaha menunjukkan bahwa ada metode yang dikembangkan para ulama (khususnya dalam madzab syafi’i) ketika ada kasus di zaman ini yang tak tercounter di dalam dua sumber hukum utama (Q n H).

    Komentar anda sebenarnya menyimpang. Ok-lah .. Benar bahwa wahabi/salafi tidak memandang golongan siapapun. Namun saya kira mereka dakwah berhasil lebih karena adanya sponsor dana yang kuat dari negara-negara arab (Saudi dll). Berbagai hujjah kaum wahabi ada yg tak dapat diterima akal sehat. Contoh, Fatwa matahari mengelilingi bumi adalah kasus konyol. Berbagai kitab para ulama salafus salih pun dimanipulasi/ diedit disesuaikan pemahaman mereka. Sayang sekali…

    Wallahu a’lam.

    • Secara jujur saya mengatakan dari hasil RISET dan RESET , Barang siapa ada yang mengatakan bahwa ISLAM WAHABI ITU SESAT, maka ia akan menanggung DOSA nya sendiri,–barang siapa yang mengatakan dengan penuh kejujuran bahwa penyebar ISLAM WAHABI itu dari kelompok yang SAKIT JIWANYA, maka dia telah mengatakan kebenaran. yang mboten-boten aja..wassalam.

  8. Abusulaisy…. wahhabi/salafy menggunakan dalil setengah setengah alias tidak konsesten…. mereka berpegang pada dhahir dalil, tapi tidak mau mengambil pemahaman dibalik dalil,, bukankah pada setiap dalil… pasti bisa dilihat dari mdua sisi, pertama dalalah an nash… dan kedua isyarah an nash.
    pada tahap kedua inilah mereka tidak paham, sehingga cenderung menolak semua yang tidak sesuai dengan dalalah an nash….

  9. Aku pernah mendengar suatu hadist ( kurang lebihnya ) seperti ini : ” suatu ketika para sahabat Rasulullah SAW bertanya kepada beliau : ” Wahai Rasul, bagaimana jika nanti pada suatu masa terdapat sesuatu hal / perkara yang tidak terdapat pada jaman sekarang ini ?”. Rasul bertanya : ” kalau menurutmu, bagaimana wahai sahabatku?”. Sahabat menjawab : “Ijma’ ya Rasul “. Rasul berkata : “Benar wahai sahabatku “….

    yang aku tanyakan…tentang keshahihan hadist tersebut?

    sebenarnya ada atau tidak hadist di atas?

    terima kasih.

    –> Tanyakanlah ke yang lebih ahli. Kalau yang saya ketahui adalah hadits muadz berikut,

    Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, maka beliau bersabda:
    “Bagaimana engkau menghukum?.” Muadz berkata: “Aku akan menghukumi dengan apa yang ada di dalam Kitabullah.” Beliau bersabda: “Maka jika tidak ada dalam Kitabullah?.” Muadz menjawab: “Maka dengan sunnah Rasulullah SAW.” Beliau berkata lagi: “Maka jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?.” Mu’adz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan fikiranku.” Rasulullah SAW bersabda: “Segala puji bagi Allah yang tela hmemberi taufiq pesuruh Rasulullah SAW.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Darami)

    Dari sini, ijma’ dan qiyas adalah hasil pemikiran yang dikembangkan para ulama (dalam hal ini syafi’i, dan ulama madzab yang lain) untuk menghukumi sesuatu ketika tidak ada di al Qur’an dan hadits2 baginda Nabi saw.

  10. Pingback: SUMBER HUKUM ISLAM « إنما الإعمال بالنيـــــــّة

  11. Sebetulnya KOPI – PASTA pada blog siapapun tidak ada aturan yang jelas boleh apa tidak, jadi tidak perlu minta ijin …selama tidak diselewengkan / dirubah isi dari aslinya

    –> maaf.. memang tidak ada aturan, tapi ada etika. Etika dalam kopi paste atau mengutip .. setahu saya adalah mencantumkan sumbernya.

  12. setahu saya yang mengingkari Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam hanya ada dua orang Ulama yang pertama adalah Imam Daud Adzohiri dan muridnya Imam Ibnu Hazm, meskipun kemudian Imam daud sendiri terpaksa menggunakan Qiyas dalam menentukan hukum sebuah masalah , namun beliau mnyebutnya dalil.

    adapun Hadist atau Atsar yang mencela Qiyas atau analogi , semuanya itu tertuju kepada Qiyas atau analogi yang Fasid. silahkan baca UshulFiqh karya DR. Wahbah Zuhaili jilid satu.

    –> judul bukunya apa mas?

  13. kita hanya mampu untk memperdebatkan yg jlas tidak mampu menghadirkan solusi.tapi satu yang penting di catat,bahwa perbadaan di antara kita adalah suatu rahmat.trims

  14. kita hanya mampu untk memperdebatkan yg jlas tidak mampu menghadirkan solusi.tapi satu yang penting di catat,bahwa perbadaan di antara kita adalah suatu rahmat.kta slalu di bumbuhi dan di hantui oleh berbgai sumber yg tak jelas,namun sdar atau tidak,kta slalu memprthankan stu sumber dan langsung mengklaim bahwa to adalah benar.namun yg menjadi pertxaan.apakah cukup untk mengetahui hukum yang pasti hax ckup untk satu sumber,,,?msih banyak pertimbngn shabt2 untk mengklaim bhwa sesuatu itu,apakah psti tw bkan

  15. majukan peradaban islam, di indonesia sehingga moralitas anak bangsa tidak anjlok
    jadikan alquran dan hadist sumber pegangan kita bersama……islam..goooooo…allah haukbarrrr

  16. Aq jadi pengen tau islam yang sejati kaya apa sih.?
    tp aku yakin selama kita berada dalam lingkup amar ma’ruf nahi mungkar itulah islam yang hakiki terutama amar ma’ruf nahi mungkar dalam diri kita,perbedaan pendapat pada islam hanya akan memecah belah islam saja,karna bukan hati yang di gunakan tapi EGO.karena masing” ingin menang dan menjadi nomer satu.

  17. ingat bahwa perbedaan itu bukan perpecahan, inilah yang dimaksud dlm hadis nabi bahwa “perbedaan di ummatku adalah rahmat”. jika tidak ada perbedaan justru hidup akan kaku dan tak akan pernah berkembang. tetai setiap gerak kita juga harus mengakui kelebihan dan kekurangan pada masing-masing pendapat karena tidak akan dianggap pendapat apabila maksud dari ungkapannya itu sama

  18. ass. ustadz. ijma dan qiyas termasuk sumber hukum ya.. padahal pengertian sumber itu adalah segala sesuatu yang diambil atau digali darinya. sementara ijma’ dan qiyas kayaknya ga semua hal diambil atau digali darinya, justru ijma dan qiyas dipakai atau digunakan untuk menggali hukum Islam dari sumbernya. dan yang tepat disebut sebagai sumber menurut hemat saya adalah Alquran dan hadis saja, sementara yang lainnya disebut sebagai metode. Memang para pakar ushul fikih dahulu memperkenalkan istilah mashadirul ahkam al-muttafaq dan al-mukhtalaf, tetapi melalui penelitian para pakar ushul fikih komtemporer di antaranya seperti pada karya prof. Amir Syarifuddin dan nasrun Haroen bahwa ijma, qiyas, istihsan, dan selanjutnya disebut sebagai al-manahij atau thuruq al-istinbath. Syukran ustadz, sekali-kali berkunjunglah ke blog ana, di sana ada tulisan yang berjudul Alquran dan Hadis sebagai Sumber Hukum Islam. Terima kasih

  19. asalamu’alaikum…
    apakah ijma’ bisa dikatakan/ disamakan dengan ijtihad? dan jikalau berbeda dimana letak perbedaan nya?
    syukran katsiran :)

    –> wa’alaikum salam wrwb. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama. Sedangkan ijtihad adalah keputusan seseorang (sendirian). Jika ulama-ulama yg banyak mempunyai ijtihad yang sama, jadilah ijma’.

    Ijma’ adalah sandaran hukum, merupakan salah satu sumber hukum di dalam islam ketika tidak ditemukan landasan dalil di dalam Q & H (menurut madzab syafi’i, yang saya tahu). Sedangkan ijtihad, saudara boleh mengikuti atau boleh juga tidak. Ijtihad bukan sandaran hukum yg wajib diikuti.

  20. Aslm.. ww
    AlhamduliLLAH…
    afwan, ana copy risalah ini, untuk ana ambil manfaatnya.. semoga Allah SWT jadikan manfaat untuk umat seluruh alam.
    jazakumuLLOH khoiron

  21. Hidup itu harus dengan syariat…..tetapi syariat tak akan bermakna jika kebanyakan orang yang memegang syariatnya sendiri tidak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari…….

Leave a comment