Majelis Rasulullah tentang Tahlilan dan Yasinan

Jawaban habib munzir, di http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=8&id=5676&lang=en#5676

KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA – 2007/07/18 20:23
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA SYAFIE

Assalammu’alaikum wr.wb.

Habib tolong beri penjelasan mengenai hal ini, karena ini dalil dari orang salafi untuk berhujjah. semoga keberkahan Ilmu dapat meninggikan derat Habib di akhirat.

Mungkin ramai dari kalangan pengikut mazhab Syafie tidak menyedari bahawa bertahlil dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca al-Quran, berzikir, berdoa dan mengadakan hidangan makanan di rumah si Mati atau keluarga si Mati bukan sahaja Imam Syafie yang menghukum haram dan bid’ah, malah ramai para ulama mazhab Syafie turut berpendirian seperti Imam Syafie. Adapun antara meraka yang mengharamkan kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Ibn Kathir, Imam ar-Ramli dan ramai lagi para ulama muktabar dari kalangan yang bermazhab Syafie, sebagaimana beberapa fatwa tentang pengharaman tersebut dari mereka dan Imam Syafie rahimahullah:


وَاَكْرَهُ الْمَاْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ.
“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) makan, iaitu berkumpul di rumah (si Mati) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan)”.[1]
Mengadakan majlis kenduri iaitu dengan berkumpul beramai-ramai terutamanya untuk berzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara di rumah si Mati atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum bid’ah yang mungkar oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafie yang selanjutnya:
وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ.
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di rumah (si Mati) tersebut maka itu adalah bid’ah bukan sunnah”.2 [1]
Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2 hlm. 146 ada disebut pengharaman kenduri arwah, iaitu:
وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ اَهْلَ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوْ النَّاسَ اِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ قَالَ : عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ لاَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمْ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ. (رواه الامام احمد وابن ماجه باسناد صحيح).
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang menjemput orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si Mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si Mati kerana terdapat hadis sahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si Mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan”.3 [1] (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn majah dengan sanad yang sahih).
Fatwa Imam Syafie dan para ulama muktabar yang bermazhab Syafie telah mengharamkan berkumpul beramai-ramai dan menyediakan hidangan makanan di rumah si Mati untuk tujuan kenduri arwah, tahlilan, yasinan dan menghadiahkan (mengirim) pahala bacaan al-Quran kepada arwah si Mati Mereka berdalilkan al-Quran, hadis dan athar-athar para sahabat yang sahih sebagaimana yang dikemukakan oleh mereka melalui tulisan-tulisan di kitab-kitab mereka. Mereka tidak mungkin mengharamkan atau menghalalkan sesuatu mengikut akal fikiran, pendapat atau hawa nafsu mereka semata, pastinya cara mereka mengharamkan semua itu dengan berdalilkan kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar dari para ulama yang bermanhaj Salaf as-Soleh.

_____________________________ __________

[1]. Lihat: Al-Umm. Juz 1. Hlm. 248.
[2]. Lihat: مغنى المحتاج. Juz 1. Hlm. 268.

munzir

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda,

Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,

عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).

وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء

Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)

Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.

Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :

حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).

Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?

Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.

2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.

Entahlah para wahabi itu bodoh dalam bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu bodoh atas syariah dan menyelewengkan makna.

3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman orang orang wahabi yg membuat kebenaran diselewengkan.

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.

5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).

dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya.

Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah memberatkan mayyit, namun masa kini bila anda hadir jenazah lalu mereka hidangkan makanan dan anda katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yg wafat,

lihat Akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makan makan di rumah duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya,
kenapa?, tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu bila akan menghibur mereka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.

Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.

Sekali lagi saya jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika menyusahkan dan memberatkan mayyit, maka memberatkan dan menyusahkan mereka itulah yg makruh,

dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesedihan si mayyit, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.

Selama hal ini ada riwayat Rasul saw memakannya dan mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa mengharamkannya karena bertentangan dg sunnah Nabi saw, karena hal itu diperbuat oleh Rasul saw, namun kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga duka, bila memberatkannya maka makruh, dan jangan sok berfatwa bahwa hal itu haram.

Akhir dari jawaban saya adalah : semestinya orang yg berhati suci dan menginginkan kebangkitan sunnah, mereka mengajak untuk bersedekah pada keluarga duka bila ada yg wafat di wilayahnya, namun sebagian dari kita ini bukan menghibur mereka yg kematian, malah mengangkat suara dg fatwa caci maki kepada muslimin yg ditimpa duka agar jangan memberi makan apa apa untuk tamunya, mereka sudah sedih dengan kematian maka ditambah harus bermuka tembok pula pada tamu tamunya tanpa menyuguhkan apapun, lalu fatwa makruh mereka rubah menjadi haram, jelas bertentangan dengan ucapan mereka sendiri yg berhujjah bahwa agama ini mudah, dan jangan dipersulit.

Inilah dangkalnya pemahaman sebagian saudara saudara kita, mereka ribut mengharamkan hal hal yg makruh dan melupakan hal hal yg haram, yaitu menyakiti hati orang yg ditimpa duka.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, maaf saya menjawab pertanyaan ini bukan diarahkan pada anda, namun pada mereka,

mengenai ucapan Imam Nawawi itu makruh, mereka merubahnya menjadi haram, entah karena bodohnya atau karena liciknya, atau karena kedua duanya,

demikian saudaraku yg kumuliakan,

wallahu a’lam

Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 02:19
Assalammu’alaikum wr.wb.

Semoga keberkahan ilmu menjadikan Habib Munzir di tinggikan derajatnya di surga,Amin.
Habib , saya ini di istilahkan sebagai anak kecil yang polos selalu merengek-rengek ketika meminta bantuan. daripada itu apa yang di utarakan oleh Habib di atas ternyata sahabat saya dari Salafi telah membantahnya, saya nukil dengan berupa tanya jawab.

Habib : Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :

حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).

Abu Al-Jauzaa: Mari kita lihat riwayat yang ada di Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut ada di nomor 3332 :

حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا بن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعميه الأسارى
Perhatikan kata berwarna merah yang ana garis bawahi. Nukilan dari Tuhfatul-Ahwadzi tersebut tidak tepat sehingga berubah dari makna yang diinginkan. Dalam Nukilan Pak Habib ditulis dengan imra-atihi yang berarti : istrinya/perempuan dari kalangan keluarga si mayit; sedangkan lafadh asli dalam Sunan Abi Dawud tertulis imra-ah yang berarti perempuan secara umum. Perubahan makna tentu sangat signifikan. Ketika kita menggunakan nukilan lafadh Pak Habib, tentu seakan-akan kita diperbolehkan atau bahkan disyari’atkan untuk makan dan/atau menyediakan makan ketika ada orang meninggal dari keluarga mayit. Padahal, bila kita tengok lafadh asli di Sunan Abi Dawud, sama sekali tidak menunjukkan itu. Arti hadits dalam Sunan Abu Dawud tersebut adalah (ana gunakan terjemahan Pak Habib dengan perubahan terjemahan di kata imra-ah saja) : “Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang perempuan, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan” [selesai].

Nah, di dalam hadits di atas sama sekali tidak ada isyarat keluarga si mayit yang mengundang makan. Perhatikan itu !! Dan ingat pula, jikalau ada perbedaan penukilan, maka kita kembalikan kepada sumbernya. Dan sumbernya di sini adalah Sunan Abu Dawud. lafadhnya adalah sebagaimana ana bawakan.

Pernyataan Pak Habib itu jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang justru lebih sharih daripada riwayat yang dibawakan Pak Habib yang menyatakan tidak diperbolehkannya makan makanan di keluarga si mayit.

Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة

“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.

Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).

Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم

“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت

“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67)

Tolong riwayat-riwayat sampaikan pada Pak Habib. Barangkali beliau melewatkannya. Atau malah belum pernah membacanya ?

Habib : Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahabbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahabbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.

Abu Al-Jauzaa: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan Ghairu mustahabbah hawuwa bid’ah bisa dimaknakan kepada mubah ? Aneh. Sepertinya Pak Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadh aslinya :

وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.

“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).

Habib : 2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.

Abu Al-Jauzaa :Sama juga dengan di atas. Ana sampai heran plus geleng-geleng kepala sama pengalihan makna Pak Habib ini. Perkataan bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) bisa diartikan makruh biasa yang malah beliau bawa pada makna mubah. Coba cermati perkataan Pak Habib di atas !! Perkataan [وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه ] sama sekali tidak khusus pada makna yang Pak Habib maui : membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah. Padahal artinya secara jelas adalah “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat”. Tidak ada pengkhususan “harus banyak” dan “meramaikan rumah”. Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkankan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya Makna Tahrim (bermakna Haram).

Dan seterusnya tidak perlu ana teruskan. Pak Habib ini justru yang gak ilmiah. Gaak ilmiah sama sekali……….. Dan tolong sampaikan kepada Pak Habib, bahwa kata makruh dalam syari’at itu dapat bermakna Haram. Tolong dibuka mushhafnya. Dalam QS. Al-Israa’ banyak menggunakan kata maruh yang bermakna haram.

Banyak sebenarnya kerancuan pendalilan Pak Habib ini yang perlu ditanggapi. Itung2 hemat energi.

——–

Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 18:16
Habib dibawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya. tetapi sama bermanhaj-kan Salaf.

KENDURI ARWAH
Majlis kenduri arwah lebih dikenal dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. Kebiasaannya diadakan pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahwa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini.

Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 146, tercatat pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:
وَيَكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِى الْيَوْمِ اْلاَوَّلِ وَالثَّالِث وَبَعْدَ اْلاُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ اِلَى الْقُبُوْر

ِ
“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.
Imam Syafie dan jumhur ulama-ulama besar (ائمة العلماء الشافعية) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahwa yang seharusnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran/tentangga , kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati) sebagaimana fatwa Imam Syafie:
وَاُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِهِ اَنْ يَعْمَلُوْا لاَهْلِ الْمَيِّتِ فِىْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَا يُشْبِعُهُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.“Aku suka kalau tetangga si

Mati atau kerabat si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”.
Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ . (حسنه الترمزى وصححه الحاكم)

“Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyibukkan (kesusahan)”.
Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.
Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar Tentunya tidak dipertentangkan bahwa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan juga di dalam kitab (اعانة الطالبين) jld. 2. hlm. 146:
وَقَالَ اَيْضًأ : وَيَكْرَهُ الضِّيَافَةُ مِنَ الطَّعَامِ مِنْ اَهْلِ الْمَيِّتِ لاَنَّهُ شَرَعَ فِى السُّرُوْرِ وَهِيَ بِدْعَةٌ

“Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.
Seterusnya di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2. hlm. 146 – 147, Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:
وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِيْنَ بَلْ كَلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramai-ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie. Oleh itu, mereka yang mengaku bermazhab Syafie seharusnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini mematuhi wasiat imam yang agung ini.
Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 145-146, Mufti yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ اِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَاِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الشَّرِّ ، فَاِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .

“Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan terbiasa (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”.
Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul .(خول) Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”. Lihat: اعانة الطالبين juz 2 hlm. 145.
Di dalam kitab fikh (حاشية القليوبي) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab قليوبى – عميرة) -(حاشيتان juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:
قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التَّركَةِ ، اَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.
“Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” yaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuk (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.
Di dalam kitab (الفقه على المذاهب الاربعة) jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa:
وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يَفْعَلُ الآن مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ اَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِتَّعْزِيَةِ . “Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, yaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”.
Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si Mati. Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi’ (مبتدع) “pembuat atau aktivis bid’ah” sehingga amalan ini tidak dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan larangana dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.
Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka sesui dengan hwa nafsunya (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berdalilkan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa-Ta’ala telah memberi ancaman yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang banyak yang tidak ada dalil atau perintahnya dari syara sebagaimana firmanNya:
وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.
Al-An’am, 6:116.
Begitu juga sesuatu amalan yang diangap ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah”.
Al-Jasiyah, 45:18-19.
Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dhonn mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar yang sahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafie rahimahullah. Memandangkan polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan maka ia perlu ditangani dan diselesaikan secara syarii (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh yang muktabar. Dalam membincangkan isu ini pula, maka ana tumpukan kepada kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahwa amalan kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh Imam Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab Syafie.
Insya-Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan saja dapat menjawab pertanyaan bagi mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini, termasuklah mereka yang masih salah anggap tentang hukum sebenar kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.

munzir

Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 23:04
telah dijelaskan didalam Tuhfatul Ahmawdziy, bahwa dalam Al Misykaat disebutkan dhamir dengan dhamir dhiafah, maka dalam hal ini shohibul Misykaah mempunyai hujjah pula dalam riwayatnya, tidak bisa kita menafikan hadits begitu saja dengan mengambil satu riwayat dan menghapus yg lainnya.

Ijtima; ila ahlilamyyit

وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة

Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
(Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116)

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية

Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)

(MAKRUH.. BUKAN HARAM)

Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه

Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yg hadir mayyit mereka ada yg berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat yg jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu
(Almughniy Juz 2 hal 215)

(DISINI HUKUMNYA BERUBAH MENJADI MUBAH KARENA ADA HAJAT, BUKAN JAMUAN UNTUK MENGUNDANG ORANG BANYAK)

nah.. inilah kebodohan para wahabi, bagaimana ucapan “Ghairu Mustahibbah dan adalah Bid’ah” bisa dirubah jadi haram?, sedangkan makna Mustahibbah adalah disukai untuk dilakukan dan disejajarkan dg makna sunnah secara istilahi, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan),

didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).

Nah.. imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,

Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,

Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut Imam Nawawi terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk syarh nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 164-165),

maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid;ah dalam ta;rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi,

bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yg Mubah dan yg makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid;ah yg mubah atau yg makruh,

kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yg haram).

Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.

Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah yg tercela yg makruh), karena Bid;ah tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yg padanya terdapat hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan atau istana istana dan burung burung misalnya, ini adalah Bid’ah munkarah yg makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun Bid;ah munkarah yg makruh, tidak haram,

Hukum darimana makruh dibilang haram, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan),

Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.

Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya,

Bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.

Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh, walaupun ada yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.

2. membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah, tidak terkecuali ada kematian atau kelahiran atau apapun,

3. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322)

4. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian adalah hal yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar the pahit, atau kopi sederhana.

5. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.

6. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg mengharamkannya, bahkan sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibn Majah dijelaskan hal itu pernah dilakukan oleh Rasul saw,

———-

munzir

Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT – 2007/07/19 23:32
mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin itu wahai saudaraku, yg diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan oleh tulisan anda sendiri dari ucapan itu karena hal itu “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan, bukan untuk kematian,

nah.. adat orang jahiliyah masa lalu mereka menjamu tamu tamu dg jamuan besar bila ada yg mati diantara mereka, ada yg menyembelih kerbau, ada yg menyembelih kambing, ada yg menyembelih kerbau diatas kuburan si mayyit.

hal semacam itu yg diharamkan oleh Imam Syafii, dan Imam Syafii mengatakan makruh apabila keluarga duka membuat hidangan2, (bukan haram),
yg diharamkan oleh Imam Syafii adalah menyembelih kerbau dan perayaan setelah kematian hingga 40 hari.

sebagaimana dijelaskan didalam Almughniy dalam penjelasan saya yg terdahulu, bila ia menyiapkan makanan untuk tam yg datang dari jauh, maka hal itu tentunya diperbolehkan,

kesimpulannya, selama hal itu berupa suguhan suguhan ala kadarnya, sekedar kopi dan teh, maka hal itu mubah, dan bila menjadi jamuan makan maka hukumnya makruh, bila dibikin pesta maka hukumnya haram.

namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.

wahabi ini barangkali pelit saja, saya lebih suka orang yg kematian itu bersedekah, pahalanya untuk mayyit, itu mestinya yg diangkat ke permukaan ummat,

umumkan dan buat selebaran dan bagikan ke barat dan timur, bagi mereka yg mau bikin kenduri kematian silahkan buat sebanyak banyaknya makanan, tapi niatkan untuk sedekah dan pahalanya untuk mayyit..!, dan setiap tetangga keluarga yg kematian, disarankan mengumpulkan sedekah atau uang untuk keluarga mayyit..!

nah.. itu kan lebih baik, daripada nakal nukil gunting tambal ucapan para imam dan mereka sendiri tidak memanut syafii.

kok anti amat sih pada orang berdzikir, masih untung mereka kumpul dzikir, saya sangat mendukung upacara tahlil 3 hari, 7 hari, 40 hari, kalau perlu setiap hari bagi keluarga mayyit, karena disitu ajang dakwah, banyak teman teman mayyit yg tobat,

mereka para narkoba, atau koruptor, atau preman, atau kelompok gelap lainnya, bila hadir di acara tahlilan kematian temannya kulihat mereka nunduk, ada yg menangis, ada yg menyesal, ada yg tobat,

demi Allah berkali kali saya hadir di rumah duka tempat pemuda yg mati sebab narkotika, saya datang dan pastilah teman2nya hadir, maka sudah bisa dipastikan ada beberapa orang temannya yg tobat, mereka gentar melihat temannya sudah dihadiahi surat yaasin, mereka risau mati seperti itu, mereka ingat kematian,

duh.. sungguh hal seperti ini mesti dimakmurkan..

bukan dimusnahkan, naudzubillah dari dangkalnya pemahaman tentang maslahat muslimin..

AlMuntazar

Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/18 11:25
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ana membaca tulisan-tulisan diatas hanya menjelaskan tentang acara KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA namun tidak menjelaskan satupun mengenai sampai tidaknya pahala yang di kirimkan kepada si Mayit dari bacaan yang dibaca pada acara tersebut .

Wassalam,

munzir

Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/18 16:30
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Rahmat dan kesucian hari hari ramadhan semoga selalu menerangi hari hari anda,

saudaraku yg kumuliakan, maaf kalau saya tak memperjelas, sungguh pembahasan ini telah saya jelaskan di forum ini dg sejelas jelasnya, ucapan diatas adalah memperjelas masalah tahlilan yg telah saya ulas di artikel di halaman depan, dan diatas telah disebutkan bahwa hadits hadits shahih telah memperjelas sampainya pengiriman amal, sedekah, dan para ulama telah sepakat sampainya doa doa, dan tahlilan itu adalah doa.

namun jika anda perlu penjelasan lebih gamblang, maka saya tampilkan jawaban saya sebelumnya di website ini sebelum tanya jawab diatas.

saudaraku yg kumuliakan,
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yg memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dg ayat “DAN ORAN ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,

Mengenai hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat, dan anaknya yg berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yg dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yg telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yg tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dg tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yg awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab,
bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,

munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ada dari kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw :
• Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
• Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
• Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

demikian saudaraku yg kumuliakan,

Walillahittaufiq

AlMuntazar

Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/19 11:59
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ada beberapa hal lagi yang menjadi ganjalan.
1. Imam Nawawi dalam Kitabnya SYARAH MUSLIM ( JUZ 1 HAL.90) dan Kitab TAKLIMATUL MAJMU’ (JUZ 10 HAL 426) Membantah bahwa Pahala Baca’an dan Sholat yang Digantikan bagi si mayit tidak akan sampai kepada si mayit. Kalo tidak salah Imam Nawawi ini bermazhab Syafi’i (Koreksi jika Ana salah).
2. Al Haitami dalam Kitabnya AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH ( JUZ 2 HAL 9 )
3. Imam Muzani dalam Hamisy AL UM, AS SYAFI’I ( JUZ 7 HAL 269)
4. Imam Al Khazin dalam tafsirnya Al Khazin , AL JAMAL (JUZ 4 HAL.236), lebih jelas mengatakan :
” DAN YANG MASYHUR DALAM MAZHAB SYAFI’I BAHWA BACA’AN QUR’AN (YANG PAHALANYA DI KIRIMKAN KEPADA MAYIT) ADALAH
TIDAK DAPAT SAMPAI KEPADA MAYIT YANG DIKIRIMI”

Dan masih ada beberapa kitab ulama AHLU SUNNAH yang menjelaskan kurang lebih sama dengan yang ada di atas.

Dari pengamatan Ana, kalau di lihat betul dari beberapa literatur Kaum AHLU SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN dan Syia’h, bahwa Tradisi Kaum AHLU SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN (HABAIB) lebih banyak kemiripannya dengan tradisi kaum Syi’ah ( Cuman DI SYI’AH SAHABAT YANG DIANGGAP MURSAL DI BUANG/ DICORET DARI DAFTAR MEREKA ) dari pada dengan MEREKA yang ada di ke 4 mazhab SUNI.

WASSALAM,

munzir

Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/19 13:17
saudaraku yg kumuliakan, saran saya anda belajarlah dengan guru yg mempunyai sanad yg jelas, mengutip dari sana sini merupakan hal yg menyesatkan,

anda berbicara dengan menukil ucapan orang wahabi, saya ragu anda membaca buku buku itu sendiri, anda hanya mengambil saja dan barangkali anda belum pernah melihat buku buku itu, kami mengenal siapa Imam Nawawi, kami mempunyai sanad kepada Imam Nawawi, kami mengenal Imam syafii dan kami mempunyai sanad kepada Imam syafii, demikian pula pada Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga Imam Imam Muhaddistin lainnya, kami mempunyai sanad yg bersambung kepada mereka, kami tidak menukil dan meraba raba dengan buku buku terjemah,

pertanyaan anda sudah pernah saya jawab di web ini,

pertanyaan dari wahabi, anda jangan tersinggung dg jawaban dibawah ini karena merupakan nukilan ulang dari jawaban saya yg lalu : dan saya jawab sbgbr :

3 hal yg akan saya jawab dari ucapan mereka ini,

dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua duanya, licik bagaikan missionaris nasrani dan ingin membalikkan makna sekaligus bodoh pula dalam syariah.

1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :

من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

“Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.

Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.

Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafii yg mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,

telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama.

Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : “dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)

Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,

tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai.

maka dari kesimpulannya Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.

Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambah”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka,

Saya akan buktikan kelicikan mereka :

2. Ucapan Imam Ibn katsir :

وأن ليس للإنسان إلا ما سعى أي كما لا يحمل عليه وزر غيره كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه ومن هذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماءة ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنه ولو كان خيرا لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما

“ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”

Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah :

“Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259).

nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : “wahai Allah, sampaikanlah apa yg kami baca, dari…. dst, hadiah yg sampai, dan rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat…..”

bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya.

Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,

demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,

dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ

“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.

Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad : :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)

Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة

“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.

Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,

dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,

dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,

dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar Juz 4 hal 142).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.

Dan sungguh hal yg lucu bila kalangan wahabi ini meracau dengan mengumpulkan dalil gunting sambung lalu menyuguhkan kita racun agar kita teracuni,
mereka kena batunya di website MR.. he..he..

jawaban saya yg pertama telah jelas bahwa banyak para Muhaddits dan Imam yg menghadiahkan pahala bacaan Alqur’annya pada rasul saw dll.

wallahu a’lam

pendapat saya, justru syiah yg banyak mencuri cara cara Imam Imam Ahlulbait untuk kelicikan mereka, dan mereka adalah pengkhianat Ahlulait, merekalah musuh Ahlulbait namun mereka berkedok dg mencintai Ahlul Bait, naudzubillah dari Akidah yg memusuhi Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, Khalifah Umar bin Khattab ra, Khalifah Utsman bin Affan ra,

mereka yg memusuhi para khulafa urrasyidin adalah musuh kaum muslimin, mereka musuh Allah dan Rasul Nya, dan akan mati dalam su’ul khatimah jika tidak bertaubat.

demikian saudaraku yg kumuliakan,

wallahu a’lam

.

.

Jawaban habib Munzir di http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=28&func=view&id=12723&catid=7&lang=en

zubaidi

Mohon penjelasan kirim pahala – 2008/03/13 21:52
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin ana dapat bersilaturahmi dengan Habibana di forum yang di muliakan Allah SWT ini.. Salam kenal ana untuk Habibana, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan barakah kebahagiaan kepada Habibana dan seluruh Jamaah MR serta tetamu yang bersilaturahmi lewat Website MR dengan Allah SWT memuliakan kita semua sebagai Umat Rasulullah Muhammad SAAW… amiien..

Habib Munzir yang di Muliakan Allah..,ana ingin bertanya tentang keterangan Ibnu Abbas ra tentang di-mansukh-kannya ayat “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA” dengan ayat “DAN ORANG-ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”.

Mohon Habibana dapat memberikan penjelasan/syarah dari kitab tafsir, juga hadits dan atsar yang dapat ana gunakan untuk pedoman kaitannya dengan kaum tertentu di zaman ini yang mereka banyak menentang ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya tentang mendo’akan dan hadiah pahala bagi orang yang telah meninggal dunia.

terus terang Bib ana beberapa hari yang lalu berdebat dengan orang wahabi yang mengaku ahlussunnah wal jama’ah yang bersikukuh dengan pendapatnya bahwa hal mengirim doa dan pahala bagi orang yang telah meninggal (tahlilan) itu bid’ah dhalalah dan pahala yang dikirimkan tidak akan pernah sampai siapapun yang mendo’akan, mereka berpendapat dengan keterangan Imam Nawawi dengan pendapat yang MASYHUR di kalangan ulama, Bukan pendapat yang SHAHIH. Kemudian berpendapat bahwa di yaumul hisab nanti setiap manusia akan mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing lalu bagaimana dengan kiriman doa dan pahala untuk orang yang meninggal tadi…?

itulah Bib yang jadi pendapat meraka..
Ana mohon penjelasannya Bib..?!

Terimakasih sebelumnya ana ucapkan untuk Habibana dan saudara2 ana di MR yang akan dan telah membantu ana.. InsyaAllah semua yang ana ingin lakukan adalah untuk menjaga dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah dakwah dengan akhlaqul karimah wa mau’idhatul hasanah..insyaallah..

Mudah2an kita semua selalu dalam penjagaan Allah SWT dan juga ridla-NYA SWT.. amiien..

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

munzir

Re:Mohon penjelasan kirim pahala – 2008/03/14 14:08
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Rahmat dan Kebahagiaan semoga selalu terlimpah pada hari hari anda dan keluarga,

Saudaraku yg kumuliakan,
mengenai ucapan Ibn Abbas ra yg mengatakan ayat itu mansukh dijelaskan pada Muharrar Alwajiiz Juz 6 hal 233,

jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai.
maka dari kesimpulannya Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.

Berkata Imam Ibn Katsir : “ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”

Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah :
“Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259).

nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : “wahai Allah, sampaikanlah apa yg kami baca, dari…. dst, hadiah yg sampai, dan rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat…..”

bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya.
Lalu berkata pula Imam Nawawi :

أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :

ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ

“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)

Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :

وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة

“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam Nawawiy Juz 15 hal 522).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

Wallahu a’lam

632 thoughts on “Majelis Rasulullah tentang Tahlilan dan Yasinan

  1. karena terjadi khilafiah, maka akhlak kita adalah mencoba tuk saling memahami dan toleransi. jangan sampai menjadi permusuhan antar sesama muslim krn akan bertabrakan dengan ayat Qur’an, sesungguhnya orang2 mukmin adalah bersaudara. salam damai tuk semuanya. trims

    –> benar mas/mbak. Alangkah baiknya jika imbauan ini disampaikan ke semua pihak. ,,.. Hentikanlah men-vonis sesama muslim sebagai sesat, ahli bid’ah, tukang khurafat, musyrik, dll. Karena itu sangat menyakitkan. Inilah sebenarnya awal perpecahan itu.

    • ups…jangan saling menyalahkan ya…!!! apa lagi sampai mengatakan bodoh pada suatu kaum yang mana aja benar yang penting dalam konteks quran dan sunnah, serukanlah dakwah bil hikmah karena islam mengajarkan toleransi dan ukhuwah. wassalam

  2. Bukankah perkataan imam syafi’i ketika mengatakan makruh berarti haram? terus bagaimana dengan kata dalam ayat al hujurat : 7 dengan apa yang dipahami habib tentang makan makruh dari perkataan imam Safi’i?
    “Ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (Al Hujurat : 7)

    –> makruh itu yaa makruh .. bukan haram.

      • jawaban kurang memuaskan masih mending dibandingkan ditanya A jawabnya B,
        masih mending daripada ditanyain tapi ga jawab2,malah loncat2 ke masalah lain.. ga pernah selesai2..

        yg lucu lagi, bukan pengikut mazhab Syafii malah ngotot membahas pekerjaan mazhab Syafii, bawa2 kitab2 mazhab Syafii terjemahan pula..
        yg mnterjamahkan kitab Syafiinyapun bukan pengikut mazhab Syafii pula..
        Kitab terjemahannya (maupun non terjemahannya) sudah diedit/dipalsu pula..

        saya senang sekali jawaban admin di artikel “https://orgawam.wordpress.com/2010/01/28/majelis-rasulullah-tentang-tahlilan-dan-yasinan/”, yg saya coba copas lagi biar bisa membuka wawasan pikiran anda yg sudah dibikin dangkal oleh Wahabi (admin, mohon izin ya) :

        “Wa’alaikum salam wrwb. Siapakah yg lebih mengetahui pendapat imam Syafi’i. Tentu saja anak cucu muridnya. Itulah para ulama pengikut madzab-nya. Jika anda serius ingin belajar madzab Syafi’i, belajarlah ke para ulama Syafiiyah. Dan NU adalah sebuah organisasi yang (hampir) semua ulamanya bermadzab Syafi’i.

        Ketika ada orang yg tidak bermadzab Syafi’i memegang (atau berkomentar ttg) kitab beliau, maka jadinya yaaa … cem-macem menurut tafsir mereka sendiri. Pendapat2 mereka tak bisa dinisbahkan sebagai pendapat imam Syafi’i, betapapun kerasnya klaim mereka”

        ada lagi :
        “Jika anda pakai al Umm terjemahan, setahuku al Umm diterjemahkan bukan oleh seorang yg bermadzab Syafii. Pengantarnya pun oleh syaikh bin Baz, yg jelas2 tak bermadzab syafi’i. Banyak pendapat syaikh bin Baz ini yg tidak pass (bahkan bertentangan) dengan pendapat ulama2 Syafiiyah. Maka mengenai hal2 yg meragukan/ bertentangan/ stelan yg tak pas (seperti kasus-kasus yg anda sebut di atas), lebih baik anda tanyakan langsung ke ulama-ulama madzab syafi’i”

      • assalaa mu alaikum, maaf saya koment dikit. kalau do,a orang hidup bisa sampai pada yang mati ( bkn anak yang saleh) ,ber arti di surga banyak keturunan orang kaya.karna dia orang berduit bisa kumpulkan orang banyak utk mendo,a kan yang mati.wah enak bener ya .kalau begitu dosa org korupsi yang sdh mati bisa di tutup dg uangyna .panggil saja orang banyak2 buat tahlillan .pantesan korupsi dan kejahatan lainnya merajalele di negri ini.maaf ;tradisi jahilliyah jangan di bawa2 ,agam islam tdk sama dg agama lain,tapi saya maklum juga karna dari jaman nabi2 terdahulu jika menyampaikan kebenaran selalu ada penolakan karna kebiasaan yang di anggap kebenaran .tks wassalam.

        –> wangalaikum salam wrwb. Saya kira apa yang dijelaskan habib Munzir (Majelis Rasulullah) sudah jelas. Mohon maaf kl tak berkenan.

      • to mas wawan hrmawan,
        Komen ada mncerminkan penarikan ksimpulan yg lucu&ngawur,
        Tidak prnah ada hadis atau pndapat ulama mnyebutkan hubungan antar kekayaan pentahlil dengan pengabulan oleh Allah..

        Logika anda masih perlu diasah agar penarikan kesimpulan anda tidak ngawur..

    • Masya Alloh,,,yang ngaku wahabi kalau mau jum’atan sebaiknya tidak boleh pake sandal,jam tangan pake kopyah model,sekarang,,apalagi kacamata,,karena karena Rosululloh tidak mencontohkan demikian,,jika masih pake,,artinya,,,anda harus belajar lagi lebih dalam,,,lagi,,biar bisa memahami penjelasan habib,,sukron

  3. Ya akhi pengikut Sunnah
    Di Alqur’an dan Hadits itu tidak ada hukum ini wajib, sunnah, makruh, dlsb..
    Para ulama’ lah yang menyimpulkan hukum2 tersebut, dan para ulama telah membuat definisi untuk setiap istilah hukum tersebut, wajib adalah, makruh adalah, dlsb.
    Jadi jika Imam Syafi’i menyebut sesuatu dengan status makruh berarti makruh dalam ta’rif beliaum, yaitu ta’rif para ulama tersebut.. jangan dicampur aduk, digunting tambal, jadi rancu dan membingungkan.
    Salam

    –> Kalau menurut imam syafi’i itu makruh .. yaa makruhlah menurut imam syafi’i. Jika kita bicara dengan acuan imam syafi’i, maka pakailah bahasa imam syafi’i dengan maksud sesuai dengan maksud imam syafi’i. Memakai kitab syafi’i dengan pemaknaan bukan maksud imam syafi’i adalah manipulasi fatwa.

    • masalah makruh kan sudas jelas, artinya; yaitu perbuatan manusia yang di benci ALLAH ,mengapa hal yang buruk anda lakukan, kalau memeng ber iman kepada ALLAH mestinya hal yang tdk di sukai ALLAH itu harus di jauhi,wassalam

      –> makruh menurut definisi hukum syariah (dari majelisrasulullah.org yang bermadzab syafii), tidak berdosa melakukannya dan diberi pahala ketika meninggalkannya. Menurut bahasa artinya tidak disukai (dibenci, sebaiknya ditinggalkan). Jika anda bicara hukum, pakailah definisi hukum. Ingat kitab yang dikutib itu kitab bermadzab syafii.

      Ketika sebuah perbuatan dihukumi makruh (lihat maksud definisi hukum makruh) kemudian diterjemahkan (secara bahasa) menjadi dibenci. Kemudian dijelaskan sebagai hal buruk yang harus dijauhi (bermakna HARAM). Ini adalah pembelokan makna dari maksud awal.

      wallahu a’lam.

      • orang saklek y seperti ini,,,,,sukanya ngotot,,tidak mau dengar penjelasan dari yang dekat dengan,,,ulama,,visi pembicaraannnya bukan mencari benar tapi mencari menang,,,ini yang bahaya,,,

  4. sip, mantaplah…, terimakasih kepada semuanya yg sdh membahas masalah ini, maklu saya orang awam, dan semakin tau bahwa banyak hal di dunia islam yang sebenarnya sudah diatur dengan begitu terperinci, hatipun mengamini, tidak ada yang menyulitkan, tinggal menata niat, alhamdulillah..

  5. alhamdulillaaHi rabbil’aalamiin/
    mohon izin copy paste untuk disebar luaskan kepada kaum muslimin di wilayah saya; Cimahi Bandung

  6. jadi tahlilan makruh ya?

    berarti harus ditinggalkan dong… karena imam syafe’i yg mengatakan makruh

    –> yang makruh itu meratap. Sedangkan yang dianggap meratap itu ketika mengadakan perjamuan/pesta. Sedangkan tahlilan itu bukan pesta.

  7. saya gak habis fikir dengan apa yang dikatakan habib,ko berani sekali memutar balik fakta apalagi ini hadits Rosullullah,ingaaat pa habib barang siapa berbicara/berdusta atas namaku(kata Rasulullah/Wallohu a’lam)maka tempat duduknya di neraka, kepentingan apakah yang membuat habib demikian??,ingat bib perkataan habib akan diikuti semua orang yang awam terhadap agama,artinya semua akan terbawa dosa…,saya lebih faham dengan apa yang dikatakan abu aljauzza.

    –> bagian manakah yang memutar balikkan fakta??..

    • To Sultan,
      Seandainya anda tau sejarah bahwa Sultan Saladin termasuk tokoh yang “menggalakkan” Maulid Nabi dengan syair2 indah, mungkin anda ga akan memakai nama “Sultan Saladin”…
      biasanya orang yang Maulidan itu kemungkinan besar juga pelaku Tahlilan, Ziarah Kubur, Tawassul dll…
      gimana? masih idola ma “Sultan Saladin”??
      maaf ya,hehehe

      • kepada akhuna wawan dan al-faqir
        sepertinya anda kurang wawasan atau kurang membaca? jika yang anda maksudkan sultan shalahuddin al-ayyubi, maka anda sungguh keliru dan salah besar menuduh beliau sebagai peletak dasar maulid nabi atau ahli maulid nabi. orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi bukanlah beliau, tetapi ubaid al-qadah dari firqah fathimiyah, sekte syi’ah rafidhah. lihat lagi dalam kitab al-bidayah wa an-nihayah, XI/202, karya al-hafizh al-imam ibnu katsir. juga baca dan rujuk lagi dengan akal yang bersih dan hati yang jernih dalam al-bida’ al-hauliyah karya syaikh abdullah bin abdul aziz at-tuwaijry dan fatawa tata’allaq bil maulid an-nabawi.
        semoga kita memiliki kecerdasan yang baik dalam memahami agama Allah yang sempurna ini. Imam Bukhari sendiri menuliskan satu bab dalam kitab Shahih-nya, dengan nama bab al-‘ilmu qabla ‘amal. wallahu a’lam.

      • to Abu Hafizh

        saya sedikit mengoreksi koment anda tgl April 8, 2011 pada 16:57 yg bunyinya :
        “kepada akhuna wawan dan al-faqir
        sepertinya anda kurang wawasan atau kurang membaca? jika yang anda maksudkan sultan shalahuddin al-ayyubi, maka anda sungguh keliru dan salah besar menuduh beliau sebagai peletak dasar maulid nabi atau ahli maulid nabi. orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi bukanlah beliau, tetapi ubaid al-qadah dari firqah fathimiyah, sekte syi’ah rafidhah. lihat lagi dalam kitab al-bidayah wa an-nihayah, XI/202, karya al-hafizh al-imam ibnu katsir. juga baca dan rujuk lagi dengan akal yang bersih dan hati yang jernih dalam al-bida’ al-hauliyah karya syaikh abdullah bin abdul aziz at-tuwaijry dan fatawa tata’allaq bil maulid an-nabawi.
        semoga kita memiliki kecerdasan yang baik dalam memahami agama Allah yang sempurna ini. Imam Bukhari sendiri menuliskan satu bab dalam kitab Shahih-nya, dengan nama bab al-’ilmu qabla ‘amal. wallahu a’lam.”

        koreksi saya :
        saya menyebut “Sultan Saladin termasuk tokoh yang “menggalakkan” Maulid Nabi”..
        saya tidak pernah menuduh Sultan Saladin sebagai “peletak dasar maulid nabi atau orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi”, seperti yg anda tuduhkan kok..

        tolong hati2lah kalo mencuplik kata2 orang lain..
        saya perhatikan anda ini banyak melakukan salah cuplik, suka memotong2 pendapat orang lain untuk diambil bagian yg anda sukai..
        mas Imam sudah banyak membongkar ketidaktelitian anda, dari memotong2 pendapat para Imam sampai mencuplik pendapat palsu..

        wawan berkata
        Oktober 12, 2010 pada 12:25

        To Sultan,
        Seandainya anda tau sejarah bahwa Sultan Saladin termasuk tokoh yang “menggalakkan” Maulid Nabi dengan syair2 indah, mungkin anda ga akan memakai nama “Sultan Saladin”…
        biasanya orang yang Maulidan itu kemungkinan besar juga pelaku Tahlilan, Ziarah Kubur, Tawassul dll…
        gimana? masih idola ma “Sultan Saladin”??
        maaf ya,hehehe
        Balas

        *
        Abu Hafizh berkata
        April 8, 2011 pada 16:57

        kepada akhuna wawan dan al-faqir
        sepertinya anda kurang wawasan atau kurang membaca? jika yang anda maksudkan sultan shalahuddin al-ayyubi, maka anda sungguh keliru dan salah besar menuduh beliau sebagai peletak dasar maulid nabi atau ahli maulid nabi. orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi bukanlah beliau, tetapi ubaid al-qadah dari firqah fathimiyah, sekte syi’ah rafidhah. lihat lagi dalam kitab al-bidayah wa an-nihayah, XI/202, karya al-hafizh al-imam ibnu katsir. juga baca dan rujuk lagi dengan akal yang bersih dan hati yang jernih dalam al-bida’ al-hauliyah karya syaikh abdullah bin abdul aziz at-tuwaijry dan fatawa tata’allaq bil maulid an-nabawi.
        semoga kita memiliki kecerdasan yang baik dalam memahami agama Allah yang sempurna ini. Imam Bukhari sendiri menuliskan satu bab dalam kitab Shahih-nya, dengan nama bab al-’ilmu qabla ‘amal. wallahu a’lam.

    • To Sultan,
      ya maaf sebelumnya. makanya sebelum bicara alangkah baiknya kita melihat diri kita sendiri,nama aja riwayatnya ahli Maulid nabi,jd nama antum itu asal comot ya

    • untuk saladin ga da dlam hadist mna pun juriyat rosul msuk neraka,,kl habaib pd pendusta ga mungkin ada wali songo,kl anda mao tw, wali songo tu merupakan juriyat rosul dan hb munjir ngikutin pa yg di lakukan wali songo

      • walah mas.. anda msh prcaya dgn wali songo..? itu smua dusta..! cb anda pikir.. klw mmang wali, mana mungkin ada yg brtapa slm 40 hr 40 mlm dgn hnya duduk sja.. kapan sholatnya? ada yg bssa brubah jd cacing, dst… contoh kt hanya Rasulullah mas bkn yg lain..

    • untuk yg comot nama sultan saladin, jg tampakan kedunguanmu, baru baca terjemah aja udah asal bicara maaf seperti angin dari bawah. asal keluar asal bunyi dg suara sumbang, periksa dirimu apakah anda pengikut tanduk syetan dari arah timur, ataukah kurang pengetahuan , ataukah telah minum racum wahabiyah.

    • Bagian mana, yg jelas ente blng kalo ini makruh, emang amalan ente dah cukup buat menutupi perbuatan makruh ente bib, apalagi kalo sampe diikuti oleh umat makin jauh ente dari sorga HABIB MUNZIR….sadar….jgn nafsu dgn ketenaran duniawi mas MUNZIR.

  8. Assalamu Alaikum Wr.Wb

    buat teman2 yg bertanya dan pertanyaannya sudah dijawab dengan jelas oleh Habib Munzir, Saya sangat setuju dengan semua yang dikatakan Habib Munzir dan menurut saya semuanya sudah sangat jelas, apa kalian lupa kita ini diciptakan Allah SWT untuk beribadah, dan beribadah bukan hanya sholat dan mengaji, setiap gerakan kehidupan kita ini harus kita niatkan ibadah kepada Allah SWT, berdzikir itu ibadah, sedekahpun ibadah, berkumpul memuji nama Allah dan Rosulnya itu juga ibadah, selama yg kita lakukan bertujuan beribadah dan ikhlas karna Allah kenapa kita harus menjadi BODOH dngn menghujat orang2 yang berniat tulus dan suci mengajak orang lain memperbanyak beribadah kepada Allah SWT.Kalau tidak ikut beribadah ya udah lebih baik DIAM daripada darpada banyak omong yang tidak bermanfaat. Wassalam

    • Sedikit diralat Maaf Maksud saya pada kalimat terakhir ” Kalau tidak mau ikut beribadah ya sudah lebih baik diam”…wassalam

      • Saya setuju mas Upin dan Ipin… Orng baca tahlil atau yasiin dirumah duka itu kan lebih bermanfaat dripada tinggal diam merenungi almarhum, justru akan menimbulkan perasaan kehilangan yg bisa berakhir jd ratapan… Dalil juga udah menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu obat dan rahmat, jd minimal bisa mengobati rasa sedih org yg ditinggalkan dengan bacaan yasiin… Buat saudara yg ga mau hadiri, ya gak usah, saudara juga bisa rasakan sndiri nnti law saudara lagi berduka trus gak ada yg datang, gimana sedihnya… Intinya yg penting niat…

  9. Assalamu A’laikum Wr.Wb

    Al hamdullilah anna ada pecerahan. terima kasih ya Allah….
    Semoga kita menjadi orang- orang perpikir dan bersyukur.

    –> wa’alaikum salam wrwb. amien amien atas doanya.

  10. Assalamu’alaikum Wr.Wb

    Alhamdulillah, ternyata pemikiran – pemikiran sekarng sudah sangat berkembang dengan pesat.

    Di balik kebenaran, perbedaan pendapat adalah harga mahal yang harus di sykuri oleh umat islam, karena tidak mungkin semua perkataan yang telah dilontarkan oleh mereka semua mempunyai sumber masing – masing

    Pendapat saya :
    Kalau habib berkata bahwa itu adalah bid’ah, tentu bertolak belakang dengan artikel yang di tulis di sini https://orgawam.wordpress.com/2008/05/27/tak-semua-perkara-mubah-menjadi-bidah/
    Karena itu semua adalah sebuah amal baik, yang menurut saya akan mendapat pahala….

    Terima kasih……

    ( Maaf, saya hanya seorang yang sedang belajar, mohon bimbingannya )

    –> wa’alaikum salam wrwb. Justru menurut saya artikel yang anda tunjuk itu selaras. Tak semua hal baru itu sesat (bid’ah), ketika perkara baru ini tak bertentangan dengan syariat atau melawan syariat. Perkara baru yang bid’ah sesat adalah yang bertentangan dengan syariat atau melawan syariat.

      • bukan dihancurkan mas, tapi diluruskan aqidahnya dan syariatnya, kalau dihancurkan berarti kita membiarkan mereka dalam akidah dan syariat yang salah dong, mari kita ajak mereka dengan cara yang cinta damai

  11. Assalamu Alaikum Wr.Wb

    Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : “dan tiadalah
    bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)

    Terus bagaimana caranya tentang sabda Nabi saw yang ini “anak shalih yg mendoakannya”.

    apakah bukan caranya.. mendoakan dan bersodakoh.

    Terima Kasih…

    • yang dimaksudkan itu adalah mendoakan,,, bukan membacakan yasin atau tahlil,,

      –> dan membacakan Yasin atau tahlil itu juga termasuk mendoakan.

  12. Pingback: Pengetahuan Islam « Hasmania Launa

  13. jadi kesimpulannya adalah(menurut saya)semua perbuatan yg dijelaskan diatas adalah bid’ah..mubah..makruh menurut pendapat masing2 berdasarkan dalil yg masing2 pakai. ini lebih menurut saya lg.. saya cenderung tidak mengikuti itu semua karena nabi Muhammad saw tidak mengajar hal tersebut, sehingga menjadi pertentangan di tengah2 ummatnya..sehingga sesuatu hal yg apabila dijadikan pertentangan cuma ada satu penyebabnya, yaitu semua itu keabsahannya “diragukan”. sesuatu yg diragukan alangkah lebih baik untuk kehati-hatiannya sebaikknya tidak dilakukan,knapa? kl benar itu dianjurkan biar kata kita ga dpt pahala tp kita tidak berdosa krn tidak melakukannya. kl itu salah brarti kita tidak mendapat dosa krn tidak melakukannya dan berpahala (tau dpt atau ga)krn tidak melakukan sesuatu hanya ikut2tan.., nah gt pikiran ane yg baru keluar dr mahzab miyabiah..semoga bermanfaat

    –> kalau saya ada undangan tahlilan.. saya akan memenuhi-nya karena memenuhi undangan saudaranya adalah wajib, dan tak ada kemaksiatan di dalam majelis tahlilan. Dan kalau saya .. kalau bisa saya akan berusaha bertahlil setiap harinya, sambil berharap, semoga Allah meridloi. amien.

    • “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka tertolak.” (Riwayat Muslim (3/1343) no: 1718)) . >> amalannya menjadi sia2, mencari sesuatu yang bukan dalam beban2 syariat, amalannya mnjd bathil… tidak cukupkah Rasulullah menjadi teladan dalam mengambil hukum yang sudah pasti bersinambung dengan alQuran? . dari logika saja.. bila dibiarkan hal2 yang tidak ada tuntunannya tersebut, jelas akan menyesatkan muslim2 yang awam.. dan menganggapnya hal itu menjadi keharusan, apabila tidak ditahlilli maka si mayit akan kekurangan pahala.. maka keluarga almarhummah akan berusaha mati2an untuk mengadakan acara tersebut, demi amalan tmbahan untuk keluarganya yang meninggal, dgn berhutang, mengalahkan kebutuhan2 yang penting dalam menyambung hidupnya dan anak2nya yang masih panjang perjalanannya, dan itu masih berlangsung dihari2 tertentu, 3hr, 7hr, —100rh bahkan haulan… sedangkan Allah tidaklah menurunkan agama ini untuk menyusahkan hamba2Nya.. jelaslah hal2 yang menyusahkan hanya datang dari manusia.. Siapa yang membuat sesuatu bukan berdasarkan PetunjukNya.. berarti dia telah membuat syariat sendiri.. ‘tinggalkanlah hal2 yang meragukan’……. ‘sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara kebaikan’.. wallahu a’lam.. wassalam.

      • setuju banget buat desi,,
        sebenernya dalil2 tentang yasin, itu berasal dari agama hindu, dan d bacaannya d ganti dengan ayat alquran oleh muslim ahli bidah,,
        kenapa d kota kelahiran Nabi Muhammad semua muslim tidak ada yang mengerjakan yang namanya yasin tahli,,
        karena Nabi Muhammad tidak pernah mensyariatkan atau mengerjakan hal itu,,
        kalo d indo kan budaya dijadikan agama,, padahal budaya yang d jadikan agma tersebut adalah budaya orang2 kafir,,,

      • sangat setuju, seandainya masalah tahlilan mayyit dianggap penting niscaya Rosululloh sudah melaksanakannya… apakah kita merasa kurang dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rosululloh tentang ibadah? sehingga kita beranggapan perlu menciptakan peribadatan baru?… sungguh sangat menyesatkan perbuatan yang menyiratkan ajaran Rosululloh belum sempurna/ kurang lengkap..

  14. Bismillah.
    sebaiknya kembalikan pemahaman Islam itu kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingna ulama salaf terutama dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabiut’ tabi’in. bukan dengan pemahaman sufi yang rusak. Berkata ulama salaf “orang yang bermajelis dengan ahlul bid’ah itu lebih dasyaat bagi kami daripada ahlu bid’ah itu sendiri.

    • mas Abdullah,

      kalo mau dibimbing langsung oleh sahabat+tabi’in,tabi’ut tabi’in silahkan bikin mesin waktu dan kembalilah ke tahun sekitar 1 – 200 Hijriyah..

      monggo..

    • Assalamualaikum wrwb ,bismillah , sgala sesuatu yang baru dlm ajaran islam adalah bid’ah , dan setiap bid’ah itu sesat sesat itu setan setan tempatnya dineraka , tahlil,yasin , kirim fatihah ,maulid ,ngaji kubur, itu semua gak ad contohnya dari rasulullah saw, maupun 3 generasi setelahnya , khulafaur rasyidn ,tabi’in maupun tabi’ut tabiin , jd itu hanya sebuah tradisi orang2 setelah mereka , yang jahil akan ajaran murni ahlu sunnah wal jamaah ,saya setuju dengan anda yg mengatakan maulid bukan dr nabi atau 3 generasi setelahnya , salahudin al ayubi sendiri pun tidak melakukan maulid, orang yg melakukan maulid pertama kali adlah orang yg mengaku dirinya generasi ke3 bani fatimiyah , beritiba’lah kepada rasul , saya tidah membenci habaib atau ulama atau kalian yg bermazhab mazhab karna saya tidak bermazhab kepada 4 iman kepada 4 imam karna kita bersaudara semuslim saya hanya bermadzhab kepada rasul qur’an dan hadist2 yg telah datang derajat keshahihan,yg bermanhaj salaf , bersandar kepada rasul dan ke 3 generasi sesudahnya ,! nya ,bahkan 4 imam sendiri mengatakan , jika ada perkataan ku yg berlainan dengan hadist yg shahih maka itu mazhabku , artinya kita dilarang bermazhab kepada mereka , tetapi bermazhablah hanya kepada rasul saw , karna tidak ada satupun permasalahan atau tidak ada satupun pelajaran bekal didunia dan akhirat , yg belum disampaikan oleh beliau saw, bersikaplah tidak guluw dalam beragama jangan berlebihan , ringkas kata , maulid, yasin ,ngaji kubur, kirim fatihah, dan tahlilan itu akan tertolak , berdasarkan hadist nabi yg mulia , segala sesuatu amalan yg bukan asalnya dariku akan tertolak , dan segala sesuatu yang baru dlm islam bid’ah , bid’ah bid’ah itu sesat tempatnya dineraka ,,

  15. Assalamualaikum wr wb
    Menurut saya kalau tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW mengapa harus dicari-cari pembenaran untuk sesuatu perbutan?? Umumnya orang pada acara 7 atau 40 hari selalu memotong kambing atau sapi. Syukur ayah saya berwasiat 6 tahun yang lalu, “apa bila saya meninggal kuburkan saya sebelum waktu zugur tiba (bila meninggak malam/sore), tapa baca Yasin dan tanpa peringatan hari k3-7, ke-40 dst.” Amanat ayah saya telah saya laksanakan.

    –> wa’alaikum salam wrwb. Semua orang seharusnyalah punya alasan dalam perbuatannya. Justru di sini dihadirkan alasan terhadap amal perbuatan tahlil, yasin saat peringatan kematian. Bukan mencari-cari .. tapi kalau memang ada dalil yang sesuai syariat di sana, alangkah baiknya kalau ditampilkan. Biar yang mengamalkan makin mantap.

    Anda tak membaca Yasin dan tanpa peringatan hari k3-7, ke-40 dst. Itu silakan saja. Orang Eropa juga tak pernah melakukan itu. Ingat .. perkara peringatan terhadap sesuatu itu adalah hal yang mubah. Tak ada larangan. Dan dzikirnya sendiri adalah sunnah. Jadi kenapa pula ada orang yg teriak-teriak ini sesat itu bid’ah, dst.

    • yasinan dan tahlilan adalah hal-hal baru dalam agama…itu termasuk bid’ah tidak dicontohkan oleh sahabat,tabiin,tabiut tabiin dan ulama salaf..
      kalaulah bukan karena pemahaman mereka yang lurus yang menjaga agama ini tetap murni..sudah lama Dien ini hilang yang tinggal hanya namanya saja.. seperti orang nasara,dan yahudi yang sudah melenceng jauh.

      • Assalaamu’alaikum :

        Duh Yatno, dangkal banget pengetahuan elo tentang bid’ah, ente tau nggak, Tuh Al-Qur’an yang ente baca yang ngebukuin siapa …. ? Ada gak perintahnya ….? Ada gak dalilnya …. ? Sampek-sampek Saat Abu Bakar menjadi Khalifah mengatakan “Bagaimana mungkin kami melakukan suatu perkara yang tidak ada perintahnya dari Nabi SAW (Yaitu mengumpulkan ayat al-qur’an jadi satu Kitab)” Hingga Sayyidina Umar menjelaskan bahwa didalamnya ada kebaikan. Dan akhirnya Alloh menjernihkan Abu Bakar, yang kesimpulannya dikumpulkannya Ayat Al-Qur’an menjadi Satu Kitab, hingga kita membacanya sampai sekarang. NAH kalo gak ada Bid’ah Hasanah yang satu ini, mungkin kita gak bisa baca Al-Qur’an sekarang ini. Pertanyaannya apakah Sayyidina Umar dan Abu Bakar menjadi Pelaku Bid’ah, karena berani mengumpulkan Al-Qur’an padahal tidak ada contoh, dan perintahnya dari Nabi SAW…..
        Bahkan banyak lagi Hadits2 yang serupa dengan kejadian tersebut. Duh Yatno …..

      • @suyatno
        emang yang nyebarin islam grupnya si wahab ya?, emag sebelum dia para sahabat, tabi’in dan tabi’ina ndak nyebarin islam, hebat sekali anda dan grup anda ngaku2 yang meluruskan dien? emg yang dlu2 seblum abdul wahab dan kawan2 serta bin baz dkk ndak bener semua ndak lurus??

      • yang mengatakan bid’ah pasti ada dasarnya begitupun yang tidak pastinya ada dasarnya pula, sepengetahuan saya apabila dalam Al-Quran maupun Hadist tidak dicontohkan/tidak dilarang maka dengan kesepakatan para ulama apabila itu mendatangkan kebaikan itu tidak berdosa. tapi setahu saya kalau ibadah itu harus ada dalilnya/contohnya.

  16. maaf bapak2 ulama, saya mau tanya neh:
    1. Bila saya membaca Yasin, tasbih, tahmid, dan takbir, hal itu dosa atau pahala?
    2. Bila saya mengundang karib kerabat, tetangga dan rekan2 sesama muslim untuk bersholawat, membaca Yasin, tasbih, tahmid, dan takbir, hal itu dosa atau pahala?
    3. Bila orang2 yang datang tersebut saya jamu dengan makanan semampu saya, hal itu dosa atau pahala?
    4. Bila mendapat pahala, dan pahala tersebut saya berikan kepada para pendahulu saya, hal itu diterima atau malah berdosa?
    5. Anak yang sholih yang dimaksud,apa harus anak kandung?
    terima kasih atas jawabannya..

    • sy jawab ya, klo ada syariahnya berarti itu boleh tapi klo tdk ada berarti tdk boleh krn bid’ah gampang kan!!!
      klo sy liat, MR ini terlalu banyak bid’ah yang dilakukan, zikir akbar, adakah syariahnya??
      bukankah segala hal yg dilakukan dlm ibadah tanpa syariah adalah bid’ah, dan bid’ah adl sesat dan sesat tempatnya neraka

      –> maaf .. apa yang anda maksud dengan syariah? Berdzikir yang sesuai syariah itu yang bagaimanakah? Berdzikir di MR itu syariah manakah yg dilanggar?

      • banyak ibadah2 yg disebutkan dalam alQuran yang diawali dengan “Ya ayyuhalladzina amanu…”(hai orang-orang beriman), salah satunya adalah berzdikir…
        pertanyaannya adalah :
        kalimat “hai orang-orang..” tu maknanya satu orang atau banyak?
        kalo dzikir bersama itu salah, seharusnya Quran cuma menyebut “hai seseorang..” dong, “hai seseorang yang beriman berdzikirlah kamu…”

        ini menurut alQuran lho ya…
        dimana salahnya dzikir berjamaah?

      • Sekiranya mengajak teman untuk yasinan itu juga bid’ah maka itu adalah bid’ah hasanah. namun jika Ily menganggap bahwa itu adlah Bid’ah yg tidak baik maka cara kamu menyampaikan pesan/info/berita/gagasan ke blog ini juga adalah Bid’ah karena Nabi sendiri tdk pernah Online seperti Anda.

      • untuk ily
        kl pra ulama pd nglakuin bid’ah mna mungkin mreka pada jdi aulia ALLAH,orang2 ansor aja pd jaman nabi ngadain maulid,dengn menyambut rosul dngan bcaan tolaal badru alaina,sya hrap pikiran nt terbuka

      • Ily…
        klo semua yg g ada syari’atnya disebut bid’ah dan sesat, berarti naek motor, SMS-an, n nulis di blog tu termasuk ya…?
        ah, ada-ada aj… agama tu mudah, g usah dipersulit…

    • @Wahyu saudaraku pertanyaan anda mustinya ditujukan ke diri anda sendiri:

      1.Mana yg Allah sukai, hamba yg memuji-NYA & membaca kalam-NYA atau yg enggan apalagi melarang?

      2.Mana yg Allah sukai, hamba yg senang bershalawat seperti Allah & Malaikat-NYA bershalawat kpd Nabi SAW, atau hamba yg enggan bahkan melarang?

      3.Mana yg Allah sukai, hamba yg mengundang kerabat dll utk kumpul membaca Al-Qur’an & berdzikir ramai2 seperti yg dilakukan para Malaikat di langit atau yg enggan bahkan melarangnya?…kalo gitu semua Malaikat paling bid’ah dong?

      Faktanya yg terjadi dilingkungan sy, meski mayoritas Sunni yg senang tahlil.

      1.Suatu kali ada tetangga yg melarang sy utk membaca Yasiin kpd Almarhum ayah sy yg ada disisi sy {blm dikubur} dia blg ayah sy gk suka, pdhl sy plg dkt dgn ayah sy & beliau wkt hidup suka sekali dzikir & tahlil & lucunya saat itu sy tdk meratap, tp tenang membaca, luar biasa, begitu beraninya melarang bahkan anak kandung org lain? dalil apa ini?

      2.Ada lagi seorang Ibu {Wahabi lantaran anaknya lulusan US, pdhl tadinya sang anak tdk suka belajar agama, tau2 merasa pintar & melarang orang yg sedang menyebut nama Allah dikala ramadhan di Masjid dgn kata2 “KAMPUNGAN!”} hingga diusir kemudian oleh warga, lantaran org tersebut suka buat onar.

      3.Herannya si Ibu yg Wahabi {yg jg getol ceramahin Ibu2 sambil bilang bid’ah ini dan itu} suatu kali bilang saat dia mau ke Makkah utk Ibadah ke ibu2 sambil berucap “do’ain saya ya?”…weleh2 katanya bid’ah tp kalo soal diri sendiri jd gk.

      4.Coba deh baca buku yg keluaran Arab Saudi kalo perlu yg terjemahan, disitu biasanya ada kata pengantar dimana sang penulis memuji2 Raja Arab Saudi, aneh memuji2 Rasul SAW aja dibilang bid’ah masa giliran Raja doang jd gk?

      5.Berapa banyak gedung bersejarah di Arab dimana dulunya tempat2 mulia yg dimiliki org mulia dimuka bumi ini {Rasulullah SAW} diratain jd WC dll? dgn alasan utk jgn bid’ah dll, giliran Istana sang Raja justru megah bgt coba aja google, wkwkw. {Wahabi penuh kontradiksi, senang melarang entah apa kelak jawaban mereka manakala Allah mempertanyakan kenapa melarang org utk memuji-KU? kenapa melarang org utk bershalawat kpd kekasih-KU?}

      Yg enggan silahkan, toh keenganan kalian utk beribadah tdk menambah apa2, tp bagi yg ingin jgn dilarang, toh bkn hak kalian utk melarang org2 utk memuji-NYA & bershalawat kdp Nabi-NYA baik dlm kesendirian ataupun keramaian.

      • masalahnya, dimana, dan kapan dzikir, memuji Allah, sholawat dan lain sebagainya.. Allah tidak menyukai orang yang suka berlebih2an , mengada2kan…. melampaui batas.. semua ada aturannya.. bertahlil-lah setiap saat.. tiap hari, bukan saat ada kematian saja.. atau upacara2 tertentu saja.. aqidah jangan dipermain2kan.. acara tahlilan itu bukan ajaran Islam… diseluruh dunia, hanya diindonesia saja ada acara kematian.. yang notabenenya adalah turunan dari kepercayaan nusantara dulu… Rasulullah, melarang umat2nya bertasyabuh.. bila menyuruh2 umat Islam pada kebathilan.. tunggu saja adzab Allah.. Para sahabat sepeninggalnya Rasulullah, tidak pernah mengadakan baca2an berkumpul2 ditempat/rumah seseorang, seperti acara tahlilan.. padahal mereka itu /para shahabat Rasulullah adalah hamba2 yang lebih diutamakan Allah Subhanahu Wata’ala dari pada kita ataupun orang teralim atau ulama terngetop sekalipun dijaman sekarang… Rasulullah saja sudah diatur Allah Subhanahu Wata’ala untuk tidak ada satupun yang mengetahui kapan beliau dilahirkan.. karena menghindari dari peringatan hari kelahiran, apalagi kematian.. sadarlah wahai manusia yang suka berlebih2an.. ingat, Rasulullah, melarang melebih2kan sesuatu yang sudah ditetapkanNya.. seperti sholat terus menerus, berdzikir terus menerus hingga melupakan kewajiban dan haknya didunia.. semua sudah diatur seimbang2nya.. Rasusullah juga tidak menyukai pemujian pada beliau yang berlebih2an, karena bisa memfitnah beliau, beliau sangat membenci pengultussan atau mengarah pada pengultus-an, pelan2 kita akan tergiring pada kesyirikkan.. sebagaimana fitnah yang terjadi pada nabi Isa alaihissalam… dan bisa secara tak sadar kita telah melawan/menolak/menentang apa yang menjadi wasiat beliau.. Naudzubillah..

        –> ada banyak dalil tentang bagusnya berkumpul dan berdzikir. Kapan saja di mana saja, dan ini tentu saja tidak kemudian terlarang hanya karena saat kematian keluarga/tetangga.

        Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)

        Tahlilan di Indonesia saja.. anda salah. Saya menyaksikan tahlilan ada di berbagai (banyak) negara (tidak hanya Indonesia) dengan cara/tradisinya masing-masing.

        Kemudian kata anda,”seperti sholat terus menerus, berdzikir terus menerus hingga melupakan kewajiban dan haknya didunia.. “. Ketahuilah bahwa amal yang paling disukai Allah Ta’ala adalah,

        “Amalan yang paling di cintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu walaupun sedikit.” (HR Bukhori dan Muslim)

        Setuju bahwa jangan sampai melupakan kewajiban dan haknya didunia. Tapi menurut pengalaman.. tidak ada tuhh yang melupakan kewajiban dan haknya di dunia.. hanya gara-gara tahlilan.

        Mohon maaf kl tak berkenan.

  17. Kalau kita hanya mempermasalahkan masalah seputar diatas yang pasti setiap orang memiliki argumen yang berbeda-beda berkenaan itu maka saya berpendapat bahwa setiap yang kita lakukan pasti ada balasanya dan itu semua menjadi pembelajaran buat kita. dan rasul pun berkata kalau orang berijtihad dan betul dia akan mendapatkan 2 pahala,dan kalau orang berijtihad dan salah dia akan mendapatkan 1 pahala,jadi yang terpenting marilah kita jalin persaudaraan kita dan jangan memutuskan silaturahmi hanya dengan peremasalahan diatas.

  18. yang sering ngomong anti bid’ah itu adalah orang-orang yang justru munafik. Gak sadar apa, dalil yang mereka punya itu diperoleh dari produk bid’ah. Apa ada pada dalil perintah untuk membukukan hadits? Apa ada dalil yang Rasulullah menuruh bikin kelompok salafushalih? gak ada itu, gak ada. Sudahlah gak usah usil dengan hal-hal yang oleh para ulama telah dikerjakan. Antum itu baca dalil aja dari buku terjemah pake ngaku bukan ahli bid’ah segala.

    • betul mas..
      kalo memang betul anti bidah, seharusnya mereka kemana-mana pake onta atu kuda aja.. soalnya, mobil atau sepedamotor tu ga ada di zaman Nabi..Nabi ga pernah pake motor..ga ada contoh Nabinya
      berarti pake motor bidah dong… HAYOOO..

      • Hebat – kalau jaman Rasuluah SAW dulu ada mobil, pesawat, yahoo, twitter etc pastialh tehnologi itu dipakai.

        tapi dzikir2, ziarah kubur waktu itu kan bisa dijalankan, kalau Nabi SAW nggak ngejalanin ya gak usahlah, kayak kurang kegiatan yang udah jelas ibadahnya, kerjakan aja yang dah jelas, bukan yang masih ragu. ISLAM jangan di- ribet2 kan begitu

        –> mas.. dugaan anda salah. Nabi saw itu menjalankan ziarah kubur, Nabi saw juga takziah, Nabi saw selalu berdzikir, dan mendoakan saudaranya yang meninggal. Semua kegiatan ini jelas dikerjakan oleh Rasulullah saw, bukan yang masih ragu lagi.

      • to kalimusodo,

        kalo Rasulullah sepemahaman dengan anda, saya yakin Rasulullah ga akan mau memakai mobil, pesawat, yahoo, twitter etc..

        padahal nyatanya Rasulullah itu seseorang yg berpandangan luas ke depan, tidak dangkal sebagaimana yg difikirkan oleh anda..

  19. ok bib…klo ente emang kekeh banget coba ane mau tau…hadits atu kisah mana yang nunjukin kalo Rasulullah Saw pernah ngelakuin tahlilan, peringatan orang mati, kenduri dll, zikir kenceng2, kirim2 doa buat si mayit…..
    coba bib tunjukin kalo bisa… SAYA TUNGGU!!!!!!!!

    kalo habib ga bisa nunjukin itu semua berati habib telah ngajak umat ini ke dalam kehancuran…negrusak aqidah dengan mencampuradukkan agama dengan tradisi dan agama dengan budaya, agama dengan kepentingan habib sendiri…biar jadi enterteinar tekenal…ente mau dakwah apa mau jadi artis???

    padahal Rasulullah Saw telah bersabda “Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam agama kami ini yang tidak ada darinya maka itu tertolak”
    Dalal riwayat Muslim, lafalnya adalah “Siapa yang beramal dengan suatu perbuatan tanpa ada perintah dari kami, maka perbuatan itu tertolak”

    Logika aja ya….sunnah Rasulullah itu banyak…ngapain si pake nambah-nambahin segala….emangnya ente siapa??? Nabi aja ga pernah ngelakuinnya kok???

    benerin dlu donk tu pemahaman…jangan cuma bisa negeles doank….
    Pokoknya saya tunggu buktinya!!!!!
    Tunjukin yang bener jangan hanya bisa mentingin diri sendiri tapi mentingin umat juga…..

    –> silakan kontak langsung ke sini.

    • anda tau contoh dari Nabi tu dari mana?
      buku? kitab? atau apa?
      sekedar info ya : banyak gerak+diam+pernyataan+dll dari Nabi yang tidak tercatat/terekam ma kitab & buku..
      andai gerak gerik Beliau yang terekam oleh debu, udara, air, bumi, mata Nabi, kulit Nabi dll itu bisa kita putar ulang, saya kira lebih banyak dibanding dengan yang bisa direkam semua buku atau kitab hadis.
      lebih banyak dari hapalan para ulama yang menghapal hadis..
      coba anda catat semua kegiatan anda selama 24 jam dalam buku harian, sedetail-detailnya, mulai dari apa yang anda pikirkan, apa yang anda lakukan, apa yang anda bicarakan..
      catat semuanya!
      bisakah anda membayangkan setebal apa buku harian anda itu merekam anda selama setahun?
      kemudian bayangkan 63 tahun kehidupan Nabi!

      jangan terlalu gegabah menyebut sesuatu hal baik itu bukan sunnah hanya karena tidak tercantum di kitab Hadis!

      anda tidak meyaksikan kehidupan Nabi, bagaimana mungkin anda menyebut “ini bukan sunnah, itu bidah” hanya karena tidak tercantum di kitab Hadis..

      cukupkanlah diri kita yang terpisah jarak 1400an tahun dengan beliau ini dengan perkataan orang bijak :
      “semua hal yang baik itu dicontohkan oleh Nabi”..

      SEMUA HAL BAIK, wahai saudaraku..

      • kepada wawan
        jangan menafsirkan al-qur’an atau hadits dengan akal yang terbatas, tapi rujuklah pada penafsiran mufassirin dan muhadditsin, baik dalam kitab-kitab tafsir maupun kitab-kitab syarah hadits yang mu’tabar, jadi jangan sampai anda menjadi orang yang (istilah kami di aceh) lagee burong jampoek (burung yang ngakunya bisa terbang tapi tak pernah mau terbang-terbang).

      • to Abu Hafizh,

        dengan segala kerendahan hati, saya akui akal saya terbatas, tapi saya masih mending dibanding anda,
        saya merujuk kepada kitab asli, sedangkan anda merujuk pada kitab yg diragukan keasliannya, yg sudah berubah isinya..

        ngomong2 tentang lagee burong jampoek, anda pun sama saja seperti burung itu,
        sibuk membahas/mempelajari/mendebat hal2 semisal “tahlil” dan “Surat Yasin”, tapi anda pasti ga pernah membaca “tahlil” dan “Yasin” itu sendiri.. (koreksi saya jika salah)

        pernahkah anda membaca “lailahailallah” atau surat “Yasin”?
        kapan?

      • Mas Wawan saya ingin tambahkan sedikit,
        Mas2 kitab diseluruh dunia ini banyak, Firman dlm Qur’an (Bacalah Qur’an mengenai isi dan maknanya Aku yang turunkan) ini adalah perintah Allah SWT. Mau bacanya sendiri, berdua beramai2, undang orang/tidak terserah.
        Kebanyakan kita hanya memperhatikan Syareatnya saja, tetapi perlu kita ketahui bahwa Rasululloh SAW itu adalah manusia Spiritual (ROHANI). Beliau sangat mementingkan kebersihan hati dan tidak pernah menghujat siapapun. kenapa kita saling menghujat dan anehnya sesama manusia yg sama2 berdasarkan Kalimat Syahadat. Minta maafnya susah lo…… dan pasti siapa2 yg berbuat satu kesalahan pasti ada balasannya……
        Menurut saya ga usah ribut soal bidah atau bukan,
        Surat Asy Syura ayat 51.
        Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
        Ayat ini menjadi alasan bahwa Rasululloh itu adalah manusia spiritual (ROHANI)……
        Kalaupun pendapat anda benar, marilah kita buktikan sendiri kebenaran tadi, apakah diri kita semakin dekat dengan Allah atau tidak……. dan ingatlah (“Sesungguh engkau ku utus hanya untuk memberikan kabar saja dan bukan untuk memaksakan kehendak”)…….

      • KEPADA WAWAN: Memang benar semua hal baik itu di contohkan oleh ROSULLULLOH SAW,tapi apakah semua hal yang kita anggap baik itu baik pula di sisi ALLAH DAN ROSULNYA?jangankan kita bahkan di kalangan sahabat saja banyak hal-hal yang mereka anggap baik tapi ROSULLULLOH SAW mengingkarinya.misalnya perbuatan sahabat muadz bin zabal yang ketika pulang dari safar kemudian menghadap ROSULLULLOH SAW dan bersujud kepada BELIAU SAW.kemudian BELIAU SAW mengingkarinya dan meluruskannya.bisa disimpulkan juga bahwa hal-hal yang di anggap baik oleh para sahabat ra tapi di ingkari oleh ROSULLULLOH SAW maka kitapun dilarang untuk mengamalkannya,sebaliknya hal-hal apapun yang di kerjakan oleh para sahabat dan direstui oleh ROSULLULLOH SAW,maka itulah sunnah takririyah dan sepatutnya kita amalkan.Tapi kalo kita berinisiatif membuat-buat ibadah sendiri atas dasar apa kita meyakini bahwa itu baik,dengan voting??

    • Bpk Porselin yang terhormat bisakah juga anda menunjukkan bahwa Rasulullah SAW itu dulunya pernah Online. Nulis pesan dan pendapat di beberapa Blog. Dengan senang hati saya tunggu hadits nya.Terimakasih.

      • pasti ga ada yang bisa meriwayatkan dakwah nabi secara on line, jelas saat itu belum ada situs, web dll yang berkaitan dengan mesin. ini saya juga lagi pengin tau hadits yang meriwayatkan berkaitan dengan amalan ibadah seputar kematian, selain fardlu ‘ain yg 4 itu. mohon bantuannya, barangkali ada yang menemukan hadits perihal tahlil, kirim pahala bacaan Al-Quran untuk si mayit yang pernah dilakukan Muhammad Sang Utusan Allah. Trim infonya

    • Assalamu’alaikum Wr. Wb

      Kepada Bapak Porselin yang terhormat… Adab anda terhadap Habib Munzir sungguh tidak mencerminkan Akhlak yang baik….. jangan jangan anda juga tidak beradab kepada Orang tua secara ta’zim. Terlalu sombong anda melakukan itu semua terhadap beliau…. Saya sarankan anda belajar Akhlak kepada para Ulama yang jelas sanadnya sampai kepada Rasululloh SAW dan Ambil salah satu Thoriqoh yang mu’tabaroh. Semoga anda mendapatkan petunjuk pada tingkat Haqqul yakin sehinga anda bisa menemukan Kebenaran tanpa NAFSU yang datangnya dari Sumber Ilmu yaitu ALLOH SWT.

      Kepada Almukarom Al Habib Munzir Al Musawa (Mata’anallohu bituli hayatihi) saya mengucapkan terima kasih atas ilmunya yang disampaikan dan teruskan Dzikir Akbar Majelis Rosululloh SAW, semoga memberi manfaat bagi kita semua. Lillahi Billahi Wafillahi.

      Wassalamu’alaikum Warohmatullohi wabarokatuh

      • sebaiknya orang selalu mengingkari ulama seperti wahabi suruh mendalami al-Quran lihat qur’an surah at-Taubah bagaimana Allah mengangkat para Aulia nya karena ketakwaannya,semwntara wahabi sibuk mencari-cari kesalahan saudara dan merasa paling benar dalam amalan saya yakinmereka tidak punya silsilah mursyid yang sampai kepada nabi.

    • apakah kalian tahu bahwasannya WAHABI adlah buatan yahudi yang ingin merusak akidah islam menuju kedurhakaan. sebagaimana mereka merusak aqidah nasoroh, karena Wahabi adalah kelompok baru yg awalnya mereka melecengkan ilmu2 serta karya2 guru mereka seperti syech muhammad bin abdul wahab yg di palsukan.

      • setahu saya kalau ngak salah, wahabi itukan sebagian besar dianut oleh orang arab/arab saudi, tapi bisa ngak ya.. kalau orang arab mengikuti cara – cara ibadah kita? soalnya yang nyebarin pertama agama islam dari arab. Yang benar yang mana kita mengikuti mereka atau mereka mengikuti cara kita?

    • hihihi … parah.. pak Wawan.. tidak Yaqinkah anda kalau ALLAH yang menjamin akan terjaganya Ilmu untuk hamba2Nya? yaitu jaminan terjaganya AlQur’an dan alHikmah?! tidak perlulah dengan pemahaman manusia yang terbatas, mengatakan, ‘kita tidak mengetahui apa2 yang dilakukan Rasulullah yang tidak tercatat atau terekam.. ? itu sudah terdata dengan sendirinya dan secara ajaib oleh Kebesaran Allah.. akan segera diketahui bila ada yang melenceng2kan atau memalsu2kan hadist.. karena Allah Maha Genius.. ! tidak ada yang lewat dari teladan Rasulullah sebagai jalan keluar pemecah segala masalah/urusan manusia dari dulu sampai kiamat… karena Allah sudah mengaturnya sedemikian rupa.. ck ck ck.. astaghfirullah…

    • Astaghfirulllah al adzhim berarti anda merasa pemahaman anda adalah yang paling benar donk. merasa paling benar = merasa paling suci dan mulia = muncul sifat takabur =………………. (jabarin sendiri).

  20. Assalamu’alaikum.wr.wb.
    AL-HAMDULILLAH, banyak ilmu yang saya dapatkan dari Habib, semoga habib diberikan Umur panjang dalam memperjuangkan Agama Islam,diberikan kesehatan,dan kekuatan untuk membina ummat ke jalan yang bener.Amiin

  21. ass wr wb
    Doakan saya habib, selamat lahir batin, dunia-akhirat………..
    Saya awam, dan di Bogor dulu cuma tukang sapu di pesantren, namun hati saya selalu berusaha mencintai ahlul sunnah wal jamaah yang punya sanad, khususon para habaib yang arif dan alim.
    Menurut saya, wahabi mirib dengan khawarij, yang mengajak para pemuda yang mempelajari agama tanpa sanad, kemudian menghantamkannya kepada ahlinya. Maksudnya memperbaiki agama, tapi pada prakteknya akan menghancurkan agama.
    Sudah jelas Al Qur’an menyatakan, andai samudera dijadikan tinta untuk menuliskan Kalimat Tuhan (tentang halal, haram, sunnah, makruh, wajib, mubah, dsb) pasti akan kering sebelum semuanya tertulis, walau ditambah satu samudera lagi.
    Pengalaman saya di kampung yang gotong royongnya masih tinggi; pada saat ada kematian: sanak saudara, kerabat dan handai tolan, secara spontan datang ke rumah duka dengan membawa uang, bahan dan tenaga. Lalu saudara terdekat jadi koordinator, sehingga terbentuklah semacam “DAPUR UMUM”. Sehingga baik bahan maupun tenaga, bukan berasal dari tuan rumah yang tertimpa musibah.
    Tugas kita untuk mengembalikan gotong royong dan keihklasan umat, bukan malah menuruni kemauan wahabi untuk membuyarkan tahlil.
    Membuyarkan tahlil mungkin sepele, tapi dampak dari fatwa haram wahabi terhadap Islam dan sejarah Islam di Indonesia adalah penghancuran total.
    Nabiku, Nabiyyil Ummiyyi, sehingga tidak sopan kalau hitam di atas putih, tulisan, dijadikan puncak kebenaran. Saya tidak mau tragedi terulang lagi, khawarij, yang hafal Qur’an tanpa sanad, mendebat Babul Ilmi, Sayyidina Ali. Di Indonesia, seorang Habib, ahlul ilmi, ahlus sanad dan ahlul bait, dicerca oleh pemuda Indonesia yang membaca tulisan-tulisan wahabi. Astaghfirullaahal adhiem…

    • Mas Yayok Haryanto yang dimuliakan Allah
      Pernyataan anda telah membuat saya rindu dan merasa dekat dgn anda
      jika Hati nurani berbicara disitulah kita melihat kebenaran, inilah namanya persaudaraan dan kebersamaan…………….. saya justru merasa khawatir jika masalah berkumpul/mengumpulkan orang saja sudah dilarang, pasti negara ini tdk akan mempunyai kekuatan persaudaraan…….
      Kebanyakan hanya membahas soal syareat nabi dengan buku/kitab saja, padahal buku berceceran diseluruh dunia mungkin yg satu baca yg A yg lainnya baca B.hal ini tdk akan ada titik temu,
      Cobalah kita mulai memahami dengan melakukan kebaikan2 yg Ikhlas. Dan mulailah dari merasa rendah, bodoh dan kecil dihadapan Allah SWT lakukanlah semuanya dgn Ikhlas. Insya Allah jika salah Dia akan menunjuki kita kebenaran dan jika benar Allah akan menambahkannya untuk kita..Kutipan AlQuran : (Bacalah Quran mengenai isi/maksud dan maknanya AKU yang turunkan). Amin

      • iya siih… berkumpul dan bersatunya ummah itu adalah hal yang sangat ditunggu2 dan selalu dirindukan… tapi dalam hal apa..?? bila yang terjadi seperti demikian, yang memberikan makanan dan minuman juga jamuan buat tamu itu dari tetangga2 sekeliling… ya memang itulah yang di suruh oleh Rasulullah.. tetangga2 yang menyediakan makanan, paling tidaknya 3 hari.. untuk menghibur, dan memudahkan kesusahan yang ditinggalkan,.. tapi kenyataannya, keluarga saya sendiri, yang belum bisa saya bukakan fikiran mereka.. mereka mengada2kan uang, dan sampai mengharuskan untuk urunan semua anggota anak2 sang almarhum untuk terus menyumbang dgn jumlah yang ditentukan, agar berlangsungnya acara tersebut… sedangkan masih ada anggota keluarga yang ditimpa kesusahan biaya hidup.. :( untuk makanan, bingkisan ibu2 majlis tahlil, dan nyetak buku, dan terus dilakukan setiap hari2 yang ditentukan, sampai ribuan hari sekarang ini.. sampai menjadi suatu keharusan, bila sudah waktunya tiba haulan, menjadi hal yang besar, dan mengalahkan kebutuhan2 lain yang lebih penting buat kelangsungan hidup.. apakah yang membuat kita menjadi seperti ini?.. karena pemahaman yang salah, kalau tidak ditahlili akan membuat menderita sang ahli kubur.. dan malu sama ibu2 pengajia.. dan bila bingkisan kurang bagus,.. maka ibu2 pengajian agak malas… malah yang datang makin banyak karena bingkisan yang lalu lumayan bagus, lalu sang pengada acara menjadi terbebani dan mengeluh pada kita2, dikarenakan biaya menjadi bertambah karena bertambahnya peserta.. nah disitu sudah menjadi ajang aji mumpung, dan ke tidak tulusan.. bagi saya yang bukan datang dari Allah dan RasulNya, membawa lebih banyak mudhorot dari pada manfaatnya… karena banyak yang kefikiran bila tidak sanggup tahlillan… dari malam ke malam.. demi Allah itulah yang terjadi disini, sekitarnya dan kebanyakan..

        Dasar dan landasan syariat adalah memberikan kemudahan dan menghilangkan kesusahan dari hamba-hamba. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala :
        “Allah tidak menghendaki membuat kesusahan kepada kalian.” (Qs. Al-Maidah: 6)

        “Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada penyiksaan orang ini terhadap dirinya.”(Riwayat Muslim (3/1263) no. 1642)

        “Tidak benar mendekatkan diri (kepada Allah) dengan perkara-perkara yang menyusahkan. Karena seluruh pendekatan diri kepada Allah adalah pengagungan terhadap-Nya, sedangkan perkara-perkara yang menyusahkan itu bukanlah suatu pengagungan atau penghormatan.”(Qawa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam (1/30))

        –> saya setuju dengan anda dalam hal tidak menyusahkan keluarga. Namun keutamaan tahlilan secara umum sebagai mana di artikel, tidak terhapus hanya karena kasus seperti di keluarga anda.

        Anda tak bisa mengharamkannya secara mutlak hanya karena kasus di rumah anda. Perbaiki dulu yg terjadi di keluarga anda, bukan mengharamkannya ke yg lain-lain.

        Mengharamkan hal yg halal adalah bid’ah itu sendiri.

  22. untuk Mr. Porselin, semoga antum masih diberikan penglihatan yang jelas. kan, di atas habib dah secara jelas mencantumkan haditsnya, bukan sekedar terjemahnya. Atau antum gak bisa baca arab, ya. Kalau gak bisa ko petantang-petenteng kaya gitu. Antum sendiri coba tulis dalil yang mengharamkan tahlilan, dzikir, atau seperti yang antum katakan haram itu. Mr. Porselin, antum baca Quran dan Terjemah dalam huruf latin, ya…antum tau, gak itu bid’ah? Kalau gak bisa baca tulis arab jangan sok ngomong2 bid’ah deh…nanti antum susah sendiri.

  23. kata orang kafir=
    kita pede klo di agama kita bebas mengubah2 agama, apa bedanya dengan islam umatnya juga buat yang aneh aneh,…
    oke kita sama2 ….

  24. kami punya dalil, wahabi pun (katanya) punya dalil;
    kami punya sanad, (mudah2an) para wahabi pun punya sanad;
    kalo kami mengerjakan sesuatu yang menurut ilmu kami adalah sunnah, PLIS DONG HORMATI kami, JANGAN MENGGRECOKI kami;
    toh kami ga pernah mengganggu kerjaan kalian, ga pernah mem-“bid’ah/kafir”-kan kalian
    saling hormat aja kok susah amat sih..

    setelah kita mati nanti kan masih ada tahap “PEMBUKTIAN”, kok sepertinya kalian para wahabi itu ga mempercayai tahap ini..
    masalah “nyampe ato ngga” kan nanti bisa dibuktikan kalo kita udah mati..
    masalah siapa benar siapa salah kan masih bisa dibuktikan di “HARI PENGADILAN” kelak..
    nanti kan ketauan juga..
    mau pembuktian lebih akurat? silahkan mati aja! saya jamin para wahabi ini akan bisa membuktikan “sampe ato ngga” dan masalah lain2 yang mereka ribut kan.. SAYA JAMIN!

    umur hidup yang sebentar ini kok diisi dengan mancaci maki orang?
    kok diisi dengan me-bidah/kafir-kan saudaranya sendiri sih?
    kok diisi dengan “memaksakan” pemahaman dan dalil2 kepada saudaranya yang sebenarnya juga punya pijakan yang kuat..
    kok seperti anak kecil yang cuma bisa main kelereng (ga bisa main selain kelereng) tapi malah koar2 dan teriak2 “main layang2 jelek”, “main petak umpet jelek”, “main lari2an ga baik” dll..
    kok ngabis2in tenaga buat ngisi hati dengan kebencian ma sodara sendiri sih?
    Kok seperti komentator, sok sok an memvonis “pemain bola terkenal A seharusnya gini2 mainnya”,”si pemain hebat B itu kok nendangnya gitu”, padahal kalo dia sendiri di kasi bola pasti ga bisa nendang, coba anda perhatikan!

    kok sombong sekali memvonis “salawat yang begituan salah”,
    “zikir yang begituan salah”, “ngumpul2 begituan salah”.. wah wah wah… hebat sekali! saya jamin orang2 beginian tu ga pernah sekalipun baca salawat.. mau bukti?
    pasangin aja di bajunya penyadap atau perekam digital, pasti terbukti…

    mending tenaganya dipake buat da’wah ke pedalaman papua kek, ke pedalaman kalimantan kek, mending berpacu dengan misionaris biar ga kalah da’wah di pedalaman2 sana.. kan ada juga gunanya..
    asal tau aja ya, di pedalaman kalimantan yang ga terjangkau ma jalan/motor/internet/sinyal HP itu sudah ada gereja megah berdiri.. ga percaya? cek aja sendiri! hayo berani ga?

    orang kumpul2 di diskotik ko ga ribut?
    tetangga sebelah ngumpul2 parti2 narkoba tenang2 aja?!
    anak sendiri tawuran santai2 aja?!!
    anak sendiri buka aurat masih bisa santai2???
    oarng2 main judi di facebook ga di apa2in???!!!

    tapi kalo orang kumpul2 baca salawat/tahlilan kok ributnya setengah mati????

    ADA APAKAH GERANGAN???
    INI SENTIMEN ATAU APA SIH??
    KOK RESE BANGET MA KERJAAN ORANG??
    hari ini kerjaan agama sodaranya sendiri yang dikomentrai/dikafirkan/dibid’ah kan, besok jangan2 bentuk muka/potongan rambut sodaranya yang disalah2kan…
    jangan2 besok mungkin cara jalan sodaranya yang dikomentarin..
    jangan2 besok2 tu sodaranya mau maem sayur apa harus konsultasi ma dia dulu…

    KOK JADI KAYA “IBU2 YANG SENANG MENGGOSIP YA????
    tiap hari ada aja yang dikomentari..

    mau ngomentari saya? email aja ke email saya “pake_aza@yahoo.com”

    • SAlut Pak atas jawaban Anda.
      Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kita sifat tawadhu didalam lubuk hati kita masing-masing.

      • saya awam…. nahwu .. Shorof…. juga belum bener

        Semoga Alloh memberikan umur yang panjang kepada Habib agar dapat meneruskan da’wah untuk umat dan saya mohon do’a dari Habib agar saya selalu diberi kekuatan dalam menjalani hidup, do’akan saya sukses agar saya dapat memberangkatkan kedua orang tua saya berangkat Haji dan membelanjakan harta saya untuk kepentingan agama Alloh. saya juga ingin sekali memiliki pesantren dan saat ini saya mengajar pada salah satu pesantren yang kenyataannya beda dengan saya mereka tidak yasinan, tidak tahlil, tidak qunut, terawih kami beda namun mereka tidak saling meyalahkan, semoga ini menjadi satu pelajaran agar umat islam di Indionesia dapat bersatu sehingga serangan2 dari luar islam dapat terkalahkan.

        “Saudaraku Wahabi itu dimana2 selalu menyalahkan dan merasa paling benar” semua orang sudah tau ini. saudaraku wahabi monggo ibadah menurut keyakinan anda .. dan kami ibadah menurut keyakinan kami….. jangan menyalahkan kami karna kami punya dasar. Da’wah anda melalui blog sangat gencar dan selalu menyalahkan kami tapi sayang umat sudah tau kelakuan wahabi yang selalu menyalahkan sehingga umat tidak simpatik terhadap wahabi.

    • Mas Wawan :
      Semoga anda selalu mendapat keberhanNYA,

      Mari kawan2 kita sama2 bertaubat kepada Allah SWT semoga kita selalu ditunjuki jalan yg lurus…… Amin

    • oke mas wawan ga mungkinkan gara gara memperingati maulid,tahlilan,dan sholawatan, pake qunut dan ga pake, tarawih 11 atau 23 kita masuk neraka masak disamain dengan orang yang suka mabuk, judi, mencuri dan maksiat lainnya ya… kayaknya ga logis gitu loh….!!!!

  25. Semoga dan Ridho Allah selalu tercurah kepada Habib Mundzir yg kita cintai. buat porselen sintetis cuma ini yg bisa ku katakan: salah itu manusiawi. orang yang mempertahankan kesalahan itu sama dengan dengan setan. sudah dikasih tau gak mau tau tau itulah orang yang buta mata hatinya. wahabi memamng penebar fitnah. bagaikan telur yang busuk diluarnya seakan-akan putih padahal didalamnya bangkai.

  26. assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh waridhwanuh
    tolong kepada yg mengaku “ahlu sunnah” atau siapapun yg masih merasa Islam. bertutur katalah yg manis terlebih kepada ahlul bait. sedih Beliau Rasulullah saw apabila melihat keluarganya dicaci. nau’dzubillah min dzalik.
    wassalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh waridhwanuh

    • akrommakum inthellahi ath qokuum bukan keturunanya keturunan/nasab tidak berarti apa2 bila dia menyimpang habaib mayoritas pendusta

      –> mulutmu harimaumu. klaim anda ini dusta. Jika anda tak mampu membuktikannya, alangkah sengsaranya besok anda di akhirat. Semua keturunan baginda Nabi saw dari zaman awal sampai menjelang kiamat nanti akan menuntut pertanggung jawaban atas kata-kata anda ini.

      • habaib mayoritas pendusta

        Apakah ada bukti tentang hal ini ? dan apakah orang yang bukan habib tidak berarti banyak yang dusta juga …….

        Apakah Anda sudah banyak bergaul dengan habaib dan kemudian mereka berdusta kepada Anda ? sehingga Anda mengatakan habaib mayoritas pendusta ? Subhanalloh……

    • Assalam wr wb
      beda pendapat itu ga semestinya membuat kita bingung.
      dalam agama kita begitu banyak pendapat2,
      para ulama satu mazhab aja bisa berbeda pendapat, cendekiawan2 dalam sebuah organisasi kadang berbeda pendapat, sesama pemuka Muhammadiyah bisa berbeda pandangan, sesama kiayi NU pun sering berbeda pendapat, bahkan kiayi2 lulusan pesantren yang samapun kerap berbeda pendapat..
      kita ga perlu bingung, apalagi sampe mencela/mengkafirkan/ membidahkan sodara kita yang berbeda pendapat dengan kita..

      yang perlu diperhatikan adalah : “menjadi apapun kita atau mengikuti pendapat siapapun kita atau penganut ormas manapun kita”, sebaiknya kita mengetahui dasar/dalil apa yg kita anut, sebaiknya dasar/dalil itu mempunyai sanad ilmu+amal yang bersambung ke Nabi SAW..
      dan yang tak kalah pentingnya adalah tetap membuka pikiran dan logika kita agar tidak terjebak pada pemikiran yang sempit/dangkal/texbook..

      menurut hemat saya, seseorang yang udah punya dasar/dalil yang bisa dipertanggungjawabkan itu ga perlu dipaksa untuk ikut pendapat/dasar/dalil kita dong..
      pengkafiran/pembid’ahan sebenarnya ga perlu terjadi kalo kita bisa sedikit aja menghormati pendapat sodara kita (tentunya yang punya dasar/dalil yang bsa dipertanggungjawabkan)

      wassalam

    • Aku lama mondok di Jombang,nama-nama ulama itu tidak ada,ini bentuk kebohongan publik dari para abdul wahab…..Nama-nama ulama itu semua fiktif…

      –> sudah dibahas tuntas di blog ini juga mas. Itu fiktif dan fitnah. Pembuatnya ahli bid’ah yang sesungguhnya. Cari dari pojok kanan atas.

  27. assalaamu ‘alaikum wr.wb seandainya terjadi perang antara ahlul bait.ra dengn para musuhnya(pencela,pemfitnah,pembid’ah,wahabi atau apapun bentuknya) ,maka saya akan membela para kasih sayang rasulullah itu sampai darah penghabisan.sholawat serta salaam baginda rosulullah s.a.w dan para keluarganya dan para sahabatnya.saya mohon doa nya wahai habibana.wassalaamu ‘alaikum..wr.wb

  28. ass.wr.wb.salam kenal untuk habib. ana minta doa dan ijazahnya dari habib. ana termasuk pemerhati temen2 yang berkecimpung di kalangan wahabi/salafy. dakwah mereka mengatasnamakan ahlisunnah wal jamaah. dengan modal kuliah di madinah bergelar Lc. (tidak semua Lc). dakwah mereka provokatif dan merasa yang paling nyunah dibanding dengan kelompok lainnya. mereka sngat membenci ulama-ulama di NU dan Habaib. karena dianggap sebagai penyeru bidah.padahal mereka (NU dan habaib) adalah orang-orang yang gigih berdakwah menumpas segala bidah di bumi indonesia ini. ini tentunya karena konsep bidah ala wahabi/salafy berbeda dengan konsep bidah ala ahlisunnah sesungguhnya. kita doakan semoga mereka mendapatkan hidayah untuk kembali kepada pemahaman ulama yang hanif dan memiliki sanad yang muttasil. amin.minta ijin copypaste artikelnya. wassalam.

    • Mudah mudahan saya keliru..
      kami orang yang awam ini melihat realita…mereka mengaku ulama sunnah tapi realitanya jauh api dari panggang kebanyakan ulama ulama NU jarang ada yg menampakkan ciri-ciri keislammanya .. Contoh berjenggot tebal,celana di atas mata kaki,tidak merokok..dll mereka banyak yang mengatakan itu hanya kulit, yg penting ilmumnya.. seorang ulama haruslah menjadi contoh ummat, baik itu yg wajib maupun sunnah..
      berikut ini ..Gus dur,hasyim muzadi,gus sholeh,…dan banyal lagi

      maaf ini hanya sebagai perbandingan awam saja..

      –> mas .. saya bukannya membela ulama yg anda remehkan. Namun anda harus dapat membedakan antara yang sunnah dan yang wajib. antara yang penting dan yang lebih penting. Kalau sekedar tampilan lahiriah saja yang dinilai .. anda pasti tertipu oleh orang-orang macam Snock Horgronje. Snock itu .. bahkan tampak lebih islami dari orang islam (dan ulama) manapun.

      • sampeyan ga perlu bingung, nanti buktikan saja hari kiamat, siapa yg jalannya bener siapa yg salah..
        gampang kan..
        ga perlu susah2 mencela orang lain yg berbeda pendapatnya

      • Mas Wawan,

        Seorang panutan ummat haruslah memberi contoh mulai dari hal yang besar2 sampai yg kecil2/atau yg di anggap rermeh oleh orang awam.. bila panutan Ummat tidak meneladani Rasullullah siapa lagi yg akan membimbing kita,bila pemimpin ummat sudah tidak membela sunnah Nabinya apalagi yang akan kitya harapkan tentulah ummat ini akan lebih tersesat

      • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

        Kepada yang terhormat saudara Suyatno Kusno… Kalau saya perhatikan anda ini lebih banyak Buang Kapak nyari Jarum ya…

        Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

  29. assalamualaikum habib munzir guruku…
    saya saat ini sedang galau dalam hati dan pikiran mengenai hakikat,makrifat,dll,yang menjurus pada ketauhidan.
    betulkah guruku,untuk meraih itu semua saya harus tahu sholat daim dulu?bagaimana tatacaranya?.
    saya pernah memasuki satu tariqoh dan memperkenalkan sholat daim pada saya,namun akhirnya saya tinggalkan krn menurut femahaman sy yg masih dangkal tarriqoh tsb bertentangan dengan syariah.
    entah sy jadi sangat bingung,yg saya tahu saat ini saya sangat merindukan sekali Allah,tapi sya bukan ahli ibadah..entah kadang sy sendiri merasa sya org yg kacau.tolong guruku saya sendiri
    kadang tak tahu apa yg hendak saya sampaikan benar atau salahnya
    apa yg sy terima sampai saat ini mengenai pemahaman tentang tauhid. terimaksh sebelumnya habib guruku atas keikhlasannya menjawab pertanyaanku yg kacau ini,wassalam

    –> wa’alaikum salam wrwb. maaf .. saya bukan habib munzir. Dan saya belum mendengar ada shalat yang namanya shalat daim. Mungkin anda perlu shalat hajat, semoga anda dapat menemukan ulama/alim yang tepat untuk membimbing anda. Kami turut mendoakan. amien.

    • Assalamualaikum..

      Saya sepakat pada ustad munzir bahwa pahala Mendoakan,mengirim bacaan Alquran,sedekah pahalanya sampai pada mayat,berdasarkan ijma para ulama cuma yang tidak saya sepakati adalah acara tahlilan & yasinan itu sendiri, telah lima tahun saya tinggal di jawa timur dan saya melihat hal2 semacam itu seperti sebuah kewajiban apabila ada warga yg meninggal dan apabila warga yg kaya maka seperti sebuah acara pesta dan apabila dari orang yg tidak mampu kebanyakan mereka memaksakan diri..pertanyaan nya kalaulah iya sunnah hasanah kenapa tidak ada contoh dari ulama ulama imam mahzab bahwa mereka mengerjakan tahlilan atau yasinan, paling tidak ini adalah hal2 yang diperselisihkan.. dan meninggalkannya adalah lebih selamat dari mengerjakannya Alhamdulilah dengan mantap hati saya sudah meninggalkannya

      jazakallahu khair ustad manzir

      • kalo sudah jadi tradisi, kadang2 bisa saja terjadi “kelupaan” pada konsep awalnya..
        kelupaan inilah yg perlu diingatkan kembali..
        kelupaan ini yg bikin orang yg ngaku NU dkk ga tau dalil/dasar dari tahlilan,
        begitu ditanya apa dasarnya, mereka ga bisa jawab..
        salah satu dampaknya yaitu tadi, “mewajibkan” tahlilan, sampe2 berhutang supaya bisa tahlilan padahal ga ada biaya, malu ga ngadain tahlilan dll..

        nah mengingatkan dalil/dasarnya inilah yg perlu dilakukan, supaya orang NU dkk tidak melakukan amalan tanpa tau dasar/dalil..

  30. Apa yang difatwakan oleh Imam asy-Syafi’i dengan kejadian dilapangan tidak sinkron dan permasalahannya pun tidak tidak sesederhana yang kita bayangkan,misal banyak yang tahlilan dengan menyertakan (didalam acara tersebut)seperti,menyertakan Telur,kopi pahit,kopi manis,susu yang masing-masing setengah gelas kecil dengan alasan untuk membantu arwah supaya tidak keleleran-yang lebih amannya, hilangkan kebiasaan tahlilan yang diselewengkan pengertiann/praktekya,gunakan dana untuk tahlilan untuk menyantuni anak yatim-bangun acara tahilan dikeluarga dengan membaca/menghatamkan Al Qur’an dan niatkan GANJARAN nya untuk Orang Tua/Keluarga,atau untuk siapapun yang kita kehendaki,rasanya ini akan lebih afdhol ketimbang rame-rame tapi menimbulkan gerutuan dari tetangga karena cuma kebagian ceker ayam,terimakasih,wassalam.

    –> saya belum pernah menjumpai yang seperti itu. Dan seandainya (sekali lagi seandainya) benar .. maka dzikir tahlil tidak menjadi haram hanya karena hal itu. Justru dengan dakwah melalui dzikir (tahlilan) ini hal-hal yg semacam itu dapat dicegah. Peran anda di sana dibutuhkan.

    • masa sih, cuma karena segelintir orang niatnya ga bener, tahlilannya jadi ikut2an digusur..
      logika apa ini?

      kalo logika seperti ini yg dipake,
      mari kita mengobati sakit mata dengan mencabut matanya, marilah kita mengobati sakit dengan membunuh pasiennya, marilah kita menutup total jalan yg dipake ngebut2an..

      apakah karena pelaku kriminalnya orang berjanggut, trus kita bisa mencap semua orang berjanggut adalah kriminal?
      apakah karena segelintir orang bercelana cingkrang melakukan kejahatan, trus semua yg bercelana cingkrang harus ditangkapi?

      apakah karena yg ngebom bali adalah beberapa orang Islam, trus semua orang Islam bisa dicap sebagai pengebom?

      apakah karena ada segelintir pelaku tahlil yg niatnya jelek, trus kita bisa menvonis bahwa membaca “Lailahaillallah” itu salah?

      hati2lah kalo kita ngeliat orang dari sisi jeleknya karena orang lain itu adalah cerminan dari diri kita sendiri, kalo kita meliat orang lain jahat/jelek melulu boleh jadi sebenarnya kita lah yg jahat/jelek itu..

      hmmm.. maksud jahat/jelek di sini sifatnya lho ya..
      trus.. saya menggunakan contoh2 di atas jg biar gampang menganaloginya saja, kebetulan contoh yg lewat di otak saya tadi ya itu tadi..
      ini terpaksa saya jelaskan karena biasanya para pencela tahlilan ini punya kebiasaan menafsirkan sesuatu secara tekstual (apa adanya teks) dan literal dengan meniadakan arti majazi dan kiasan..
      makanya, jangan heran kalo para pencela tahlil ini menganggap Allah punya kaki dan tangan seperti kita..
      gara2 menafsirkan “tangan Allah di atas tangan kita..” secara tekstual dan literal dengan meniadakan arti majazi dan kiasan..

      maaf kalo ada salah kata2.. maklum namanya juga manusia..
      saya udah siap kok kalo dinasehati agar harus lebih banyak belajar tentang Islam lagi..
      saya juga udah siap dinasehati : “kalo ilmu agamanya belum sedalam samudra dan setinggi langit ketujuh, mending diem aja deh”..
      hehehe..

      • Kang WAWAN Yth’
        gini lho ceritanya :kalo di daerah Bantarjati dan sekitarnya,(pada kebanyakan)kalo menghadiri Tahliln itu,ada aja Ustadz yang salah kaprah- Fatwanya blepotan “Ruh itu akan hadir kalo kita nyediain makanan kesukaannya-TERUS :RUH itu akan marah kalau kita kaga ngadain tahlilan nyampe 7 hari/40 hari/100 hari dst,-yang kasian itu yang punya hajat, sampai ada kasus di KALIBATA perumnas JUAL RUMAH demi arwah, ngutang demi arwah, dan yang diundang ya..ustadz itu lagi-malah nyewain GRUP buat I’TIKAF dikuburan selama kontrak disetujui-/USTADZ nya pengen tahu apa nggak….cari aja yang ada dibelakang toko material arab (jl.Pajajaran)kalau denger fatwanya jadi BINDENG (bingung denger)kalo ditanyain HADIS nya mana, dia jawab “ada” tapi nggak pernah diliatin,FATWA nya PABEULIT tapi banyak pengikutnya,makanya kalo kumpul sama tu orang,saya suka tukang nyeletuk “hati hati banyak RUH kelayapan di belakang pintu”.makasih-eh perlu diketahui”NA’UZUBILLAH ,aku bukan dari kelompok INGKAR SUNAH” apalagi dituduh jadi ANTEK ANTEK ISLAM WAHABI…amit amit deh,wassalam.

      • mas TheSalt Asin yg kren..
        1. sepertinya ga ada yg menyebut anda INGKAR SUNAH ato ANTEK WAHABI tuh (koreksi kalo saya salah dengan bukti2 ya)
        dan yg bikin saya bingung lagi adalah sepertinya anda termasuk orang yg “lain pertanyaan lain pula jawabannya”, “ditanya A dijawab B”,
        susah mas kalo diskusi tu isinya muter2..
        (mudah2an saya salah)

        trus..
        2. anda ga membaca koment saya, kata per kata ya?
        terlepas benar atau tidaknya suatu tindakan, kerjaan segelintir orang tidak bisa mencerminkan kerjaan kelompoknya..
        satu orang di kampung anda maling, apakah anda bisa terima dikata2in bahwa orang sekampung (termasuk anda) adalah maling..
        ini contoh..

    • Dengan menyertakan hal hal diatas maka kopi pahit,kue apem,telur dll tergantung daerahnya.. dengan maksud dikirim untuk arwahnya…inilah yg terjadi dirumah orang tua saya.. (Alhamdulillah saat ini sudah tidak lagi) inilah realitanya yg terjadi sudah lebih mendekat kepada syirik

      • bukan kue apem ato kopi pahitnya yg dikirim mas, tapi pahala ngasih makan orang alias pahala sedekahnya, mas..
        ih mas-mas ini gemesin banget..

        kita mengamalkan konsep ngirim pahala bisa sampe, klo sampean ikut konsep yg ga sampe ya terserah sampeyan aja, kita ga sewot kok..

        mengenai bentuk kiriman pahalanya macem2, mas..
        ada yg ngasih pengemis nasi bungkus dgn niat pahalanya buat anggota keluarga yg udah wafat..
        ada jg yg ngumpulin org dirumah, disuguhi maem, tanpa tahlil2an..ada jg..
        ada jg yg bikin mesjid, niatnyapahalanya buat orang yg udah meninggal.. bisa jg..
        sampeyan mau ngasihkan mobil sampeyan ke saya, niatnya pahalanya buat ortu sampeyan juga bisa..

        kalo seandainya ada segelintir orang awam yg ga ngerti konsep ini terus mereka jadi seperti “orang syirik” menurut kacamata sampeyan, tentunya bukan konsepnya yg mesti disalahkan, betul ga?

  31. Muhammad Taufik Akbar
    24 oktober 2010 23:20
    ssalamuailaikum wr.wb

    ana cuma mau ijin copy paste atas jawaban habib.supaya menguatkan aqidah orang-orang yang belum teracuni pikiran2 bid’ah,,

    thank you,,

    walaikumsallam wr.wb

  32. assalamualaikum wr.wb

    ana pernah denger bahwa ada hadistnya yang mangatakan:pada waktu itu ada dua kota ana lupa namanya intinya menjelas kan bahwa ada 2 kota rasulullah mendoakan salah satu kota tersebut.masyarakat kota yang satunya(yang tidak di doakan)berkata:kenapa kota kami tidak di doakan ya rasulullah..???rasulullah menjawab:karna suatu saat dikota ini akan muncul dajjal.ciri-cirinya:aku inget cuma klo ga salah ciri-cirinya:dengan mudahnya mengatakan bid’ah,syirik,haram semudah melepas busur panah.demikian yang ana parnah dengar di majelis2 yang di muliakan Allah SWT.

    wallahu a’lam

    Wassalamualaikum wr.wb

  33. assalamu’alaikum wr wb

    biarlah yang mau tahlilan / yasinan
    biarkanlah pula yang tidak mau tahllilan / yasinan

    kita semua muslim

    wassalamu’alaikum wr wn

  34. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh… salam kenal untuk Habib dari Rahmat.. Wassalamu’alaikum Wr. Wb

  35. Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
    Wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammad

    Shalawat dan Salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya.
    Ya Allah, berikanlah taufiq serta hidayah-Mu kepada umat-Mu yang enggan mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul-Mu. Bukakanlah semua pintu kebenaran pada umat-umat yang telah menyimpang dari ajaran Rasulullah saw.
    Ya Allah, kuatkanlah iman kami, mantapkanlah hati kami pada jalan-Mu, jalan Ahlussunnah wal jama’ah.
    Ya Allah, berkahilah bumi kami dengan semakin maraknya Majelis Dzikir, majelis-majelis yang banyak menyeru Nama-Mu dan Rasulullah.

    Tak lupa juga hamba berdoa, semoga dakwah Majelis Rasulullah bersama Habib Munzir Almusawa semakin semarak dan banyak, sebagaimana cita-cita beliau yang ingin menjadikan bumi Jakarta menjadi Serambi Madinah, menjadikan pemuda-pemudi Jakarta mengidolakan Rasulullah saw.

  36. assalamu’alaykum wr. wb.

    mudah-mudahan kita bukan termasuk golongan yang sesat…
    yang salah satu cirinya adalah suka menjelek2an golongan lainnya,,,

    coba renungkan dan tanya pada nurani kita…

    apakah kita termasuk dalam golongan tersebut,

    wassalam…

    • Mas Gusti,

      Mas kami sangat jauh menuduh golongan sesat kok mas, hanya ingin sharing atau nasehat bahwa tahlilan,yasinan itu tidak ada contohnya dari ulama2 terdahulu..ini adalah bagian dari nasehat agar supaya kita tidak melaksanakan suatu ritual agama dengan tidak dapat apa-apa, malah semangkin lama kita semangkin jauh.. padahal agama ini sudah sempurna, hendaklan tidak di tambah2 atau di kurangi..

      –> Ada mas .. tahlil, yasin (tahlilan dan yasinan adalah majelis dzikir yang membaca tahlil dan/atau surah yasin) itu ada contohnya dari ulama-ulama terdahulu. Justru amal ini termasuk amal berdzikir yang dipraktekkan secara nyata oleh ulama2 terdahulu yang dicontoh/dipraktekkan oleh umat masa kini. Muara-nya juga dari baginda Nabi saw. Kami tak menambah agama ini. Justru yang melarang2 itu yg hendak menambah/mengurangi agama sekehndak pemahamannya saja.

      Masak kalau tak ada contoh … tahu-tahu sekr ada.

      • Mas Yatno…, kiranya antum bisa baca artikel yang di tulis ma Habib Munzir mengenai Tahlil.

        Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk
        sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu
        berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT
        dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih,
        Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
        Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau
        namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa
        ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan
        berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan
        memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah
        hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
        Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha
        puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas
        dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk
        Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat
        Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya
        yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW
        saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan
        ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih
        Muslim hadits no.1967).
        Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan
        Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya
        apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab
        Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai
        Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak
        disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
        Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk
        mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang
        menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat
        manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG
        KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini
        telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI
        KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
        Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka
        terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan
        anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll
        untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW
        menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan
        untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al
        Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH
        DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI
        DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
        Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang
        memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?,
        hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
        Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat
        qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang
        awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an
        dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat,
        bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk
        mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari,
        Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu
        Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila
        mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
        Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya
        muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak
        pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang
        mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
        Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil
        yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh
        Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang
        orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha
        illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang
        mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada
        muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan
        untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan
        atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
        Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan
        computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan
        mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal
        itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya,
        sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram,
        bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka
        tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari
        kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR
        Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
        Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu
        membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka
        ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas
        setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu
        berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia
        ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku
        mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas
        akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
        Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat
        buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak
        melarangnya bahkan memujinya.
        Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu
        ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan
        hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
         Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
        melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji
        untuk Rasulullah saw”.
         Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq
        Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang
        pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk
        Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah
        saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
         Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu
        masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada
        313H
         Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan
        aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali
        khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
        Walillahittaufiq

      • untuk para komentator yang ada di blog ini, saya lampirkan satu tulisan hasil diskusi dengan ulama dan ustadz di langsa, aceh.

        بسم الله الرحمن الرحيم

        Alhamdulillah, segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jalla yang telah mengutus hamba-Nya yang mulia, Muhammad saw., sebagai pemberantas kesesatan dan aneka kepercayaan jahiliyah yang kental dengan ‘ashabiyah (fanatisme buta) dan membawa agama Islam sebagai jalan hidup seluruh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan atas Rasul-Nya, Muhammad saw., keluarganya, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan para pengikutnya yang tetap setia dan teguh dalam menegakkan sunnahnya yang mulia ini sampai akhir zaman.
        Ulasan “Tahlilan: Bid’ah atau Sunnah? (Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)”, yang ada ditangan Anda ini, adalah ulasan singkat mengenai fenomena tahlilan yang hingga hari ini selalu menjadi perselisihan dikalangan umat. Telah kita maklumi bersama, tahlilan merupakan upacara ritual memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Muslim di negeri ini. Dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.
        Sebenarnya ulasan ini penulis hadirkan lebih didasari pada upaya untuk mendudukkan persoalan yang sesungguhnya mengenai tahlilan dalam mashadir al-ahkam (landasan hukum yang disepakati, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.) dan beberapa fatwa ulama mengenai fenomena tahlilan tersebut.
        Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menampilkan dalil dan hujjah baik naqly maupun aqly yang argumentatif serta—Insya Allah, dapat dipertanggung-jawabkan, karena semua dalil tersebut penulis ambil dari dua warisan Nabi saw., yakni al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’ ulama mengenai tahlilan itu sendiri.
        Adanya perselisihan dalam memandang tahlilan ini lebih diakibatkan oleh pemutarbalikan informasi sehingga masyarakat dengan yakin menganggap bahwa tahlilan merupakan bagian dari Sunnah Nabi saw. Padahal jika ditelusuri asal-usulnya secara seksama dan diteliti dalil yang melandasinya tidaklah demikian. Ini bukan berarti penulis sengaja membuka kemarahan, aib, atau menimbulkan kekacauan dikalangan umat. Sebab, mengungkapkan kebenaran informasi yang sesungguhnya mengenai tahlilan ini selama dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar, Insya Allah ada nilai ubudiyahnya.
        Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT dalam kitab-Nya (QS. al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata ‘sabar’ dalam bingkai nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.
        Itulah sebabnya, penulis sangat menyadari benar bahwa tidak semua nasehat bisa diterima dengan lapang dada, apalagi terhadap suatu kebiasaan yang telah mendarah daging dalam kehidupan seseorang atau masyarakat. Bisa jadi penolakan itu lebih dikarenakan ketidaktahuan, menutup mata, menutup hati, merasa paling benar dan besar, atau bahkan tidak mau tahu terhadap kebenaran mashadir al-ahkam dan ijma’ ulama, atau bisa jadi juga karena kesombongan.

        قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألكبر بطرالحق وغمت الناس
        Rasulullah saw., bersabda: “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud, lihat dalam Shahih Muslim, Kitab al-Iman Bab Tahrimi al-Kibr wa Bayanih, Nomor Hadits 91).
        Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Qur’an) dan Nabi saw., (as-Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari nomor 7145 dan Shahih Muslim nomor 1840).
        Selanjutnya penulis akan sangat berterima kasih dan menerima dengan tangan terbuka sekiranya ada yang melakukan kritikan atas tulisan ini. Tentunya dengan cara yang arif dan dewasa. Bukan dengan cara-cara yang tidak simpatik atau teror yang tidak mendidik. Karena selain sama saja dengan menampakkan (maaf) kebodohan sendiri, juga menjadi bukti nyata dan pengakuan secara tidak langsung atas kebenaran tulisan ini. Dan alangkah tidak terpujinya jika penulis pun terjebak ikut melayani tindakan bodoh dengan cara yang bodoh pula. Sebab, Allah SWT telah mengingatkan:
          
        “Dan menghindarlah kamu dari orang-orang yang bodoh”. (QS. al-A’raf: 199).
        Dan juga sebagaimana sabda Nabi saw., yang perlu kita renungkan bersama: “Agama itu nasehat”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Tsauban dan al-Bazzar dari Ibnu Umar. Lihat Jami’ al-Ulum wa al-Hikam yang ditahqiq oleh Wahbah al-Zuhaily). Dan penulis juga mengulas fenomena ini tidak lain sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Hud: 88, yakni:
                        
        “Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sebatas kemampuanku. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal. Dan kepada-Nya jua aku kembali”.
        Tingkat kedewasaan dan keterbukaan Anda, pembaca yang terhormat, membuat penulis yakin bahwa Anda bisa menerima tulisan ini dengan jiwa besar, lapang dada, apa adanya, dan mau merenunginya. Dan penulis optimis, Anda bisa menyimak tulisan ini lembar demi lembar dengan seksama, karena boleh jadi di antara Anda, adalah guru penulis, saudara dan sahabat penulis, dan orang-orang yang penulis kenal dengan baik.
        Akhirnya, kepada Allah jua kita kembalikan kebenaran, karena Dia-lah Pemilik Kebenaran atas segala sesuatu. Selamat Membaca. Wallahu a’lam bish-shawwab.

        TAHLILAN: BID’AH ATAU SUNNAH?
        (Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)

        Muqaddimah
        Kata tahlilan sebenarnya berasal dari kata tahlil, yang dalam bahasa Arab berarti mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah. Pada acara tahlilan, biasanya dibaca beberapa kalimat dzikir, seperti tasbih, tahmid, dan tahlil. Karena tahlil adalah dzikir yang paling utama, maka pertemuan itu disebut dengan istilah tahlilan.
        Acara tahlilan, yakni acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/ruh, merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat Islam di negeri ini. Tentu tatacara dalam penyelenggaraan tahlilan ini berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebagaimana yang penulis amati dari Sabang sampai Jayapura.
        Persoalannya, dapatkah orang mati menerima ganjaran pahala atau dosa karena amalan orang yang masih hidup? Dapatkah orang yang masih hidup mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal (mayit)? Untuk menjawab dan membahas hal ini, penulis mengajak pembaca untuk memperhatikan dan memahami keterangan-keterangan yang penulis paparkan berikut ini.
        1. al-Qur’an Surat an-Najm: 39, yakni:
             
        “Dan sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan, melainkan (menurut) apa yang telah ia usahakan”.

        2. al-Qur’an Surat an-Naba’: 41, yakni:
        • 
        “Pada hari seseorang akan melihat apa yang telah diusahakan oleh kedua tangannya”.
        Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan kedua ayat tersebut, seperti dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 48, 185, dan 286; al-Ankabut: 6; al-Isra: 15; Faathiir: 18; ath-Thur: 21, dan lain-lain.
        Rasulullah saw., juga bersabda dalam sebuah hadits, yang berbunyi:

        إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
        “Apabila seorang anak Adam meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmunya yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya Hadits Nomor 3084; at-Tirmidzi dalam Sunan-nya Hadits Nomor 1298; an-Nasa’i dalam Sunan-nya Hadits Nomor 3591; Abu Daud dalam Sunan-nya Hadits Nomor 2494; dan Imam Ahmad dalam al-Musnad-nya Hadits Nomor 8489).
        Dari beberapa ayat dan hadits tersebut, jelas bahwa setiap orang hanya bertanggung jawab atas hasil usahanya sendiri. Tetapi anehnya, banyak perilaku umat Islam yang jauh dari konteks kesucian al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Tidak sedikit dari kalangan masyarakat Islam yang tidak menyadari bahwa ada kebiasaan-kebiasaan yang telah menjamur dan melembaga ternyata sangat diragukan kebenarannya.
        Salah satunya adalah tahlilan. Jika tahlilan dikatakan bid’ah atau haram, pasti banyak yang akan terkejut, tidak percaya, atau mungkin sampai pada tingkat marah-marah. Dan orang yang mengatakan atau menginformasikan hal tersebut tentu dianggap telah meresahkan masyarakat, atau dicap pembuat onar dalam tatanan masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin kebiasaan yang dilakukan oleh jutaan orang tiba-tiba dikatakan bahwa tahlilan itu bid’ah atau haram? Bagaimana mungkin dikatakan bid’ah atau haram sedangkan banyak ulama, teungku, ustadz, atau orang-orang yang memiliki pengetahuan agama malah mengerjakannya bahkan ikut melestarikannya?
        Tapi tahukah Anda, Imam asy-Syafi’i –yang banyak diikuti madzhabnya di negeri ini, memvonis tahlilan itu sebagai perbuatan bid’ah atau haram? Tahukah kita, bahwa Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, al-Hafizh Imam Ibnu Katsir, Imam ar-Ramly, dan masih banyak lagi ulama-ulama Syafi’iyah (madzhab Syafi’i) juga memvonis atau menyatakan bahwa tahlilan itu perbuatan bid’ah atau haram?
        Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengutip fatwa-fatwa para Ulama tersebut secara apa adanya dari kitab mereka masing-masing.

        1. Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm, (juz 1/248; dan I/317-318):
        وأكره المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذ لك يجددالحزن
        “Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) kumpul-kumpul, yaitu berkumpul di rumah (mayit) walaupun bukan untuk melakukan ratapan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbarui kesedihan”.

        2. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Mughny al-Muhtaj, juz. 1 hal. 268:
        وأما إصلاح أهل الميت طعاماوجمع الناس عليه فبدعة غير مستحبة
        “Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpul beramai-ramai di rumah mayit dalam acara tersebut (tahlilan), maka itu adalah bid’ah dan bukan sunnah”.

        3. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam I’anah ath-Thalibin sebagai syarah Fathul Mu’in, juz. 2 halaman 146:
        وما اعتيدمن جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة مكرو هة كإجتما عهم لذالك لما صح عن جرير قال: كنا نعدا لإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة
        “Dan apa yang telah menjadi kebiasaan berupa menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang orang-orang berkumpul di rumah duka adalah bid’ah makruhah, karena terdapat hadits shahih (yang menerangkan hal itu) dari sahabat Jarir ibn Abdullah ra., beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga mayit dan menyiapkan makanan adalah (sama) dengan ratapan (niyahah)”. (HR. Ahmad dalam al-Musnad-nya, jilid II, halaman 204. Silahkan baca juga Kitab Tuhfatul Ahwadzi (IV: 67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim).

        4. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi, juz. 1 hal. 90:
        وأماقراءة القرآن فالمشهور من مذ هب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلىالميت…ودليل الشا فعي وموافقيه قول الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
        “Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi…Sedang dalilnya Imam asy-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya): “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri”, dan sabda Nabi saw., (yang artinya): “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal usahanya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak yang shalih (laki-laki/perempuan) yang berdoa untuknya (mayit)”.

        5. Imam as-Subki dalam Takmilatul Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz. 10 hal. 426:
        وأماقراءةالقرآن وجغل ثوابهاللميت والصلاة عنه ونحوها فذهب الشافعي والجمهورانهالاتلخق الميت وكررذالك في عدةمواضع في شرح مسلم
        “Adapun bacaan al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit, dan sebagainya, menurut Imam asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim”.

        6. Imam al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. 2 halaman 9:
        ألميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المتقدمون من أن القراءة لاتصله أي الميت لأن ثوابها للقاري والثواب المرتب على عملل لاينقل عن عا مل ذالك العمل قال الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى
        “Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama Mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab, pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari yang mengamalkan perbuatan itu, berdasarkan firman Allah (yang artinya): “Dan manusia tidak memperoleh melainkan pahala dari hasil usahanya sendiri (QS. an-Najm: 39,–pen.)”.

        7. Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz. 5 halaman 286:
        وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيئ وهوبدعة غير مستحبة
        “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan”.

        8. Imam al-Qalyuby dalam Hasyiyah al-Qalyuby, juz. 1 halaman 353:
        قال شيخناالرملي, ومن البدع المنكرة المكروه فعلها كما في الروضة مايفعله الناس ممايسمى الكفارة. ومن صنع طعاما للإجتماع عليه قبل الموت اوبعده ومن الذبح على القبور
        “Guru kita, Imam ar-Ramly telah berkata sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab ar-Raudhah (Imam an-Nawawi), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum, maupun sesudah hari kematian”.

        9. Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, juz. 1 halaman 577:
        ومااعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعواالناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
        “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan daripada penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya adalah bid’ah munkarah yang makruhah berdasarkan keterangan shahih dari Jarir ibn Abdullah”.

        10. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Iqna’ Li asy-Syarbiny, (I/210):
        أمااسطناع أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غيرمستحبة
        “Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.

        11. Dalam Kitab ar-Raudhah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 145:
        وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمعهم الناس عليه فلم ينقل فيه شيئ قال وهوبدعة غير مستحبة
        “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.

        12. Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid IV hal. 335, ketika menafsirkan QS. an-Najm: 38-39, beliau berkata:
        أي كما لا يحمل عليه وزرغيره, كذالك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هولنفسه. ومن هذه الأية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه.أن القراءة لايصل إهداءثوابها الى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم. ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولاحتهم عليه ولاارشدهم إليه بنص ولا إيماء ولم ينقل ذالك عن احد من الصحابة رضي الله عنهما, ولو كان خيرا لسبقونا إليه…ولا بتصرف فيه بانواع الاقيسة والاراء.
        “Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Melalui ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak dapat sampai kepadanya karena bukan dari amal usahanya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah saw., tidak pernah men-Sunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perbuatan tersebut, serta tidak pula merujuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun dengan satu nash (dalil) maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang Sahabat Rasul pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau memang perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat) lebih dahulu mengerjakannya. Padahal amalan mendekatkan diri kepada Allah hanya terbatas yang ada nashnya (dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”.

        13. Imam al-Muzani dalam Hamisy al-Umm, juz. 7 halaman 269:
        فأعلم رسول الله صلى الله عليه وسلم, كما اعلم الله من أن جناية…امري عليه كما أن عمله ولا لغيره ولا عليه
        “Rasulullah saw., memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah SWT, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain”.

        14. Imam al-Khazin dalam Tafsir al-Jamal, juz. 4 halaman 236:
        والمشهورمن مذهب الشافعي أن قراءة القرآن لايصل للميت ثوابها
        “Dan yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, bahwa bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi”.

        15. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy (mengutip keterangan dari Kitab al-Bazzaziyah) dalam I’anah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 146:
        ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع ونقل الطعام الىالقبور.
        “Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (peringatan khaul)”.

        Demikianlah keterangan ulama-ulama dari kalangan madzhab asy-Syafi’i, yang semuanya menyatakan pengharaman dan menganggap bahwa berkumpul di rumah mayit yang dikenal dengan istilah tahlilan adalah bid’ah munkarah yang makruhah.
        Tentu, fatwa ulama-ulama yang dikagumi dan sangat berpengaruh dikalangan Syafi’iyah tersebut semuanya berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., yakni sebagaimana termaktub dalam QS. an-Najm: 38-39 dan juga keterangan shahih dari Jarir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al-Musnad-nya (II/204) dan Ibnu Majah (1/514, no. 1612) dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim. Dapat juga diperiksa dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV/67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim.
        Islam, sebagaimana yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., yang kemudian diteruskan kepada umatnya, adalah agama yang sudah dijamin kesempurnaannya. Hal ini jelas sekali termaktub dalam QS. al-Maidah ayat 3, dimana Allah SWT menyatakan bahwa:
                  
        “Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu”.
        Karenanya, sebagai hamba Allah, tentu dalam beribadah kita tidak boleh mengerjakan sesuatu tanpa ada landasan, karena Islam yang telah Allah ridhai ini adalah Islam yang sempurna, tidak ada yang tertinggal sedikitpun. Bahkan dengan sangat tegas Nabi saw., menyatakan bahwa kita tidak akan tersesat selama-lamanya jika kita berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, 3/93; juga dalam Tanwirul Hawalik Syarh al-Muwaththa’, oleh as-Suyuthi; dan dalam ar-Riyadhul Jannah, no. 31-33; asy-Syaikh al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”.).
        Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw., bukan persangkaan atau kira-kira atau menggunakan perasaan. Bagi seorang Muslim, tidak boleh ada perasaan atau ungkapan: Ah, ini kan baik…atau: Apa salahnya kita kerjakan…dan lain-lain ungkapan. Sebab, Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan:
                   •      
        “Persangkaan itu sedikitpun tidak akan bermanfaat bagi kebenaran”. (al-Qur’an Surat an-Najm: 28).

        إياكم والظن, فإن الظن أكذب الحديث
        “Jauhilah olehmu sekalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Imam Muslim dari Yahya bin Yahya, Abu Daud dari al-‘Atabi, juga Imam Malik dari Abu Hurairah, dan lafazh diatas adalah lafazh Imam Malik).
        Oleh karena itu, cara yang paling baik dan selamat bagi kita dalam ber-Islam ini adalah dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walaupun kebanyakan manusia berbuat sesuatu dalam ibadah, atau melakukan tatacara dalam ibadah yang tidak berdasar petunjuk Sunnah, kita tetap tidak boleh mengikuti yang demikian. Sebagaimana Allah nyatakan dalam QS. al-A’raf: 3, yakni:
                     • 
        “Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan jangan kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh sedikit sekali kamu ingat kepada-Nya”.
        Juga sebagaimana sabda Nabi saw:
        من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
        “Barangsiapa yang mengerjakan suatu ibadah yang tidak ada dasar (tuntunannya) dari kami, maka ia tertolak”. (HR. Bukhari nomor hadits 2697 dan Muslim nomor hadits 1718, dari ‘Aisyah).

        من أرضىالناس بسخط الله وكله الله إلى الناس
        “Barangsiapa yang menginginkan keridhaan manusia dengan membuat murka Allah, maka Allah akan menjadikan dia bergantung pada manusia”. (HR. Tirmidzi, Qadha’i, Ibnu Bisyran, dan lain-lain, sebagaimana dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah Hadits Nomor 2311, juga termaktub dalam Kitab Takhrij al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah).
        Lalu, bagaimana dengan madzhab lainnya, seperti Malikiyah, Hanafiyah atau Hanabilah? Apakah dalam ketiga madzhab itu ada tahlilan juga? Untuk menjawabnya, berikut penulis paparkan fatwa-fatwa ulama-ulama dari ketiga madzhab tersebut.

        1. Hanafiyah (pendirinya: Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit)
        a. Muhammad Amin dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, juz. 2 halaman 240:
        ويكره اتخاذالضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشروع. وهي بدعة مستقبحة, وروى الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة. وفي البزازية: ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعدا لأسبوع.
        “Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah (lihat dalam Sunan Ibnu Majah, juz. 1 hal. 514) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”. Dalam kitab al-Bazzaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya”.

        b. Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah, juz. 1 halaman 409:
        وتكره الضيا فة من أهل الميت, قال في البزازية ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوعٍ
        “Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab Al-Bazzaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya”.

        c. Ibn Abdul Wahid al-Siewasy dalam Syarh Fath al-Qadir, juz. 2 halaman 142:
        ويكره اتخاذالضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشروع. وهي بدعة مستقبحة, وروى الإمام احمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
        “Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit karena hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah (lihat Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.

        2. Malikiyah (pendirinya: Imam Malik bin Anas)
        Sebagaimana diterangkan oleh Abu Abdullah al-Maghraby dalam Mawahib Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, juz. 2 halaman 228:
        أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فقد كرهه جماعة وعدوه من البدع لأنه لم ينقل فيه شيئ وليس ذالك موضع الولائم…
        “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama. Bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah karena tidak didapatkan keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut dan keadaan tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)…”.

        3. Hanabilah (pendirinya: Imam Ahmad bin Hanbal)
        a. Ibnu Qudamah al-Muqaddasy dalam al-Mughny, juz. 2 hal. 215 (cetakan baru yang ditahqiq Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, juz 3 hal. 496-497):
        فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأنه فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم الى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية ويروى ان جريرا وفد على عمر فقال: هل يناح على ميتكم؟ قال: لا. قال: وهل يجتمعون ثم أهل الميت ويجعلون الطعام؟ قال: نعم. قال: ذالك النوح وإندعت الحاخة.
        “Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit hukumnya makruh. Karena telah menambah musibah baru kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, lalu Umar bertanya: “Apakah kalian suka meratapi mayit?” Jawab Jarir: “Tidak”. Umar bertanya: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 halaman 487).

        b. Abu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy dalam al-Furu’ wa Tash-hih al-Furu’, juz. 2 halaman 230-231:
        إنما يستحب (صنع طعام) إذاقصدبه أهله. فأما لمن يجتمع عندهم فيكره للمسا عدة على المكروه. يكره صنيع أهل الميت الطعام.
        “Sesungguhnya, disunnahkan mengirimkan makanan itu apabila tujuannya untuk keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul disana, maka makruh hukumnya. Karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh, demikian pulan makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit”.

        c. Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly dalam al-Mabda’ fi Syarah al-Miqna’, juz. 2 halaman 283:
        وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة. زاد في المغني والشرح: إلا لحاجة, وقيل يحرم. وإسناده ثقات.
        “Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah dan sebagian lain mengatakan (berpendapat) haram. Sanad hadits tentang masalah tersebut adalah tsiqat (terpercaya)”.

        d. Manshur bin Idris al-Bahuty dalam ar-Raudhah al-Marbi’, juz. 1 halaman 355:
        ويكره لهم أي لأهل الميت فعله اي فعل الطعام للناس لما روى أحمد عن جرير.
        “Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Jarir”.

        e. Syaikhul Islam Imam Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa Rasa’il wa Fatawa Ibnu Taimiyah fi al-Fiqh, juz. 24 halaman 316:
        وأما صنعة أهل الميت طعاما يدعون الناس إليه فهذا غير مشروع وإنما هو بدعة بل قد قال جرير بن عبد الله: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم اطعام من النياحة.
        “Adapun penghidangan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan itu bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir ibn Abdullah: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”. (Note: fatwa senada juga dapat disimak dalam Fathurrabbani Tartib al-Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, 8/95-96, oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna – pen.).

        Berdasarkan beberapa fatwa ulama-ulama dari madzhab lainnya (Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah), terungkap dengan jelas adanya kesamaan fatwa mereka mengenai bid’ahnya tahlilan ini seperti halnya fatwa Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Para ulama mutaqaddimin tersebut mengeluarkan fatwa-fatwa mereka dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw., sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 48, 185, 286; an-Najm: 38-39; an-Naba’: 41; al-Ankabut: 6; al-Israa’: 15 dan lain-lain, juga berlandaskan pada beberapa hadits berikut:
        1. Imam Bukhari dalam Shahih-nya (juz. 1 hal. 23); Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (juz. 2 hal. 63); Baihaqy dalam Sunan al-Kubra (juz. 3 hal. 18); dan Imam an-Nasa’i dalam al-Mujtaba (juz. 8 hal. 121-122) mengeluarkan hadits:
        إن هذا الدين يسر…الخ
        “Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah”.

        2. Yang diterima dari sahabat Jarir ibn Abdullah al-Bajaly, kemudian dikeluarkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad, juz. 2 halaman 204) dan Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514, no. 1612), yaitu:
        كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
        “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.

        3. Yang diterima dari Thalhah, kemudian dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, yaitu:
        قدم جرير على عمر فقال: هل يناح قبلكم على الميت؟ قال: لا. قال: فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام؟ قال: نعم. فقال: تلك النياحة.
        Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar bertanya: “Apakah kalian suka meratapi mayit?” Jawab Jarir: “Tidak”. Umar bertanya: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).

        4. Yang diterima dari Sa’id bin Jabir dan dari Khaban (Abu Hilal) al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan oleh Abdul al-Razaq. Hadits tersebut dengan lafazh berbeda dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah melalui perjalanan sanad: Fudhalah ibn Hashien dari Abdul al-Karim dari Sa’id ibn Jabir, yaitu:
        من عمل الجاهلية النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المراءة ثم اهل الميت ليس منهم.
        “Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah: niyahah, hidangan dari keluarga mayit dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”. (Abdul al-Razaq ash-Shan’ani dalam al-Mashhaf, juz. 3 hal. 550; Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
        Dengan lafazh yang berbeda tetapi maknanya sama, pada hal. 487, Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, mengeluarkan dua hadits lain, yaitu: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin al-Jarah dari Soufyan dari Hilal bin Khabab dari Khabab al-Bukhtary, beliau berkata: “Makanan yang dihidangkan keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah, dan niyahah (meratapi mayit) merupakan perbuatan jahiliyah”.
        Dan juga hadits berikut: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: “Saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: “Kalian akan (mendapat) bencana dan akan merugi”.

        Lalu, bagaimana dengan ulama-ulama kontemporer (mutaakhirin)? Apakah mereka juga ada membahas persoalan tahlilan ini? Untuk memuaskan keinginan dan dalam rangka menunjukkan kebid’ahan tahlilan, maka berikut ini penulis paparkan fatwa-fatwa ulama kontemporer tersebut dalam uraian berikut ini:
        1. Ali Mahfuzh dalam al-Ibda’ fi Madlar al-Ibtida’, halaman 229:
        ولايصلح الطعام لمن يجتمع عند أهل الميت بل يكره لأنه إعانة على المكروه وهوالإجتماع عندهم…وكذا يكره فعل أهل الميت ذالك الطعام للناس يجتمعون عندهم.
        “Tidak diperbolehkan menghidangkan makanan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumah keluarga mayit, bahkan hukumnya makruh karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit…demikian pula keluarga mayit dimakruhkan menghidangkan makanan tersebut kepada orang-orang yang sedang berkumpul tadi”.

        2. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Kitab at-Tauhid, halaman 109-110 menyatakan bahwa kebiasaan berkumpul menunjukkan perasaan al-ma’tam (duka cita), berikut penghidangan makanan dari keluarga mayit merupakan kebiasaan orang kafir yang ditiru oleh umat Islam dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah.

        3. Syaikh Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, halaman 1578-1579 menulis:
        فمكروه وبدعة لا أصل لها. لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجا هلية وإكان في الورثة قاصردون البلوغ فيحرم أعداد الطعام وتقديمه قال:كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
        “Adapun penghidangan makanan untuk masyarakat yang dilakukan oleh keluarga mayit adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada asalnya dan yang dimakruhkan, karena hal tersebut mengandung arti menambah beban musibahnya serta menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyah, apabila biayanya berasal dari harta waris yang diantara ahli warisnya terdapat anak yang belum baligh, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. Jarir bin Abdullah telah berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.

        4. An-Nawawy al-Bantany dalam Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’in, hal. 281:
        وتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل…وقدجرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام للعشرين وفي الأربعين وفي الماءة وبعد ذالك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما فأده شيخنا يوسف السنبلاويني, أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
        “Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan. Namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ketujuh atau hari-hari lainnya. Sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ketujuh atau keduapuluh atau keempatpuluh atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal itu semua hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya apabila biayanya berasal dari harta anak yatim”.
        Catatan: Syaikh Nuruddin ar-Raniry dalam Shirathal Mustaqim juz. 2 hal. 50 dan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabil al-Muhtadin juz. 2 hal. 87 menyatakan bahwa itu termasuk kategori bid’ah.

        5. Kesepakatan fatwa Nahdlatul Ulama dalam al-Mawa’idz Edisi No. 13 halaman 200, dan Edisi No. 18 halaman 285-286, yang menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan hukum tahlilan sebagai perbuatan yang membebani keluarga mayit, bertolak belakang dengan hadits yang memerintahkan untuk mengirimkan makanan kepada keluarga mayit, bukan sebaliknya (lihat dalam Sunan Abu Daud 3/195; Sunan al-Kubra al-Baihaqy 4/61; Sunan ad-Daraquthny 2/78; Sunan at-Tirmidzi 3/323; al-Mustadrak al-Hakim 1/527; Sunan Ibnu Majah 1/514).
        Berdasarkan keterangan as-Sayid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam Kitab I’anah ath-Thalibin, ternyata para ulama dari keempat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah “nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dan sebagainya” merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai oleh agama.
        Ini diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi tahlilan sebagai perbuatan bid’ah munkarah itu ternyata adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Kesimpulannya, bahwa hukum tahlilan yaitu bid’ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, bahkan dapat berubah menjadi haram li ghairihi (menjadi haram dikarenakan sebab lain) apabila biaya tahlilan berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang diwariskan pada ahli waris yang belum baligh.

        Sebelum penulis akhiri uraian ini, barangkali ada yang memprotes tentang tahlilan ini. Namun, jika kita bertanya kepada yang mendukung tahlilan mengenai alasan atau argumentasi mereka yang membolehkan tahlilan, maka yang kita temukan jawabnya hanya berdasarkan istihsan belaka, seperti ungkapan: “…lho, ’kan itu baik…kenapa tidak boleh, kan ada doanya…ini kan cuma silaturrahmi…ada nilai-nilai shadaqah melalui hidangan…teungku kami bilang boleh-boleh saja…” atau ungkapan lainnya. Sangat jarang sekali (kalau tidak ingin dikatakan tidak pernah ada) mereka berusaha memberikan dalil naqly yang shahih, atau dha’if bahkan maudhu’ sekalipun tentang tahlilan ini.
        Penulis pernah diberitahu adanya dalil naqly tentang bolehnya tahlilan dan menghidangkan makanan bagi keluarga mayit yang penulis terima dari seorang jamaah yang sering mendengar ceramah penulis. Adapun dalil tersebut berdasarkan keterangan dari kitab Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah yang ditulis oleh Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy juz. 1 halaman 409, juga berlandaskan pada istihsan sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Fawakih ad-Diwani yang ditulis oleh Ahmad bin Ghunaim bin Salim an-Nafrawy al-Maliky.
        Kedua kitab itu menukil hadits sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Baihaqy dan ad-Daraquthny. Hadits tersebut sebagaimana ditulis dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (ath-Thahthawy) adalah sebagai berikut:
        عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال: خرجت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة, فلما رجع استقبله داعى إمرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه.
        “Dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.

        Namun, setelah hadits yang dijadikan argumen oleh ath-Thahthawy dan yang dijadikan pedoman oleh orang yang mendukung tahlilan tersebut diteliti dan dicermati lagi dengan seksama dan penuh kehati-hatian, ternyata ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan bunyi hadits aslinya. Berikut penulis paparkan hadits dari Abu Daud yang penulis rujuk langsung dalam as-Sunan-nya, juz. 3 halaman 244:

        خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبريوصى الحا فرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلمارجع استقبله داعي إمرأة فجاءوجئ بالطعام فوضع يده…الخ
        Perbedaannya dalam versi ath-Thahthawy dengan hadits aslinya sungguh teramat jauh, ada lafazh yang diberi dlamir mudzakar gha’ib (imra-atuhu) yang mengandung arti: “istrinya mayit”. Sedangkan dalam Kitab aslinya (Sunan Abu Daud, juz. 3 halaman 244) atau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqy (Sunan al-Kubra, juz 5 halaman 335), Imam ad-Daraquthny (Sunan ad-Daraquthny juz. 4 halaman 285), Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad juz 5 halaman 293 dan 408), dan Abu Ja’far ath-Thahawy (Syarh Ma’any al-Atsar juz 2 halaman 293) menyatakan bahwa lafazh tersebut adalah “imra-atun” (tanpa diberi dlamir mudzakar gha’ib), yang artinya mutlak “wanita”.
        Bahkan didalam salah satu hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita yang menemui Rasulullah saw., tersebut adalah seorang wanita Quraisy yang menyampaikan pesan dari seorang wanita yang tidak diketahui statusnya, yang didalam matan haditsnya diberi identifikasi dengan klausul fulanah (lihat dalam al-Musnad juz 5 halaman 293).
        Secara lafzhy, memang hadits tersebut ada hubungannya dengan masalah orang mati, tetapi inti pesan hukum yang termaktub dalam hadits tersebut justru tidak ada hubungannya dengan masalah orang mati. Karenanya, tidak ada satupun hukum dari ulama-ulama madzhab yang membolehkan tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit.
        Jika anda masih kurang paham dan mengerti juga, maka kami persilahkan untuk memperhatikan dengan seksama dan benar-benar jujur terhadap hadits tersebut dari segi penempatan permasalahannya. Kitab Sunan al-Kubra Baihaqy menempatkannya dalam bab Muamalah, Sunan ad-Daraquthny menempatkannya dalam Bab Makanan, dalam Kitab Syarh Ma’any al-Atsar yang ditulis Abu Ja’far ath-Thahawy ditempatkan dalam Bab Makanan (4/208), dan dalam Kitab Nishb ar-Rayah juga ditempatkan dalam Bab Ghasab (4/168).
        Bagaimana dengan alasan istihsan yang digunakan untuk menjustifikasi bolehnya tahlilan? Sebenarnya jika kita mau jujur, dalam wilayah ushul fiqh, eksistensi istihsan sendiri masih diperselisihkan. Jika ulama-ulama Hanafiyah membela habis-habisan tentang istihsan karena ide istihsan ini muncul dari Imam Abu Hanifah (terutama dari sahabat sekaligus muridnya, Abu Yusuf), maka ulama-ulama Syafi’iyah dan ulama-ulama Hanabilah (Hanbali) justru menentang dan menolaknya tanpa kompromi.
        Dalam kitab Ushul Fiqh (sebagaimana dikutip al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami, juz 2 halaman 353) dikatakan bahwa istihsan yang diartikan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada ketentuan kultur (budaya/tradisi) adalah ditolak. Bahkan dengan sangat tegas Imam asy-Syafi’i menyatakan:
        من استحسن فقد شرع
        “Barangsiapa yang mengamalkan istihsan, maka berarti ia telah menciptakan hukum syara’ (baru)”. (lihat al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami juz. 2 halaman 353; lihat juga al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi ‘Ilmi al-Ushul halaman 171).
        Demikian tegasnya Imam asy-Syafi’i tentang hal ini, sehingga sungguh tidak masuk akal—bahkan sangat aneh, apabila ada orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyah, tetapi masih saja suka tahlilan, yang artinya adalah menciptakan hukum syara’ baru tanpa mashadir al-ahkam (landasan hukum) yang telah disepakati, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
        Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah, Nabi saw., menyatakan bahwa membuat hukum syara’ baru dianggap bid’ah dan mutlak tertolak. Bahkan perbuatan ini jelas-jelas menuduh Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam, padahal tidak ada satupun yang tidak disampaikan oleh Rasulullah saw., kepada umatnya.
        Abdullah bin Mas’ud ra., berkata: “Ikutilah Sunnah Nabi saw., dan jangan kalian melakukan bid’ah. Kalian telah memperoleh petunjuk yang cukup. Karenanya, ikutilah jalan salaf” (al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabari no. 8770). Abdullah bin Abbas ra., juga berkata: “Jangan kamu mengucapkan (sesuatu) yang menyalahi al-Kitab dan as-Sunnah” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/205). Sungguh telah diketahui secara dharury, bahwa hanya Allah SWT yang berhak menciptakan hukum syara’, sementara kita selaku manusia hanya sekedar meng-izhar-kan (menjelaskan saja) hukum tersebut.
        Berdasarkan uraian diatas, maka dapat kita pahami bahwa Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya menyatakan bahwa al-ma’tam, yakni berkumpulnya orang-orang di rumah keluarga mayit digolongkan dalam perbuatan niyahah, sedangkan Rasulullah saw., menegaskan bahwa orang yang berperilaku niyahah bukan termasuk umatnya karena dianggap menyerupai perilaku jahiliyah.
        Kita juga tidak menerima satu pun keterangan mengenai diperbolehkannya tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, apakah itu berbentuk hadits shahih dari Nabi saw., atau dari sahabat-sahabat beliau, atau dari Imam-imam madzhab dan juga imam-imam lainnya (ahli tafsir dan ahli hadits) sebagaimana dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa Rasa’il wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (juz. 25 halaman 299-300).
        Tahlilan merupakan salah satu perbuatan bid’ah munkarah yang makruhah, maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk tidak mengerjakannya dan mencegah keluarganya dan muslim lainnya terhadap perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan fatwa Mufti Makkah al-Musyafarah, Syaikh Ahmad bin Zainy Dahlan (sebagaimana dikutip dalam I’anah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166), yaitu:

        ولاشك ان منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء السنة وماته للبدعة وفتح الكثير من أبواب الخير وغلق لكثير من أبواب الشر
        “Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut mengandung arti menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah sekaligus membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan”.

        Khatimah
        Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit hukumnya adalah bid’ah dengan kesepakatan para sahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya Imam yang Empat. Akan semakin bertambah bid’ah tahlilan ini bila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah, dan dilakukan pada hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, malam keempat puluh, dan khaul.
        Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut Sunnah Rasulullah saw., adalah kaum kerabat/sanak famili dan atau tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang dapat mengenyangkan mereka sebagaimana hadits Nabi saw., ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat (lihat hadits tersebut dalam al-Umm, 1/317; Abu Daud; at-Tirmidzi; Ibnu Majah; dan Imam Ahmad, 1/205).
        Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT dalam kitab-Nya (QS. Al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata ‘sabar’ dalam bingkai nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
        Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Qur’an) dan Rasulullah saw., (as-Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari Nomor 7145 dan Shahih Muslim Nomor 1840).

             •          .        •     .
        “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran: 31-32).

              •           •   • .
        “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisaa’: 115).

                 •             •   .
        “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.

        Dengan mengucapkan بسم الله الرحمن الرحيم penulis mengajak kepada siapapun yang ingin membersihkan akal dan hatinya agar kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalihin, menegakkan Tashfiyah, yakni memurnikan ajaran Islam dari segala noda syirik, bid’ah, khurafat, takahyul, dan gerakan-gerakan serta pemikiran-pemikiran yang merusak kemurnian ajaran Islam, melakukan gerakan Tarbiyah kepada umat Islam berdasarkan ajaran Islam yang murni, menghidupkan pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan tidak menyimpang dari pemahaman Salafush Shalihin.
        Demikianlah akhir dari tulisan ini, semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu a’lam bish-shawwab.

      • Abu Hafidz :

        Tulisan Saudara :

        4. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi, juz. 1 hal. 90:
        وأماقراءة القرآن فالمشهور من مذ هب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلىالميت…ودليل الشا فعي وموافقيه قول الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله

        “Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi…

        Tanggapan saya :

        Kitab yang saya pegang adalah Syarh An-Nawawi ala muslim dalam bab : (Penjelasan Iman, Islam, ikhsan, dan iman terhadap qodar).
        Saya bingung aja terhadap penamaan kitab An-Nawawi yang ditulis Saudara, tapi itu tidak jadi soal.

        Karena Saudara memotong perkataan Imam An-Nawawi maka saya akan menjelaskannya pada bagian yang Saudara potong itu. ( pembahasan beberapa point yang lain sudah ada beberapa di komentar saya silakan dibaca ).

        Redaksi lengkapnya sbb :

        وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ : يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ .

        Adapun pembacaan Al-qur`an, maka yang mashur (terkenal) dari Madzhab Syafi`i bahwa ia (pembacaan Al-Quran) tidak akan sampai pahalanya (yang dikirimkan) kepada mayit….. ( KENAPA SAUDARA POTONG SAMPAI DISINI ABU HAFIDZ ? ) padahal ada kelanjutannya , kelanjutannya adalah : dan berkata sebagian shahabat nya (pengikut madzhab Syafi`i) bahwa AKAN SAMPAI PAHALA (bacaan Al-quran yang dikirimkan) kepada mayit. kelanjutannya sbb:

        وَذَهَبَ جَمَاعَاتٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْقِرَاءَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ ، وَفِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ فِي بَابِ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَمَرَ مَنْ مَاتَتْ أُمُّهَا وَعَلَيْهَا صَلَاةٌ أَنْ تُصَلِّيَ عَنْهَا . وَحَكَى صَاحِبُ الْحَاوِي عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ أَنَّهُمَا قَالَا بِجَوَازِ الصَّلَاةِ عَنِ الْمَيِّتِ . وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو سَعْدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ هِبَةِ اللَّهِ بْنِ أَبِي عَصْرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ فِي كِتَابِهِ الِانْتِصَارُ إِلَى اخْتِيَارِ هَذَا ، وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي كِتَابِهِ التَّهْذِيبُ : لَا يَبْعُدُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ ضَعِيفَةٌ . وَدَلِيلُهُمُ الْقِيَاسُ عَلَى الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ فَإِنَّهَا تَصِلُ بِالْإِجْمَاعِ وَدَلِيلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ قَوْلُ اللَّهِ : تَعَالَى : وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ فِي رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ فِي حَجِّ الْأَجِيرِ هَلْ تَقَعَانِ عَنِ الْأَجِيرِ أَمْ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ ؟ وَاللَّهُ أَعْلَمُ .
        Dan banyak pendapat dari para ulama bahwa akan sampai kepada mayit (pengiriman) pahala dari berbagai ibadah berupa sholat,puasa, membaca Al-quran dll.

        Dalam kitab Shoheh Bukhori dalam Bab :( Barangsiapa mati dan atasnya nazar), bahwa Ibnu Umar memerintahkan kepada seseorang yang ditinggal mati ibunya sedangkan ia (ibunya) ada kewajiban sholat , supaya ia sholat untuk ibunya.

        Menceritakan pengarang Al-Haawi dari Atho bin Abu Robah dan Ishak bin rahawaih, keduanya berkata tentang bolehnya sholat (yang pahalanya) untuk mayit ….dst (silakan lihat redaksi arabnya di atas ).

        Kalau Saudara menginginkan kejujuran maka sebaiknya jangan menutupi pendapat yang lain dan memotongnya.

        Saya juga akan membahasnya seperti apa yang ada di kitab Al-Adzkar ( kebetulan pas saya sedang membacanya ), nukilannya sebagai berikut : ( Dalam Bab : Ma yanfa`u al-mayyita min qouli gheorihi ) :

        اجمع العلماء علي ان الدعاء للأموات ينفعهم ويصلهم ثوابه. واحتجوا : بقول الله تعالى : ( والذين جاءوا مب بعدهم يقولون ربنا اغفرلنا ولاخواننا الذين سبقونا بالايمان ) الحشر : 10 – وغير ذلك من الآيات المشهورة بمعناها.
        وفي الأحاديث المشهورة :
        466 – كقوله صلى الله عليه وسلم ( اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد )
        467 – وكوله صلى الله عليه وسلم ( اللهم اغفر لحينا وميتنا )
        وغير ذلك .

        واختلف العلماء في وصول تواب قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة انه لا يصل
        وذهب احمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من اصحاب الشافعي الى انه يصل.
        والاختيار ان يقول القارئ بعد فراغه : اللهم اوصل ثواب ما قرأته الى فلان , والله أعلم . ( بيت الأفكار الدولية – الأردن )

        Telah sepakat para ulama bahwa doa untuk mayit adalah bermanfaat bagi mereka dan pahala doa akan sampai kepada mereka. Mereka ( para ulama beralasan dengan firman Alloh , yang artinya : (Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. ( Al-Hasyr : 10). Dll dari ayat2 masyhur dengan makna yang sama..

        Dan dari Hadits yang masyhur :
        466 – Seperti Sabda Rosululloh SAW ( Ya Alloh ampunilah penduduk (kubur) Baqi yang mati tenggelam ) ( shoheh Muslim : 974 )
        467 – Seperti Sabdanya lagi ( Wahai Alloh ampunilah yang masih hidup diantara kami dan yang sudah meninggal diantara kami ) ( Shoheh Abu Daud : 3201, Tirmidzi : 1024, An-Nasai : 1986, Ibnu Majah : 1498, ) dll.

        Berbeda pendapat para ulama pada sampainya (pengiriman) pahala bacaan Al-quran, mashur (terkenal) dalam pendapat Madzhab Syafi`i dan jama`ahnya bahwa ia (pengiriman bacaan Al-quran) adalah tidak sampai,

        Berpendapat Imam Ahmad bin Hambal dan jama`ah para ulama dan jama`ah pengikut madzhab Syafi`i kepada SAMPAINYA KIRIMAN PAHALA bacaan Al-quran kepada mayit.

        Dan yang pilihan ( untuk menengahi perbedaan itu ) : hendaklah pembaca Al-quran ketika telah selesai membacanya, berdoa : Wahai Alloh sampaikanlah pahala bacaan yang telah saya baca kepada sIfulan( mayit). Wallohu a`lam.( Cetakan baet al-afkar ad-dauliyah – al-Urdun/Yordania)

        Nah pada saat pengiriman pahala dirangkum dalam sebuah doa maka disana sudah tidak ada lagi perbedaan pendapat, karena para ulama telah sepakat bermanfaatnya doa dan sampainya pahalanya kepada mayit .

      • Abu Hafidz :

        Kalau Saudara menamai kitab karangan Imam Nawawi seperti itu maka mempunyai makna berbeda.
        Anda sebut kitabnya : Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi yang maknanya :PENJELASAN KITAB SHOHEH MUSLIM TERHADAP AN-NAWAWI,
        Padahal yang dimaksud adalah dan sesuai nama kitabnya : Syarah An-Nawawi ala muslim ( PENEJELASAN IMAM NAWAWI TERHADAP KITAB SHOHEH MUSLIM )terimakasih. mohon di cek lagi.

      • Abu Hafidz :

        Komentar Anda :

        Tahlilan merupakan salah satu perbuatan bid’ah munkarah yang makruhah, maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk tidak mengerjakannya dan mencegah keluarganya dan muslim lainnya terhadap perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan fatwa Mufti Makkah al-Musyafarah, Syaikh Ahmad bin Zainy Dahlan (sebagaimana dikutip dalam I’anah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166), yaitu:

        ولاشك ان منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء السنة وماته للبدعة وفتح الكثير من أبواب الخير وغلق لكثير من أبواب الشر
        “Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut mengandung arti menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah sekaligus membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan

        Dan perkataan Anda sebelumnya : Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menampilkan dalil dan hujjah baik naqly maupun aqly yang argumentatif serta—Insya Allah, DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN, karena semua dalil tersebut penulis ambil dari dua warisan Nabi saw., yakni al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’ ulama mengenai tahlilan itu sendiri.

        KOMENTAR SAYA :

        Anda mengatakan tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan ( lihat yang berhuruf besar ):

        1 Apakah dapat dipertanggungjawabkan penyebutan kesalahan nama Kitab Syarh An-Nawawi ala muslim ?

        2. Apakah dapat dipertanggungjawabkan penukilan dari Syaikh Ahmad bin Zainy Dahlan (sebagaimana dikutip dalam I’anah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166), padahal dalam kitab itu juz 2 halaman 166 bukan menjelaskan tentang pendapat beliau tapi tentang zakat?

        3. Apakah dapat dipertanggungjawabkan kesimpulan Syeh Ahmad Zaeni seperti kesimpulan Anda ? padahal isi fatwa beliau sedang menjawab pertanyaan yang di ajukan kepada beliau ?

        4. Apakah dapat dipertanggungjawabkan apa yang diambil dalilnya dari Al-quran, hadits dan ijma ulama sedangkan Anda memotong dan menutupi baik dengan sengaja atau tidak pendapat dari para ulama?

        Anda menginginkan kita bersama berfikir melihat permasalahan tentang tahlilan, sudah selayaknya juga kita mengedepankan kejujuran dalam penukilan sehingga pembaca dapat memahaminya tidak sepotong2 sehingga salah mengambil keputusan.( Saya ada rasa curiga sedikit, Anda tidak mempunyai sebagian dari kitab2 yang Anda nukil tersebut, Anda menukilnya dari jalan lain ,maaf…)

  37. Dalam hadis lain nabi pernah bersabda :
    sesungguhnya Agama ini (islam) adalah mudah, dan siapapu yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan.

    Allah SWT berfirman :
    Bagi setiap umat, kami turunkan aturan dan jalan yang terang.Sekiranya Allah menghendaki,niscaya Dia menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian dengan hal-hal yang yang telah diberikan kepadamu,maka berlomba-lombalah dalam melaksanakan kebaikan.Hanya kepada Allah lah kalian kembali, kemudian Dia akan memberitahumu tentang persoalan yang kalian perselisihan- QS, al-Maidah, 48.

    Tidak pernah Nabi diberi dua pemilihan, kecuali beliau pilih yang paling mudah senyampang tidak mengandung dosa.(Ahmad bin Hambal).

    biasanya kalau mau pamit pake wassalam………apa kaga yaw…..

    • makanya om “asin” jangan berfikir yang sulit2…
      antum ngajinya jangan lewat buku aja…, bisa2 malahan bisa salah. kasihan umat yang udah antum bikin sesat….

  38. Mulai hari ini, ane mundur dari Blog perdebatan yang aneh-aneh…..PIDORAKAEUN WUNGKUL……kecuali….kalo ada WAHABINYA , ane mau NYEWA TUKANG KETIK…biar ” olab…weureu.

  39. Terima kasih atas pencerahannya Bib, Insya Allah banyak manfaat, izin copas. soal yang gak terima tahlilan, yasinan itu dah biasa sampai -sampai dalil TATO dipakai sb larangan tahlilan dan dalil Orang Bersin dipakai untuk larangan Bershalawat pada Nabi, perdebatan di suatu group yang lucu..

    Tidak ada larangan tahlilan & yasinan, adapun ma’tam yang dilarang oleh Imam Syafi’i bukanlah tahlilan melainkan meratapi mayat, tidak tercantum 1 ayat pun yg mengatakan tahlilan ataupun yasinan dalam hadits yg dimaksud.

    Ma’tam dalam kamus al-Munjid adalah sekumpulan orang untuk meratapi mayat, yg mana tradisi ini adalah tradisi kaum yahudi & Nasrani di dalamnya tidak ada dzikir & bacaan yasin atau al-qur’an sehingga Imam Syafi’i membencinya.

    Dengan dibacakannya surat yasin, maka perkumpulan di rumah keluarga si mayat menjadi manfaat dan hidangan yang mubadzir menjadi manfaat karena diniatkan untuk sedekah yg pahalanya ditujukan untuk si mayat.

    Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya: “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata: saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).

    Surat Yasin adalah jantung al-qur’an, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan (keridha’an) Allah Tabaraka wa ta’ala dan negeri akhirat, melainkan Allah mengampuninya. Dan bacakanlah yasin kepada orang-orang yg meninggal dunia di antara kalian”. (HR. Ahmad).

  40. assalamualaikum….
    habib,ana mw tanya ente pasang baliho di perempatan jalan bayar pajaknya ga? yg ane tau bnyk tempat yg termasuk clear area ama yg namanya baliho atw media publikasi lainnya yg ente pasangin baliho…ente mw dakwah apa mw jd caleg pake masang foto segala? trus ente bayar pajak ga pasang umbul-umbul di pinggir pager jalan tol yg seharusnya ga boleh di pasangin apapun karena bisa membahayakan para pengguna jalan. bayangkan pemimpin nya aja ky gitu gmna pengikutnya…
    kita di suruh memegang teguh al-quran,sunnah dan tiga generasi terbaik setelah rosululloh,yaitu sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in yg sudah jelas di akui alloh dan rasul-Nya.Jd kita jngn mentaqlid kpd salah satu mazhab apalagi habib yg cuma memperkaya diri dan punya kepentingan pribadi…
    waoullohualam…

    –> Wangalaikum salam wrwb. mbak / mas .. kalau ingin informasi sahih, datanglah ke kantor yg berwenang. Atau tanya ke habib atau ke panitia pengajiannya. Tanya di sana.

    Dari pada menduga-duga yang belum tentu benar. Ntar malah jadi prasangka buruk kan. Dan lagi .. di sini bukan blognya habib mbak .. anda salah alamat.

    • Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

      to : Anya
      Seandainya anda suka kpd seseorang, mungkin anda senang memujinya, walaupun dimata orang ia jelas2 salah/ jelek, dan sebaliknya kalo anda sdh trlanjur benci trhadap seseorang, sebaik, seindah dan seelok apapun ia dimata orang lain, di mata anda dia tetaplah buruk di mata anda, bahkan anda senang mencari2 kesalahannya, dan menghinakannya. ( mungkin itulah sifat anda yang sebenarnya), “Semut di seberang lautan jelas kelihatan, sedangkan gajah di hadapan tidak kelihatan”. Padahal Rasulullah. SAW. tidak menganjurkan hal yang demikian, justru sebaliknya beliau menyuruh, ber AKHLAQULKARIMAH, SOPAN dan ,dalam berbicara, saling MENGASIHI (sesama Muslim), bukan saling MEMUSUHI, (mencari2 kesalahan orang lain, padahal anda belum tentu 100% bebas/bersih dr kesalahan) ” Al insan makaanul khata Wannisyaan “. Sungguh riskan, anda mengatakn berpegang teguh dgn Al-qur’an, sunnah dan tiga generasi terbaik setelah Rosululloh,yaitu sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in yg sudah jelas di akui Allah dan rasul-Nya. Tapi seakan perbuatan anda berpaling dr semuanya, yaitu sifat SU UZZON (buruk sangka).

      Wassalaamu ‘alaikum. Wr.Wb.

  41. Kasihan para habib dan kiay kalau maulidan, tahlilan dan yasinan ditiadakan. Ekonomi mereka akan terancam. Tidak ada lagi ‘amplop’ dan ‘besekan’.

    Yasinan, Bid’ah Yang Dianggap Sunnah
    Penulis: Ikrar Abu Yamin (Alumni Ma’had Ilmi)

    “Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!”. Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat kita ini biasanya diisi dengan membaca surat Yasin secara bersama-sama. Mereka bermaksud mengirim pahala bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan penderitaannya. Timbang-timbang, daripada berkumpul untuk bermain catur, kartu apalagi berjudi kan lebih baik untuk membaca Al Quran (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika dipertimbangkan menurut akal pernyataan itu benar namun kalau dicermati lagi ternyata ini merupakan kekeliruan.

    Al Quran Untuk Orang Hidup
    Al Quran diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu.

    إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى

    “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar” (QS An-Nahl: 80)

    Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut,
    إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُّبِينٌ لِيُنذِرَ مَن كَانَ حَيّاً

    “Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (QS Yasin: 69-70)

    Alloh berfirman,
    أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

    “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (QS An-Najm: 38-39)
    Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: ”Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al Quran) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”

    Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syariat Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.

    Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendoakannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah doa anak yang saleh karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.

    Biar Sederhana Yang Penting Ada Tuntunannya

    Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh sholallahu ‘alaihi wassalam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jumat, maka ada larangan khusus dari Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya,
    “Dari Abu Hurairah, dari Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jumat untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim)

    Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia?
    Rosululloh bersabda,
    “Barang siapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
    Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan. Wallohu a’lam bishshowab. [Sumber: Buletin At Tauhid]

    –> Justru para kyai (dan panitia) itu kalau ngadain yasinan/maulid/dsb malah nombok mas.. pasti anda belum pernah datang yaach. Ketahuan.

    Anyway .. justru artikel kami di atas itu membantah copy paste anda itu.

    • kedangkalan atas pemahaman kpd sesuatu dlm agama…
      hmm…sama aja kalo begitu ama ane…yg miskin dan cetek ilmu nya…he..he…

    • Setuju …… tapi penjelasan ente ini hanya sepihak, dan tidak mengeluarkan dalil dalil yang lain. Itu juga karena kedangkalan ente dalam beragama. Jika ada ayat al-qur’an yang menyangkal seperti beberapa ayat yang ente kutip, kita gak bisa melihat ayat itu secara tekstual saja. Harus melihat sebab turunya ayat dan berkaitan dengan apa ayat itu diturunkan. Itu yang gak ente ngerti.

      Coba ente baca keterangan ini, dan beberapa hadits yang mendukung adanya perbuatan baru tapi baik (bid’ah Hasanah) :

      Tentang dalil umum, Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat:
      احتج الجمهور بأن كل عام يحتمل التخصيص حتى إنه شاع بين العلماء ((ما من عام إلا وقد خص منه البعض)). فالتخصيص شائع كثير في العام، بمعنى أنه لا يخلو عنه إلا قليلا، وذلك بقرينة. (أصول الفقه الإسلامي، وهبة الزحيلي، دار الفكر، دمشق، ج. 1، ص. 245).

      Jumhur berhujjah bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan takhsish (pengkhususan), sehingga telah tersebar (motto) di kalangan ulama: “Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya”. Maka takhsish (pengkhususan) banyak tersebar pada yang umum. Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu dalil umum) daripadanya (takhsish) melainkan sedikit, itupun dengan qarinah (kata/kalimat penjelas makna yang mengiringi dalil yang umum). (Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Dar el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245).

      اتفق أهل العلم سلفا وخلفا على أن التخصيص للعمومات جائز ولم يخالف في ذلك أحد ممن يعتد به وهو معلوم من هذه الشريعة المطهرة لا يخفى على من له أدنى تمسك بها حتى قيل إنه لا عام إلا وهو مخصوص إلا قوله تعالى والله بكل شيء عليم (إرشاد الفحول، محمد بن علي الشوكاني، دار الفكر، بيروت، ص. 246).

      Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish (pengkhususan) bagi keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja’iz), dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dianggap (keilmuannya) yang menentangnya, dan hal itu sudah diketahui termasuk dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi (bahkan) bagi orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at tersebut, sehingga dikatakan, “Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang umum melainkan dia sudah dikhususkan”, kecuali firman Allah ta’ala, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Lihat Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246).

      Hadits sahih lainnya :

      Ketika Nabi Saw. mengimami shalat, pada saat bangkit dari ruku’, di belakang beliau ada Sahabat yang membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ (segala puji bagi-Mu ya Allah, pujian yang banyak, yang bagus, lagi diberkati di dalamnya) dan bacaan ini tidak pernah diajarkan Nabi Saw. kepadanya. Setelah usai shalat, Nabi Saw. bertanya kepada para ma’mum, “Siapa yang membaca demikian itu tadi?” Seorang Sahabat mengaku, “Saya.” Nabi Saw. berkata, “(ketika engkau baca itu) aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba ingin mencatatnya lebih cepat.” (HR. Bukhari)

      Seorang laki-laki dari golongan Anshar suatu saat mengimami shalat. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, ia membaca surat Qul Huwallaahu ahad (al-Ikhlash), setelah itu ia tambah lagi membaca surat yang lain, dan itu ia lakukan di setiap raka’at. Ketika selesai, para Sahabat menegurnya, “Apakah engkau tidak merasa cukup? Bacalah al-Ikhlash saja dan tinggalkan yang lain, atau bacalah yang lain dan tinggalkan al-Ikhlash.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kalian suka, aku akan imami kalian, kalau tidak kalian boleh tinggalkan.” Ketika ia dihadapkan kepada Rasulullah Saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak mau melakukan saran mereka untuk mencukupkan pada al-Ikhlash saja atau pada yang lainnya saja?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintainya (surat al-Ikhlash).” Maka Nabi Saw. bersabda,”Cintamu kepadanya (al-Ikhlash) akan memasukkan kamu ke dalam Surga.” (HR. Bukhari)

      Ketika melihat “kekacauan” para Sahabat dalam melakukan shalat tarawih di masjid, karena mereka shalat berpencar-pencar dengan bacaan masing-masing, maka Umar bin Khattab Ra. berinisiatif untuk mengumpulkan mereka di dalam satu jama’ah (tarawih berjama’ah) dengan satu imam. Setelah dilakukan, tarawih berjama’ah itu ternyata indah dan rapi, sehingga terucap dari lidah Umar bin Khattab Ra.,” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).” (HR. Malik).

      Setelah Rasulullah Saw. wafat, dipilihlah Shahabat setia beliau yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagai pemimpin kaum muslimin atau pemimpin orang-orang beriman (amiirul-mu’miniin). Di awal masa kekhalifahan beliau inilah terjadi perang Yamamah, yaitu perang terhadap orang-orang murtad dan orang yang mengaku menjadi nabi, alias nabi palsu yang bernama Musailamah al-Kadzdzaab. Pada peperangan tersebut, dikatakan telah wafat sekitar 700 orang shahabat bahkan mungkin lebih, di mana di antara mereka terdapat para penghafal al-Qur’an.

      Maka Umar bin Khattab Ra. datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menyampaikan usul agar beliau sebagai khalifah dapat melakukan upaya pengumpulan al-Qur’an secara tertulis dalam satu mushaf karena khawatir akan hilangnya sebagian banyak daripada al-Qur’an bersama wafatnya para shahabat di medan perang. Mendengar usul ini, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menolak dengan alasan, “Bagaimana kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?”
      Mendengar tanggapan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. itu, Umar bin Khattab Ra. menegaskan, “Demi Allah, (mengumpulkan al-Qur’an) ini adalah baik!” Dan Umar bin Khattab Ra. terus menerus meyakinkan Abu Bakar Ra. sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima usul tersebut. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit Ra. dan menyampaikan rencana mereka kepadanya. Zaid menjawab, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Keduanya menjawab, “Demi Allah, ini adalah baik!” Keduanya terus meyakinkan Zaid sehingga Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar (HR. Bukhari). Lalu dilaksanakanlah pengumpulan al-Qur’an itu oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit Ra. berdasarkan penunjukkan dari khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.

      Hasilnya, mushaf al-Qur’an yang dikumpulkan berdasarkan usul Umar bin Khattab Ra. dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu kemudian disalin ulang dan dikembangkan serta disebarluaskan, hingga kini dapat kita jumpai dan kita baca dengan mudah. Bayangkan, tanpa bid’ah yang satu ini, barangkali kita tidak akan mengenal al-Qur’an dan tidak dapat membacanya!

      Jadi masalah Tahlillan, yasinan, atau maulidan perkara baru lainnya, hanya ulama belakangan yang menyebutnya sebagai bid’ah dolalah, sementara 4 Mahzab besar saja tidak berkata demikian.

      Bila Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. bisa menerima usul Sayidina Umar bin Khattab Ra. dalam hal “penulisan dan pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf” hanya dengan alasan “Demi Allah, ini adalah baik” hal mana ia tahu Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, dan Abu Bakar Ra. menyatakan bahwa penerimaannya terhadap usul itu adalah sebagai wujud “Allah melapangkan dadaku untuk menerima usul itu”, maka betapa masih sempitnya dada kaum Salafi & Wahabi yang tidak bisa menerima adanya kategori bid’ah hasanah/mahmudah dan kebaikan-kebaikannya bagi umat di masa belakangan padahal mayoritas ulama sudah membahasnya di dalam kitab-kitab mereka lebih dari sekedar ungkapan “Demi Allah, ini adalah baik”. Harusnya mereka menangis sambil berusaha mencari tahu, “Mengapa, dengan puluhan jilid kitab para ulama, Allah belum melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Abu Bakar Shiddiq Ra. hanya dengan satu kalimat ‘Demi Allah, ini adalah baik’?” Jawabnya adalah, karena di hati mereka masih ada kesombongan; merasa lebih utama dan benar sendiri, dan menganggap selain mereka salah dan tidak sesuai sunnah.

  42. KEUMUMAN LAFAZ HADIS TENTANG BID’AH TELAH “DIKHUSUSKAN”, BUKAN “DIRINCIKAN” Dari uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa perkara baru di dalam agama yang disebut sebagai muhdatsat atau bid’ah di dalam hadis-hadis yang dijadikan dasar oleh kaum Salafi & Wahabi itu seluruhnya bersifat “umum” atau “global”, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghukumi perkara-perkara “khusus” seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., peringatan Isra’ & Mi’raj, acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama’ah, do’a berjama’ah, zikir berjama’ah, membaca al-Qur’an di pekuburan, dan lain sebagainya, kecuali bila ada hadis yang menyebutkan keharamannya secara terperinci. Tentang dalil umum, Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat: احتج الجمهور بأن كل عام يحتمل التخصيص حتى إنه شاع بين العلماء ((ما من عام إلا وقد خص منه البعض)). فالتخصيص شائع كثير في العام، بمعنى أنه لا يخلو عنه إلا قليلا، وذلك بقرينة. (أصول الفقه الإسلامي، وهبة الزحيلي، دار الفكر، دمشق، ج. 1، ص. 245). Jumhur berhujjah bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan takhsish (pengkhususan), sehingga telah tersebar (motto) di kalangan ulama: “Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya”. Maka takhsish (pengkhususan) banyak tersebar pada yang umum. Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu dalil umum) daripadanya (takhsish) melainkan sedikit, itupun dengan qarinah (kata/kalimat penjelas makna yang mengiringi dalil yang umum). (Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Dar el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245). اتفق أهل العلم سلفا وخلفا على أن التخصيص للعمومات جائز ولم يخالف في ذلك أحد ممن يعتد به وهو معلوم من هذه الشريعة المطهرة لا يخفى على من له أدنى تمسك بها حتى قيل إنه لا عام إلا وهو مخصوص إلا قوله تعالى والله بكل شيء عليم (إرشاد الفحول، محمد بن علي الشوكاني، دار الفكر، بيروت، ص. 246). Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish (pengkhususan) bagi keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja’iz), dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dianggap (keilmuannya) yang menentangnya, dan hal itu sudah diketahui termasuk dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi (bahkan) bagi orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at tersebut, sehingga dikatakan, “Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang umum melainkan dia sudah dikhususkan”, kecuali firman Allah ta’ala, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Lihat Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246). Pendapat jumhur (mayoritas) ulama seperti di atas merupakan hasil penelitian yang seksama terhadap seluruh dalil umum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis. Kesimpulan jumhur ulama bahwa “Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumumannya)” boleh dianggap sebagai kesimpulan final, di mana agama telah sempurna dan wahyu atau hadis tidak turun lagi atau tidak dikeluarkan lagi, maka tidak mungkin Allah atau Rasulullah Saw. meninggalkan “PR” (pekerjaan rumah) bagi umat untuk mencari-cari maksud sesungguhnya dari suatu ayat atau hadis yang bersifat umum, sehingga akan memunculkan perbedaan pengertian yang bisa berakibat fatal. Jika seandainya masih ada tersisa dalil umum yang belum ditakhsish (dikhususkan), maka pastilah akan menimbulkan tanda tanya tentang maksud keumumannya yang mengandung ketidakjelasan. Pada kasus dalil tentang muhdatsat dan bid’ah misalnya, ketika disebutkan ” setiap bid’ah (perkara baru) adalah kesesatan”, maka secara harfiyah atau lughawiyah (bahasa) akan mencakup “semua perkara baru” yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. baik yang berhubungan dengan agama, adat istiadat, maupun perkara kebutuhan hidup duniawi, seperti: Pekerjaan, pakaian, kendaraan, makanan, minuman, peralatan, bangunan, dan lain-lainnya. Tentu pengertian umum seperti ini akan menimbulkan syubhat (ketidakjelasan), bahwa di satu sisi memang lafaz “setiap bid’ah adalah kesesatan” adalah lafaz umum, di sisi lain cakupan keumuman lafaz itu kepada setiap hal yang baru akan mempersulit kehidupan manusia yang tidak sama dengan kehidupan Rasulullah Saw., entah menyangkut masa hidupnya, makanannya, kebiasaannya, iklimnya, wilayahnya, bahasanya, budayanya, ataupun yang lainnya. Kaum Salafi & Wahabi sepertinya ngotot bahwa hadis tentang bid’ah itu harus diberlakukan keumumannya seperti apa adanya dan tidak boleh dikhususkan pada sebagian “perkara baru” saja, sehingga dengan begitu kata bid’ah tidak boleh dimengertikan sebagiannya sebagai kesesatan dan sebagian yang lain tidak. Itu artinya mereka bersikukuh menolak takhsish (pengkhususan) pada hadis tersebut, karena jelas-jelas lafaznya bersifat umum. Tapi kemudian setelah ternyata memang tidak mungkin memberlakukan keumumannya pada “setiap perkara baru” sampai kepada urusan kebutuhan hiduap duniawi seperti pakaian, kendaraan, atau lainnya, maka kemudian mereka menyatakan bahwa maksudnya adalah “setiap perkara baru di dalam agama” berdasarkan hadis lain yang mengisyaratkannya. Sampai di sini, mereka masih tidak sadar bahwa pembatasan “setiap perkara baru” dengan ungkapan “di dalam agama” yang mereka nyatakan berdasarkan dalil lain itu adalah takhsish (pengkhususan) namanya. Jadi, mereka mengaku menolak takhsish pada hadis tersebut, padahal mereka dengan tidak sengaja dan terpaksa telah menggunakannya. Takhsish sebatas ini pun masih belum cukup jelas alias masih mengandung syubhat (ketidakjelasan), karena urusan “di dalam agama” itu sangat banyak kategorinya, mencakup: Perintah & larangan, wajib & sunnah, pokok (ushul) & cabang (furu’), murni (mahdhah) & tidak murni (ghairu mahdhah), halal & haram, dan lain sebagainya. Maka, “setiap perkara baru (bid’ah) di dalam agama” pada kategori yang manakah yang dianggap sebagai “kesesatan”? Apakah mencakup keseluruhan kategori tersebut atau hanya sebagiannya? Tampaknya, Kaum Salafi & Wahabi sudah mencukupkan diri dengan takhsish (pengkhususan) sebatas ini, di mana “setiap (bid’ah) perkara baru” yang dianggap kesesatan dikhususkan menjadi “perkara baru di dalam agama”, dan itu mencakup keseluruhan kategori di dalam urusan agama. Dari pengertian inilah akhirnya mereka terjebak pada definisi yang tidak jelas, sehingga “perkara baru di dalam agama” yang tanpa batasan kategori atau kriteria itu berubah menjadi “perkara baru berbau agama dan berbau ibadah”. Akibatnya, mereka jadi paranoid terhadap segala macam perkara baru; apa saja yang dikerjakan orang yang mengandung “unsur” berbau agama, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang mereka anggap tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabatnya, langsung dituduh sebagai menambah-nambahi agama dengan “perkara baru atau ibadah baru”. Padahal, yang mengucapkan atau melakukannya tidak pernah bermaksud begitu. Pantas saja, bahkan urusan lumrah seperti mengucap alhamdulillah ketika bersendawa dianggap tidak layak dilakukan hanya karena –menurut mereka— tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. (lihat Ensiklopedia Bid’ah halaman 365), padahal merasa mendapat nikmat karena sendawa atau karena apa saja, dan banyak memuji Allah adalah merupakan sikap yang bukan saja tidak dilarang, bahkan terpuji dan disukai di dalam agama. Dan banyak lagi amalan-amalan yang lumrah dan dimaklumi kebaikannya bahkan oleh akal seorang awam sekalipun yang dianggap bid’ah oleh kaum Salafi & Wahabi hanya karena “berbau agama dan berbau ibadah”, seperti: Berwudhu sebelum menyembelih hewan, bershalawat setelah adzan, peresmian masjid dengan acara perayaan, naik ke Jabal Nur untuk melihat gua Hira, membaca do’a dari buku panduan ibadah haji, membaca surat al-Fatihah setelah berdo’a, membaca al-Qur’an dan do’a sebelum adzan Shubuh, membaca al-Fatihah saat akad nikah, membaca shadaqallahul-‘azhim (Maha Benar Allah yang Maha Agung) setelah membaca al-Qur’an, membaca al-Asma’ al-Husna setelah shalat, dan lain sebagainya yang sesungguhnya tidak ada larangannya di dalam agama. Jika mereka mengharamkan hal-hal itu dan menuduhnya sebagai bid’ah hanya karena alasan Rasulullah Saw. tidak melakukannya padahal beliau juga tidak pernah melarangnya, maka seharusnya mereka menyadari bahwa sikap mudah memvonis bid’ah terhadap amalan-amalan yang tidak jelas dalil larangannya dan bahkan membenci pelakunya, adalah juga sikap yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.!!! Menurut para ulama, keumuman lafaz muhdatsat (perkara baru) dan bid’ah pada hadis-hadis itu sudah dikhususkan oleh hadis-hadis yang lain yang mengisyaratkan bahwa tidak setiap perkara baru itu bisa dikategorikan sebagai bid’ah kesesatan, dan mereka menyebut dalil tentang bid’ah itu sebagai dalil ‘aam makhshuush (dalil umum yang dikhususkan). Dalil yang mengkhususkannya di antaranya adalah pernyataan sayidina Umar bin Khattab Ra. tentang shalat tarawih berjama’ah yang beliau adakan, dengan ungkapan “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”. Dari sini dan juga dari dalil-dalil lain yang mengisyaratkannya maka diketahui dengan pasti prinsip-prinsip dasar atau batasan yang menyebabkan suatu perkara baru dianggap sesat atau tidak (lihat Tahdziibul-Asmaa’ wal-Lughaat, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Syarh az-Zarqani, Syarh Sunan Ibnu Majah, ad-Diibaaj lis-Suyuthi, Faidl al-Qadir lil-Minawi, Syarh as-Suyuthi, dan Subul as-Salam lish-Shan’ani). Prinsip dasar dan batasan itulah yang dapat diberlakukan untuk menetapkan hukum sesat atau tidak sesat terhadap perkara-perkara baru di setiap masa sampai hari kiamat. Baiknya kita sebut di antara dalil-dalil yang mengandung isyarat adanya pengkhususan terhadap hadis tentang bid’ah, di antaranya: 1. Ketika Nabi Saw. mengimami shalat, pada saat bangkit dari ruku’, di belakang beliau ada Sahabat yang membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ (segala puji bagi-Mu ya Allah, pujian yang banyak, yang bagus, lagi diberkati di dalamnya) dan bacaan ini tidak pernah diajarkan Nabi Saw. kepadanya. Setelah usai shalat, Nabi Saw. bertanya kepada para ma’mum, “Siapa yang membaca demikian itu tadi?” Seorang Sahabat mengaku, “Saya.” Nabi Saw. berkata, “(ketika engkau baca itu) aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba ingin mencatatnya lebih cepat.” (HR. Bukhari) 2. Seorang laki-laki dari golongan Anshar suatu saat mengimami shalat. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, ia membaca surat Qul Huwallaahu ahad (al-Ikhlash), setelah itu ia tambah lagi membaca surat yang lain, dan itu ia lakukan di setiap raka’at. Ketika selesai, para Sahabat menegurnya, “Apakah engkau tidak merasa cukup? Bacalah al-Ikhlash saja dan tinggalkan yang lain, atau bacalah yang lain dan tinggalkan al-Ikhlash.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kalian suka, aku akan imami kalian, kalau tidak kalian boleh tinggalkan.” Ketika ia dihadapkan kepada Rasulullah Saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak mau melakukan saran mereka untuk mencukupkan pada al-Ikhlash saja atau pada yang lainnya saja?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintainya (surat al-Ikhlash).” Maka Nabi Saw. bersabda,”Cintamu kepadanya (al-Ikhlash) akan memasukkan kamu ke dalam Surga.” (HR. Bukhari) 3. Ketika melihat “kekacauan” para Sahabat dalam melakukan shalat tarawih di masjid, karena mereka shalat berpencar-pencar dengan bacaan masing-masing, maka Umar bin Khattab Ra. berinisiatif untuk mengumpulkan mereka di dalam satu jama’ah (tarawih berjama’ah) dengan satu imam. Setelah dilakukan, tarawih berjama’ah itu ternyata indah dan rapi, sehingga terucap dari lidah Umar bin Khattab Ra.,” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).” (HR. Malik). 4. Setelah Rasulullah Saw. wafat, dipilihlah Shahabat setia beliau yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagai pemimpin kaum muslimin atau pemimpin orang-orang beriman (amiirul-mu’miniin). Di awal masa kekhalifahan beliau inilah terjadi perang Yamamah, yaitu perang terhadap orang-orang murtad dan orang yang mengaku menjadi nabi, alias nabi palsu yang bernama Musailamah al-Kadzdzaab. Pada peperangan tersebut, dikatakan telah wafat sekitar 700 orang shahabat bahkan mungkin lebih, di mana di antara mereka terdapat para penghafal al-Qur’an. Maka Umar bin Khattab Ra. datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menyampaikan usul agar beliau sebagai khalifah dapat melakukan upaya pengumpulan al-Qur’an secara tertulis dalam satu mushaf karena khawatir akan hilangnya sebagian banyak daripada al-Qur’an bersama wafatnya para shahabat di medan perang. Mendengar usul ini, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menolak dengan alasan, “Bagaimana kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?” Mendengar tanggapan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. itu, Umar bin Khattab Ra. menegaskan, “Demi Allah, (mengumpulkan al-Qur’an) ini adalah baik!” Dan Umar bin Khattab Ra. terus menerus meyakinkan Abu Bakar Ra. sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima usul tersebut. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit Ra. dan menyampaikan rencana mereka kepadanya. Zaid menjawab, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Keduanya menjawab, “Demi Allah, ini adalah baik!” Keduanya terus meyakinkan Zaid sehingga Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar (HR. Bukhari). Lalu dilaksanakanlah pengumpulan al-Qur’an itu oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit Ra. berdasarkan penunjukkan dari khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Hasilnya, mushaf al-Qur’an yang dikumpulkan berdasarkan usul Umar bin Khattab Ra. dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu kemudian disalin ulang dan dikembangkan serta disebarluaskan, hingga kini dapat kita jumpai dan kita baca dengan mudah. Bayangkan, tanpa bid’ah yang satu ini, barangkali kita tidak akan mengenal al-Qur’an dan tidak dapat membacanya! Dan banyak lagi contoh-contoh riwayat yang lain yang menjelaskan adanya bid’ah yang dilakukan di masa Rasulullah Saw. atau di masa para Shahabat beliau yang tidak dianggap sebagai suatu kesesatan, bahkan dijelaskan keutamaannya. Itu berarti, keumuman hadis tentang larangan bid’ah dikhususkan/dikecualikan oleh kasus-kasus seperti riwayat-riwayat shahih yang tersebut di atas. Kasus-kasus seperti itu kemudian dipelajari dan diambil benang merahnya, kemudian benang merah itulah yang menjadi dasar membolehkan perkara baru (bid’ah) yang baik (hasanah). Bid’ah hasanah adalah sesuatu yang baru (yang bentuk/formatnya tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw.) yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya tetapi tidak bertentangan dengan prinsip agama Islam dan mengandung kebaikan atau maslahat. Dan yang menyetujui adanya pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu sayyi’ah/madzmumah (buruk/tercela) dan hasanah/mahmudah (baik/terpuji), adalah mayoritas ulama yang diakui keilmuannya, mereka adalah: Imam Syafi’I, Ibnu Abdil-Barr, Ibnu al-‘Arabi, Ibnu al-Atsir, ‘Izzuddin bin Abdussalam, Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Badruddin Mahmud al-‘Aini, ash-Shan’ani, asy-Syaukani, dan lain-lainnya. Yang dimaksud para ulama dengan prinsip dasar atau batasan dalam urusan bid’ah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’I yaitu, “Bid’ah itu ada dua: Terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Apa yang sesuai/sejalan dengan sunnah adalah terpuji, dan apa yang bertentangan dengan sunnah adalah tercela” (lihat Fathul-Bari, Ibnu Hajar al-Asqallani, Daarul Ma’rifah, juz 13, hal 253). Apa yang dilakukan oleh para ulama dalam rangka memahami dalil bid’ah tersebut sangatlah proporsional, di mana dalil “yang umum” pengertiannya “dikhususkan” oleh adanya dalil-dalil lain. Dan ketika ternyata dalil-dalil itu memang tidak menyebutkan perincian jenis perkara-perkara baru berbau agama, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi di masa datang, maka mereka pun tidak merincikannya, melainkan hanya menetapkan prinsip dasar dan batasannya yang sangat berguna untuk dapat menggolongkan apakah suatu perkara baru di masa depan termasuk yang dilarang (tercela/sesat) atau dibolehkan (terpuji/hasanah). Sementara yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah keteledoran, di mana “dalil umum” tentang bid’ah mereka gunakan untuk menghukumi perkara-perkara khusus, bahkan segala perkara baru berbau agama tanpa terkecuali, padahal dalil-dalil itu tidak menyebutkan rinciannya. Ini terjadi akibat mereka tidak menggunakan metodologi para ulama dalam memahami dalil umum, khususnya tentang muhdatsat dan bid’ah, karena mereka hanya mengandalkan makna lahir (harfiyah) dari dalil tersebut sehingga mereka tidak peduli terhadap dalil-dalil lain yang jelas-jelas mengisyaratkan adanya pengkhususan atau pengecualian. Singkatnya, tentang hadis muhdatsat dan bid’ah tersebut, para ulama memberlakukan takhsish (pengkhususan) yaitu metode pembahasan dalil umum yang sudah disepakati oleh seluruh ulama ushul. Sedangkan Kaum Salafi & Wahabi memberlakukan tafshil (perincian) dengan menyebutkan jenis atau macam-macam amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah, dan metode ini tidak pernah digunakan oleh para ulama ushul dalam membahas sebuah dalil umum. Maka saat mereka mengatakan, “Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjama’ah, dan lain sebagainya adalah bid’ah sesat yang dilarang oleh Rasulullah Saw.”, berarti mereka benar-benar telah melakukan penipuan terhadap umat dan telah berbohong atas nama Rasulullah Saw. Mengapa demikian??! Karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkan hal itu. Dalam rangka menambah kesan sangat buruk pada tertuduh pelaku bid’ah, mereka juga mengajukan dalil-dalil lain tentang ancaman bagi pelaku bid’ah seperti hadis-hadis Rasulullah Saw. berikut ini: أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ (رواه ابن ماجه) “Allah enggan menerima amal pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang dha’if, karena terdapat 2 perawi yang majhul atau tidak diketahui). لاَ يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ صَدَقَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً يَخْرُجُ مِنْ اْلإِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ (رواه ابن ماجه) “Allah tidak menerima dari pelaku bid’ah amal puasanya, shalatnya, shadaqahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, taubatnya, dan fidyahnya. Ia keluar dari Islam seperti keluarnya rambut dari dalam tepung” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang dha’if, karena terdapat perawi yang dianggap pendusta bahkan dikenal sebagai pemalsu hadis). Kedua hadis ancaman terhadap pelaku bid’ah di atas, sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah karena tingkat kelemahan (dha’if) yang cukup berat. Namun begitu, seandainya pun mau diberlakukan juga maknanya, tentu kita dapat melihat jelas bahwa kata bid’ah yang dikandungnya juga bersifat umum seperti dalil-dalil sebelumnya, sehingga tidak bisa dituduhkan kepada setiap perkara baru berbau agama seperti maulid atau tahlilan kecuali bila ada dalil yang menyebutkannya. Demikian pula dengan dalil-dalil dari para shahabat atau para ulama salaf yang mereka lansir sebagai sikap kebencian para ulama tersebut terhadap bid’ah dan para pelakunya, pun bersifat umum. Mari kita lihat seperti yang tersebut di dalam mukaddimah buku Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, sebagai berikut: Kata Ibnu Mas’ud, “Ikutilah dan janganlah melakukan bid’ah karena agama sudah dicukupkan untuk kalian.” Kata Ibnu Abbas, “Hendaknya engkau senantiasa bertakwa kepada Allah dan beristiqamah, ikutilah dan jangan melakukan bid’ah.” Menurut Ibnu Umar, “Setiap bid’ah adalah kesesatan meskipun orang lain menganggapnya bagus.” Kata Umar bin Abdul Aziz, “Aku nasihatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dengan istiqamah, mengikuti sunnah Rasul-Nya dan meninggalkan bid’ah yang dilakukan oleh ahli bid’ah sesudahnya.” Abu Hanifah berkata, “Hendaknya kalian berpegang teguh dengan atsar, mengikuti langkah salaf, dan menghindarkan dirimu dari hal-hal yang baru, karena itu merupakan perbuatan bid’ah.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik, berarti dia telah meyakini bahwa Muhammad Saw. telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman, ‘Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian (al-Maidah:3). Apa saja yang saat itu tidak dikategorikan sebagai agama, maka sekarang pun tidak menjadi bagian darinya.” Ahmad bin Hanbal berkata, “Bagi kami, dasar-dasar sunnah adalah berpegang teguh kepada apa yang dilakukan oleh para shahabat Rasulullah, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Dan banyak lagi dalil-dalil dari para shahabat dan para ulama salaf yang mereka kemukakan, dan itu semua bersifat umum, tidak merincikan jenis-jenis bid’ah yang dimaksud. Berarti, saat mereka menyebut bid’ah dengan nada ungkapan kebencian seperti di atas, maksudnya adalah bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. alias bid’ah sayyi’ah/madzmumah atau dhalalah sebagaimana telah diuraikan sebelum ini, bukan seluruh bid’ah tanpa terkecuali. Pengertian tersebut juga dapat diambil dari hadis Rasulullah Saw.: إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِيْ قَدْ أُمِيْتَتْ بَعْدِيْ فَإِنَّ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي) “Sesungguhnya barang siapa yang menghidupkan suatu sunnah dari sunnahku yang telah dimatikan (ditinggalkan) setelah aku (wafat), maka sesungguhnya bagi dia daripada pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengada-adakan (melakukan) bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah atasnya (baginya) seperti dosa-dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dari dosa-dosa manusia (yang melakukannya) sedikitpun” (HR. Tirmidzi). Hadis ini juga secara tidak langsung mengindikasikan bahwa bid’ah dhalalah (bid’ah kesesatan) itu adalah bukan sunnah Rasulullah Saw. atau tidak sejalan dengan sunnah beliau. Di samping itu, penyebutan kata bid’ah dhalalah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya juga mengindikasikan makna tersirat bahwa di sana ada bid’ah hasanah (bid’ah kebaikan) yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang dalam bahasa lain adalah sunnah hasanah, yaitu yang termasuk dalam sunnah Rasulullah Saw. atau yang sejalan dengan sunnah beliau. Ini adalah penjelasan yang sejalan dengan pendapat mayoritas ulama yang setuju dengan adanya takhsish pada hadis bid’ah. Kaum Salafi & Wahabi juga telah mencari-cari alasan untuk menolak zhahirnya ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. ketika beliau mengatakan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini!” Mereka berkata, bahwa sesungguhnya shalat tarawih berjama’ah yang dilakukan Umar bin Khattab Ra. itu bukanlah bid’ah karena pernah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. selama tiga malam, jadi hal itu sebenarnya adalah sunnah, bukan bid’ah. Berarti, kata mereka, Umar bin Khattab Ra. tidak melakukan perkara baru, tetapi menghidupkan sunnah Rasulullah Saw. yang pernah dilakukan lalu ditinggalkan. Pada ungkapan mereka ini jelas sekali ada alasan yang dipaksakan. Pertama, sayidina Umar jelas-jelas menyebutnya sebagai bid’ah, mereka malah menta’wilnya sebagai sunnah. Biasanya mereka paling anti terhadap ta’wil, sebab kebiasaan mereka adalah memahami dalil secara harfiyah apa adanya. Pada kasus ini, mereka melanggar prinsip mereka sendiri dengan melakukan ta’wil, tentunya karena ada kepentingan membela keyakinan mereka yang keliru. Kedua, bila cuma sunnah Rasulullah Saw. yang dihidupkan kembali, kenapa sayidina Umar bin Khattab Ra. menggagas shalat tarawih berjama’ah itu di awal malam (ba’da Isya) bukan tengah malam, dan bukan cuma tiga malam seperti yang pernah dilakukan Rasulullah Saw., tetapi sebulan Ramadhan penuh, serta dengan jumlah 20 raka’at yang mana tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Apakah benar-benar tidak ada perkara baru dalam hal itu?!! Tidak berhenti sampai di sini, kaum Salafi & Wahabi kemudian juga mengatakan, bahwa orang yang mengatakan ada bid’ah hasanah dengan dalil ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” berarti telah membenturkan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi “Setiap bid’ah adalah kesesatan” dengan perkataan Umar bin Khattab Ra. Bagaimana mungkin hal itu dapat dibenarkan –kata mereka–, sedangkan Umar bin Khattab Ra. hanyalah seorang shahabat yang tidak boleh lebih diunggulkan dari pada Rasulullah Saw. Bahkan mereka mengajukan dalil dari ungkapan Ibnu Abbas Ra., “Hampir saja kalian dilempar dengan batu dari atas langit. Sebab aku katakan, ‘Rasulullah Saw. bersabda’, tetapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar.”(lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 27). Alasan ini pun tidak bisa diterima. Pertama, di samping pernyataan Ibnu Abbas tersebut perlu diteliti lagi keabsahannya karena tidak jelas sumbernya, penempatannya pada kasus ini pun sangat tidak berhubungan, terkesan dipaksakan. Kedua, para ulama yang mendasari adanya bid’ah hasanah dengan dalil dari ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. itu, bukan berarti mengkonfrontir atau membenturkan sabda Rasulullah Saw. dengan perkataan Umar bin Khattab Ra., tetapi mereka justeru sedang menjelaskan pemahaman bid’ah yang disebutkan Rasulullah Saw. itu dengan isyarat yang ada di dalam perkataan sayidina Umar. Sebab, mustahil sayidina Umar tidak pernah mendengar sabda Rasulullah Saw. “setiap bid’ah adalah kesesatan”, dan mustahil pula sayidina Umar tidak mengerti maksud hadis itu sehingga ia berani meledeknya dengan ucapan “sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Justeru keberanian sayidina Umar bin Khattab Ra. mengucapkan ungkapan tersebut adalah karena beliau paham betul maksud dari hadis Rasulullah Saw. tentang bid’ah itu, lagi pula tidak seorang pun dari shahabat Rasulullah Saw. yang lain yang membantahnya ketika ia mengucapkannya. Ini menunjukkan bahwa sayidina Umar bin Khattab Ra. dan para shahabat yang lainnya sangat mengerti, bahwa hadis “setiap bid’ah adalah kesesatan” maksudnya adalah yang bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw., bukan sembarang perkara baru. Analoginya, jika di suatu kampung ada seseorang bernama “Udin” yang dikenal sangat buruk perangainya, maka saat seseorang berkata kepada anaknya, “Jangan kau bergaul sama Udin” atau “Aku tidak sudi berhubungan dengan Udin”, tentu itu artinya bukan sembarang Udin karena di kampung itu banyak orang yang memiliki nama panggilan “Udin”. Saat nama “Udin” diucapkan dengan nada atau ungkapan kebencian, maka maksudnya adalah “Udin yang terkenal keburukan perangainya.” Seperti itulah pengertian yang dapat kita ambil dari ungkapan-ungkapan Rasulullah Saw., para shahabat, dan para ulama salaf ketika mereka menyebut kata bid’ah. Saat Rasulullah Saw. menyatakan, “Setiap bid’ah adalah kesesatan”, maka maksudnya sudah jelas, yaitu perkara-perkara baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebaikan yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Analoginya, ada orang berkata tentang si “Udin” yang terkenal keburukannya itu, “Setiap perbuatan Udin adalah keburukan”, tentu maksudnya adalah perbuatannya yang bertentangan dengan norma agama atau norma masyarakat, bukan semua perbuatannya. Bagaimana mungkin perbuatan si “Udin” seperti: Makan saat ia lapar, tidur saat ia mengantuk, diam saat ia tidak melakukan apa-apa, juga dianggap sebagai keburukan??! Sungguh keji orang yang memukul rata seluruh perbuatan itu sebagai keburukan, sebagaimana kejinya orang yang memukul rata seluruh perkara baru berbau agama seperti maulid, tahlilan, zikir berjama’ah, do’a berjama’ah, ziarah kubur, dan lain sebagainya sebagai kesesatan! Sungguh, orang yang tidak bisa melihat kebaikan, manfaat, dan maslahat yang ada di dalam acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang lainnya yang dikategorikan oleh para ulama sebagai bid’ah hasanah (perkara baru yang baik) dengan alasan Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, adalah orang yang belum dilapangkan dadanya untuk leluasa melihat kebaikan di dalam agama, padahal para ulama sudah banyak menulis kitab-kitab yang menjelaskan dalil-dalil dan keutamaan-keutamaannya. Bila Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. bisa menerima usul Sayidina Umar bin Khattab Ra. dalam hal “penulisan dan pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf” hanya dengan alasan “Demi Allah, ini adalah baik” hal mana ia tahu Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, dan Abu Bakar Ra. menyatakan bahwa penerimaannya terhadap usul itu adalah sebagai wujud “Allah melapangkan dadaku untuk menerima usul itu”, maka betapa masih sempitnya dada kaum Salafi & Wahabi yang tidak bisa menerima adanya kategori bid’ah hasanah/mahmudah dan kebaikan-kebaikannya bagi umat di masa belakangan padahal mayoritas ulama sudah membahasnya di dalam kitab-kitab mereka lebih dari sekedar ungkapan “Demi Allah, ini adalah baik”. Harusnya mereka menangis sambil berusaha mencari tahu, “Mengapa, dengan puluhan jilid kitab para ulama, Allah belum melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Abu Bakar Shiddiq Ra. hanya dengan satu kalimat ‘Demi Allah, ini adalah baik’?” Jawabnya adalah, karena di hati mereka masih ada kesombongan; merasa lebih utama dan benar sendiri, dan menganggap selain mereka salah dan tidak sesuai sunnah. 2. DALIL PERINTAH & LARANGAN Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua kategori, yaitu: 1. Yang diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur’an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. 2. Yang dilarang, yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw. Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah: ” … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Hasyr: 7) Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah “apa yang diberikan Rasul (dari harta fai’) kepadamu maka terimalah dia” (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan “apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia” dengan makna “apa yang diperintahkan Rasul …” berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung makna tersebut. Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus. Dalil lain yang mereka ajukan adalah: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري) Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari). Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau yang diperintahkan secara pasti. Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah mengikuti sunnah & larangan melakukan bid’ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula –terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid’ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan. Kategori Ketiga Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu “yang tidak diperintah juga tidak dilarang” sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian”. Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah “Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu.” Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah”, ada seorang yang bertanya, “apakah setiap tahun ya Rasulullah?”. Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Bila aku jawab ‘ ya’ maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu”. Kemudian beliau bersabda ,”Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian”. Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada “yang diperintah” atau kepada “yang dilarang” tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya. Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu “yang dilarang”. Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil: “… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63) Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat “menyalahi” atau menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah “melakukan apa yang tidak diperintahkan”. Bila melakukan “yang tidak diperintahkan” adalah terlarang semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw. Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري) “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak” (HR. Bukhari). Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai “laysa ‘alaihi amrunaa” dengan arti “yang tidak ada perintah kami atasnya”. Kata “amr” memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata “amara – ya’muru” yang berarti “memerintahkan”. Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf “‘alaa” (atas), maka artinya adalah “menguasai”. Jadi, bila kalimat “amara ‘alaa” berarti “menguasai”, maka kalimat “amarnaa ‘alaihi” berarti “kami menguasainya”, maka kalimat “amrunaa ‘alaihi” atau “‘alaihi amrunaa” amat janggal bila diartikan “perintah kami atasnya”. Karena untuk arti “perintah”, kata “amara” lebih tepat diiringi huruf “bi” (dengan), seperti firman Allah ta’ala: “Innallaaha ya’muru bil-‘adli” (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil). Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid’ah, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama’ah, do’a berjama’ah, zikir berjama’ah, membaca al-Qur’an di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau ketertolakannya. Kata amr pada “amrunaa” di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah “urusan (agama) kami”. Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, “Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak”. Seandainya pun kata “amrunaa” diartikan sebagai “perintah kami” dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu “amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami”, bukan ” yang tidak ada perintah kami atasnya “. Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم) “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim). “Tidak sesuai perintah” mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan. Sedangkan “tidak tidak ada perintah kami atasnya ” mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa “melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala”. Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid’ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit? Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai “amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami” juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus. Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara “yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang), sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian” sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai “rahmat” dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره) “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya). Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan “Ia telah mendiamkan beberapa hal” tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang “mewajibkan”, “menetapkan batasan”, dan “mengharamkan”. Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta’ala ”mendiamkan beberapa hal” maka itu artinya “Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan”. Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya. Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai “rahmat”??! Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan “maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” adalah larangan yang khusus pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari’atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang “rahmat” sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum “boleh” atau “tidak”nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut. Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya “rahmat” akan tetap dianggap “rahmat” sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara “perkara baru di dalam ajaran agama” dan “perkara baru yang berbau agama”. Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama “perkara baru di dalam ajaran agama” dengan “perkara baru yang berbau agama”, dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid’ah sesat dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat “rahmat” yang ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana “rahmat” yang ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta dan pemuliaan terhadap beliau. Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap “rahmat” yang Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang membacakan al-Qur’an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk, tentang berzikir atau berdo’a berjama’ah, tentang do’a qunut pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata “tidak ada dalilnya” atau “tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabatnya”. Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut: كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا “Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan” (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya “Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah”, dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah karya Hammud bin Abdullah al-Mathar). Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami pengertian “ibadah” tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan: اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ “Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)” atau dalam kaidah lain, “Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada dalil yang menyuruhnya.” Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do’a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin. Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo’a harus dengan kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah jum’at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya? Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid’ah yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan. Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra’ & Mi’raj, tahlilan, zikir berjama’ah, rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya’ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi’in. Hasilnya, syi’ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara keimanannya dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di mana mereka dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka. 3. DALIL SESATNYA SETIAP BID’AH Menyangkut bid’ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم) “Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid’ah itu kesesatan” (HR. Muslim). مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي) “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka” (HR. Nasa’i). Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid’ah. Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. Sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid’ah dengan ungkapan: كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ “Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya”. Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid’ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم) “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim). Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid’ah di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal “berbau agama” atau “berbau ibadah” yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berarti bid’ah. Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin’ Donut membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid’ah. Yang demikian karena mereka mendefinisikan bid’ah dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid’ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau. Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika menyebutkan “setiap bid’ah adalah kesesatan”, Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya. Benarkah begitu? Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu: 1. Hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut bersifat umum, artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru “berbau agama” yang tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain sebagainya. Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu menyatakan, “inilah agama. Apa saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak”. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya: … لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ …(رواه البخاري) “Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …”(HR. Bukhari) 2. Hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut bukanlah hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud “sesatnya” muhdatsat dan bid’ah yang sesungguhnya. Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do’a I’tidal dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat tentang cara membaca al-Qur’an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan ‘Ammar dengan mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid’ah shalat tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama. Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut, tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid’ah yang sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid’ah sebagai kesesatan tanpa kecuali. Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah dhalalah/sayyi’ah (bid’ah yang sesat/buruk) dan bid’ah hasanah/mahmudah (bid’ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang mengkategorikan bid’ah secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah, makruhah, mubahah, muharramah). Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid’ah menjadi dua, yaitu: bid’ah diniyyah/syar’iyyah (bid’ah agama/syari’at) dan bid’ah duniawiyah (bid’ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid’ah diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid’ah I’tiqadiyah (bid’ah aqidah) dan bid’ah ‘amaliyah (bid’ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid’ah mukaffirah (bid’ah yang menyebabkan kafir) dan bid’ah ghairu mukaffirah (bid’ah yang tidak menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid’ah mukaffirah, bid’ah muharramah, bid’ah makruhah tahrim, dan bid’ah makruhah tanzih (lihat Ensiklopedia Bid’ah, Hammud Abdullah al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4). 3. Perkara baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali format ibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu baik. Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun’ah fii tahqiq ma’na al-Bid’ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi’I berkata: كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به “Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-red) ” (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71). 4. Definisi bid’ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Sebab, Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid’ah seperti yang mereka buat, yaitu: “”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal”. Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi, “Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau.” Mereka juga mengklasifikasi bid’ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid’ah, tapi mereka sendiri melakukan bid’ah. Aneh, kan?! Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid’ah (syar’iyyah & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten berpegang pada hadis “Setiap bid’ah adalah kesesatan”, atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di satu sisi menolak pembagian bid’ah kepada hasanah & sayyi’ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar’iyyah & duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga dianggap bid’ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur’an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid’a
    • Alkhamdulillahi Robbilalamin……saya minta izin meng-copy.InsyaAllah akan saya sebarluaskan untuk kemaslahatan umat…semoga menjadi ilmu yang bermanfaat amin.dan InsyaAllah akan saya sampaikan pada Tahlilan, Yasinan, Mujahadah dan acara Pengajian di desa saya.biar mereka terlebih dulu dapat penjelasan ttg tsb sebelum kata-kata bid’ah, sesat,haram berdesing di telinga mereka….mohon do’anya gih….La khaula wal Quata illaBillah amin.

    • Semoga ada manfaatnya buat antum, maaf kalo ternyata kepanjangan, hanya saja masalah bid’ah ini kita tidak boleh gegabah, dan harus dengan pemahaman ilmu yang benar

      • untuk abi tauhid, ini ada tulisan yang bisa jadi bahan renungan anda juga lainnya:

        Ibadah adalah hal terpokok dalam kehidupan seorang Muslim. Bahkan pada hakikatnya, hidup seorang Muslim adalah ibadah. Namun, tidak semua ibadah yang dikerjakan oleh seorang Muslim diterima disisi Allah. Karena dalam beribadah, ada syarat utama yang harus dipenuhi, yakni keikhlasan dalam beribadah dan ittiba’ (mencontoh) Rasulullah saw. Setiap ibadah yang tidak berlandaskan keikhlasan, maka akan berujung pada kemusyrikan. Sementara, ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw., akan berujung pada bid’ah, dan bid’ah juga akan berujung pada kemusyrikan yang tiada tandingnya karena orang yang melakukan perbuatan bid’ah telah secara terang-terangan menantang syariat Allah dan Rasul-Nya.
        Nuansa gelap pemahaman tentang bid’ah masih saja menggelayut dalam pemikiran dan amalan kebanyakan kaum Muslimin sekarang ini. Bahkan tidak sedikit yang justru mengetahui tentang bid’ah tetapi mereka berpura-pura tidak mengetahuinya dan menutupinya sehingga lahirlah kebodohan yang merajalela dikalangan kaum Muslimin yang awam terhadap agamanya.
        Dari Abu Hurairah ra., ia mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:
        من سئل عن علم علمه فكتمه, ألـجم يوم القيامـة بلجام من نار
        “Barangsiapa yang ditanya tentang satu ilmu yang dia ketahui, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diikat pada Hari Kiamat nanti dengan tali kekang dari api neraka”. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
        Karenanya, orang yang mengetahui tentang bid’ah, atau dia melakukan perbuatan bid’ah atau membiarkan orang lain melakukan perbuatan bid’ah, maka hatinya menjadi mati dan gelap. Allah telah menjadikan kematian dan kegelapan sebagai sifat bagi orang yang keluar dari keimanan. Dan sungguh, perbuatan bid’ah itu akan mematikan keimanan dan melahirkan sifat-sifat pembangkangan dan pengingkaran terhadap manhaj Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya, Muhammad saw.
        Ibnu Abbas ra., menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah adalah orang yang putih wajahnya dan mereka bersatu dalam sunnah. Sementara orang-orang yang melakukan perbuatan bid’ah menjadi hitam wajahnya dan mereka suka melakukan perpecahan dengan bid’ahnya. (lihat Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwil Mu’aththilah wa al-Jahmiyah, Ibnul Qayim al-Jauziyah, II/39).

        Bid’ah: Pengertian dan Kegelapan Pelakunya
        Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama itu sempurna. Bid’ah juga berarti sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi saw., berupa keinginan nafsu dan amal perbuatan (al-Qamus al-Muhith, bab huruf ‘Ain, pasal huruf Dal, hal. 906; Lisan al-Arab, VI/8, Ibnul Mandzur). Asal kata bid’ah berarti menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya (al-Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, Ibnu Faris, hal. 119; al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, I/49; Mufradat Alfazhil Qur’an, ar-Raghib al-Ashfahani, materi kata bada’a, hal. 111).
        Imam asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan bahwa bid’ah itu adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuk menyerupai ajaran syariat yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah (al-I’tisham, I/49 dan VIII/346, juga dalam XXXIV/414).
        Rasulullah saw., bersabda:
        من أحدث في أمرنا هذا ما ليس مـنه فهو رد
        “Barangsiapa yang membuat-buat ibadah yang bukan merupakan bagian dari perintah kami, maka ibadah itu tertolak”. (HR. Bukhari no. 2697; Muslim no. 1718).
        من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
        “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak didasari oleh perintah kami, maka amalannya tertolak”. (HR. Muslim, kitab al-Aqdhiyah, III/1344).
        Imam an-Nawawi (semoga Allah merahmatinya) pernah membicarakan hadits dari Aisyah ra., ini dengan satu penjelasan yang berharga. Beliau mengungkapkan bahwa kedua hadits tersebut memiliki beberapa penjelasan, sebagai berikut:
        “Dijelaskan oleh pakar bahasa Arab, kata radd (penolakan) memiliki arti mardud (tertolak). Artinya, amalan itu bathil dan tidak masuk hitungan amalan. Hadits ini merupakan kaidah Islam yang agung, termasuk di antara sabda beliau yang simpel dan padat. Hadits itu secara tegas menolak semua bid’ah dan segala ibadah yang dibikin-bikin (yakni dalam hal yang berkaitan dengan agama).
        Dalam riwayat kedua terdapat tambahan, karena sebagian pembangkang ketika melakukan bid’ah beralasan bahwa perbuatan itu sudah pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Bila dibantah dengan riwayat pertama, pembangkang itu akan menukas: Aku tidak pernah membuat kebid’ahan ini. Maka perlu dibantah dengan riwayat kedua yang menegaskan bahwa segala bentuk bid’ah itu adalah tertolak, baik yang dilakukan oleh orang tersebut, atau telah pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya”. (lihat Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi, XIV/257; al-Mufhim Lima Asykala min Talkhishi Kitab Muslim, Imam al-Qurthubi, VI/171).

        Tercelanya Bid’ah dalam Islam
        Allah SWT, Rasul-Nya, para sahabat, dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, telah memberikan petunjuk kepada kaum Muslimin agar berhati-hati dengan bid’ah. Sebab, perbuatan bid’ah adalah perbuatan yang paling tercela. Bahkan Iblis dan para sekutunya lebih mencintai perbuatan bid’ah daripada maksiat. Sebab, orang yang melakukan kemaksiatan masih memiliki peluang untuk bertaubat, sedangkan orang yang melakukan bid’ah tidak ada peluang bagi mereka untuk bertaubat karena mereka menganggap baik terhadap kebid’ahannya (pernyataan ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Imam Soufyan ats-Tsauri).
        Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di memaparkan tentang bid’ah, yakni “Bid’ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah apa yang datang dari Nabi saw., sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian, apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah itulah agama, dan apa yang menyelisihinya berarti perkara itu adalah bid’ah. Bid’ah sendiri terbagi dua, yakni bid’ah i’tiqad (bid’ah yang bersangkutan dengan keyakinan) yang juga disebut bid’ah qauliyah (bid’ah dalam hal pendapat); dan bid’ah ‘amaliyah (bid’ah yang berkaitan dengan amalan ibadah) yang juga dikenal dengan bid’ah dalam menetapkan satu ibadah dalam agama Islam yang sudah sempurna ini”. (al-Fatawa as-Sa’diyah, hal. 63-64, dengan ringkas).
        Berikut kami paparkan dalil-dalil dari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan fatwa para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in serta ulama lainnya.
        1. Dalil-dalil dari al-Qur’an al-Karim
        “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertaqwa”.(QS. al-An’am: 153).

        “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.(QS. al-An’am: 159).

        “Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS. ar-Rum: 31-32).

        “Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud: 118-119).

        2. Dalil-dalil Sunnah Rasulullah saw.
        من أحدث في أمرنا هذا ما ليس مـنه فهو رد
        “Barangsiapa yang membuat-buat ibadah yang bukan merupakan bagian dari perintah kami, maka ibadah itu tertolak”. (HR. Bukhari no. 2697; Muslim no. 1718, dari isteri beliau Aisyah ra).

        من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
        “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak didasari oleh perintah kami, maka amalannya tertolak”. (HR. Muslim, kitab al-Aqdhiyah, III/1344, dari Aisyah ra).

        إياكم ومحدثات الأمور فإن شر الأمور محدثاتها وإن كل محدثةٍ بدعة وإن كل بدعةٍ ضلالةٌ
        “Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”. (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam as-Sunnah no. 25. Asy-Syaikh Albani menshahihkan hadits ini).

        فإن خير الحديث كتاب الله وخيرالهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم. وشر الأمور محدثاتـها وكل محدثـة بدعـة وكل بدعـة ضلالـة وكل ضلالـة في النـار
        “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perbuatan adalah mengada-ada dalam urusan agama, dan setiap yang mengada-ada itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka”. (HR. Muslim dalam kitab al-Jumu’ah, I/592, no. 867; an-Nasaa’i dalam kitab Shalat al-‘Idain, III/188, no. 1578; dari Jabir bin Abdillah).

        عن العرباض بن سارية قال: وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظةً وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون, فقلنا: يارسول الله كأنها موعظة مودعٍ فأو صنا. قال: أوصيكم بتقوى الله, والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد. وإنـه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلا فا كثيرا, فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين. عضوا عليها بالنواجذ. وإياكم ومحدثات الأمور, فإن كل بدعـة ضلالة.
        Diriwayatkan dari sahabat yang mulia al-‘Irbadh bin Sariyah ra., bahwa ia berkata: Rasulullah saw., menasihatkan kepada kami dengan satu nasihat yang menggetarkan hati-hati kami dan air mata pun berlinang karenanya. Maka ketika itu kami mengatakan, “Duhai Rasulullah, nasihat ini seperti nasihat orang yang mau mengucapkan selamat tinggal, karena itu berilah wasiat kepada kami”. Rasulullah saw., pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin kalian walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang erat-erat Sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru (bid’ah) itu sesat”. (HR. Abu Daud dalam kitab as-Sunnah, IV/201 no. 3991 dan 4707; at-Tirmidzi dalam kitab al’Ilm, V/44 no. 2676, beliau berkata: Hadits ini hasan shahih; Ibnu Majah dalam Muqaddimah, I/15-16 no. 42, 43, 44; dan Imam Ahmad dalam al-Musnad, IV/46-47).
        “Dari Abu Idris al-Khaulaniy, dia berkata: Saya mendengar Hudzaifah al-Yaman berkata: “Biasanya orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw., tentang kebajikan. Tetapi aku bertanya kepada beliau saw., tentang kejahatan karena aku takut kejahatan itu menimpaku. Lalu aku bertanya: “Ya Rasulullah, kami dahulu dalam kejahilan dan kejahatan. Karena itu Allah SWT menurunkan kebaikan (agama) ini kepada kami. Mungkinkah sesudah ini timbul kejahatan?”
        Beliau menjawab: “Tentu”. Aku bertanya lagi: “Sesudah itu apakah mungkin datang lagi kebaikan?” Jawab beliau: “Ya, tetapi sudah cacat”. Tanyaku: “Apa cacatnya?” Jawab beliau: “Suatu bangsa membuat peraturan di luar sunnahku dan memimpin tanpa hidayahku. Engkau mengerti tentang peraturan mereka dan kebijaksanaan mereka, tetapi engkau tidak menyukainya”. Aku bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apakah setelah kebaikan (yang cacat) itu akan datang keburukan lain lagi?” Jawab beliau: “Ya, adanya para da’i yang mengajak ke pintu-pintu neraka Jahanam. Barangsiapa yang menjawab ajakan mereka, pasti tercampakkan ke dalam Jahanam tersebut”. Tanyaku: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepada kami ciri-ciri mereka”. Jawab beliau: “Baiklah, yaitu orang-orang yang kulitnya sama dengan kulit kita (sama-sama beragama Islam) dan mereka berbicara memakai lisan (dalil-dalil) kami”.
        Tanyaku: “Bagaimana saran anda apabila aku menemui hal yang seperti itu?” Jawab beliau: “Tetaplah engkau bersama jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka”. Tanyaku: “Jika tidak ada jama’ah dan pemimpin kaum Muslimin?” Jawab beliau: “Tinggalkan firqah-firqah itu semuanya, sekalipun engkau akan makan akar-akar kayu dan mati karenanya, namun tetaplah pada pendirianmu itu”. (HR. Bukhari, VIII/119 no. 3338 dan no. 7084; dan Muslim, no. 3434).

        وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله, فيه الهدى والنور, (هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى, ومن تركه كان على ضلالة) فخذوا بكتاب الله واستمسكوابـه
        “Aku meninggalkan bagi kalian dua peninggalan yang berat: yang pertama adalah Kitabullah yang mengandung petunjuk dan cahaya (yakni tali Allah yang kuat, barangsiapa mengikutinya, berarti berada dalam petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya, berarti dia berada di atas segala kesesatan). Ambillah ajaran Kitabullah dan peganglah dengan teguh”. (HR. Muslim dalam kitab Fadha’il ash-Shahabah, IV/1873, no. 2408, dari Zaid bin Arqam).

        يكون في آخرالزمان دجالون كذابون يأتونكم من الأحاديث بـمالم تسمعوا أنـتم ولا آباؤكم فإياكم وإياهم لا يضلونكم ولا يفتـنونكم
        “Di akhir zaman nanti akan muncul para dajjal pendusta. Mereka akan melontarkan hadits-hadits yang belum pernah kalian dengar, demikian juga nenek moyang kalian. Jagalah diri kalian untuk tidak mendekatkan diri dengan mereka, sehingga mereka tidak menyesatkan kalian dan tidak membawa kalian kepada bencana”. (HR. Muslim dalam kitab Muqaddimah, I/12, no. 6 dan 7; Ibnu Wadhdhah, al-Bida’ Wannahyu ‘anha, hal. 67, no. 65, dari Abu Hurairah).
        Dari Sahal bin Sa’ad diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda:
        أنافرطكم على الحوض من ورد شرب ومن شرب لم يظمأ أبدا. وليردن علي أقوام أعرفهم ويعرفوني. ثم يحال بيني وبينهم. أقول: إنـهم مني. فيقال: إنك لاتدري ما أحدثوا بعدك. فأقول: سحقا سحقا لمن غير بعدي.
        “Aku adalah pendahulu kalian menuju telaga Haudh. Siapa saja yang melewatinya, pasti akan meminumnya, dan barangsiapa yang meminumnya, niscaya tidak akan dahaga selamanya. Nanti akan lewat beberapa orang yang melewati diriku. Aku mengenali mereka dan mereka juga mengenaliku, namun mereka terhalang menemui diriku. Aku berkata: “(Ya Rabbi) mereka termasuk golonganku”. Namun muncul jawaban (dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla): “Engkau tidak mengetahui bid’ah yang mereka ciptakan sepeninggalmu”. Akupun berkata: “Sungguh bodoh! Sungguh bodoh orang yang berbuat bid’ah sepeninggalku”. (HR. Bukhari dalam kitab ar-Riqaq, VII/264, no. 6583; Muslim dalam kitab al-Fadhail, IV/1793, 1796 no. 2290 dan 2297).

        3. Atsar Sahabat tentang Keburukan Bid’ah
        a. Ibnu Sa’ad menyebutkan dengan sanadnya sendiri dari Abu Bakar ash-Shiddiq, bahwa beliau pernah berkata, “Wahai kaum Muslimin! Aku hanyalah orang yang mengikuti jejak Rasulullah saw., bukan orang yang membuat bid’ah. Kalau aku berbuat baik, tolonglah diriku. Dan kalau aku menyimpang, maka luruskanlah diriku”. (lihat ath-Thabaqat al-Kubra, III/136).
        b. Dari Umar ibn Khaththab, beliau berkata, “Berhati-hatilah terhadap kaum Rasionalis, karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak mampu menghafal hadits-hadits, maka mereka pun menggunakan akal sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan”. (lihat Syarah Ushul as-Sunnah wa al-Jama’ah, oleh al-Lalika’i, I/139, no. 201; as-Sunan, I/47 no. 121, oleh ad-Darimi; al-Jami’ al-‘Ilmi wa Fadhlihi, II/1040 no. 2001, 2003, 2005, oleh Ibnu Abdil Barr).
        c. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ikutilah ajaran Sunnah dan janganlah kalian berbuat bid’ah, kalian telah dicukupkan dengan itu, karena setiap bid’ah itu adalah sesat”. (Fi Ma Ja’a Fil Bida’, hal. 43 no. 12, 14, oleh Ibnu Wadhdhah; al-Mu’jam al-Kabir, IX/154 no. 8770, oleh ath-Thabrani. Al-Haitsami menyebutkan dalam Majma’ az-Zawa’id, I/181: “Para perawinya adalah perawi ash-Shahih”. Dikeluarkan juga oleh al-Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, I/96 no. 102).

        4. Ucapan Tabi’in dan Orang-orang yang Mengikuti Jalan Mereka dengan Baik.
        a. Surat-surat Umar bin Abdul Aziz kepada seorang laki-laki. Beliau menulis, “Amma ba’du. Aku wasiatkan kepada Anda agar bertaqwa kepada Allah, bersikap sederhana dalam segala urusan, mengikuti ajaran Rasulullah saw., dan meninggalkan segala bid’ah yang diciptakan oleh kalangan ahli bid’ah, setelah melaksanakan sunnah Nabi yang selayaknya”. (Sunan Abu Daud dalam kitab as-Sunnah, IV/203, no. 4612; Shahih Sunan Abu Daud, Syaikh Albani, III/873).
        b. Al-Hasan al-Bashri mengungkapkan, “Ucapan hanya dibenarkan bila diamalkan. Ucapan dan amal itu sendiri hanya sah apabila disertai dengan niat, sedangkan ucapan, amal, dan niat itu hanya sah bila disertai dengan sunnah”. (dikeluarkan oleh al-Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, I/63, no. 18).
        c. Imam asy-Syafi’i menegaskan, “Keputusan kami terhadap ahli Kalam adalah agar mereka dipukul dengan pelepah, digotong di atas unta lalu diarak keliling kampung dan suku-suku. Lalu dikatakan kepada mereka: “Inilah ganjaran bagi orang yang meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul lalu mengambil ilmu Kalam sebagai landasan”. (lihat al-Hilyah, IX/116, Abu Nu’aim).
        d. Imam Malik bin Anas mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah dalam Islam lalu ia menganggap bid’ah itu sebagai kebaikan, berarti ia telah beranggapan bahwa Nabi Muhammad saw., itu telah mengkhianati kerasulannya. Ketahuilah, apa yang bukan merupakan agama pada masa beliau saw., hidup, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, I/65).
        e. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, “Pondasi ahlus Sunnah menurut kami adalah berpegang pada jalan hidup para sahabat Rasulullah saw., mengikuti ajaran Rasulullah saw., dan meninggalkan bid’ah karena setiap bi’ah adalah sesat, meninggalkan pertikaian dan jangan belajar bersama ahli bid’ah dan tidak melakukan perdebatan dan adu argumentasi yang hanya merusak agama”. (Syarah Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Lalika’i, I/176).

      • Abu Hafidz.

        Ini redaksi aslinya dari ucapan Imam Nawawi dari kitab Syarah An-NAwawi `ala Muslim yang telah dipotong oleh Anda : ( Silakan Pembaca terjemahkan sendiri ) : dalam Bab :
        بَاب نَقْضِ الْأَحْكَامِ الْبَاطِلَةِ وَرَدِّ مُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ

        1718 حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

        قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ وَفِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ قَالَ أَهْلُ الْعَرَبِيَّةِ : ( الرَّدُّ ) هُنَا بِمَعْنَى الْمَرْدُودِ ، وَمَعْنَاهُ : فَهُوَ بَاطِلٌ غَيْرُمُعْتَدٍّ بِهِ .

        وَهَذَا الْحَدِيثُ قَاعِدَةٌ عَظِيمَةٌ مِنْ قَوَاعِدِ الْإِسْلَامِ ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِعِ كَلِمِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيحٌ فِي رَدِّ كُلِّ الْبِدَعِ وَالْمُخْتَرَعَاتِ .

        وَفِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ زِيَادَةٌ وَهِيَ أَنَّهُ قَدْ يُعَانِدُ بَعْضُ الْفَاعِلِينَ فِي بِدْعَةٍ سَبَقَ إِلَيْهَا ، فَإِذَا احْتُجَّ عَلَيْهِ بِالرِّوَايَةِ الْأُولَى يَقُولُ : أَنَا مَا أَحْدَثْتُ شَيْئًا فَيُحْتَجُّ عَلَيْهِ بِالثَّانِيَةِ الَّتِي فِيهَا التَّصْرِيحُ بِرَدِّ كُلِّ الْمُحْدَثَاتِ ، سَوَاءٌ أَحْدَثَهَا الْفَاعِلُ ، أَوْ سُبِقَ بِإِحْدَاثِهَا .

        وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ لِمَنْ يَقُولُ مِنَ الْأُصُولِيِّينَ : إِنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي الْفَسَادَ . وَمَنْ قَالَ لَا يَقْتَضِي الْفَسَادَ يَقُولُ هَذَا خَبَرُ وَاحِدٍ ، وَلَا يَكْفِي فِي إِثْبَاتِ هَذِهِ الْقَاعِدَةِ الْمُهِمَّةِ ، وَهَذَا جَوَابٌ فَاسِدٌ .

        وَهَذَا الْحَدِيثُ مِمَّا يَنْبَغِي حِفْظُهُ وَاسْتِعْمَالُهُ فِي إِبْطَالِ الْمُنْكَرَاتِ ، وَإِشَاعَةِ الِاسْتِدْلَالِ بِهِ

        Khususnya pada kalimat terakhir itu .

  43. Makasih pak ustd atas ilmunya, kita saling mendoakan aja ya, semoga kebiasaan yasinan yang banyak dilakukakan, dapat membawa para pelakunya beserta keluarganya ke dalam kebahagiaan dunia dan akhirat. Sudah sangat jelas perintah agar membaca al-qur’an walau satu ayat saja, dan banyak perintah agar berdzikir.. Perintah siapa yang lebih kuat?? Ga usah goyah atau emosi. Bila ada kekurang tahuan, (misalnya kenapa surat yasin, kenapa tahlilnya seperti itu dst) itu karena diri kita yang kurang ilmu, bukan bacaannya.
    Kalo ga ngadain juga ga apa, tapi lain halnya dengan mengharamkannya…

    –> amien .. semoga demikian juga dengan kita dan anda. amien.

    • Abu Hafizh, Anda ini tidak membaca tulisan Abu Tauhid atau gimana? Yang Anda tulis itu udah diluruskan semua pengertiannya sama Abu Tauhid. Jangan memaksakan diri kenapa ya? Capek banget ngeliat nya.

      • kamu sholat kan ? dia sholat ? mereka sholat ? kita sholat ? itu artinya kita semua kaum muslimin….. KITA BERSAUDARA berbeda keyakinan atau pemahaman…biasa orang indonesia…bola aja berantem terus…apa dalam semua hal kita musti “berantem” yang penting beramal sholih aja buat bekal diakherat nanti…ikutin aja yang mau kita ikutin, lagian RASULULLAH SHOLALLAHU ALAIHI WASALLAM (udah mengajarkan semua risalahNYA ngga ada yang disembunyiin) tapi INGAT !!! SEMUA ADA GANJARANNYA !!! TERIMA SAJA NANTI !!! nda usah “BEGO-BEGOAN” atau “PINTER-PINTERAN” wong kita ini seperti ini bukan karena siapa-siapa, tapi karena Hidayah-Nya…Hendaknya kita JANGAN UJUB/SOMBONG itu sifat syaiton….ALLOH SUBHANA WA TA’ALLA tau lho pada saat kita ngetik comment aja, Dia tahu apa yang ada didalam hati kita….Niatnya Apa??? Ngapain??? Hati-Hati !!!

  44. Assalaamu’alakum…
    Ikut diskusi ah heheh. Semoga ada kemanfaatan walau hanya sekecil atom.

    -Masalah tradisi di Indonesia ya?-

    Klo saya melihat tradisi-tradisi yang banyak dibicarakan adalah sebuah wasilah.
    Isinya itulah yang menentukan sebuah hukum apakah haram, mubah, sunnah dll

    Misal dalam acara-acara tiga, tujuh, empat puluh harian seperti masalah di atas
    Jika isinya dirancang untuk acara duka cita (meratap), maka acara ini dilarang dalam agama.

    Jika isinya sesuai syari’at, maka itu tidak terlarang.

    ————————————————
    Acara-acara yang merupakan ‘wasilah’ jika dianggap syari’at maka inilah bid’ah dlolaalah

    Jika tidak meyakini bahwa itu sebuah syari’at melainkan hanya wasilah untuk beribadah, maka bukan termasuk bid’ah dholaalah.

    Masalah pengkhususan waktu tidak ada hubungannya dengan bid’ah selama pelakunya tidak meyakini bahwa penetapan waktu itu sesuatu yang di syari’atkan.

    Satu lagi saya nukilkan dari situs dar alifta.com-Oleh Mufti Agung Syaikh Aliy Jum’ah Muhammad rahimahullah-

    Adapun membaca Alqur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang meninggal, maka itu adalah perbuatan yang dibolehkan, bahkan dianjurkan. Syaikh al-Utsmani menukil ijmak ulama (konsensus) mengenai masalah ini dalam kitabnya Rahmatul Ummah Fikhtilafil Aimmah. Beliau mengatakan, “Para ulama berijmak bahwa istighfar, do’a, sedekah, ibadah haji dan memerdekakan budak yang dihadiahkan untuk orang yang telah meninggal, dapat bermanfaat bagi orang yang meninggal tersebut. Pahala semua amalan ini akan sampai kepadanya. Dan membaca Alqur’an di atas kubur adalah hal yang dianjurkan.”

    Membolehkan hal yang dilarang dalam agama tindakan yang tercela, begitupula sebaliknya melarang hal yang dibolehkan dalam agama adalah tindakan yang tercela menurut syari’at.

    Jadi berbicara hukum Allah tidak boleh ngawur. Apalagi kita jauh dari tingkatan mujtahid-Uushiinii nafsii wa iyyaakum-

    —————————-
    Jika ada yang salah dari peryataan saya, mohon dibenarkan. WaAllahua’lam

    –> wangalaikum salam wrwb. Saya kira apa yang dijelaskan oleh habib Munzir telah jelas.

    Hanya pernyataan anda .. saya tak tahu maksud tentang “anggapan”. Dan janganlah kita menghukumi sesuatu berdasarkan dengan “anggapan”. Karena anggapan bisa salah. Jika kita berprasangka (beranggapan) .. maka berprasangka yang baik-baik sajalah.

    • Silahkan, semoga ada kebaikan yang banyak didalamnya…. jernih berfikir, berpersangka yang baik, dan kita adalah manusia yang do’if ……

      Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

      قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
      “Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)

      فَلاَ تُزَكُّوا أنْفُسَكُم هُوَ أعْلَمُ بِمَن اثَّـقَى
      “….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)

      Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:

      كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.

      “Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
      Hadits riwayat Bukhori, Muslim

      –> terima kasih mas abu .. dalil anda sangat menggugah kami.

      • mas Abu matur suwun gih….Semoga Allah menambah berkah dan manfaat pada kita amin.kita disini masih tetap Tahlilan Yasinan Kendurenan, selametan juga Sholawatan….tanpa meninggalkan ibadah yang mahdhoh.

  45. aku pengen netral aja ,suatu ketika duafa keluarga nya meninggal dan adat sekitar biasa adakan tahlilan , repot nya uang nya terbatas ,karena keterbatasan utang pun jadi ,ada perasaan takut keluar dari kebiasaan ,karena adat dan omongan tetangga ,yah akhir nya pasrah menanggung utang kashan siduafa terjebak di tengh adat

    –> justru itu mas .. segala sesuatu itu seharusnya sesuai kemampuan. Dan marilah kita membantu tetangga yang kekurangan. Sudah seharusnya anda (dan kita) yang lebih mampu dan tahu, bergerak untuk membantu dan berdakwah secara lembut kepada mereka.

  46. to mas Abi Tauhid,
    argumen anda tersusun sistematis dan argumentatif. saya minta izin mengopy ya.. terima kasih..

    btw, dalil2 yang anda gunakan memang DALIL YANG ITU-ITU juga dan udah sering dipake oleh temen2 yg lain untuk menangkis Wahabi Salafi, tapi susunan kalimat per kalimat anda sangat mengagumkan..

    mudah2an bisa mengobati temen2 kita yg telanjur nyasar ke Wahabi Salafy..

    temen2 Wahabi, cobalah anda baca komen mas Abu Tauhid di atas dengan pikiran jernih dan hilangkan fanatik Wahabi anda untuk sesaat.. hilangkan pula kemalasan anda membaca tulisan yg panjang..

    mudah2an Wahabi Salafy bisa sadar..

    • Copy dan sebarkan, berfikir positif terhadap Saudara kita, banyaklah menuntut ilmu, dan jangan menghukumi sesuatu yang tidak dihukumi Alloh dan Rosulnya.

      Simaklah Firman Alloh SWT berikut :

      قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
      “Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)

      (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa“ (An-Najm : 32)

      Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:

      كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.

      “Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
      Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:

      وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)

      “Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.

      Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:

      وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
      قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ,
      فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
      يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
      لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)

      “Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah”.

  47. to Wawan Hermawan,
    komen anda yg :
    “assalaa mu alaikum, maaf saya koment dikit. kalau do,a orang hidup bisa sampai pada yang mati ( bkn anak yang saleh) ,ber arti di surga banyak keturunan orang kaya.karna dia orang berduit bisa kumpulkan orang banyak utk mendo,a kan yang mati.wah enak bener ya .kalau begitu dosa org korupsi yang sdh mati bisa di tutup dg uangyna .panggil saja orang banyak2 buat tahlillan”

    komen saya :
    komen tersebut menurut saya terlalu ngawur..
    1. spertinya ga ada satu dalilpun yg menyebutkan adanya korelasi “banyak duit untuk ngadain tahlilan” dengan “masuk surga”..

    apa Allah terlalu bodoh untuk bisa ditipu dengan harta?

    2. klo logika berpikirnya seperti itu, maka orang2 yg bercelana cingkrang adalah teroris, karena pelaku bom bali itu bercelana cingkrang..

    apa anda menerima logika berpikir seperti itu? tentu tidak kan?

    • aduuuuuh kamu pake bawa-bawa celana cingkrang…….celanaku cingkrang nih…( tapi ngga papa deh dari pada nutupin mata kaki…)…..tapi aku bukan teroris, terorisnya aja yang ngikutin aku pake celana cingkrang, mungkin dia mau buat imej buruk terhadap orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Yang Mulia Muhammad Sholallohu alaihi wa sallam, celanamu gimana apa belum cingkrang ??? Takut dibilang teroris yaaaa???

      –> aku kl ke kebun/sawah juga pakai celana cingkrang kok mas.. toss dulu.

  48. LARANGAN MERASA PALING BENAR / PALING LURUS / PALING SUCI

    Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

    قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
    “Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)

    (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa“ (An-Najm : 32)

    Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:

    كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.

    “Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
    Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:

    وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)

    “Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.

    Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:

    وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
    قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ,
    فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
    يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
    لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)

    “Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah”.

    Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;

    عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا
    الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ (رواه أيو داود)
    “Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”.

    (HR.Abu Daud).
    Binatang yang dapat mengingatkan manusia untuk sholat shubuh yaitu berkokoknya ayam jago pada waktu fajar telah tiba itu tidak boleh kita maki/cela, bagaimana dengan orang yang suka mencela, mensesatkan saudaranya yang mengadakan majlis dzikir (peringatan maulidin nabi, pembacaan Istighotsah dan sebagainya) yang disana selalu didengungkan kalimat-kalimat ilahi, sholawat pada Nabi saw.. serta pujian-pujian pada Allah swt. dan Rasul-Nya yang semuanya ini tidak lain bertujuan untuk mengingatkan serta mendekatkan diri pada Allah swt. agar menjadi hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Pikirkanlah !

    Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah ra telah mendengar Rasulallah saw. bersabda :

    وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ.صَ. يَقُوْلُ: أِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا أِلَى النَّارِ اَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ (رواه البخاري ومسلم)
    Sungguh a ”dakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak diperhatikan, tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh kalimat itu lebih jauh dari jarak antara timur dengan barat”.

    Memahami hadits ini kita disuruh hati-hati untuk berbicara, karena sepatah kata yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan kedalam api neraka. Nah kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang yang sering mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis dzikir, peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis tersebut selalu dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan lain sebagainya ?

    Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125 : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

    Rasulallah saw. bersabda: “Lan yadkhula ahadan minkum ‘amaluhul jannata qooluu wa laa anta yang Rasulallah, qoola wa laa anaa illaa an yataghom- madaniyallahu bi fadhlin minhu wa rohmatin”

    Artinya: “Tidak ada seorangpun diantara kamu yang akan masuk surga lantaran amal ibadahnya. Para sahabat bertanya: ‘Engkau juga tidak wahai Rasulallah?’ Nabi menjawab: ‘Saya juga tidak, kecuali kalau Allah melimpahkan kepadaku karunia dan rahmat kasih sayang-Nya’ ”. (HR. Muslim)

    Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:

    “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok mengolok olok kelompok yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu justru lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Janganlah pula sekelompok wanita mengolok-olok kelompok wanita yang lain karena bisa jadi kelompok wanita yang diolok-olok justru lebih baik dari kelompok wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela sesamamu dan janganlah pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jelek sebutan sesudah beriman adalah sebutan ‘fasiq’. Karenanya siapa yang tidak bertobat (dari semua itu), maka merekalah orang-orang yang dzalim”.

    Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :

    “Man syahida an Laa ilaha illallahu was taqbala giblatanaa wa shollaa sholaatana wa akala dzabiihatanaa fa hua al muslimu lahu lil muslimi ‘alaihi maa ‘alal muslimi”

    “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan daging sembelihan sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mempunyai kewajiban sebagaimana orang Islam lainnya”.

    Nabi saw. menyuruh agar kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan untuk berbicara, yang mana ucapan itu bisa mengantarkan kita keneraka. perintah Allah swt. (dalam surat Toha ayat 43-44) kepada Nabi Musa dan Harun -‘alaihimassalam- agar mereka pergi keraja Fir’aun yang sudah jelas kafir dan melampaui batas untuk mengucapkan kata-kata yang lunak/halus terhadapnya, barangkali dia (Fir’aun) bisa sadar/ingat kembali dan takut pada Allah swt. Untuk orang kafir (Fir’aun) saja harus berkata halus apalagi sesama muslim. Wallahu a’lam.

    Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas;

    maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.

    Walloohu ‘alam

    • Setuju 100%. Orang yang suka men cap saudara nya yang sesama Muslim dengan cap Bid’ah, sesat, ahlunnar mereka harus instrospeksi diri. Apa merasa yang paling bener dalam agamanya sementara orang lain salah dan sesat?

    • yaaaa ngga gitu-gitu juga kaleee….ngga boleh sembarangan mencap bid’ah sebelum menyampaikan hujjah tentang masalahnya, amalannya aja yang perlu dicross check apa ada tuntunannya apa nggak….???
      TAPI DAHULU PARA SAHABAT PADA TAHLILAN NGGAK YA???
      KALAU ADA YANG MENINGGAL DIBACAKAN YASSIN NGGAK YAA???

      –> anda lihat terus tanya sahabat po mas? Dari mana anda tahu kl sahabat tak baca dzikir tahlil? kl para sahabat Nabi ra tak baca yasin? Ketemunya kapan mas? Padahal sahabat Nabi itu generasi terbaik. Bacaan dzikir dan al Qur’an adalah amalannya sehari-hari.

  49. Pingback: Tidak Ada Julukan GAM di Blog Ini « Catatan harian seorang muslim

  50. Assalamu’alaikum.warohmatullah wabarokatuh..

    Saudaraku seiman, kita jangan terlalu gampang mengatakan ini bid’ah itu bid’ah jika Ilmu yang kita miliki masih seujung kuku. Dan jangan terlalu taqlid kepada pendapat ulama, habib, imam dan lainnya. Taqlidnya hanya kepada Allah dan RasulNya.

    Ane dulu sering sekali mengikuti tahlilan di acara kematian seseorang dari hari pertama sampai hari ke tujuh. Sambil disuguhi besek, makanan, kopi dan ROKOK pula. Sampai keluarga mayit hutang sana sini tuk ngadain perjamuan. Bertahun tahun ane sering mengikuti itu, namun tak ada rasa keimanan hati yang semakin kokoh. Hanya ritual – ritual seperti itu yg berulang-ulang.

    Ane bukan seorang muslim yg sudah paham dan hapal banyak surat. Ane masih sangat awam, masih harus banyak belajar akan ilmu Islam yang benar yg sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Kerjakan perintahnya, dan tinggalkan larangannya.

    Jangan mengaku kita cinta terhadap Rasulullah, namun tidak taat terhadap perintah dan larangannya. Ustadz Ustadz yg ada disini pasti sudah pada tahu perintah dan larangan Rasul. Mengaku cinta rasul, tapi mencibir melihat sudaranya memakai celananya ngatung, atau berjenggot, atau pake cadar, sepertinya alergi.

    Islam itu sudah sempurna, itu jelas ada di Al-Qur’an. Tak perlu di tambah – tambah lagi dengan ritual atau ibadah-ibadah lainnya dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

    Mayoritas saudara-saudara kita, berbangga diri dengan ibadah-ibadah baru, tapi alergi dengan Ibadah yg wajib. Atau utk yg akhwat, mencibir jilbab panjang yg menjulur sampai dibawah dada, tapi berbangga dengan jilbab gaul. Atau untuk yg ikhwan, mencibir jenggot, tapi berbangga dengan rokok.

    Alhamdulillah, baru beberapa bulan ini ana sering mengikuti kajian salaf. Baru mengerti dan terbuka akan kewajiban bertauhid yang benar yang sesuai dengan manhaj salaf orng orng terdahulu di jaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

    Hasilnya..? Merokok berhenti, musik berhenti, tv berhenti/selektif hanya utk berita/pengetahuan, Sholat berjama’ah di masjid, Ke orang tua lebih hormat dan sayang, ke tetangga lebih menghormati, lebih menjaga pandangan, ngobrol ngalor-ngidul dibatasi, dan lain lain. Subhanallah, Alhamdulillahirobbil’alamiin.

    Wassalamu’alaikum.wr.wb.

  51. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
    Kalau boleh saya menyimpulkan, kegiatan tahlilan yang membudaya di tengah masyarakat ini terbagi menjadi dua pendapat :
    1. Haram
    2. Makruh (adiknya haram)
    Untuk lebih berhati-hati sebaiknya kita tinggalkan perbuatan yang makruh, lebih-lebih yang haram. Kan masih banyak perbuatan yang wajib, yang sunnah muakkaddah, yang sunnah yang banyak kita tinggalkan.
    Selanjutnya, saya berpesan kepada siapapun juga, jangan terlalu gampang membodoh-bodohkan orang lain, hanya karena tidak sependapat.
    Ahirnya, saya mohon ampun kepada Allah jika pendapat saya keliru. Dan mohon diberi limpahan berkah dan rahmatNya, jika pendapat saya ini benar.

    –> wangalaikum salam wrwb. tidak ada yg mengatakan tahlilan itu makruh ataupun haram. Dua kategori yang anda maksud di atas itu adalah untuk perbuatan meratap. Sedangkan tahlilan itu bukan meratap. Ini adalah dzikir, dan berdzikir itu sunnah. Kemudian di akhir mendoakan si mayat. Ini lah hiburan terbaik bagi keluarga yg ditinggal. Jauh panggang dari api.

  52. mas Rizky,

    jangan lupa mencela Perayaan Maulid Muhammad ibn Abdul Wahhab di Riyadh tanggal 8 – 14 Maret 1980, Arab Saudi, dihadiri antar lain Syeikh Ibn Baz,
    juga ya..

    biar adil..

    mari kita mencela segala bentuk peringatan ulang tahun..

    termasuk ultah anak kita, orang tua kita, ulama idola kita,
    terutama banget ultah Nabi kita..

    • Tidak perlu lagi, mas, karena mereka sudah melakukannya. Alasan mereka mencela peringatan ulang tahun adalah karena hal itu dianggap perbuatan yang meniru-niru orang kafir.

      • pantas klo begitu,lha wong bumi mengelilingi matahari di bilang matahari mengelilingi bumi…takut di anggap perbuatan meniru2 orang kafir ya? wkwkwk

  53. mas Rizky hati-hati bicaranya.mulut mu harimau mu.apa yang kau katakan akan berbalik pada dirimu sendiri

  54. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

    قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
    “Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)

    فَلاَ تُزَكُّوا أنْفُسَكُم هُوَ أعْلَمُ بِمَن اثَّـقَى
    “….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)

    Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:

    كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.

    “Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
    Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:

    وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)

    “Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.

    Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:

    وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
    قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ,
    فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
    يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
    لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)

    “Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah”.

    Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;

    عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا
    الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ (رواه أيو داود)
    “Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”.

  55. Assalamu’alaikum warahmatullah ustadz Munzir,

    Saya sering membaca komentar Ustadz Munzir yg sering membenci org2 yg tdk setuju dgn kenduri, tahlilan, perayaan Maulid, dan sejenisnya.Dan ustadz suka memberi gelar wahabi, atau mengatakan kurang ngerti bhs Arab dlsb. Saran saya ustadz jangan emosi. Dan tdk terburu2 menafsirkan hadits sendiri-tanpa rujukan. Kalau memang belum tahu, katakan saja tdk tahu. Sebaik2 contoh adalah contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat.

    Mengenai tahlilan, adakah Rasulullah pernah mengundang shabat2 atau tetangga2 beliau ketika istri Beliau Siti Khadijah atau anak laki2 Beliau meninggal? Adakah riwayat ttg sahabat Rasulullah juga mengadakan acara yg sama ketika ada anggota keluarga yg meninggal? Berikanlah penjelasan apa adanya, tanpa membuat tafsir sendiri.

    –> wangalaikum salam wrwb. maaf .. saya bukan ustadz Munzir. Dan anda salah sangka ketika mengatakan bahwa kami membenci org2 yg tdk setuju dgn kenduri, tahlilan, perayaan Maulid, dan sejenisnya. Kami hanya mempertahankan dan memperlihatkan hujah-hujah kami. Tidak ada kaitannya dengan benci membenci. Apakah mempertahankan hujah itu identik dengan kebencian… sungguh aneh.

    Sedangkan julukan wahaby itu memang sudah dari sananya .. julukan itu akan punya arti positif jika yang punya julukan mempunyai prestasi positif. Julukan punya arti negatif jika si empunya julukan memang suka berbuat negatif. Maaf.. makna julukan mengikut pada si empunya julukan, bukan pada yang menjuluki. Sebagai catatan, syaikh albani justru bangga disebut wahaby.

    Tentang tahlilan .. sudah mahfum bahwa ucapan dzikir itu ke semuanya ada dalilnya. Bacaan surah al ikhlas, dzikir dll semuanya ada dalilnya. Dan telah diketahui bahwa hadiah pahala adalah sampai. Jika anda mau meluangkan waktu membaca artikel, saya kira sudah jelas. Maka sungguh aneh ketika amalan dzikir (tahlilan) dihukumi haram karena ada undangan.

    Apakah suatu amal menjadi haram hanya karena undangan? Atau .. mengundang untuk berdzikir itu haram? Kaidah yang aneh.

    • Assalaamu’alikum

      Antum yang gak paham, tentang Tahlilan dan lainnya, yang dipermasalahkan oleh orang-orang yang mengaku Salafy. Coba Baca komentar saya tentan Bid’ah Hasanah, sesuatu yang tidak dilakukan Nabi SAW, tapi berani dilakukan oleh sahabat lainnya (Padahal Abu Bakar pernah berkata “Bagaimana mungkin kami melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW …..” Bacalah dan pahamilah, yang akan tulis sedikit dalil-dalil tersebut :

      DALIL-DALIL SOHEH YANG MENGISYARATKAN
      BAHWA BID’AH HASANAH TELAH ADA DARI ZAMAN NABI DAN SAHABAT

      1. Ketika Nabi Saw. mengimami shalat, pada saat bangkit dari ruku’, di belakang beliau ada Sahabat yang membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ (segala puji bagi-Mu ya Allah, pujian yang banyak, yang bagus, lagi diberkati di dalamnya) dan bacaan ini tidak pernah diajarkan Nabi Saw. kepadanya. Setelah usai shalat, Nabi Saw. bertanya kepada para ma’mum, “Siapa yang membaca demikian itu tadi?” Seorang Sahabat mengaku, “Saya.” Nabi Saw. berkata, “(ketika engkau baca itu) aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba ingin mencatatnya lebih cepat.” (HR. Bukhari)

      2. Seorang laki-laki dari golongan Anshar suatu saat mengimami shalat. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, ia membaca surat Qul Huwallaahu ahad (al-Ikhlash), setelah itu ia tambah lagi membaca surat yang lain, dan itu ia lakukan di setiap raka’at. Ketika selesai, para Sahabat menegurnya, “Apakah engkau tidak merasa cukup? Bacalah al-Ikhlash saja dan tinggalkan yang lain, atau bacalah yang lain dan tinggalkan al-Ikhlash.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kalian suka, aku akan imami kalian, kalau tidak kalian boleh tinggalkan.” Ketika ia dihadapkan kepada Rasulullah Saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak mau melakukan saran mereka untuk mencukupkan pada al-Ikhlash saja atau pada yang lainnya saja?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintainya (surat al-Ikhlash).” Maka Nabi Saw. bersabda,”Cintamu kepadanya (al-Ikhlash) akan memasukkan kamu ke dalam Surga.” (HR. Bukhari)

      3. Ketika melihat “kekacauan” para Sahabat dalam melakukan shalat tarawih di masjid, karena mereka shalat berpencar-pencar dengan bacaan masing-masing, maka Umar bin Khattab Ra. berinisiatif untuk mengumpulkan mereka di dalam satu jama’ah (tarawih berjama’ah) dengan satu imam. Setelah dilakukan, tarawih berjama’ah itu ternyata indah dan rapi, sehingga terucap dari lidah Umar bin Khattab Ra.,” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).” (HR. Malik).

      4. Setelah Rasulullah Saw. wafat, dipilihlah Shahabat setia beliau yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagai pemimpin kaum muslimin atau pemimpin orang-orang beriman (amiirul-mu’miniin). Di awal masa kekhalifahan beliau inilah terjadi perang Yamamah, yaitu perang terhadap orang-orang murtad dan orang yang mengaku menjadi nabi, alias nabi palsu yang bernama Musailamah al-Kadzdzaab. Pada peperangan tersebut, dikatakan telah wafat sekitar 700 orang shahabat bahkan mungkin lebih, di mana di antara mereka terdapat para penghafal al-Qur’an.

      Maka Umar bin Khattab Ra. datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menyampaikan usul agar beliau sebagai khalifah dapat melakukan upaya pengumpulan al-Qur’an secara tertulis dalam satu mushaf karena khawatir akan hilangnya sebagian banyak daripada al-Qur’an bersama wafatnya para shahabat di medan perang. Mendengar usul ini, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menolak dengan alasan, “Bagaimana kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?”
      Mendengar tanggapan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. itu, Umar bin Khattab Ra. menegaskan, “Demi Allah, (mengumpulkan al-Qur’an) ini adalah baik!” Dan Umar bin Khattab Ra. terus menerus meyakinkan Abu Bakar Ra. sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima usul tersebut. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit Ra. dan menyampaikan rencana mereka kepadanya. Zaid menjawab, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Keduanya menjawab, “Demi Allah, ini adalah baik!” Keduanya terus meyakinkan Zaid sehingga Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar (HR. Bukhari). Lalu dilaksanakanlah pengumpulan al-Qur’an itu oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit Ra. berdasarkan penunjukkan dari khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.

      Hasilnya, mushaf al-Qur’an yang dikumpulkan berdasarkan usul Umar bin Khattab Ra. dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu kemudian disalin ulang dan dikembangkan serta disebarluaskan, hingga kini dapat kita jumpai dan kita baca dengan mudah. Bayangkan, tanpa bid’ah yang satu ini, barangkali kita tidak akan mengenal al-Qur’an dan tidak dapat membacanya!

      Bila Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. bisa menerima usul Sayidina Umar bin Khattab Ra. dalam hal “penulisan dan pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf” hanya dengan alasan “Demi Allah, ini adalah baik” hal mana ia tahu Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, dan Abu Bakar Ra. menyatakan bahwa penerimaannya terhadap usul itu adalah sebagai wujud “Allah melapangkan dadaku untuk menerima usul itu”, maka betapa masih sempitnya dada kaum Salafi & Wahabi yang tidak bisa menerima adanya kategori bid’ah hasanah/mahmudah dan kebaikan-kebaikannya bagi umat di masa belakangan padahal mayoritas ulama sudah membahasnya di dalam kitab-kitab mereka lebih dari sekedar ungkapan “Demi Allah, ini adalah baik”. Harusnya mereka menangis sambil berusaha mencari tahu, “Mengapa, dengan puluhan jilid kitab para ulama, Allah belum melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Abu Bakar Shiddiq Ra. hanya dengan satu kalimat ‘Demi Allah, ini adalah baik’?” Jawabnya adalah, karena di hati mereka masih ada kesombongan; merasa lebih utama dan benar sendiri, dan menganggap selain mereka salah dan tidak sesuai sunnah.

      5. “Sesungguhnya barang siapa yang menghidupkan suatu sunnah dari sunnahku yang telah dimatikan (ditinggalkan) setelah aku (wafat), maka sesungguhnya bagi dia daripada pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengada-adakan (melakukan) bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah atasnya (baginya) seperti dosa-dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dari dosa-dosa manusia (yang melakukannya) sedikitpun” (HR. Tirmidzi).

      Hadis ini juga secara tidak langsung mengindikasikan bahwa bid’ah dhalalah (bid’ah kesesatan) itu adalah bukan sunnah Rasulullah Saw. atau tidak sejalan dengan sunnah beliau. Di samping itu, penyebutan kata bid’ah dhalalah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya juga mengindikasikan makna tersirat bahwa di sana ada bid’ah hasanah (bid’ah kebaikan) yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang dalam bahasa lain adalah sunnah hasanah, yaitu yang termasuk dalam sunnah Rasulullah Saw. atau yang sejalan dengan sunnah beliau. Ini adalah penjelasan yang sejalan dengan pendapat mayoritas ulama yang setuju dengan adanya takhsish pada hadis bid’ah.

      6 Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari).
      Di antara dua kategori (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu “yang tidak diperintah juga tidak dilarang” sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian”. Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah “Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu.”

      Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah”, ada seorang yang bertanya, “apakah setiap tahun ya Rasulullah?”. Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Bila aku jawab ‘ ya’ maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu”. Kemudian beliau bersabda ,”Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian”.

      Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada “yang diperintah” atau kepada “yang dilarang” tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.

      7. “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).

      Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan “Ia telah mendiamkan beberapa hal” tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang “mewajibkan”, “menetapkan batasan”, dan “mengharamkan”. Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta’ala ”mendiamkan beberapa hal” maka itu artinya “Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan”. Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.

      8. Bila segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid (pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
      إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
      “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).

      Disebutkan di dalam ‘Aunul-Ma’bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
      إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
      “Sesungguhnya Allah ta’ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka.”

      Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami al-Qur’an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.

      9. Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah 3. Ijma’ 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).

      10. “Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah sayyi’ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR. Muslim)

      LETAK PERMASALAHAN YANG ADA ADALAH, MEREKA TIDAK MENYETUJUI ADANYA BID’AH HASANAH, KARENA MEREKA MEMBACA HADITS TENTANG BID’AH SESUAI TEKSTUAL SAJA, TANPA PEMAHAMAN ULAMA-ULAMA TERDAHULU, LANTAS BAGAIMANA DENGAN 10 HADITS DI ATAS. JADI BAIK TAHLILAN ATAUPUN MAULID DAN PERKARA LAINNYA YANG DIHUKUMI BID’AH OLEH MEREKA ADALAH HASANAH, BAIK DAN SEJALAN DENGAN SUNNAH NABI SAW. YANG BERSELISIH ADALAH KETIKA MERASA DIRI PALING BENAR, PALING BERILMU,

      BACA DAN PAHAMILAH SEMOGA ALLOH MELAPANGKAN HATI KALIAN WAHAI KAUM YANG MENGAKU PENGIKUT NABI SAW.

      Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

      قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
      “Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)

      (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa“ (An-Najm : 32)

      Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:

      كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.

      “Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
      Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:

      وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)

      “Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.

    • mas Aba Ditto,

      pertama,
      pemilik blog ini bukan ustadz Munzir, kalo ga percaya, coba baca seluruh artikel blog ini..

      kedua,
      setau saya, acara tahlilan berbentuk sperti sekarang memang tidak ada di zaman Nabi..

      sekarang saya balik nanya?
      salahkan membaca bacaan semisal “Lailahailallah” atau shalawat?

      sekedar info buat anda, isi acara tahlilan sekarang ini ya bacaan semisal lailahailallah, subhanallah, shalawat dll..
      yg pahalanya buat si mayit..

      hadis tentang sampainya pahala amalan orang hidup ke mayitnya ada kok.. coba cari sendiri, saya malas mncarikannya buat anda..

  56. 1. Ustadz Wawan
    2. Ustadz Abi Tauhid
    2. Siapa saja yg mengomentari tulisan saya
    Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,

    Sebenarnya tulisan saya di atas dimaksudkan untuk mengomentari penjelasan Ustadz Mundzir paling atas yg berjudul “KENDURI, ARWAH, TAHLILAN, dan YASINAN menurut Ulama Syafii”

    Untuk Ustadz Wawan yg saya sayangi:
    1. Membaca tahlil, shalawat dan wirid2 lainnya yg dicontohkan
    Rasulullah pasti baik.
    2. Mengirim amalan utk orgtua yg tlh meninggal insya Allah sampai
    sesuai hadits Imam Muslim No. 1004 seperti yg disampaikan
    Ustadz Abu Al-Jauzaa di atas dlm menanggapi komentar Ustadz
    Mundzir.
    3. Yang saya tdk setuju adalah cara tahlilan yg dilakukan oleh
    saudara kita di zaman sekarang dimana mereka mengadakannya
    saat salah satu anggota keluarga meninggal dunia. Pada hari
    ke-1, 3, 7, 40, 100, dst. Mereka mengundang tetangga utk
    tahlilan, yasinan, kemudian sholat maghrib berjamaah di rumah
    yg berduka – walaupun rumah yg bersangkutan berada di sebelah
    masjid. Jamaah di masjid menjadi sepi. Semakin sering diadakan
    acara tsb.,semakin sering pula masjid sepi dari jamaah.
    Padahal tdk ada riwayat dari Rasulullah bhw beliau shallallahu
    ‘alaihi wassallam sering sholat fardhu berjamaah di rumah.
    4. Saya berpendapat demikian krn seperti ustadz katakan di atas
    “memang tdk ada di zaman nabi”. Melakukan sesuatu ibadah yg
    tdk dicontohkan Rasulullah seperti mengingkari kesempurnaan
    syariat yg tlh disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi
    wassallam.

    Khusus utk Ustadz Abi Tauhid (Maaf jika salah, sepertinya ustadz juga mengomentari saya):

    Memang betul bhw sesuatu yg tdk dikerjakan oleh Rasulullah tetapi dikerjakan oleh para sahabat maka itu boleh. Itu juga termasuk sunnah sesuai hadits berikut:

    “(Ikutilah) sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Peganglah (kuat-kuat) dengannya, gigitlah sunnahnya itu dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diadakan-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Tirmidzi dan dia berkata : Hadits ini hasan shahih).

    Contoh perkara yg tdk ada di zaman nabi tetapi ada di zaman sahabat:
    1. Penulisan mushaf Quran
    2. Adzan 2 kali hari Jumat (sebelum masuk waktu dan saat khatib
    naik di atas mimbar). Sedangkan zaman sekarang di tempat kita:
    setelah masuk waktu dan saat khatib naik mimbar.

    Sedangkan sholat tarawih berjamaah di masjid bukan perkara baru yg pertama kali dilakukan pada zaman sahabat. Zaman nabi itu sdh pernah dilakukan hanya selama 3 malam. Nabi tdk meneruskan sampai malam2 berikutnya krn Beliau khawatir memberatkan umat. Jadi Umar bin Khattab tdk melakukan bid’ah.
    Mengenai komentar ustadz Abi Tauhid no. 1 dan 2 di atas mengenai bacaan makmum setelah bangkit dari ruku (kebetulan saya pun sering mengamalkan bacaan tsb.)dan imam yg membaca surah Al-Ikhlas sblm membaca surah lain adalah perkara yg baik karena langsung dibenarkan oleh Rasulullah – orang yg ma’sum. Yg jadi masalah adalah jika amalan ibadah seperti itu dilakukan sekarang ini, bagaimana kita tahu bhw itu perkara yg baik karena yg menjawab nanti bukan lagi org yg ma’sum tetapi org yg mungkin benar mungkin salah. Sedangkan Rasulullah memerintahkan kita utk meninggalkan yg meragukan dan mengerjakan hal yg sudah pasti.

    Untuk diskusi yg lebih mendalam, saya berpendapat Ustadz Abu Al-Jauzaa sangat layak untuk ditanya (setelah saya membaca debat beliau dgn ustadz mundzir di atas). Saya mohon maaf yg sebesar-besarnya jika ada kata2 yg kurang berkenan.
    Semoga Allah subhanahu Wa Ta’la melimpahkan rahmatnya kepada kita semua. Jazakumullahu khairan katsiira

    • Antum belum menanggapi perkataan Abu Bakar dalam penulisan Musaf Al-qur’an “Bagaimana mungkin kami melakukan seustu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW …..

    • Saudara Aba Ditto,
      Komentar Saudara sebagai berikut :

      Contoh perkara yg tdk ada di zaman nabi tetapi ada di zaman sahabat:
      1. Penulisan mushaf Quran
      2. Adzan 2 kali hari Jumat (sebelum masuk waktu dan saat khatib
      naik di atas mimbar). Sedangkan zaman sekarang di tempat kita:
      setelah masuk waktu dan saat khatib naik mimbar.

      Untuk point ke 2.( Adzan 2 kali hari Jumat (sebelum masuk waktu dan saat khatib
      naik di atas mimbar). Sedangkan zaman sekarang di tempat kita:
      setelah masuk waktu dan saat khatib naik mimbar ).

      Adakah hadits yang menjelaskan adzan Jum`at sebelum masuk waktu sholat ?
      Sebab yang saya tahu Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam kitab Fathul Bari : 2/394 :

      والذي يظهر ان الناس اخذوا بفعل عثمان في جميع البلاد اذ ذاك, لكونه خليفة مطاع الأمر الي ان قال : وكل مالا يكن في زمنه صلي الله عليه وآله وسلم يسمى بدعة, لكن منها مايكون حسنا, ومنها مايكون بخلاف ذلك. وتين بما مضى ان عثمان أحدثه لاعلام الناس بدخول وقت الصلاة قياسا علي بقية الصلات , فألحق الجمعة بها , وأبقي خصوصيتها بلاذان بين يدي الخطيب, وفيه استنباط معني من الأصل لا يبطله.

      Maka tampak ketika itu Manusia mengambil pendapat Sahabat Utsman di seluruh wilayah islam, karena beliau adalah kholifah yang ditaati. Hingga Ibnu hajar mengatakan : Segala sesuatu yang tidak ada di zaman Rosulallah SAW disebut bid`ah tetapi ada bid`ah hasanah dan bid`ah sebaliknya. Dari kisah yang telah lewat dalam atsar bahwa Shohabat Utsman melakukan sesuatu yang baru (bid`ah) ( berupa adzan tambahan ) untuk memberitahukan manusia tentang MASUKNYA WAKTU SHOLAT ……

      Lihat terjemahan saya yang berhuruf kapital.

      Berbeda dengan adzan subuh, karena ada hadits yang menjelaskan tentang adzan subuh sebelum masuk waktunya.

  57. mas Aba Ditto,
    wa’alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh..

    pertama,
    Adakah hadis tentang marahnya Nabi ketika mesjid sepi karena umat mengadakan acara tertentu?
    kalo orang2 lg ga pengen shalat ke mesjid, apakah konsep “tahlilan” itu yg harus disalahkan? apakah NU dan sejenisnya yg bertanggung jawab atas sepinya mesjid?

    misalkan jika ada segelintir orang berziarah dengan cara/niat yg salah, apakah kita berhak mengorbankan peziarah berniat benar dengan menghancurkan makam yg diziarahi tersebut? dan mengharamkan konsep ziarah secara total?

    setengah mati anda memaksa orang2 agar ke mesjid, pasti mesjid akan tetap sepi kalau orang2 tsb lg ga pengen ke mesjid.. begitu pula sebaliknya,
    percuma anda memaksa orang2 agar mampir ke rumah anda, kalau mereka lagi pengen ke mesjid..

    poin yg ingin saya munculkan adalah bahwa ada keutamaan berjamaah di mesjid, ada pula keutamaan memenuhi undangan orang Islam.
    sangat terlalu ceroboh jika kita menyalahkan orang yg memilih atau memprioritaskan salah satu dari keduanya dan meninggalkan yg lain.. dengan berbaiksangka kepada orang Islam tentu kita bisa maklum bahwa mereka punya pertimbangan sendiri ketika memprioritaskan sesuatu..

    kedua,
    mengenai 1-3-7-40-100, saya kira tidak masalah..

    kalo seandainya orang2 mencoba merutinkan suatu kegiatan dengan sistem 1-3-7-4-0-100 adalah salah, maka konsekuensinya tentu orang2 yg merutinkan tiap hari atau tiap minggu atau tiap bulan atau tiap tahun juga patut dicap SALAH..
    yang tidak merutinkannya alias jadwal semau gue pun juga akan salah..

    kalo mau konsekuen lagi,
    memberi uang jajan untuk anak TIAP pagi (HARIAN) adalah SALAH,
    memberi sejumlah uang untuk membantu orang tua SETIAP gajian (BULANAN) adalah SALAH ,
    merutinkan menziarahi makam anggota keluarga TIAP hari tertentu (MINGGUAN) agar ingat dan bisa teratur adalah SALAH,
    menafkahi keluarga dengan menyusun dan menyerahkan anggaran rumah tangga di awal bulan (BULANAN) tiap tanggal tertentu adalah SALAH,
    mendisiplinkan diri agar teratur, shalat Dhuha tiap hari jam 10.00 (HARIAN) adalah SALAH,
    disiplin baca Quran sesudah shalat Isya (HARIAN) karena siang tidak memungkinkan karena sibuk kerja adalah SALAH,

    masya Allah, pola pemikiran “maksa” dan “kaku” seperti ini hanya akan memancing keributan dan kerusuhan saja..

    saya punya cerita tentang seseorang yg mengeluh :
    “kenapa hadis itu tidak ditulis detail sih? kalo detail kan ga akan ada perbedaan pendapat terutama dengan Wahabi/Salafy,pusing,hanya karena urut2an bacaannya salah saja sudah dicap bid’ah oleh wahabi, tidak seperti tuntunan Nabi katanya wahabi”

    dia memisalkan bagaimana seharusnya redaksi suatu hadis itu :

    “ketika seorang muslim wafat, maka pengumuman kewafatannya harus diumumkan di mesjid, mayit harus dimandikan&dikafani di mesjid, lalu dishalatkan di rumah,
    jarak rumah dan pekuburan tidak boleh lebih dari 100 m,
    jenazah tidak boleh diantar dengan mobil, harus dengan jalan kaki, panjang antrian pengantar tidak boleh lebih dari 30 m,
    lubang kubur harus berukuran 2m x 30 cm dengan kedalaman 1,2 m,
    selama prosesi sejak dimandikan sampai dikuburkan hanya boleh dibacakan “lailahailallah” selain itu tidak boleh,
    pengiriman pahala untuk mayit dibolehkan tapi harus berupa bacaan ini dan itu, dan tidak boleh mengundang orang2, harus datang dengan sendirinya, tidak boleh ada hidangan suguhan”

    bagaimana pendapat anda ?

  58. 1. Hadits ttg perintah sholat berjamaah di masjid:. Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid”. Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: “Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?” ia menjawab “benar”, maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah panggilan tersebut.”

    Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu menceritakan, “Barangsiapa yang senang untuk berjumpa dengan Allah di hari esok [hari akhirat] sebagai seorang muslim maka jagalah shalat lima waktu dengan berjama’ah yang mana diserukan panggilan adzan untuknya. Karena Allah telah mensyariatkan jalan-jalan petunjuk untuk Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya shalat berjama’ah itu termasuk jalan petunjuk. Kalau lah kalian sengaja mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana halnya perbuatan orang yang sengaja meninggalkan shalat jama’ah ini [dan mengerjakan shalat] di rumah niscaya kalian telah meninggalkan ajaran Nabi kalian. Dan kalau kalian sudah berani meninggalkan ajaran Nabi kalian, maka kalian pasti akan sesat. Sungguh aku teringat, bahwa dahulu tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah itu melainkan orang munafiq yang tampak sekali kemunafikannya. Sampai-sampai dahulu ada [di antara para sahabat itu] yang memaksakan diri untuk datang [shalat berjama’ah] dengan dipapah di antara dua orang lelaki untuk diberdirikan di dalam barisan/shaf.” (HR. Muslim [654]).

    Rasulullah juga pernah mengancam utk membakar rumah org yg tdk mau menghadiri sholat berjamaah di masjid tanpa udzur. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh, aku pernah bertekad untuk menyuruh orang membawa kayu bakar dan menyalakannya, kemudian aku akan perintahkan orang untuk mengumandangkan adzan untuk shalat [berjama’ah] kemudian akan aku suruh salah seorang untuk mengimami orang-orang [jama’ah] yang ada lalu aku akan berangkat mencari para lelaki yang tidak ikut shalat berjama’ah itu supaya aku bisa membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari [644] dan Muslim [651]).

    2. Peringatan kematian walaupun hanya sehari (apalagi sampai 100)memang tdk ada cotoh dari Rasulullah atau sahabat. Anda sendiri sudah mengakuinya.
    “Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
    Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

    Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).

    Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

    “Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

    “Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67).

    Nah itulah alasan yg syar’i. Suka atau tdk suka begitulah yg dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
    Kalau anda ingin berpendapat atau mengikuti pendapat seorang ulama sementara petunjuk dari Rasulullah dan sahabat sudah jelas, silakan saja. Tidak ada yg bisa memaksa anda. Jika semua orang merujuk kpd sunnah Rasulullah, maka tdk akan ada pertentangan. Di hadits shahih yang diriwayatkan para penulis Sunan dari Al-Irbadh bin Sariyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    “Siapa saja di antara kalian yang diberi umur panjang, ia akan melihat banyak sekali pertentangan. Karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sepeninggalku. Pegang Sunnah tersebut kuat-kuat. Tinggalkan hal-hal baru yang diada-adakan, karena bid’ah itu sesat.”

    Semoga Allah mengembalikan kemuliaan dan persatuan umat Islam di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wal hamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

    • Hadits yang di sampaikan Saudara secara dzohir bertentangan dengan hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari dari Asim bin Kulaib dari bapaknya dari seorang laki2 ansor,ia berkata :

      خرجنا مع رسول الله صلي الله عليه وسلم في جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجئ باالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله صلي الله عليه وآله وسلم يلوك اللقمة في فيه ….الحديث

      Suatu ketika kami mengantar janazah bersama Rosullulloh SAW, ketika kami pulang, kami diundang oleh seorang suruhan istri orang yang meninggal,beliaupun mendatanginya lalu dihidangkan makanan. Beliaupun lalu meletakkan tangannya di makanan itu dan orang2pun ikut melakukannya,mereka kemudian makan bersama. Beliau mengunyah makanan di mulutnya.

      Hadits itu menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang lain untuk menikmatinya.

      ذكر في البزازية من كتاب الاستحسان : وان اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا اهـ وفي استحسان الخانية : وان اتخذ ولي الميت طعاما للفقراء كان حسنا الا ان يكون في الوارثة صغير فلا يتخذ ذلك من التركة اهـ

      Disebutkan dalam kitab Al-Bazzaziyah dalam bab al- istikhsan : Jika membuat makanan untuk orang2 miskin maka itu adalah hal yang baik….sedagkan dalam bab al-istikhsan dalam kitab Al-Khaniyyah : Jika kelaurga mayit membuat makanan untuk orang2 miskin maka itu baik, kecuali jika salah satu ahli warisnya adalah anak kecil maka tidak boleh membuat makanan itu dari harta warisan.

      Saya menggunakan perkataan saudara tapi ditujukan untuk saudara seperti dibawah ini :

      Nah itulah alasan yg syar’i. Suka atau tdk suka begitulah yg dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

      Lalu bagaimana komentar Anda terhadap hadits2 yang ta`arud itu ? tafaddol….

      • 1. Hadits yg antum katakan bertentangan, silakan baca ulang dialog anatar istadz munzir dan ustadz abu aljauzaa di atas. Kesimpulannya: ada perdebatan siapa yg dimaksud dgn wanita dlm hadits tsb. Setelah antum membaca ulang dialog tsb. silakan antum tentukan sikap:jika masih tetap dgn pendirian antum sekarang, silakan.

        2. Masih ttg hadits di atas, (seandainya yg mengudang adalah keluarga mayit-tetapi ini masih diperdebatkan)adakah itu menunjukkan bhw keluarga mayit membuat makan dan mengundang org utk makan yg dilakukan secara berulang2 (hari ke-1, 2, 3, 7, 100, 1000, dst?)
        Atau mungkin antum masih memiliki hadits lain yg menyebutkan adanya acara kenduri tsb?
        3. Kenyataan yg menyebabkan adanya orang2 yg tdk mengadakan acara peringatan kematian adalah TDK ADA RIWAYAT bhw Rasulullah dan para sahabat melaksanakan acara tsb.ketika anggota keluarga atau kerabat mereka meninggal. Mengapa harus terpaku kpd satu riwayat di atas yg masih diperdebatkan? Juga TIDAK ADA RIWAYAT imam 4 mazhab melaksanakan acara tsb.

        Nah itulah alasan yg syar’i. Suka atau tdk suka begitulah yg dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.Dan jangan lupa JANGAN FANATIK KPD KELOMPOK atau TRADISI.

      • untuk akhi imam, perlu saya luruskan tentang yang anda sebutkan mengenai hadits tersebut

        saya juga pernah diberitahu adanya dalil naqly tentang bolehnya tahlilan dan menghidangkan makanan bagi keluarga mayit yang saya terima dari seorang jamaah yang sering mendengar ceramah saya. Adapun dalil tersebut berdasarkan keterangan dari kitab Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah yang ditulis oleh Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy juz. 1 halaman 409, juga berlandaskan pada istihsan sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Fawakih ad-Diwani yang ditulis oleh Ahmad bin Ghunaim bin Salim an-Nafrawy al-Maliky.
        Kedua kitab itu menukil hadits sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Baihaqy dan ad-Daraquthny. Hadits tersebut sebagaimana ditulis dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (ath-Thahthawy) adalah sebagai berikut:
        عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال: خرجت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة, فلما رجع استقبله داعى إمرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه.
        “Dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.

        Namun, setelah hadits yang dijadikan argumen oleh ath-Thahthawy dan yang dijadikan pedoman oleh orang yang mendukung tahlilan tersebut (seperti anda dan yang lainnya) saya teliti dan cermati lagi dengan seksama dan penuh kehati-hatian, ternyata ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan bunyi hadits aslinya. Berikut saya paparkan hadits dari Abu Daud yang saya rujuk langsung dalam as-Sunan-nya, juz. 3 halaman 244:

        خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبريوصى الحا فرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلمارجع استقبله داعي إمرأة فجاءوجئ بالطعام فوضع يده…الخ
        Perbedaannya dalam versi ath-Thahthawy dengan hadits aslinya sungguh teramat jauh, ada lafazh yang diberi dlamir mudzakar gha’ib (imra-atuhu) yang mengandung arti: “istrinya mayit”. Sedangkan dalam Kitab aslinya (Sunan Abu Daud, juz. 3 halaman 244) atau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqy (Sunan al-Kubra, juz 5 halaman 335), Imam ad-Daraquthny (Sunan ad-Daraquthny juz. 4 halaman 285), Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad juz 5 halaman 293 dan 408), dan Abu Ja’far ath-Thahawy (Syarh Ma’any al-Atsar juz 2 halaman 293) menyatakan bahwa lafazh tersebut adalah “imra-atun” (tanpa diberi dlamir mudzakar gha’ib), yang artinya mutlak “wanita”.
        Bahkan di dalam salah satu hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita yang menemui Rasulullah saw., tersebut adalah seorang wanita Quraisy yang menyampaikan pesan dari seorang wanita yang tidak diketahui statusnya, yang di dalam matan haditsnya diberi identifikasi dengan klausul fulanah (lihat dalam al-Musnad juz 5 halaman 293).
        Secara lafzhy, memang hadits tersebut ada hubungannya dengan masalah orang mati, tetapi inti pesan hukum yang termaktub dalam hadits tersebut justru tidak ada hubungannya dengan masalah orang mati. Karenanya, tidak ada satupun hukum dari ulama-ulama madzhab yang membolehkan tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit.
        Jika anda masih kurang paham dan mengerti juga, maka kami persilahkan untuk memperhatikan dengan seksama dan benar-benar jujur terhadap hadits tersebut dari segi penempatan permasalahannya. Kitab Sunan al-Kubra Baihaqy menempatkannya dalam bab Muamalah, Sunan ad-Daraquthny menempatkannya dalam Bab Makanan, dalam Kitab Syarh Ma’any al-Atsar yang ditulis Abu Ja’far ath-Thahawy ditempatkan dalam Bab Makanan (4/208), dan dalam Kitab Nishb ar-Rayah juga ditempatkan dalam Bab Ghasab (4/168).
        Bagaimana dengan alasan istihsan yang digunakan untuk menjustifikasi bolehnya tahlilan? Sebenarnya jika kita mau jujur, dalam wilayah ushul fiqh, eksistensi istihsan sendiri masih diperselisihkan. Jika ulama-ulama Hanafiyah membela habis-habisan tentang istihsan karena ide istihsan ini muncul dari Imam Abu Hanifah (terutama dari sahabat sekaligus muridnya, Abu Yusuf), maka ulama-ulama Syafi’iyah dan ulama-ulama Hanabilah (Hanbali) justru menentang dan menolaknya tanpa kompromi.
        Dalam kitab Ushul Fiqh (sebagaimana dikutip al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami, juz 2 halaman 353) dikatakan bahwa istihsan yang diartikan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada ketentuan kultur (budaya/tradisi) adalah ditolak. Bahkan dengan sangat tegas Imam asy-Syafi’i menyatakan:
        من استحسن فقد شرع
        “Barangsiapa yang mengamalkan istihsan, maka berarti ia telah menciptakan hukum syara’ (baru)”. (lihat al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami juz. 2 halaman 353; lihat juga al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi ‘Ilmi al-Ushul halaman 171).
        Demikian tegasnya Imam asy-Syafi’i tentang hal ini, sehingga sungguh tidak masuk akal—bahkan sangat aneh, apabila ada orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyah, tetapi masih saja suka tahlilan, yang artinya adalah menciptakan hukum syara’ baru tanpa mashadir al-ahkam (landasan hukum) yang telah disepakati, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
        Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah, Nabi saw., menyatakan bahwa membuat hukum syara’ baru dianggap bid’ah dan mutlak tertolak. Bahkan perbuatan ini jelas-jelas menuduh Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam, padahal tidak ada satupun yang tidak disampaikan oleh Rasulullah saw., kepada umatnya.
        Abdullah bin Mas’ud ra., berkata: “Ikutilah Sunnah Nabi saw., dan jangan kalian melakukan bid’ah. Kalian telah memperoleh petunjuk yang cukup. Karenanya, ikutilah jalan salaf” (al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabari no. 8770). Abdullah bin Abbas ra., juga berkata: “Jangan kamu mengucapkan (sesuatu) yang menyalahi al-Kitab dan as-Sunnah” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/205). Sungguh telah diketahui secara dharury, bahwa hanya Allah SWT yang berhak menciptakan hukum syara’, sementara kita selaku manusia hanya sekedar meng-izhar-kan (menjelaskan saja) hukum tersebut.

        demikian, semoga menjadi pencerahan. wallahu a’lam bish-shawwab.

      • Untuk Abu Hafidz dan para pendukungnya,

        Apakah Anda juga sudah membaca kitab yang telah ditahqiq oleh ulama besar Anda sendiri , Syeh Albani? dan apakah Anda juga akan menolak beliau ? silakan lihat kitab Misykatul mashobih karangan Muhammad Abdulloh dengan tahqiq : Muhamad Nasrudin Al-Bani cetakan Baerut.

        semoga kalau Anda sudah membacanya maka Anda tidak menyalahkan kepada orang yang berkumpul di keluarga mayit dan memakan makanannya ( pada bagian inipun ada beberapa hukum yang mengikutinya – hai ini kalau tidak salah sudah ada dalam tulisan saya – ).

        Demikian redaksinya :

        خرجنا مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – في جنازة ؛ فرأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وهو على القبر يوصي الحافر ؛ يقول : أوسع من قبل رجليه ، أوسع من قبل رأسه ، فلما رجع استقبله داعي امرأته ، فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده

        Artinya : ( Saya ambil dari terjemahan Anda ) :

        Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.

        Dalam hadits ini disebutkan kata daa`i imroatih ( داعى امرأته ) ( pengundang dari istri mayit ) bukan dengan kata داعى امرأة .

        Hadits ini menurut Al-Bani adalah Shoheh ( داعى امرأته ) Lihat di kitab yang telah saya sebutkan diatas, demikian juga beliau menshohehkan hadits dengan redaksi yang tanpa tambahan ( داعى امرأة ) Silakan Anda lihat di kitab Irwa Al-Gholil 196/3,

        Sedangkan Imam Abu Dawud sendiri mendiamkan hadits ini ( سكت عنه ), dengan redaksi tanpa tambahan : داعى امرأة

        Dalam kitab Dalail An-Nubuwwah Imam Abu Dawud dan Imam Baehaki meriwayatkannya juga dengan tambahan yaitu داعى امرأته dan hadits itu dishohehkan oleh Albani .

        Dalam kitab Tuhfatul Ahwaazi karangan Muhammmad Abdurrahman Bn Abdurrokhim Almubarokfuri meriwayatkan hadits ini dengan tambahan : داعى امرأته dengan derajat hadits ini shoheh.

        Jadi hendaknya bagi Anda, janganlah memaksakan keinginan Anda agar kami mengikuti pendapat Anda yang melarang makan dirumah ahli mayit – walaupun kita juga harus memperhatikan hukum dari hal ini pula – ( ini sudah ada di kometar saya). Semoga menjadi pencerahan. Terimakasih.

  59. mas Aba Ditto,

    pertama,
    bagaimana praktek shalat berjamaah di mesjid anda?
    apakah shalat wajib anda dilakukan berjamaah di mesjid?
    adakah fakta sejarah yg menyebutkan bahwa Nabi dan sahabat telah membakar rumah orang yg tidak berjamaah di mesjid??

    kedua,
    mengenai hadis2 tentang peringatan kematian yg anda kutip tersebut, saya kira jawabannya sudah ada tercantum di tempat anda “copy paste”..
    sudah dijawab oleh Hb. Munzir pada jawaban beliau yg kedua di artikel blog ini juga. apa perlu saya copy pastekan?

    anda “copypaste” kan?
    kenapa jawaban/komentar atas hadis2 itu tidak ikut anda copy paste juga?

    but its oke,ga apa2,
    sebelumnya saya minta izin pinjem kacamata “tekstual literal alias ngeyel ngotot apa adanya teks” trademarknya Wahabi/Salafy..

    begini mas,
    hadis itu cuma menyebut “kumpul2” dan “makan2”,
    mana bagian teks yg menyebut/menyindir/menyinggung2 tentang membaca Quran+tahlil+tahmid+takbir+shalawat+doa yg pahalanya untuk si mayit??

    kalo misalnya anda/kelompok anda menafsirkan bahwa kumpul2 itu adalah SALAH, berarti anda juga akan mengharamkan takziah, karena datang ketempat itupun sudah pasti kita akan “kumpul2” dengan orang2..
    kalo ada yg meninggal ya ga usah didatangi, biarin aja keluarganya sendiri yg ngurus..
    eh ralat,
    keluarganya “ngumpul2” mengurus mayit juga SALAH, karena mereka pasti akan “kumpul2″ juga.

    apa penafsiran hadis yg seperti ini yg diharapkan agama ini??

    kemudian bagaimana dengan hadis :
    “riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan”

    ???

    Nabi SAW pun makan ditempat keluarga si mayit, apa anda berani menyebut Nabi SAW adalah seorang peratap juga??
    atau hadis itu akan masuk daftar hadis yg tergolong palsu versi wahabi juga??

    ataukah hadis2 itu saling bertentangan satu sama lain??
    disini menyebut boleh, tapi disisi lain menyebut haram..

    coba anda perhatikan!

    ketiga,
    petunjuk dari Rasulullah dan sahabat sudah jelas, namun pernahkah kita bertemu Nabi SAW dan para sahabat??
    anda sendiri saja tahu hadis dari buku hadis, betul ga?

    bisakah kita hidup beragama hanya bermodalkan alQuran dan Hadis yg telah dibukukan, TANPA MEMAKAI INSTRUMEN LAIN UNTUK MENAFSIRKAN KEDUA PUSAKA TERSEBUT ?
    bisakah?

    apakah anda tau, kelompok Wahabi/Salafy yg sering berkoar2 dan bersloganria “kembalilah kepada Quran Hadis” pun masih menggunakan penafsiran ulama..
    mereka masih menggunakan kitab2/pendapat Ibnu Taimiyah dan kawan2..
    mereka pun menggunakan kitab2/pendapat imam2 di luar mazhab mereka, semisal mazhab Syafii..
    kitab2 yg memuat hadis pun merupakan produk ulama, kalo ga dihapalkan/ditulis ulama, ga bakal ada tuh kitab2 hadis, wong Nabi SAW sendiri melarang sahabat membukukan hadis kok..

    JADI, silahkan saja anda yg hidup di zaman ini merujuk langsung kepada Nabi SAW dan sahabat, silahkan tanya Nabi SAW langsung sebelum ngapa2in, “Ya, Nabi SAW, saya mau ke kantor jam segini, bid’ah apa ngga?”… tapi saya titip pesan :
    1. buanglah kitab2 yg membukukan AlQuran & hadis Nabi SAW, karena itu produk ulama..
    2. kalo terpaksa juga merujuk ke kitab itu juga (berarti anda tidak konsisten) silahkan mencuplik ayat2 atau hadis2 tsb (saya kasian juga anda ga punya apa2), tapi tinggalkan penafsiran ulama.. entah penafsiran/pendapat Ibnu Taimiyah, Syeikh bin Baz, Syeikh Albani maupun penafsiran Imam Syafii, Imam Nawawi dll..

    jadi yg ke 3. anda harus membuang kitab2 karangan ulama, semisal Bulughul Mahram, Adzkar imam Nawawi dll.

    silahkan tafsirkan sendiri, insya Allah anda akan mati berdiri, karena menemukan banyaknya ayat2 atau hadis2 yg saling sepertinya bertentangan (padahal sebenarnya tidak)..

    ga usah yg rumit2, ada hadis yg bunyinya “mewajibkan berjamaah di mesjid” dengan hadis yg bunyinya “mewajibkan untuk memenuhi undangan” saja anda sudah bingung membabibuta menyalahkan orang tahlilan..
    (kalo kami tidak bingung mas, penafsiran ulama2 kami menyebutnya sebagai fardhu kifayah, bukan fardhu a’in)

    ada hadis yg bunyinya “melarang kumpul2 & makan2 di rumah keluarga mayit” dan hadis “keutamaan bacaan Quran, tasbih, tahlil, tahmid, shalawat, baik itu untuk mayit atau tidak” dan hadis “keutamaan menghormati tamu, menyuguhi tamu” dan hadis “keutamaan bersedekah” saja anda sudah bingung..

    bagaimana jika anda berhadapan dengan ayat “Allah duduk”, “Allah menggenggam”, “wajah Allah”, dan ayat “tidak ada sesuatu apapun yg serupa dengan Allah”, dengan ayat “laisa kamitslihi syai” tanpa TAFSIR ULAMA pasti anda akan setengah mati bingungnya..

    jika anda ingin pergi ke Singapura tapi anda mengesampingkan mobil+kapal laut+pesawat+dll, saya jamin anda tidak akan sampai kemana2..

    jika anda ingin menuju Allah dan RasulNya, tapi anda melupakan ulama, saya yakin anda tidak akan sampai kemana2, kecuali anda adalah makhluk yg diistimewakan Allah, yg diberi ilmu agama tanpa belajar..

    terakhir,
    kemuliaan dan persatuan Islam yang anda sebut itu tidak akan bisa diusahakan dengan pemikiran dangkal dan menyalah2kan/memaksakan pendapat orang lain..

    ketika orang lain punya dalil hadisnya begini2 dan tafsirnya begini2, maka anda tidak bisa memaksakan pendapat dari hadis begitu2 tanpa tafsir..

    hadisnya memang yg itu2 juga, tapi kenapa dipahami dan ditafsirkan berbeda, itulah rahasia Allah, boleh jadi situasi dan kondisi yg berbeda yg membuat imam A membolehkan, sementara Imam B memakruhkan..

    lihatlah setelah puluhan ribu tahun, para imam mazhab tidak ada yg menyalahkan pendapat imam mazhab yg lain selama mengikuti kaidah “mengekstrak” Quran+Hadis yg benar..

  60. 1. Walaupun hanya ancaman, kita hrs takut dgn ancaman Rasulullah, bukan menyepelekannya karena ucapan dan perbuatan Rasulullah adalah atas ridho Allah.
    2. Rasulullah, sahabat, tabi’in, imam 4 mazab (walaupun satu diantara mereka ada yg mengatakan hukum sholat fardhu di masjid sunnat muakkad)lebih senang mengerjakan sholat fardhu berjamaah di masjid kecuali ada udzur yg syar’i.
    3. Yg saya copy paste adalah hadist bukan pendapat. Saya tdk mengcopy paste pendapat ustadz munzil krn ia tlh salah (mungkin tdk sengaja) menyebutkan lafaz asli HR Abu Dawud no.3332 di atas (coba baca lagi dan buka musnad Abu Dawud).
    4. Mengambil pendapat ulama boleh saja tdk ada yg melarang selama ulama yg menjadi rujukan adalah ulama2 yg tsiqah – bukan ulama yg kurang hati2 menyebut lafaz hadits, misalnya.
    5. Saya bkn kelompok salafi, muhammadiyah, NU, atau apapun namanya. Pendapat siapapun dari mereka selama mendukung sunnah, maka harus didukung. JANGAN FANATIK DGN KELOMPOK.
    6. Ta’ziah memiliki hadits tersendiri. Kita diperintahkan mendoakan almarhum dan menghibur keluarga yg berduka.Silakan cari haditsnya. Jika ada tetangga muslim yg meninggal, maka sudah sepatutnya kita mendoakannya tanpa hrs diiming-imingi dgn sepiring nasi. Iming2 dari Allah sudah lebih dari cukup. Jika ada tetangga yg sakit, sdh sepatutnya kita menjenguk, membantunya, mendoakannya.
    7. Innovasi (sesuatu yg baru) dalam agama yg dilarang adalah masalah ibadah – bukan masalah kemaslahatan di dunia. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam “Barangsiapa yg melakukan suatu amalan tanpa perintah kami, maka amalan itu tertolak”.
    Silakan pergi haji naik onta atau terbang dgn pesawat berkecepatan 1000 km/jam.
    8. Silakan Anda bertahan dgn pendapat Anda.Hayakallah.

    –> 1 2 4 8 setuju

    3. jika anda simak, habib Munzir (bukan munzil) telah menjelaskannya di bagian bawah artikel. Mungkin anda terlewatkan membacanya.

    6. setuju. Hiburan terbaik bagi keluarga adalah berdzikir dan mendoakan si mayit dan keluarganya. Dan kalau disuguh nasi kan yaa dimakan tohh mas, karena jika tidak mau makan justru menambah kesedihan keluarga. Dan juga itu bukan haram. Kalau mengharamkannya itu justru bid’ah sesat, karena mengubah status hukum makanan tanpa dalil syar’i.

    7. Inilah pembagian bid’ah yang aneh. Katanya semua sesat .. kini ada bid’ah dunia yang boleh, di samping bid’ah ibadah. Tak konsisten kan.

    Pasangan klasifikasinya juga salah. Kalau yang satu dunia, lawannya akhirat. Kalau yang satu ibadah, lawannya non ibadah. Kalau yang satu agama, lawannya non agama. Kalau yang satu dlalalah, lawannya hasanah. Itu baru pasangan klasifikasi yang pass.

    Mempasangkan dunia dengan agama atau ibadah sangat tidak pas. Manusia diciptakan hidup di dunia ini untuk beribadah mas. Bukan untuk yang lain-lain. Adakah urusan kemaslahatan dunia ini yang bukan urusan akhirat? Adakah urusan dunia yang tidak bisa dijadikan ibadah? TIDAK ADA.

    Anda juga tak konsisten dengan contoh anda. Contoh anda ibadah haji. Berhaji dengan pesawat itu kan juga ibadah kan mas, bukan kemashlatan dunia. Seharusnya anda melarangnya, tetapi kok anda mempersilahkannya .. binung aku. Tak konsisten.

    Yang jelas bid’ah (yang terlarang) itu … masih dalam ibadah haji .. berhaji dengan tawaf muter pasar (dulu ada pasar seng). Atau wukuf di luar batas arafah. Atau Sa’i di luar batas yang ditentukan baginda Nabi saw, walaupun sedikit. Karena semua contoh tersebut jelas-jelas melanggar syariat yg telah ditentukan.

    wallahu a’lam.

    • Untuk saudaraku yg tdk puya nama
      3. Saya sdh baca ulang, tdk ada pembelaan dari ustadz munzir atas tuduhan salah menyebutkan lafaz hadits.
      6. “Makan di cara kematian adalah perkara yg baik” itu pendapat saudara, silakan diamalkan utk diri sendiri atau org2 yg patuh sama saudara.
      7. Saudara salah mengartikan konsisten. Rasulullah pernah mengimami dgn surah yg panjang, pernah pula dgn surah yg pendek. Apakah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tdk konsisten?

      Pergi haji itu ibadah. Pesawat, kapal, adalah sarana. Pilihlah sarana yg memberikan kemudahan (kemaslahatan) bagi Saudara.

      Para sahabat ketika berada di majelis Rasulullah seolah-olah dapat melihat surga dan neraka di depan mata. tetapi ketika para sahabat kembali ke rumah berkumpul bersama keluarga, mereka bercanda dan tertawa. Mereka melaporkan ini ke Rasulullah dan Rasulullah menjawab “ya sekali-kali tdk mengapa”.Semoga saudara mengerti maksud saya.

      –> 3. Saya kutib kembali penjelasan habib munzir yang dimaksud. Dan itu dari syarah Imam Ibn Majah, bukan pendapat habib munzir sendiri. Lihat yang saya bold.

      Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
      (Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116)

      6. “Makan di cara kematian adalah perkara yg haram” itu pendapat saudara, silakan diamalkan utk diri sendiri atau org2 yg patuh sama saudara. Inilah bid’ah sesat itu sendiri, mengharamkan perkara halal tanpa dalil.

      7. Anda harus konsisten dalam .. semua perkara baru itu sesat. Menjadi tidak konsisten ketika anda mengatakan, perkara baru urusan dunia tidak sesat.

      Pergi haji itu ibadah. Tahlil itu berdzikir, dan itu juga merupakan ibadah.
      Haji itu ibadah wajib bagi yang mampu sekali seumur hidup.
      Tahlil itu ibadah sunnah, kapan saja boleh dan jika diamalkan berpahala (bukan sesat dan masuk neraka)
      Ini baru konsisten, sesuai dalil.

    • Saudara pemilik blog yg mengomentari Aba Ditto di atas sepertinya pakar betul ttg urusan ibadah. Coba jawab pertanyaan ane berikut:
      Pernyataan Imam Syafi’i: “Tidak ada qiyas dalam ibadah”.
      “Ibadah bersifat tauqifiyah”.
      Coba jelaskan maksudnya dan berikan contohnya.

      –> yang bertanya lebih tahu dari yang ditanya. Maaf .. setahu saya, qiyas juga dipakai dalam madzab syafii sebagai hujjah penetapan hukum

      • Mas Pemilik Blog,
        Anda bilang di dunia ini semuanya ibadah. Dan anda bilang madzab syafii (atau maksud anda Imam Syafi’i?)menggunakan qiyas dlm menetapkan hukum.
        Sedangkan pernyataan Imam Syafi’i “tidak ada qiyas dalam ibadah dan ibadah bersifat tauqifiyah”.

        Berarti anda mengatakan bahwa Imam Syafi’i tdk konsisten? Imam Syafi’i tdk mengerti makna ibadah? Atau maksud anda madzab syafi’i tdk perlu mengikuti imamnya (Imam Syafi’i)?
        Wah ternyata anda lebih faqih dari Imam Syafi’i.

        –> Lhaa memang manusia diciptakan itu untuk beribadah kepada Allah. Ada di al Qur’an mas. Memangnya ada perkara dunia ini yang tidak bisa dijadikan/diniatkan ibadah?

        Siapakah yang lebih tahu ajaran imam syafii. Itulah anak cucu muridnya. Itulah para ulama yang bermadzab syafi’i. Ilmu saya belum seberapa mas .. jangan nge-test yang susah-susah. Yang jelas .. Qiyas itu termasuk salah satu metode pengambilan hukum setelah Ijma’ di dalam madzab syafi’i, ketika di Al Qur’an dan al hadits tidak ada.

        Jika tidak ada di al Qur’an dan hadits baginda Nabi saw, terus anda menentukan hukumnya (halal-haramnya) sebuah perkara baru dengan apa mas?

        Ngomong-ngomong.. kalimat anda itu dikutib dari manakah? Jangan-jangan itu kalimat gunting tambal, yang hanya dicomot sebahagiannya saja.

  61. Afwan mau tanya buat akhi2 semua.
    Apakah sekiranya pantas kalau orang yg harusnya kita sedekahi namun dia “terpaksa” bersedekah (seandainya niat mengadakan tahlilan adalah sedekah)??Apakah bagi yg hadir pada saat tahlil semuanya bersedekah kepada keluarga si mati..??pengalaman saya saat menghadiri tahlilan biasanya tak ada satupun yg bersedekah namun kebanyakan senang sekali saat dijamu makan..bahkan ustadz yg memimpin do’a pun menerima “upah”..sedangkan orang yg mengadakan tahlilan itu adalah fakir miskin tapi mereka tetap memaksa mengadakan tahlilan karena takut di labeli “wahabi” seandainya mereka tidak mengadakan tahlilan.
    Mohon dijawab dengan arif..

    –> Apakah orang bersedekah harus bilang-bilang. Kl anda tak bersedekah, bukan berarti yang lain tak bersedekah juga. Justru di sini arena untuk bersedekah. JIka keluarga yang meninggal termasuk orang mampu, maka ada kesempatan membagi sedekah dan makanan untuk tetangga yg miskin. Jika keluarga jenazah termasuk miskin, justru kita yang mampu berkesempatan bersedekah kepadanya.

    • Assalaamu’alaikum warahmatullaah Mas Abi,

      Jangan takut digelar wahabi, muhammadiyah, atau apa saja. Pelajari sunnah. Memang ada org2 yg takut jika melanggar tradisi terkait masalah kematian. Seharusnya yg memberi makan adalah tetangga keluarga yg berduka. Kalau anggota keluarga ingin bersedekah dgn niat utk kebaikan orangtua yg meninggal, anggota keluarga tsb dpt lakukan dgn cara berinfak kpd fakir miskin, yatim piatu, masjid, sekolah2 Islam, atau lembaga sosial/dakwah lainnya. Perhatikan hadits berikut:
      Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi shallallahu’alaihi wassallam seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
      Dari hadits di atas tdk disebutkan bhw syarat bersedekah utk keluarga yg meninggal adalah dgn mengundang org utk tahlilan di rumah org yg berduka.Sikap tetanga org yg berduka adalah mendoakannya – tanpa diminta (tanpa hrs diundang) oleh keluarga yg berduka.

      Semoga bermanfaat.

      –> (pemilik) blog ini dijuluki pengikut syafiiy. Kami tahu dari blog orang lain. Kami tak merasa terlecehkan. Imam syafii menorehkan prestasi yang bagus, dan dikenang sepanjang zaman. Namun mengapa ketika ada orang dijuluki wahaby merasa terlecehkan. Prestasi apa yang ditorehkan oleh syaikh ini? Inilah pertanyaan yang antara lain memicu lahirnya blog ini. Ternyata .. sejarah sepak terjang yang penuh tuduhan pengkafiran dan darah. Benar kata anda.. Jangan takut digelar apapun. Namun yang penting, torehkan prestasi yang bagus. Semoga ridlo ilahi menyertai kita.. amien.

      Dan hadits tersebut tak mensyaratkan sedekah .. benar. Namun ini menjadi dalil tentang sampainya amal sedekah kepada si mayit. Berinfak kpd fakir miskin, yatim piatu, masjid, sekolah2 Islam, dll sebagaimana anda sebutkan benar adanya .. namun itu bukan berarti melarang hal-hal lain yang di luar nalar anda. Jadi apa salahnya pihak keluarga mengundang org/tetangga untuk berdzikir dan mendoakan si mayit, kemudian bersedekah kepada mereka. Semua amal itu akan sampai kepada si mayit. Dalilnya telah anda sebut.

      • Aba Ditto,

        Penafsiran Saudara dalam menafsirkan sebuah hadits menurut saya adalah kacau.
        Hadits yang Saudara tulis berbunyi : ( saya kutip dari tulisan Saudara ) ;

        Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).

        Dengan hadits ini Anda menuduh kepada orang yang ahli tahlilan mensyaratkan sedekah adalah acara tahlilan, padahal tidak ada seorangpun yang mensyaratkan seperti itu kecuali hanya dalam angan2 Saudara.

        Kedua, hadits itu hanya menjelaskan kebolehan bersedekah untuk orang yang sudah meninggal tidak menyebutkan CARA BERSEDEKAH,dengan berinfak untuk fakir miskin ….dst seperti kata saudara.

        Ketiga, pemberian makanan untuk keluarga mayit dari tetangga adalah perkara sunah bukan merupakan keharusan tidak seperti kata saudara dengan menyebut SEHARUSNYA ….dst..

        Keempat, Anda setuju sedekah untuk fakir miskin dll….lalu kenapa Anda tidak setuju kalau ahli mayit mengadakan tahlilan dengan mengundang orang2 miskin ( mayoritas) dengan disuguhkan makanan semampunya dan seikhlasnya dengan maksud bersedekah dan menjamu tamu agar juga bermanfaat bagi mayit?

        Sebenarnya tahlilam adalah sarana saja untuk bersedekah dan membaca ayat2 quran dan sholawat dll yang diniatkan dan diatasnamakan si mayit seperti bunyi hadits yang saudara kutip itu.

        terakhir saya kutip :

        من معاصي اللسانِ التي هي منَ الكبائر أنْ يُفتِيَ الشَّخصُ بفَتْوى بغَيرِ عِلْم قال الله تعالى ﴿ولا تَقفُ ما ليسَ لكَ به عِلْمٌ إنَّ السَّمعَ والبصرَ والفؤادَ كُلُّ أولئكَ كانَ عنه مسؤولاً﴾ سورة الإسراء36. أي لا تقُلْ قولاً بغير عِلم، وصحَّ وثبَتَ عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم أنه سُئلَ عن بعضِ الأشياءِ فقال ((لا أدري)) ثم سألَ جبريلَ فقال ((لا أدري أسألُ ربَّ العزة))

        Merupakan maksiat lisan yang masuk dosa besar adalah seseorang berfatwa dengan tanpa ilmu, Alloh berfirman : ( Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mempunyai pengetahuan dengannya,sesungguhnya pendengaran,penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya ) ( Al-Isro : 36), yaitu jangan berkata suatu perkataan tanpa ilmu, Rosullulloh pernah ditanya sesuatu hal maka beliau menjawab ( saya tidak tahu ) kemudian beliau bertanya kepada jibril ( jibrilpun menjawab : saya tidak tahu, kemudian Jibrilpun bertanya kepada Tuhannya

        وروى الحافظ ابن عساكر في تاريخِه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((مَن أَفتى بغَيرِ عِلمٍ لَعَنَتْهُ مَلائكةُ السّماءِ والأرض)

        Al-Hafidz Ibnu ~asakir dalam tarihnya, bahwa rosulalloh Saw bersabda : Barangsiapa berfatwa dengan tanpa ilmu maka para malaikat di langit dan di bumi melaknatnya.

        Syukrol lakum.

      • ana setuju klo yg seharusnya memberi makan adalah tetangga dari keluarga yg berduka…tapi yg terjadi di keseharian kita kan tidak demikian..tanggapan antum bagaimana terhadap orang2 yg sudah saya sebut terdahulu??

        –> memberi contoh .. berikan sumbangan yang besar ketika ada tetangga miskin terkena musibah. Jika anda orang mampu dan terkena musibah, berikan sedekah/bungkusan kepada tetangga miskin lebih banyak. Itu dakwah dengan lembut. Bukan dengan mensesat-sesatkan amalan tetangga, bukan pula dengan memberi julukan yg buruk.

      • Mas Imam,
        Org2 yg membuat acara tahlilan diperingatan kematian/kenduri hari ke-1,ke-3, ke-7, dst. sering ditanya mengapa mereka melakukan itu, apakah Rasulullah juga melakukan seperti itu? Mereka menjawab: memang perkara tsb tdk dilakukan di zaman Rasulullah dan sahabat, tetapi kalau berniat bersedekah kan boleh. Merekapun mengutip salahsatu hadits tsb.
        “Pemberian makan dari tetangga kepada keluarga mayit adalah perkara sunnah”, nah- mengapa sunnah ini tidak dilanggengkan???
        Kebiasaan org2 di acara peringatan kematian adalah mengundang tetangga kanan-kiri tanpa melihat apakah ia kaya atau miskin. Dan keluarga yg berduka, tdk peduli apakah ia kaya atau miskin, tetap mengundang tetangga kanan kiri pada hari peringatan kematian.
        Jadi saudara betul, kalau ada org yg mengatakan perkara tsb. di atas adalah perkara yg baik, maka ia telah berfatwa TANPA ilmu.

        –> Dulu yang diributkan dzikir (tahlil)nya … kini sedekahnya.

        kenapa anda ribut dengan undangan dan sedekah orang lain? Perkara sedekah itu yaa sedekah .. bagaimanapun bentuk dan metodenya. Anda pernah mentraktir teman-teman (termasuk yang miskin) ketika lulus ujian. Anda pernah makan nasi kuning bersama anak-anak tetangga (termasuk yg miskin) ketika ananda ulang tahun. Nahh .. itu termasuk sedekah. Jika itu boleh .. maka anda pun tak perlu ribut ketika ada tetangga bersedekah diperingatan kematian/kenduri.

      • Saudara Aba Ditto,

        Mufti agung Masr (Mesir) Syeh Prof. Dr. Ali Jum`ah Muhammad berfatwa ketika ditanya tentang berkumpul di keluarga mayit untuk bedzikir,berdoa dan makan makanannya ( الاجتماع عند اهلي الميت علي الذكر والدعاء والطعام ) .

        Beliau menjawab :

        لامانع من مثل هذا الاجتماع شرعا , بشرط ان لايكون في ذلك تجيد للأحزان وان لا يكون ذلك من مال القصر فان كان ذلك مما يشق علي اهلي ميت او يجدد أحزانهم فهو مكروم وان كان من مال القصر فهو حرام

        Perkara seperti itu ( berkumpul di keluarga mayit untuk berdoa dan makan makanannya ) TIDAK ADA LARANGAN dalam syareat, dengan SYARAT perbuatan itu tidak mendatangkan kesedihan kembali, dan biayanya bukan dari harta keluarga mayit yang tidak mampu. Jika perbuatan / acara itu membuat susah keluarga mayit atau membuat tambah bersedih kembali maka hukumnya adalah MAKRUH. Apabila biayanya diambil dari harta keluarga yang tidak mampu maka hukumnya HARAM.

        ومع ان جماعة من متأخرين الحنفية يذهبون الي القول بالكراهة الا ان العلامة الطحطاوي الحنافي حقق ان ذلك جائز ولا شيئ فيه ونقل ذلك عن محققي الحنفية.

        Sejumlah ulama Mutaakhirin Hanafiyah berpendapat melakukan acara seperti itu hukumnya MAKRUH kecuali pendapat Al-Allamah Ath-Thahawi Al-Hanafi,dalam kajiannya yang mendalam beliau menyimpulkan kebolehan mengadakan acara itu dan tidak mengapa . Ini sebagaimana dinukil oleh sejumlah ulama peneliti Madzhab Hanafi.

        –> setuju … 100

  62. Buat Mas Aba Ditto, yang kayaknya ilmu sangat tinggi, dan telah dijamin Alloh masuk surga, karena amalan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-harinya terbebas dari bid’ah dan kesesatan. Salut buat antum.

    Ane mau kasih tau sama ente, Ente tau nggak KENAPA IBLIS MASUK NERAKA ……? Karena Iblis merasa dirinya lebih baik dari Adam, ketika Alloh SWT memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam, mereka berkata….. bahwa mereka terbuat dari api dan Adam dari tanah, mereka merasa tidak layak menyembah Adam.

    Kayaknya sih SIFAT IBLIS Merasa paling baik an benar ini ada di Antum. SELAMAT YA ……

    • Wah Anda merasa lebih baik dan lebih benar dari Ulama-Ulama NU dong. Kayaknya bener yang dibilang Abi Tauhid, sifat IBLIS menempel di jiwa Anda. Selamat juga deh…

  63. to Aba Ditto,

    pertama,
    anda ini lucu.. mengamati sesuatu secara kok secara parsial..
    tahlilan bukan cuma amalan orang NU mas,
    muslim di luar indonesia juga ada yg mengamalkan tahlil, apakah mereka NU? tidak mas..
    tanyakan pada para pentahlil di malaysia, berunai, Thailand, pakistan, yaman, mesir dll, NU kah mereka?? tidak mas..
    mazhab2 di luar Syafii juga ada yg mengamalkan tahlilan, mungkin dengan bentuk atau nama yg berbeda..

    JADI, tahlil itu bukan punya NU mas..

    kedua,
    awalnya anda ngotot bahwa sholat pardu jamaah dimesjid itu wajib,
    sekarang kok malah jadi longgar dengan menyebut “lebih senang mengerjakan sholat fardhu berjamaah di masjid kecuali ada udzur yg syar’i”???

    anda itu mengikuti pendapat ulama yg sesuai sunnah kah atau malah memilih yg sesuai dengan keinginan anda??

    ketiga,
    anda tidak menjawab pertanyaan saya, apakah anda selalu shalat pardu berjamaah di mesjid?

    keempat,
    ga usah mikir yg rumit2, saya cuma mau nanya bahwa hadis itu menyebutkan “kumpul2 dan makan2” adalah meratap, bagian mana yg menyebut membaca dzikir dan sholawat juga disebut meratap??

    kelima,
    fenomena di masyarakat kita yg terlalu “memaksakan” ngadain tahlilan (misalnya sampe menyengsarakan si ahli waris, sampe berhutang kesana kemari), ga perlu pake hadis2 dan pendapat ulama untuk menyalahkannya, mas..

    itu terlalu jauh..
    terlalu jauh pula sampe menyalahkan dzikir dan sholawat dengan hadis yg ga nyambung..
    hadis “kumpul2 dan makan2 adalah meratap” kok ditujukan untuk orang2 yg baca dzikir sholawat???

    akan lebih bijak jika anda menyalahkan “terlalu maksa ngadain tahlilan” dibanding jika
    anda menyalahkan “dzikir sholawat dan sedekah” dengan hadis “keutamaan berjamaah dimesjid” maupun “kumpul2 dan makan2 adalah meratap” yg justru akan membuat anda terlihat konyol dan ga nyambung.

    keenam,
    saya sudah biasa diskusi dengan orang yg “kalah diskusi terus kabur”..
    saya jadi semakin yakin bahwa pemikiran wahabi itu dangkal dan tidak bisa diterima akal sehat..
    hahahahaha..

    –> ohh iyaa..jadi ingat.
    pertama,
    matsurat-an nya PKS itu juga tahlilan lhoo…
    istighasah-an orang NU juga tahlilan
    dzikrul ghafilin-nya gus miek
    dll

  64. assalammulaikum,
    bagi saya sih yg penting dalam beribadah harus ini,
    syarat diterimamnya ibadah:
    1.niat yg ikhlas
    2.sesuai syariat(ada contoh dari Rosulullah dan sahabat)
    titik,
    wassalam

    • mas anwar,

      secara teori apa yg anda katakan itu benar saja, tapi dengan bermodalkan pemahaman yg sempit dijamin akan kesulitan jika sudah memasuki wilayah praktek..

      singkat saja,
      kita telah sepakat membaca tahlil (lailahailallah) adalah suruhan Allah dan Nabi SAW, yg saya tanyakan adalah :
      bagaimana praktek anda mengucap kalimat tersebut??

      tolong dijawab?

      • untuk semua yang membaca blog ini, saya menurunkan satu tulisan. mudah-mudahan ini dapat menjadi pencerahan bagi kita semua.

        TA’ZIYAH MENURUT BAHASA ARAB
        DAN HADITS NABI SAW

        Dalam bahasa Arab, menurut ilmu sharaf, ta’ziyah berasal dari kata عزا mengikuti wazan فعل – يفعل, fi’il naqis wawiy yang asalnya adalah عزوا menjadi عزا. Fi’il naqis wawiy adalah kata kerja mu’tal yang memiliki huruf illat pada lam fi’il-nya. Adapun tashrif lengkapnya adalah sebagai berikut:
        عزا – يعزو – عزوًا – ومعزًى – فهوعاز – وذاك معزوٌّ – أعز – ليعز – لاتعز – لايعز – معزًى – مِعزًى
        Dalam hal ini, العزا memiliki arti السلوى (hiburan) dan الصبر (kesabaran). Disamping berasal dari عزا, ta’ziyah juga berasal dari kata عزى mengikuti wazan فعل – يفعِل dan disebut fi’il naqis ya’i. adapun tashrif lengkapnya adalah sebagai berikut:
        عزى – يعزى – عزيًا – ومعزى – فهوعاز وذاك معزّيٌ – إعز – ليعز – لا تعز – لايعز – معزًى – مِعزًى
        Dalam hal ini, العزى memiliki arti عزى وتعزى , yaitu terhibur atau sabar atas apa yang menimpanya. العزى dapat juga berarti عزاه atau سلاه (menghibur/menyabarkan). Sedangkan العزاء والتعزية merupakan fi’lu al-ta’diyah, yang memiliki arti pernyataan menghibur atau pernyataan yang bersifat menyabarkan, turut berduka cita atas musibah yang terjadi.
        (Catatan: penjelasan istilah ta’ziyah tersebut dapat dilihat dalam Kamus Bahasa Arab Lisaanul Arab li al-Imam al-‘Allamah Ibn al-Manzhur, jilid 6 halaman 239, terbitan Darul Hadits, Kairo-Mesir; juga dalam Kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, halaman 504, terbitan al-Maktabah al-Syarqiyah, Beirut-Lebanon).
        Sedangkan istilah ta’ziyah yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw., adalah sebagai beikut:
        قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مامن مؤمن يعزى أخاه بمصيبة إلا كساه الله عز وجل من حلل الكرامة يوم القيامة
        “Rasulullah saw., bersabda, Tidaklah orang yang beriman berta’ziyah ke tempat saudaranya yang tertimpa musibah kecuali Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan pakaian kemuliaan kepadanya di hari Kiamat”. (HR. Ibnu Majah, dari Abdullah bin Muhammad bin Amir bin Hazm).
        قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من عزى مصابًا فله مثل أجره
        “Rasulullah saw., bersabda, Siapa yang berta’ziyah ke tempat musibah, maka baginya pahala seperti pahala orang yang tertimpa musibah”. (HR. At-Tirmidzi, dari al-Aswad bin Abdillah).
        Dalam melaksanakan ta’ziyah, Rasulullah saw., melakukannya dalam tiga pelaksanaan, yakni:
        1. Ta’ziyah bil Lisan, yaitu Rasulullah saw., hadir ke rumah duka dan menasehati ahlu musibah agar ahlu musibah sabar dan tabah dalam menerima musibah yang terjadi. Ini sebagaimana hadits beliau saw:
        إن لله ما أخذ وله ما أعطى ولكل شيئٍ عنده بأ جل مسمى فالتصبر والتحتصب
        “Segala sesuatu adalah milik Allah, baik yang Allah ambil maupun yang Allah berikan. Segala sesuatu disisi Allah mempunyai batas waktu yang telah ditentukan. Karenanya bersabarlah dan tabahlah”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, dari Usamah bin Zaid, Said bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit).
        Menurut hadits riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain, jilid I, halaman 492, yang bersumber dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah, pada saat Nabi saw., berta’ziyah ke rumah salah seorang wanita anshar yang anak tunggalnya meninggal dunia, Rasulullah saw., memerintahkan agar ahlu musibah bertaqwa dan bersabar:
        فأمرهابتقوى الله وبالصبر
        Dalam at-Ta’liqah al-Jiyaad, Nabi saw., ketika tidak sempat hadir ke rumah Mu’adz bin Jabal yang tertimpa musibah karena meninggal putrinya, beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Amru bin al-‘Ash untuk menulis surat yang isinya adalah sebagai berikut:
        رحمت إليهم ميتهم وعزيتهم
        “Aku mengasihi mayit mereka dan akupun berta’ziyah kepada mereka”.

        2. Ta’ziyah bil Maal, yaitu Rasulullah saw., memerintahkan kepada sahabat untuk membantu ahlu musibah dengan harta dan makanan yang dapat meringankan beban duka cita bagi ahlu musibah sebagaimana perintah Rasulullah saw:
        عن عبد الله بن جعفر قال: لما نعي جعفر قال النبي صلى الله عليه وسلم: إصنعوا لأل جعفر طعامًا فقد أتاهم أمر يشغلهم
        “Dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata pada saat gugurnya Ja’far bin Abi Thalib, Nabi saw., bersabda, Antarkan makanan ke rumah Ja’far, sungguh telah datang duka cita yang menyibukkan keluarga Ja’far”. (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, halaman 482).
        Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, bahwa Aisyah diperintahkan oleh Rasulullah saw., untuk mengantarkan bubur Talbinah ke rumah sahabat yang sakit atau meninggal dunia, karena bubur Talbinah membuat senang hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan orang yang sedih karena tertimpa musibah.
        قال رسول الله صلى الله عليه وسلم التلبينة مجمة لفؤاد المريض تذهب ببعض الحزن
        “Rasulullah saw., bersabda, Bubur Talbinah menyenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan hati orang yang tertimpa musibah”. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah).

        3. Ta’ziyah bil Hal, yakni ta’ziyah dengan cara membantu ahlu musibah terhadap keadaan apa yang sedang mereka butuhkan, seperti yang menyangkut fasilitas fardhu kifayah, ataupun yang menyangkut kebutuhan ahlu musibah seperti air, tikar, mobil ambulance, lampu penerangan, dan lainnya yang sifatnya meringankan beban duka cita yang sedang diderita ahlu musibah.

        Adapun ucapan belasungkawa kepada ahlu musibah, sebagaimana menurut hadits riwayat Ibnu Syaibah yang berasal dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw., jika datang berta’ziyah, beliau mengucapkan kalimat berikut ini:
        رحمك الله و أجرك
        “Semoga Allah mengasihimu dan memberikan ganjaran pahala kepadamu (karena kesabaranmu)”.
        Pandangan Imam asy-Syafi’i tentang ta’iyah adalah sebagaimana termaktub dalam kitab al-Umm, dan Mukhtashar al-Muzani, jilid I, halaman 317, terbitan Darul Fikri, Beirut, yaitu:
        وليس في التعزية مؤقت يقال لايعدى إلى غيره أخبرنا الربيع قال أخبرنا الشافعى قال أخبرنا القاسم بن عبدالله بن عمر عن جعفر ابن محمد عن أبيه عن جده قال لما توفى رسول الله صلى الله عليه وسلم وجائت التعزية سميعوا قائلاً يقول: إن فى الله عزاء من كل هالك ودركًا من كل مافات فبيالله فتقوا وأياه فأرجوا فإن المصاب من حرم التواب قال الشافعى قدعزى قوم من الصالحين بتعزية مختلفة فأحب أن يقول قائل هذا القول ويترحم على الميت ويدعو لمن خلفه
        “Tidak ada pada ta’ziyah suatu ketetapan waktu yang dikatakan tidak dilampaui waktu yang lain. Dikabarkan kepada kami oleh ar-Rabi’ yang mengatakan dikabarkan kepada kami oleh al-Qasim bin Abdullah bin Umar dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, ketika Rasulullah saw., wafat, datanglah orang-orang berta’ziyah, mereka mendengar ada yang mengataan, “Bahwa pada Allah ta’ziyah dari setiap musibah, ganti dari setiap yang binasa, dan memperoleh kembali dari setiap yang hilang, maka demi Allah percayalah kepada-Nya! Maka berharaplah bahwa orang yang tertimpa musibah diharamkan dari balasan siksa. Orang-orang yang shalih melakukan ta’ziyah dengan cara yang beragam (lisan, bil maal, bil hal). Saya (Imam asy-Syafi’i) lebih menyukai bahwa diucapkan ucapan tadi (ucapan yang diucapkan sahabat waktu Rasulullah saw., wafat), meminta rahmat untuk mayit, dan berdoa untuk orang yang ditinggalkan mayit”.
        Adapun bacaan bagi orang yang tertimpa musibah adalah mengucapkan kalimat istirja’ (QS. Al-Baqarah: 156), kemudian mengucapkan doa sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw., yakni:
        إنالله وإنا إليه راجعون, أللهم أجرني في مصيبتي وأخلف لي خيرا منها
        “Sesungguhnya segala sesuatu milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya semua akan kembali. Ya Allah, berilah aku pahala atas musibah yang menimpaku dan gantikanlah kepadaku kebaikan daripadanya”. (HR. Muslim, dari Ummu Salamah).
        Do’a tersebut diucapkan sebagai bentuk pelajaran kesabaran dan ketabahan bagi orang yang tertimpa musibah. Hadits tersebut mengajarkan kepada kita agar selalu siap dalam menerima musibah, tetap bersabar dan berharap mendapatkan ganjaran pahala dan kebaikan dari Allah SWT. Do’a tersebut bukan untuk menjadi permainan, seolah-olah berharap mendapatkan suami/istri baru sebagai pengganti, tetapi itu adalah do’a yang diajarkan oleh Rasulullah saw., agar kita tidak terlalu bersedih.
        Ada sebagian orang yang melecehkan hadits ini dengan mengatakan yang tidak benar dan menghina pengajaran doa Rasulullah saw., atas Ummu Salamah. Berhati-hatilah, jangan sekali-kali mempermainkan apalagi mengejek ajaran Rasulullah saw., karena kafirlah orang yang berani mengejek atau membawa ajaran Rasulullah saw., dalam bahan cemoohan. Camkan QS. At-Taubah” 65-66, juga banyak hadits-hadits dan fatwa sahabat tentang orang-orang yang berani mengejek ajaran Rasulullah saw.
        Bacaan bagi orang yang datang melayat jenazah sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Ummu Salamah, adalah:
        أللهم اغفرلي وله واعقبني منه عقبة حسنة
        “Ya Allah, ampunilah aku dan ampunilah dia (mayit) dan gantilah ia bagi kami daripadanya pengganti yang lebih baik”.

        Khatimah
        Berdasarkan kajian dengan menggunakan pendekatan semantik terhadap ta’ziyah, dapat dikemukakan sebagai beriktu:
        1. Ta’ziyah adalah istilah bahasa Arab yang dapat dibuktikan bahwa istilah tersebut benar terdapat dalam kamus bahasa Arab. Ta’ziyah artinya memberikan hiburan nasehat kesabaran kepada keluarga mayit yang ditinggalkan.
        2. Syariat Islam melalui Nabi Muhammad saw., mengajarkan ta’ziyah kepada ahlu musibah berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah dan at-Tirmidzi. Dengan demikian, istilah ta’ziyah di dalam Islam adalah istilah yang dipakai oleh Nabi Muhammad saw.
        3. Imam asy-Syafi’i di dalam al-Umm juga menggunakan istilah ta’ziyah untuk memberikan ucapan kesabaran kepada ahlu musibah yang ditinggalkan mayit.
        4. Tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Arab, juga dalam hadits-hadits Nabi Muhammad saw., juga dalam al-Umm Imam asy-Syafi’i istilah shamadiyah atau tahliliyah (tahlilan) terhadp keluarga mayit atau ahlu musibah.

    • Pemikiran yang cerdas – brilliant. Mas Anwar, anda pendukung sunnah. Semoga istiqomah. Amin ya Robbal alamin.

  65. Ini penjawab yang mewakili Habib kok orang Bodoh. Tapi Kok Habib memilihnya untuk mewakilinya. Hal ini menunjukkan bahwa penunjuk lebih bodoh daripada orang yg ditunjuk. kesimpulannya kedua2nya sama2 bodoh.

    –> ilmu saya memang belum seberapa. Lebih baik anda tunjukkan kesalahan ada di mana, biar kami dapat belajar. Tetapi anda salah kalau menyebut saya sebagai mewakili Habib.

  66. to anti tahlilan,

    kita ga usah lah terlalu gampang menyebut orang lain goblok, bodoh atau yg sejenisnya.. (atau begitukah orangtua dan guru kalian mendidik kalian?)

    yg penting itu, jawablah pertanyaan yg ditanyakan, bukan dengan lari2 kesana kemari, lain yg ditanya lain pula jawabnya..

    saya akan mngulang pertanyaan saya yg hampir tidak pernah kalian jawab..

    BAGAIMANA praktek membaca lailahailallah yg benar menurut sunnah menurut kalian???

    mohon jawab, supaya kata bodoh itu ga kembali ke anda..

    • sdrku,…
      yg tdk baik, jgn dibalas dgn lebih tdk baik!
      blm tentu ‘langitmu’ lbh tinggi…buktinya km msh bertanya tuh…

      Wasslm

      • mas Soeloeng,

        anda bertanya ke saya atau siapa?
        kalo “km” yg dimaksud dalam kalimat “buktinya km msh bertanya tuh…” itu adalah saya, ya ga papa sih..
        saya ga merasa “tinggi” atau merasa paling pinter…

        saya itu cuma penasaran,

        ketika ada hadis tentang turunnya rahmat Allah ketika mmbaca suatu bacaan, kemudian ada seorang muslim yg mengamalkannya setiap akan melakukan sesuatu, kok dituduh bid’ah, Nabi ga pernah begitu,,

        ketika Nabi menyuruh membaca sholawat (tanpa menetapkannya kapan dan dimana), kemudian ada muslim yg membacanya setiap akan naik motor, setiap akan tidur, lho kok dituduh bid’ah, Nabi ga pernah begitu, Nabi ga pernah baca sholawat ketika akan naik motor..

        demikian pula dengan kalimat “lailahailallah”, banyak keterangan yg menyebut keutamaannya, tapi ketika seorang muslim membacanya dikuburan maupun dirumah keluarga mayit, lho kok disalah2kan..

        makanya, saya mau nanya ke orang2 yg membid’ahkan tahlilan itu, BAGAIMANA TEKNIS MEMBACANYA YG SESUAI SUNNAH dan GA BID’AH?

        sampai sekarang tidak ada yg bisa jawab, termasuk anda mungkin..

  67. Assalamu a’laikum,

    sdr ku, takutlah kpd Allah Swt. khawatir… mana tau telah terjadi KESOMBONGAN diantara Ilmu yang sedikit! soal khilafiyah sudah ditengahi oleh para IMAM yang 4 itu, mrk telah bertanggung jwb atas segala konsekuensi ilmu hingga akhir zaman! Imam Syafi’i adalah Guru terbesar pada Mashabnya (termasuk imam yg lain sepeninggal Rasulullah), bila kamu tak ‘Patuh’ maka kamu telah Ingkar /durhaka kpd Guru, jika demikian maka kamu termasuk org2 yg Sombong dan ingkar kepada Allah….
    Apakah orang yg tak berMashab itu akan menjadi lebih baik????? artinya = tak memiliki Guru.
    Lebih baik kita memperbanyak Amal & Ibadah kita! ketimbang berlomba menguranginya, mensedikitkannya, apalagi mentiadakannya…. inilah Bid’ah yg sesungguhnya!!!

    Wallahu a’alam, Mohon ma’af yg sebesar-besarnya.
    Wassalamu a’alaikum.

  68. Saya Akan mencoba menanggapi isi dari artikel di atas tentang perdebatan Abu Jauzaa dan Habib Munzir ( Kalau itu disebut perdebatan…maaf )

    PERTAMA,

    Perkataan Abu Jauzaa terhadap Habib Munzir,

    Abu Al-Jauzaa: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan Ghairu mustahabbah hawuwa bid’ah bisa dimaknakan kepada mubah ? Aneh. Sepertinya Pak Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadh aslinya :

    وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.

    “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).

    Komentar saya :

    Itulah perkataan Abu Al-Jauzaa dengan menuduh Habib Munzir disebut melakukan pembodohan umat ( A`udzubillah ).

    Lihatlah tulisan arab berhuruf besar dan terjemahannya berhuruf tebal.( غير مستحبة وهو بدعة )

    Setelah saya cek dalam kitab aslinya ternyata disana ada penipuan terhadap umat yang dilakukan oleh Abu Jauzaa.

    Demikian bunyi dalam kitab aslinya : kitab Al-Majmu` Syarhul Muhadzdzab juz 5 :

    قال صاحب الشامل وغيره : وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء ، وهو بدعة غير مستحبة . هذا كلام صاحب الشامل . ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال : ” كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة

    ” Berkata Shohibusy Syaamil dan selainnya : ” Dan adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya manusia atas mayit, maka TIDAK ADA RIWAYAT PADANYA, DAN PERBUATAN ITU MERUPAKAN BID`AH SELAIN SUNAH. Inilah ucapan Shohibul syaamil. Beliau menyimpulkan hal ini berdasarkan hadits (Atsar) Jarir bin Abdullah ra, Berkata : Kami menganggap berkumpul dirumah ahli mayit dan penghidangan makanan setelah penguburannya termasuk bagian dari meratap. ( tertulis وهو بدعة غير مستحبة ) bandingkan redaksi yang ditulis Abu Jauzaa !

    Hal ini diperkuat lagi oleh pengarang kitab yang sama yaitu Imam Nawawi dalam kitab Roudlotuth Tholibin wa Umdatul Muftiin Bab Ta`ziyah berbunyi persis seperti nukilan saya diatas tersebut bukan seperti nukilan Abu Jauzaa.

    Dengan demikian saya menilai pebuatan yang dilakukan oleh Abu Jauzaa tidaklah pantas, dengan memutarbalikkan makna dari pendapat Imam Syafi`I dan pengikutnya.

    Kalau melihat redaksi aslinya itu maka mempunyai makna perbuatan itu (Berkumpul dan makan makanan dirumah mayit ) adalah tidak ada riwayatnya, karena tidak ada riwayatnya maka perbuatan itu disebut bid`ah yang itupun masih dalam kategori ghoeru mustahabbah ( Bid`ah selain sunah) …. ( harap diingat dalam Madzhab Syafi`I dikenal ada pembagian 2 bid`ah dan ada juga pembagian bid`ah disesuaikan dengan hukum taklifi ( bidah wajib,bidah sunah,bid`ah makruh dll).

    Untuk pembuktian kemakruhannya, kita buktikan seperti apa yang tersebut dalam kitab I`anatuth Tholibin hal : 146 (Baris kalimat pertama ) :
    Redaksi aslinya sebagai berikut :

    وما اعيد من جعل اهل الميت طعاما ليدعوا الناس اليه بدعة مكروهة كاجابتهم لذلك لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع الي اهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة مافيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن

    ” Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yaitu membuat makanan oleh keluarga mayit untuk tujuan mengundang manusia (masyarakat) kepadanya, adalah perbuatan BID`AH YANG MAKRUH, ini adalah seperti jawaban mereka ( para mufti kota Haram ) karena ada atsar shoheh dari Jarir ra. : Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan penghidangan makanan oleh mereka sesudah (acara) penguburannya termasuk bagian dari niyahah ( meratap).

    Nah disini ada penjelasannya yaitu ALASAN PERBUATAN ITU DIANGGAP SEBAGAI BAGIAN DARI NIYAHAH (MERATAP) YAITU ADANYA KESANGAT-KHAWATIRANNYA TERHADAP MASALAH YANG DAPAT MENYEDIHKAN (KELUARGA MAYIT) .

    Lihat tulisan dalam bahasa arabnya dan bahasa Indonesianya yang saya tulis dengan huruf besar.

    Untuk membuktikan lagi saya tuliskan, masih dalam kitab yang sama pada kalimat sebelumnya sebagai berikut :

    ويحرم تهيئته للنائحات لانه اعانة علي معصية

    ” Dan hukumnya HARAM mempersiapkan makanan untuk tujuan meratap ( mayit) karena perbuatan itu MEMBANTU KEPADA KEMAKSIATAN.

    Jadi hukumnya berubah dari bid`ah yang MAKRUH menjadi HARAM tergantung ILLATNYA / PENYEBABNYA.
    Disana juga disebutkan antara kata haram dan kata makruh ( jadi kata MAKRUH dalam hal ini bukan bermakna HARAM , seperti tuduhan kaum Salafiyiin-Wahabiyyin.

    KEDUA,

    Perkataan Abu Jauzaa :

    Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkankan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya Makna Tahrim (bermakna Haram).

    Kita lihat tulisan Habib yang diambil dari perkataan Ibnu Hajar :

    من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة

    “mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram) ( LIHAT TULISAN HURUF BESAR ).

    Tanggapan Saya :

    Mari kita lihat dalam kitab yang masih sama ( I`anathut tholibin hal : 146 sebagai penjelas dari perkataan Ibnu Hajar ) apakah pendapat Abu Jauzaa itu benar atau tidak yang memaknai HARAM pada kata makruh di tanggapan Habib Munzir ini.

    Saya nukilkan aslinya sebagai berikut :

    وفي حاشية العلامة الجمل علي شرح المنهج ومن البدع المنكرة المكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين بل كل ذلك حرام ان كان من مال محجور او من ميت عليه دين او يترتب عليه ضرر او نحو ذلك

    Dalam kitab Hasiyah Al –Allamah Al-Jaml ala Sarhil Minhaj : Dan TERMASUK BAGIAN DARI BID`AH MUNGKAR YANG MAKRUH MENGERJAKANNYA yaitu sesuatu yang diperbuat manusia berupa kesedihan/kemurungan, berkumpul dan (acara) 40 hari, BAHKAN ITU SEMUA DAPAT MENJADI HARAM HUKUMNYA JIKA acara tersebut diambil dari harta haram atau dari harta (biaya) mayit yang mempunyai hutang atau dari harta ( biaya ) yang dapat membahayakannya atau selain itu semuanya.

    Coba Pembaca perhatikan yang berhuruf besar itu, perbuatan itu yang tadinya berhukum BID`AH MUNGKAR YANG MAKRUH MENGERJAKANNYA berubah hukumnya menjadi HARAM JIKA …..dst seperti di atas.

    Disana juga mempertegas bahwa pendapat Abu Jauzaa adalah SALAH mengenai makruh bimakna harom ( makruh bermakna haram ) dan yang benar adalah pendapat Habib Munzir.

    Insya Alloh bersambung….masih banyak lagi ulasan mengenai artikel di atas, yang banyak kejanggalan dari pendapat Abu Jauzaa ( dan saya tidak tahu siapa nama dia sebenarnya) dan jam`ahnya. Trimakasih.

    • to : Abu Jauzaa

      Sayang sekali nich orang, ilmu masih cetek sok tinggi ilmunya, berani menjatuhkan ilmu guru ana Habib MUNZIR AL MUSAWA……laknatallah nt abu jauzaa, cepat bertobat dan meminta ampun kepada Allah, dan kembali ke jalan yang benar.

  69. Lanjutan 1 :

    Sekarang saya bahas pernyataan ( yang katanya dalil dari salafi untuk berhujjah ) dapat kita baca pada awal artikel di atas :

    Saya kutip pernyataan mereka sebagai berikut :

    Mengadakan majlis kenduri iaitu dengan berkumpul beramai-ramai terutamanya untuk berzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara di rumah si Mati atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum BID`AH YANG MUNGKAR oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafie yang selanjutnya:
    وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ.
    “Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di rumah (si Mati) tersebut maka itu adalah bid’ah bukan sunnah”.2 [1]
    Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2 hlm. 146 ada disebut pengharaman kenduri arwah, iaitu:
    وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ اَهْلَ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوْ النَّاسَ اِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ قَالَ : عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ لاَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمْ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ. (رواه الامام احمد وابن ماجه باسناد صحيح).
    “Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang menjemput orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si Mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si Mati kerana terdapat hadis sahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si Mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan”.3 [1] (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn majah dengan sanad yang sahih

    TANGGAPAN SAYA :

    SUNGGUH PERNYATAAN YANG MENYESATKAN dengan menyandarkan fatwa Imam Syafi`I dan para ulama yang bermadzhab Syafi`I mangatakan bahwa majlis kenduri atau tahlil adalah BID`AH YANG MUNGKAROH . A`udzubillah ……

    Apakah Saudara tidak takut dosa dengan berbohong seperti itu?
    Didepan Saudara tertulis jelas (yang juga ditulis oleh Saudara ) kata BID`ATUN GHOERU MUSTAHABBAH
    بدعة غير مستحة

    Yang maknanya bid`ah selain sunah ( bukan seperti perkataan Saudara disebut bid`ah munkaroh )…..lihat penjelasan saya yang telah lewat.

    Saudara juga mengharamkan kenduri arwah ( ini istilah lain dari acara tahlilan kematian ), padahal jelas2 kitab yang Saudara tulis tersebut kalimat : BID`ATUN MAKRUHATUN
    بدعة مكروهة

    Bermakna bid`ah yang dimakruhkan. ( Lihat penjelasan saya yang telah lewat ).
    Disanapun tidak ada penyebutan untuk acara tahlilan/kenduri arwah,hanya menyebutkan penghidangan makanan oleh ahli mayit untuk mengundang manusia.

    Kemudian juga Saudara melakukan pemalsuan dengan mangganti kalimat yang telah disebutkan oleh Saudara sendiri, dari kalimat yang ASLI ke kalimat PALSU agar ( menurut saya ) seolah2 pendapat Saudara didukung pendapat para Imam madzhab Syafi`i
    Mari kita lihat redaksi aslinya sebagai berikut :

    كاجابتهم لذلك

    Dirubah oleh Saudara menjadi :

    كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ

    Jadi makna aslinya : Seperti jawaban mereka ( para mufti kota Haram) seperti itu diganti oleh Saudara yang bermakna : Seperti berkumpulnya mereka beramai-ramai.

    Sebenarnya itu semua adalah jawaban dari mufti kota Haram yang terdapat mayoritas penejalasannya dalam kitab I`anatuth tholibin hal 145-146.

    Saya tegaskan semua penjelasana Saudara mengenai kitab itu SEMUANYA SALAH ,hanya comot sana comot sini dengan tidak memahami secara kaamilah/ sempurna dari jawaban mufti tersebut.

    Insya Alloh akan saya terjemahkan kitab I`anatut tholibin hal 145 sampe 146 agar tidak salah tafsir.

  70. Lanjutan 2 :

    Saya mulai terjemahkan dari baris ke 15 dari kalimat paling bawah halaman 145 kitab I`anatuth tholibin, dimulai dari kalimat :

    ويكره لأهل الميت الجلوس ….. الخ

    Artinya : ( Kurang lebih terjemahannya sebagai berikut : )

    بسم الله الرحمن الرحيم

    ” Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit duduk untuk menerima ucapan bela sungkawa/ta`ziyah dan membuat/menghidangkan makanan untuk masyarakat/manusia yang berkumpul padanya karena adanya atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, berkata : Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan penghidangan makanan untuk mereka sesudah (acara) penguburannya (mayit) termasuk sebagian dari niyahah /meratap.

    Disunahkan bagi tetangga ahli mayit, baik bagi keluarga dekat yang dikenalnya, kalau tidak ada maka bagi keluarga jauh walaupun bukan berasal dengan satu daerah mayit tersebut, supaya mereka (tetangga2 itu) membuat makanan untuk ahli mayit yang dapat mencukupi mereka hari itu dan malamnya ( hari kematian mayit) dan hendaklah tetangga2 itu memberikan makanan untuk ahli mayit dan haram membuat makanan untuk tujuan meratapi (mayit) karena perbuatan itu membantu kepada kemaksiatan.

    Telah diajukan pertanyaan kepada mufti Makah Al-Mukarromah tentang masalah perbuatan keluarga mayit berupa ( menghidangkan) makanan dan jawaban mereka seperti ini ( Ada dua jawaban sbb ) :

    Apa yang diucapkan mufti yang mulia di balad (kota) haram, semoga beliau2 selalu bermanfaat bagi manusia sepanjang hari2nya, yang sudah menjadi kebiasaan tertentu bagi penduduk di suatu negri yaitu apabila seseorang meninggal maka hadir sahabat2nya dan tetangga2nya untuk berbela sungkawa /ta`ziyah, disana terjadi kebiasaan bahwa penta`ziyah yang hadir menunggu makanan,dikarenakan ahli mayit sangat malu maka mereka menjadi terbebani yang sangat berat sehingga ahli mayit mempersiapkan makanan yang banyak ditambah menghadirkannya (makanan itu )dengan kepayahan yang sangat berat ,

    (Pertanyaannya yang pertama)

    Maka apakah bila pemimpin pemerintahan yang ramah, yang memelihara rakyatnya, dan mempunyai rasa simpati pada rakyatnya, melarang perkara ini secara umum supaya kembali berpegang kepada sunah yang mulia dari sebaik2 makhluk ( Nabi SAW ) dan berpegang kepada jalan Tuhanya, dimana Nabi SAW bersabda : Buatlah makanan untuk keluarga Ja`far ,lalu apakah pemimpin itu mendapatkan pahala atas pelarangan yang telah disebutkan itu ( di atas) ? Mereka mohon jawaban baik lisan maupun tulisan.

    ( Jawaban mufti Makah : Akhamdulillahi wahdah ) ……dan seterusnya untuk memulai khutbah,
    Benar, perbuatan manusia (seperti di atas) berupa berkumpul di (rumah) keluarga mayit dan penyediaan makanan (untuk mereka) adalah sebagian dari bid`ah munkaroh yang akan mendapatkan pahala (bagi pemimpin itu ) atas pelarangannya dan supaya berpegang kepada perkara yang sudah menjadi ketetapan Alloh yaitu kaidah2 agama dan tangan islam dan muslimin.

    Berkata Al-Allamah Ahmad bin Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtar lisyarhil minhaj : Disunahkan bagi tetangga mayit mempersiapkan makanan yang mencukupi hari itu (hari kematianya) dan malamnya karena adanya hadits shoheh : Buatlah makanan untuk keluarga Jafar karena telah datang pada mereka sesuatu yang menyibukkannya ( kesusahan ).

    Memberi makanan untuk mereka sebagai perbuatan sunah karena mereka (ahli mayit) telah mengabaikan rasa malunya atau (berguna) untuk menghilangkan kesedihan (mereka).

    Haram hukumnya menyediakan makanan untuk meratapi (mayit) karena perbuatan itu membantu kemaksiatan.

    Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yaitu keluarga mayit menyediakan makanan untuk mengundang manusia adalah perbuatan bid`ah makruhah seperti itu jawaban mereka ( mufti Makkah) karena berdasarkan atsar shoheh dari Jarir ra : Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan untuk mereka setelah penguburannya merupakan sebagian dari niyahah (meratap) ALASAN PERBUATAN ITU DIANGGAP SEBAGAI BAGIAN DARI NIYAHAH (MERATAP) YAITU ADANYA KESANGAT-KHAWATIRANNYA TERHADAP MASALAH YANG DAPAT MENYEDIHKAN (KELUARGA MAYIT)

    Kemudian, makruh hukumnya berkumpulnya keluarga mayit dengan maksud menerima ucapan bela sungkawa /ta`ziyah bahkan yang baik adalah, mereka berpaling dari maksud2 mereka.
    Barangsiapa berjumpa dengan mereka maka ucapkanlah bela sungkawa.

    Dalam kitab Hasiyah Al –Allamah Al-Jaml ala Sarhil Minhaj : Dan TERMASUK BAGIAN DARI BID`AH MUNGKAR YANG MAKRUH MENGERJAKANNYA yaitu sesuatu yang diperbuat manusia berupa kesedihan/kemurungan, berkumpul dan (acara) 40 hari, BAHKAN ITU SEMUA DAPAT MENJADI HARAM HUKUMNYA JIKA acara tersebut diambil dari harta haram atau dari harta (biaya) mayit yang mempunyai hutang atau dari harta ( biaya ) yang dapat membahayakannya atau selain itu semuanya.

    Bersabda Rosulalloh SAW kepada Bilal ra : ” Wahai Bilal, barangsiapa menghidupkan sunah dari sunahku sesudahku (wafatku) maka baginya akan mendapatkan pahala serupa pahala orang2 yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi sedikitpun pahala mereka dan barangsiapa membuat perkara bid`ah yang dolalah/sesat yang Alloh dan Rosul-Nya tidak ridlo atasnya maka baginya dosa serupa dosa orang2 yang melakukannya tidak dikurangi sedikitpun dari dosa2 mereka.

    Dan bersabda Rosululloh Saw bahwa kebaikan adalah perbendaharaan dan setiap perbendaharaan mempunyai kunci maka beruntunglah bagi hamba yang Alloh menjadikan kunci kebaikan untuknya dan menutup kejelekan dan celakalah bagi hamba yang Alloh menjadikan baginya kunci kejelekan dan menutup kebaikan.

    Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang manusia dari melakukan bid`ah mungkar ( seperti dalam pertanyaan di atas) maka terkandung di dalamnya menghidupkan sunah serta menjaga dari bid`ah, membuka banyak dari pintu2 kebaikan dan menutup dari pintu2 kejelekan. Maka apabila manusia (masyarakat) membebani beban yang berat maka masuk adanya penghidangan makanan itu adalah haram. Wallohu subhanahu wata`ala a`lam.
    Ditulis oleh Syeh Ahmad bin Zaeni Dahlan Mufti madzhab Syafi`I di Makah , semoga Alloh mengampuninya, keluarganya, syeh2nya,dan orang2 muslim.

    Demikian kurang lebihnya jawaban Mufti Makah ….mohon maaf kalau ada kekurangan dalam penerjemahannya.

  71. Lanjutan 3 :

    (Jawaban kedua dari Syeh mufti Makah Al-Mukarromah )

    ( Alkhamdulillah…..dst beliau memulai khutbahnya )
    Benar, (pemimpin itu ) mendapat pahala, dan untuk perkara itu Alloh melipatgandakan pahalanya, dan Alloh menetapkan dengan ketetapannya atas larangan tentang perkara itu (lihat pertanyaan di atas).Perkara itu merupakan bid`ah yang buruk menurut jumhur ulama, berkata dalam kitab Roddul Mukhtar dibawah qoulil darril Mukhtar.

    Berkata dalam kitab Al-Fath : Disunahkan tetangga ahli mayit dan kerabat2 yang jauh menyiapkan makanan bagi keluarga mayit yang mencukupi mereka hari itu dan malamnya, karena adanya Sabda Rosul SAW : Buatlah makanan untuk keluarga Ja`far sebab telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan (menyusahkan) . At-Tirnidzi menghasankan hadits ini dan Al-Hakim menshohehkannya.

    Perbuatan itu adalah kesholehan dan kebaikan, dan juga disunahkan memberi makanan kepada keluarga mayit, karena kesedihan (mereka) menghalangi mereka ( untuk membuat makanan) disamping pada saat itu juga keadaan mereka sedang lemah.

    Dan berkata juga (dalam kitab Al-Fath) : Dimakruhkan (mengadakan) jamuan makan dari keluarga mayit karena perbuatan itu masuk kategori (acara) kegembiraan dan perbuatan ini adalah bid`ah.

    Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad shoheh dari Jarir bin Abdullah ra, berkata : Kami menganggap berkumpul (di
    rumah) keluarga mayit dan penghidangan makanan untuk mereka merupakan bagian dari niyahah/meratap.

    Dalam kitab Al-Bazaziyah : dimakruhkan penghidangan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga dan seminggu sesudahnya dan juga dimakruhkan membawa makanan ke kuburan pada musim2 tertentu…dst. Penjelasan selengkapnya ada dalam kitab itu, maka bagi yang menghendaki silakan menelitinya.

    Wallohu Subhanahu wata`ala a`lam.
    Ditulis oleh Khodim Asy-Syari`ah wal minhaj, Syeh Abdur Rahman bin Abdullah Siraj Al-Hanafi Mufti Makah Al-Mukarromah.

    Alkhamdulillah ….telah selesai terjemahan saya ini semoga bermanfaat dan mohon maaf atas kekurangannya. Terimakasih.

    Tinggal bagi pembaca bandingkan terjemahan saya itu dengan terjemahan golongan salafi-wahabi seperti yang terdapat dalam artikel di atas.
    Kalau kita jeli maka banyak penyimpangan2 yang dilakukan mereka dan kebohongan2nya.
    Khususnya pada bagian artikel di bawah ini :

    Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 18:16
    Habib dibawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya. tetapi sama bermanhaj-kan Salaf.

    Walhasil, lihatlah tulisan asli arabnya dengan demikian akan lebih selamat . Terimakasih.

  72. assalamuallaikum…..
    tahlilan,dan berdzikir akbar itu kan suaranya agak sedikit keras ya..??
    coba antum baca surah al-a’rof ayat 55&205.. disitu di jelaskan bgamana cara seharusnya kita berdzikir&berdoa..
    haya sekedar informasi ni…..

    dan masalah tahlillan… apakah ini pernah di contohin atau di anjurkan oleh Rasulullah saw,para sahabat,tabi’in,tabi’it tabi’in dan tabi’ut tabi’in???
    terima kasih….

    –> ada banyak sekali dalil Qur’an hadits tentang perintah berdzikir, ada banyak dalil keutamaan bacaan-bacaan dzikir. Itulah yang diamalkan di dalam majelis tahlil ini.

  73. to Abu Hafizh,

    dengan segala kerendahan hati, saya akui akal saya terbatas, tapi saya masih mending dibanding anda,
    saya merujuk kepada kitab asli, sedangkan anda merujuk pada kitab yg diragukan keasliannya, yg sudah berubah isinya..
    saya mengutip pernyataan ulama secara utuh, sedangkan anda mengutip pernyataan ulama dipotong2 padahal kelanjutannya masih ada..
    ga percaya? coba baca komentar mas Imam, beliau sudah membongkar ke-error-an anda tersebut..

    ngomong2 tentang lagee burong jampoek (pepatah yg artinya burung yg ngaku2 bisa terbang, tapi sebenarnya ga bisa terbang) yg anda sebut2, anda pun sama saja seperti burung itu,
    sibuk membahas/mempelajari/mendebat hal2 semisal “tahlil” dan “Surat Yasin”, tapi anda pasti ga pernah membaca “tahlil” dan “Yasin” itu sendiri.. (koreksi saya jika salah)
    sibuk memilih2 mana sunnah mana non sunnah, tapi ga ada satupun yg dipraktekkan.. koreksi saya jika salah..

    pernahkah anda membaca “lailahailallah” atau surat “Yasin”?
    kapan? dimana?

  74. to Abu Hafizh

    saya sedikit mengoreksi koment anda tgl April 8, 2011 pada 16:57 yg bunyinya :
    “kepada akhuna wawan dan al-faqir
    sepertinya anda kurang wawasan atau kurang membaca? jika yang anda maksudkan sultan shalahuddin al-ayyubi, maka anda sungguh keliru dan salah besar menuduh beliau sebagai peletak dasar maulid nabi atau ahli maulid nabi. orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi bukanlah beliau, tetapi ubaid al-qadah dari firqah fathimiyah, sekte syi’ah rafidhah. lihat lagi dalam kitab al-bidayah wa an-nihayah, XI/202, karya al-hafizh al-imam ibnu katsir. juga baca dan rujuk lagi dengan akal yang bersih dan hati yang jernih dalam al-bida’ al-hauliyah karya syaikh abdullah bin abdul aziz at-tuwaijry dan fatawa tata’allaq bil maulid an-nabawi.
    semoga kita memiliki kecerdasan yang baik dalam memahami agama Allah yang sempurna ini. Imam Bukhari sendiri menuliskan satu bab dalam kitab Shahih-nya, dengan nama bab al-’ilmu qabla ‘amal. wallahu a’lam.”

    koreksi saya :
    saya menyebut “Sultan Saladin termasuk tokoh yang “menggalakkan” Maulid Nabi”..
    saya tidak pernah menuduh Sultan Saladin sebagai “peletak dasar maulid nabi atau orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi”, seperti yg anda tuduhkan kok..

    tolong hati2lah kalo mencuplik kata2 orang lain..
    saya perhatikan anda ini banyak melakukan salah cuplik, suka memotong2 pendapat orang lain untuk diambil bagian yg anda sukai..
    mas Imam sudah banyak membongkar ketidaktelitian anda, dari memotong2 pendapat para Imam sampai mencuplik pendapat palsu..

  75. tidak semua amalan ghoiru mahdhoh itu harus dicontohkan oleh Rosululloh,usia Nabi yang cuma 63 tahun tentu tidak mungkin cukup untuk mencontohkan itu semua. apalagi situasi saat Nabi masih hidup akan jauh berbeda dengan masa sesudahnya baik dari segi adat,budaya maupun kehidupan sosialnya. Yang terpenting amalan ghoiru mahdoh yang kita lakukan masih sesuai dengan jiwa nash maka itu di perbolehkan. ingat hadits “man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man amila biha ba’dahu min ghoiri an yanqusho min ujurihim syai'”

  76. pendapat ibnu turmudzi itu yang tawassuth wal i’tidal,moderat dan menjiwakan islam rohmatan lil alamin.

  77. Saudaraku seiman yg saya cintai karena Alloh,hendaklah kita semua senantiasa santun dalam berucap, dan mari kita terus belajar Islam dengan pedoman Alqur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat coba renungkan QS.Attaubah ayat 100, karena mereka adalah generasi terbaik. Dan masing2 kita hendaklah tidak mengedepankan emosi, hawa nafsu, dan fanatik golongan, guru, dsb. Berislamlah dengan hujjah, dalil yg Shohih.

    Semoga Alloh terus memberikan petunjuk,taufikNya kepada kita semua. Sukron

    –> amien. itulah yang kami kedepankan, kami coba kemukakan bahwa amalan-amalan kami berdasar dalil yg Shohih.

  78. Saya sangat heran di antara sesama muslim itu ada yang saling merasa:
    1) pintar sehingga pendapat mereka yang benar
    2) sholeh sehingga amal mereka sendiri yang bakal diterima oleh Allah SWT dan amal orang yang tidak sejalan dianggap bid’ah
    3) paling benar, hanya pendapat dan amalannya sendiri yang benar amalan orang lain salah.

    Kenapa sesama muslim itu tidak saling berkasih sayang, jangan saling mencaci, menganggap amalan orang lain salah.

    Wahai kaum muslimin…mbok Anda itu jangan saling berbantah-bantah soal amalan sesama mulsim. Apakah Anda yakin bahwa AMAL Anda akan diterima oleh Allah? dasarnya apa? Yang maha tahu hanyalah Allah! Sekalipun Anda merasa amal yang Anda lakukan sesuai dengan tuntunan rasulullah SAW (menurut Anda), apakah Anda yakin bakal diterima oleh Allah SWT? Allah yang maha tahu hati dan niat setiap manusia!

    Saran saya:
    1. Mari kita menjadi muslim yang pandai dan cerdas
    2. Janganlah saling menuduh amalah orang lain salah, amalan sendiri yang benar.
    3. Mari kita saling belajar supaya menjadi umat muslim yang pandai dan cerdas.
    4. Janganlah selalu mengemukakan perbedaan. Ada yang membaca al-fatehah dan surat tanpa bismillah karena itulah yang benar dan yang membaca dengan bismillah tidak benar. Mengapa tidak mengambil jalan tengah yang baik, bukankah bismillah itu ayat al quran? apakah haram membaca ayat alquran dalam shalat? Ada yang tidak melakukan yasinan dan tahlian karena menurutnya bid’ah. Bukankah bacaan yasinan dan tahlil itu ayat2 al quran? Apakah ada larangan orang membaca ayat2 alquran? JANGANLAH melarang soal kapan ayat2 itu dibaca… ayat alquran itu sunah dibaca kapan saja, kecuali pada saat di WC kan? ada yang tidak suka (bahkan melarang) membaca shalawat di masjid sebelum shalat krn dianggap bid’ah. bukankah membaca shalawat nabi diperingtahkan oleh Allah di dalam alquran? Mestinya yang perlu diperbaiki adalah:
    > Membaca alquran dengan bacaan yang benar sesuai qiraah sab’ah
    > Jangan membaca alquran pakai huruf latin (atau dari kiri ke kanan) karena alquran itu ditulis dalam bahasa arab dibaca dari kanan ke kiri.
    > kalau mau belajar agama harus mencari guru yang shalih dan ikhlas, jangan hanya membaca buku, karena belajar dari buku saja bisa menyesatkan.

    Sekali lagi kenapa ada sebagian muslim yang menganggap bid’ah orang membaca yasin dan kalimat2 tayyibah dalam tahlilal dan shalawatan? mestinya yang bid’ah adalah jika membaca yasin dan kalimah2 tayyibah dan shalawat secara tidak benar (misalnya karena memakai huruf latih) atau karena tidak pernah belajar membaca alquran dengan benar. BUkan membid’ahkan amalannya!!! Sekali lagi yang bid’ah mestinya bacaan yang salah, karena saya yakin Nabi tidak pernah membaca alquran dan shalawat dengan bacaan yang salah dan memakai huruf latin!!!!!!!!!!!

    Dus kesimpulannya, JANGANLAH SESAMA MUSLIM SALING BERDEBAT SOAL BID’AH! Apakah Anda merasa orang paling shaleh???? Sebaiknya mari kita saling belajar dan membuat umat Islam menjadi pandai dan cerdas sehingga tidak mudah dibodohi orang (umat) lain.

    Terima kasih.

  79. mas Syahid

    di situlah letak keganjilan wahabi&sejenisnya,
    ada hadis yg menyuruh membaca ini dan itu, tapi ketika kita mengamalkannya di tempat tertentu lho kok dianggap salah/bid’ah..

    misalkan, surat Yasin.. agama menyuruh kita membaca Quran, salah satunya Yasin, tapi ketika kita membacanya di samping orang yg sekaratul maut, eh divonis sesat..
    begitu membaca yasin di pesawat, eh dicap sesat, ga pernah dicontohkan Nabi katanya..

    jadi bingung akhirnya..

    mereka, para wahabi & sejenisnya sih ga bakal bingung, soalnya mereka masih berkutat pada membahas “teori” dan belum terjun kedunia “prakteknya”..

    mereka sibuk menyalahkan “praktek” saudaranya, tapi ketika ditanya bagaimana praktek yg benar, eh ga ada yg bisa jawab.. saya sih maklum saja, karena kemungkinan besar mereka tidak “mempraktekkan” apa yg mereka bahas..
    contoh, sholawat, mereka sibuk membahas/menyalahkan “praktek” sholawat saudaranya, tapi ga pernah bisa mencontohkan “praktek” sholawat yg benar, karena kemungkinan besar mereka ga baca sholawat..

  80. Assalaamu’alaikum Wr Wb.

    Wahai saudara2ku sesama muslim, akhirilah perdebatan tentang bid’ah! Tak ada gunanya, hanya akan menimbulkan rasa kebencian sesama muslim. Saling mengolok2 sesama muslim. Padahal yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah yang paling taqwa? Siapakah yang paling taqwa? Apakah kiai? ustadz? mereka yang menganggap dirinya suci dan benar dalam mengamalkan agama? Kalau Anda bisa menjawab “ya” berarti Anda telah melakukan perbuatan syirik! karena menganggap diri Anda Tuhan. Karena yang tahu ketaqwaan seseorang hanyalah Allah SWT.

    Yang bisa kita lakukan sebagai hamba adalah memperbanyak ibadah!!! Dengan shalat (wajib dan sunah), puasa (wajib dan sunah), zakat (bagi yang mampu), sodakoh, haji (bagi yang mampu), membaca alquran, membaca shalawat Nabi, berbuat baik kepada sesama manusia dan ciptaan Allah, dll amalan sholeh… KAPAN dan DI MANA SAJA (Ingat…kapan saja dan di mana saja) kecuali di TEMPAT dan WAKTU yang memang ada NASnya DILARANG! Karena kita tidak tahu ibadah mana yang diterima oleh Allah SWT, maka yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak amal…(menurut ahli statistik, dengan memperbanyak amal yang langgeng berarti memperbesar peluang amalan kita diterima oleh Allah SWT dan memperbesar peluang kita untuk masuk surga.

    Selain itu, saya yakin bahwa agama itu bersifat kontekstual. Lihat saja sejarah turunnya alQuran dan riwayat hadits…kebanyakan ada penyebabnya.. itu artinya agama itu kontekstual sesuai kondisi dan zaman. Oleh karena pengamalan agama mestinya tidak bersifat LETERLEK! Ijtihad para ulama untuk memperbanyak amal ibadah berupa bacaan ayat-ayat alQuran dan shalawat dalam bentuk yasinan, tahlilan, dzikir, shalawatan, berdo’a bersama, sadakoh, dll. adalah contoh implementasi pengamalan agama secara kontekstual.

    Coba bandingkan mana yang lebih baik:

    1. Habis shalat berjamaah, iman dan makmum saling diam dan langsung bubar. Tidak ada proses pembelajaran.
    Apakah Anda menganggap ini yang PALING BENAR?

    2. Habis shalat berjamaah, iman dan makmum berdzikir bersama kemudian berdoa dipimpin imam. Makmum yang tadinya tidak bisa berdzikir dan berdoa, karena sering berjamaah dan mendengar bacaan2 dzikir dan doa menjadi pandai berdzikir dan berdoa. Setelah selesai makum dan imam saling bersalaman (jabat tangan sesama muslim akan menghapus dosa-dosa kecil keduanya). Terjadi proses pembelajaran.
    Apakah Anda menganggap ini SALAH?

    Para ulama dahulu (khususnya di Indonesia), mereka di dalam berdakwah tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak memberi contoh dan praktik. Termasuk di dalam shalat berjamaah terjadi proses pembelajaran melalui dzikir dan berdoa bresama.

    Beda dengan sekarang banyak yang katanya “dakwah” kemana2 baca dalil ini itu, padahal baca alQuran saja masih pake tulisan latin dan grothal grathul (bhs Jawa, Indonesianya gagap)! dalil2 yang disampaikan juga hanya dari membaca buku2 terjemahan. Memang sekarang banyak yang pengin buru-buru berdakwah. Alasanya haditz “Sampaikan dariku meski hanya satu ayat”! Pake dalil itu leterlek dan keburu2….

    Yah, kesimpulannya memang kita harus menjadi muslim yang pandai dan cerdas PLUS bijaksana (ini khususnya bagi para da’i). Para ulama dulu itu juga sangat bijaksana dalam berdakwah. Beda dengan sekarang banyak yang katanya “berdakwah” tetapi kurang bijaksana dengan menyalah-nyalahkan ini itu, padahal yang disalahkan bukan sesuatu yang mestinya disalahkan, sementara yang seharusnya disalahkan tidak dibetulkan.

    Betapa indahnya jika di Indonesia (bahkan di dunia) tidak ada perdebatan soal bid’ah,
    yang ada saling menghargai dan saling belajar sesama muslim.
    Contohnya:
    Bagi yang tidak suka amalan dzikir dan doa bersama sehabis shalat berjamaah: kalo di tempat sendiri atau berkumpul orang2 yang sepemahaman ya silakan begitu, teta[i ketika berjamaah di tempat berjamaan mereka yang mengamalkan dzikir dan berdoa bersama ya ikut bergabung. Kan tidak ada ruginya. Jangan malah mengolok2. Sebaliknya juga demikian. Mereka yang selalu mengamalkan dzikir dan berdoa sehabis shalat, ketika berjamaah di tempat mereka yang tidak sepakat dzikir dan berdoa sehabis shalat, kan masih bisa dzikir dan berdoa sendiri. Gak ada ruginya. Pahala berjamaah masih tetap dipreoleh. Pahala berdzikir dan berdoa juga diperoleh! Insyaa Allah!

    Saya yakin umat islam akan kuat dan kokoh dan mampu menangkal segala penindasan dari para penentang Islam dan musuh umat Islam. Jika kita sesama muslim saling menghargai, tidak saling mengolok2.

    Terima kasih. Wassalaamu’alaikum Wr WB.

  81. ASSALAMU’ALAIKUM

    AFWAN BUAT HABIB MUNZIR AL MUSAWA . saya pribadi jelas tidak sependapat dengan HABIB krn saya melihat jawaban2 habib itu identik dengan AKAL(an) juga presentase HAWA NAFSU semata .

    AFWAN .

    –> wa’alaikum salam wrwb. silakan… kalau saya sangat sependapat dengan HABIB karena dalil-dalil yang mendasarinya sangat kuat.

    • to salahuddin al ayubi,

      assalamu’alaikum, maaf saya ikut nimbrung,cuma mau nanya,
      “bagian mana dari pendapat habib yg anda sebut identik dgn akalan juga presentasi hawa nafsu semata?”

      • kalo kami berpendapat itu bid’ah boleh ajakan, dan kami ntidak akan melakukan itu, tapi kami tidak pernah menggangu apa yg kalian lakukan, …… kebenaran hanya di tangan ALLAH, dan itu dapat kita buktikan di akhirat nanti,….. tapi manusia wajib berusaha untuk mencari kebenaran …. sekedar sharing boleh aja, anda tidak sependapat juga tak mengapa …..

        –> Jika anda benar begitu, terima kasih. Tetapi banyak yg lain mengkafir-kafirkan, men-sesat-kan, menjuluki sebagai ahli bid’ah, quburiyun dll .. jelas semua itu mengganggu. Untuk itu pula blog ini lahir. Sebagai jawaban/sharing ilmu bahwa amalan kami punya landasan dalil-dalil Qur’an dan sunnah Rasul saw, dan bukan bid’ah sesat.

  82. asalamualaikum.wr.wb to : habib munzir
    ana ingin bertanya tentang apa itu paham wahabi&salafi ?
    mohon penjelasan yg sejelas2dari habib,karna ana awam tentang masalah ini dan ana tidak ingin terjerumus dari pandangan2 yg berkembang di masyarakat…terima kasih sebelumnya !
    wassalamualaikum.wr.wb.

  83. saya pernah dengar di radio roja’ “kita tidak mengharamkan tahlilan, tp tolong tunjukkan mana dalilnya” weleh-weleh, cari aja sendiri, sekalian sama dalil yang ngelaran tahlilan. padahal isinya tahlilan dalilnya banyak. mau apalagi sih? gitu aja kok repot. ya sudah kalao saudara ga mau tahlilan, ya sudah, ga usah bid’ah-bid’ahin, ngaram-ngaramin, apalagi kafir-kafirin yang tahlilan.

    • nah,ngapain juga dengerin radio rodja… mending datang langsung ke majelis-majelis dzikir….jelas keberkahannya..jelas ilmu-ilmunya….enggak apa2…kita dianggap bid’ah…haram ataupun kafir….oleh mereka yang tidak suka dengan cara kita…yang penting hati kita tetap tenang..selalu ingat Allah…selalu Rindu Rasul, Selalu bershalawat……hidup terasa indah…makan selalu nikmat walaupun dengan sate kambing…..badan sehat jasmani dan rohani……. enggak punya utang…..istri yang cantik dan shaleh…anak yang tampan dan shaleh…….masih bisa bershodaqoh setiap hari,……

  84. Syiir tanpo waton (gus dur)

    Ngawiti ingsun ngalarasi iran
    Kelawan muji maring pengeran
    Kang paring rohmat lan kenikmatan
    Rino wengine tanpo pitungan

    Duh bolo konco prio wanito
    Ojo mung ngaji sareat bloko
    Gur pinter ndongeng nulis lan moco
    Tembe mburine bakal sangsoro

    Akeh kang apal Quran hadise
    Seneng ngafirke marang liyane
    Kafire dewe gak di gateke
    Yen isi kotor ati akale

    Gampang kabujuk nafsu angkoro
    Ing pepaese gebyare ndunyo
    Iri lan meri sugihe tonggo
    Mulo atine peteng lan nisto

    Ayo sedulur jo nglalekake
    Wajibe ngaji sak pranatane
    Dikandelake iman tauhidte
    Baguse sangu mulyo matine

    Kang aran soleh bagus atine
    Kerono mapan sari ngelmune
    Laku torekot lan makrifate
    Ugo hakekot manjing rasane

    Al Quran kodim wahyu minulyo
    Tanpo tinulis iso di woco
    Iku wejangan guru waskito
    Den tancep ake ing njeroh dodo

    Kumantil ati lan pikiran
    Merasuke badan kabeh jeroan
    Mukjizat rasul dadi pedoman
    Minongko dalan manjinge iman

    Kelawan alloh kang moho sici
    Kudu rangkulan rino lan wengi
    Di tirakati di riyadoi
    Dzikir lan suluk jo nganti lali

    Uripe ayem rumongso aman
    Dununge roso tondo yen iman
    Sabar narimo najan pas pasan
    Kabeh tinakdir saking pengeran

    Kelawan konco dulur lan tonggo
    Kang podo rukun
    Iku sunahe rasul kang mulyo
    Nabi muhammad panutan kito

    Ayo nglakoni sekabehane
    Alloh kang bakal ngangkat drajate
    Senajan asor toto dohire
    Ananging mulyo mahkom drajate

    Palastro ing pungkasane
    Ora kesasar roh lan sukmane
    Den gadang alloh swargo manggone
    Utuh mayite ugo ulese

  85. Pada waktu kecil aku tanya sama kakek! kenapa setiap orang mati disini kok mesti diadakan acara tahlilan? Jawab beliau; kamu masih kecil nak untuk menerima jawaban yang akan kakek berikan! yang jelas biar ada bedanya antara matinya manusia dengan kucing nak!

    • kira – kira kalo anak kecil dijejali dalil Quran Hadis bakal ngerti ya??

      saya ga mngomentari si anak kecil itu bodoh apa ga, tapi saya kagum dengan si kakek yg bicara mnyesuaikan dengan alam pikiran anak2..

  86. Hahahahaha……….orang orang ini lucu stengah mati!!! wong tanya,di jawab kok malah mbanggel,ngata-ngatain pula…….dimana akhlak seorang mukmin kalau sperti ini……hmff…..

  87. assalamu alaikum wr wb

    sungguh ini diskusi yang panjang . bikin mata teler membacanya
    tapi alhamdulillah dalil aswaja selalu ngetop ketimbang wahhabi/salafi yang dangkal… wahhabi di bikin lari terbirit2 ..

    maju terus aswaja ..

  88. Assalamu’alaikum Wr. Wb.

    Sesama Islam kok saling berdebat…. Islam terpecah menjadi beberapa aliran jadi kagak usah ribut pakai debat2an segala. hanya Allah SWT yang tahu segalanya…..

    Wasalamu’alaikum Wr. Wb.

  89. kenapa salafiy ( wahabi ) selalu bernafsu menculik kata2 dari orang2 yg mengikuti madzhab termasuk madzhab syafi’i utk melemahkan pengikut mereka. padahal pengikut mereka mendapatkan kefahaman lewat mata rantai keilmuan ( sanad ) dari imam syafi’i dan ulama tersebut. sementara salafy-wahabi hanya tahu kata kmudian menafsirkannya sefaham mereka tapi merasa lebih memahami kata2 itu ?? mohon pencerahannya, syahwat apakah yg membuat salafy-wahabi sedemikian bernafsu??

    debat yg telah ada diatas bernuansa tak mau kalah, debat seperti itu hanya layak diarahkan kpd org kafir itupun dg cara yg santun ( wajadilhum billaty hiya ahsan ) sedangkan kpd sesama org islam kita diajarkan saling musyawaroh/ diskusi ( tidak ada ego/merasa sdah paling benar ) ” wa syawirhum fil amri “. maaf saya tdak bernafsu debat kasar hanya utk menjatuhkan saudaranya, bahkan diarahkan kepada orang kafir pun tidak layak. kedok ilmiah tidak mampu menutu bau amis yg trcium dr nuansa debat yg merasa sok jagoan kiranya saya mnjamin seribu hadits saja tidak hafal. berbeda dg para ulama yg di culik perkataannya itu.

  90. sampai kapanpun wahabi hanyalah sekumpulan manusia dengan kerdil akalnya dan pendek pemikirannya sependek tanduk setan yang ada di kepalanya

  91. dr yg di kita baca dan fahami dr artikel di atas ketahuan kok siapa yg faham,dan siapa yg tak faham,siapa yg mengerti dgn jelas dan siapa yg memang tak mengerti, dan siapa yg sedang lagi di ajari ttg fiqih imam syafii…jelas kok..he..he..

  92. malas berdzikir, sholawat, dan baca Quran aja kok menyalah2kan orang yag tahlilan..

    gentlemen aja dong mengaku bahwa diri itu MALAS BACA DZIKIR SHOLAWAT QUR’an, selesai kan? ga perlu diskusi panjang lebar sampai berpuluh2 bahkan ratusan tahun..

  93. Assalamu’alaikum wr wb

    Wahai saudara – saudara ku yang selalu diberi rahmat dan hidayah oleh ALLAH SWT

    Sebagai sesama umat muslim yang berpegang teguh dengan AL – QUR’AN dan SUNNAH RASUL SAW janganlah kita terpecah belah oleh emosi dengan saling menyalahkan sesama saudara muslim.
    Yang paling penting disini adalah sudah saatnya kita bersatu dalam sholat 5 waktu dan berpegang teguh dengan AL – QUR’AN sebagai dasar hukum utama dalam kehidupan kita beragama ISLAM yang dibuat oleh SANG MAHA SEGALANYA yaitu ALLAH SWT.
    Semua permasalahan yang telah saya baca diatas sungguh membuat saya mengelus dada.
    kenapa..?
    Kita sedang diadu domba oleh iblis melalui emosi dan saling membenarkan diri atau membenarkan pemikiran para imam sebelum kita. Apabila terjadi perbedaan pandangan mengenai aturan2 dalam menjalankan perintah ALLAH SWT maka hendaklah kita kembali ke AL – QUR’AN, jangan sampai kita lupakan kitab hukum utama dalam agama ISLAM. Karena kitab AL – QUR’AN adalah ciptaan ALLAH SWT YANG MAHA SEMPURNA dan disampaikan melaului RASULULLOH SAW. Dalam AL – QUR’AN sudah tersusun dengan sangat terperinci semua hukum yang menyangkut ibadah kita kepada ALLAH SWT.
    Ingatlah wahai saudara2 ku kita semua diwajibkan beribadah kepada ALLAH SWT.
    Ingat sesama muslim jangan sampai kita dicerai beraikan oleh emosi.
    Hadapilah musuh yang sebenarnya yaitu hawa nafsu, iblis, dajjal, dan kaum yahudi beserta pengikutnya yang selama ini berusaha memecah belah dan merusak generasi muda kita.

    Wassalamu’alaikum wr wb

  94. Hukum Peringatan Maulid Nabi

    Asy Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz

    Segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya, serta orang orang yang mendapat petunjuk dari Allah.

    Telah berulang kali muncul pertanyaan tentang hukum upacara (ceremoni ) peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam; mengadakan ibadah tertentu pada malam itu, mengucapkan salam atas beliau dan berbagai macam perbuatan lainnya.

    Jawabnya:

    Harus dikatakan, bahwa tidak boleh mengadakan kumpul kumpul / pesta pesta pada malam kelahiran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga malam lainnya, karena hal itu merupakan suatu perbuatan baru (bid’ah ) dalam agama, selain Rasulullah belum pernah mengerjakanya, begitu pula Khulafaaurrasyidin, para sahabat lain dan para Tabi’in yang hidup pada kurun paling baik, mereka adalah kalangan orang orang yang lebih mengerti terhadap sunnah, lebih banyak mencintai Rasulullah dari pada generasi setelahnya, dan benar benar menjalankan syariatnya.

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengada adakan ( sesuatu hal baru ) dalam urusan ( agama ) kami yang ( sebelumnya ) tidak pernah ada, maka akan ditolak”.

    Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya): “Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al qur’an) dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk Allah sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian sekuat kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru ( dalam agama ), karena setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” ( HR. Abu Daud dan Turmudzi ).

    Maka dalam dua hadits ini kita dapatkan suatu peringatan keras, yaitu agar kita senantiasa waspada, jangan sampai mengadakan perbuatan bid’ah apapun, begitu pula mengerjakannya.

    Firman Allah ta’ala dalam kitab-Nya (yang artinya): “Dan apa yang dibawa Rasul kepadamu, maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ia, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksaan- Nya” ( QS. Al Hasyr 7 ).

    “Karena itu hendaklah orang orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih” ( QS. An Nur, 63 ).

    “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang orang yang mengharap (rahmat ) Allah, dan ( kedatangan ) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah” ( QS. Al Ahzab,21 ).

    “Orang orang terdahulu lagi pertama kali (masuk Islam ) diantara orang orang Muhajirin dan Anshor dan orang orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan itu, Allah ridho kepada mereka, dan merekapun ridho kepadaNya, serta Ia sediakan bagi mereka syurga syurga yang disana mengalir beberapa sungai, mereka kekal didalamnya, itulah kemenangan yang besar” ( QS, At taubah, 100 ).

    “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridlai Islam itu sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).

    Dan masih banyak lagi ayat ayat yang menerangkan kesempurnaan Islam dan melarang melakukan bid’ah karena mengada-adakan sesuatu hal baru dalam agama, seperti peringatan peringatan ulang tahun, berarti menunjukkan bahwasanya Allah belum menyempurnakan agamaNya buat umat ini, berarti juga Rasulullah itu belum menyampaikan apa apa yang wajib dikerjakan umatnya, sehingga datang orang orang yang kemudian mengada adakan sesuatu hal baru yang tidak diperkenankan oleh Allah, dengan anggapan bahwa cara tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak diragukan lagi, bahwa cara tersebut terdapat bahaya yang besar, lantaran menentang Allah ta’ala, begitu pula ( lantaran ) menentang Rasulullah. Karena sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya, dan telah mencukupkan ni’mat-Nya untuk mereka.

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalahnya secara keseluruhan, tidaklah beliau meninggalkan suatu jalan menuju syurga, serta menjauhi diri dari neraka, kecuali telah diterangkan oleh beliau kepada seluruh ummatnya sejelas jelasnya.

    Sebagaimana telah disabdakan dalam haditsnya, dari Ibnu Umar rodhiAllah ‘anhu bahwa beliau bersabda (yang artinya), “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan diwajibkan baginya agar menunjukkan kepada umatnya jalan kebaikan yang telah diajarkan kepada mereka, dan memperingatkan mereka dari kejahatan ( hal hal tidak baik ) yang telah ditunjukkan kepada mereka” ( HR. Muslim ).

    Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terbaik diantara Nabi Nabi lain, beliau merupakan penutup bagi mereka ; seorang Nabi paling lengkap dalam menyampaikan da’wah dan nasehatnya diantara mereka itu semua.

    Jika seandainya upacara peringatan maulid Nabi itu betul betul datang dari agama yang diridloi Allah, niscaya Rasulullah menerangkan kepada umatnya, atau beliau menjalankan semasa hidupnya, atau paling tidak, dikerjakan oleh para sahabat. Maka jika semua itu belum pernah terjadi, jelaslah bahwa hal itu bukan dari ajaran Islam sama sekali, dan merupakan seuatu hal yang diada adakan ( bid’ah ), dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan kepada umatnya agar supaya dijauhi, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam dua hadits diatas, dan masih banyak hadits hadits lain yang senada dengan hadits tersebut, seperti sabda beliau dalam salah satu khutbah Jum’at nya (yang artinya): “Adapun sesudahnya, sesungguhnya sebaik baik perkataan ialah kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan ( dalam agama) ialah yang diada adakan (bid’ah), sedang tiap tiap bid’ah itu kesesatan” ( HR. Muslim ).

    Masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an serta hadits hadits yang menjelaskan masalah ini, berdasarkan dalil dalil inilah para ulama bersepakat untuk mengingkari upacara peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan memperingatkan agar waspada terhadapnya.

    Tetapi orang orang yang datang kemudian menyalahinya, yaitu dengan membolehkan hal itu semua selama di dalam acara itu tidak terdapat kemungkaran seperti berlebih lebihan dalam memuji Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bercampurnya laki laki dan perempuan (yang bukan mahram), pemakaian alat alat musik dan lain sebagainya dari hal hal yang menyalahi syariat, mereka beranggapan bahwa ini semua termasuk bid’ah hasanah padahal kaidah syariat mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia hendaknya dikembalikan kepada Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

    Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri ( pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( Al Hadits), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya” ( QS. An nisa’, 59 ).

    “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah ) kepada Allah ( yang mempunyai sifat sifat demikian ), itulah Tuhanku, Kepada -Nya- lah aku bertawakkal dan kepada –Nya- lah aku kembali” ( QS. Asy syuro, 10 ).

    Ternyata setelah masalah ini (hukum upacara maulid Nabi) kita kembalikan kepada kitab Allah ( Al Qur’an ), kita dapatkan suatu perintah yang menganjurkan kita agar mengikuti apa apa yang dibawa oleh Rasulullah, menjauhi apa apa yang dilarang oleh beliau, dan (Al Qur’an ) memberi penjelasan pula kepada kita bahwasanya Allah subhaanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agama umat ini.

    Dengan demikian upacara peringatan maulid Nabi ini tidak sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia bukan dari ajaran agama yang telah disempurnakan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala kepada kita, dan diperintahkan agar mengikuti sunnah Rasul, ternyata tidak terdapat keterangan bahwa beliau telah menjalankannya, (tidak) memerintahkannya, dan (tidak pula) dikerjakan oleh sahabat sahabatnya.

    Berarti jelaslah bahwasanya hal ini bukan dari agama, tetapi ia adalah merupakan suatu perbuatan yang diada adakan, perbuatan yang menyerupai hari hari besar ahli kitab, Yahudi dan Nasrani.

    Hal ini jelas bagi mereka yang mau berfikir, berkemauan mendapatkan yang haq, dan mempunyai keobyektifan dalam membahas ; bahwa upacara peringatan maulid Nabi bukan dari ajaran agama Islam, melainkan merupakan bid’ah bid’ah yang diada adakan, dimana Allah memerintahkan RasulNya agar meninggalkanya dan memperingatkan agar waspada terhadapnya, tak layak bagi orang yang berakal tertipu karena perbuatan perbuatan tersebut banyak dikerjakan oleh orang banyak diseluruh jagat raya, sebab kebenaran (Al Haq) tidak bisa dilihat dari banyaknya pelaku (yang mengerjakannya), tetapi diketahui atas dasar dalil dalil syara’.

    Sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman tentang orang orang Yahudi dan Nasrani (yang artinya): “Dan mereka ( Yahudi dan Nasrani ) berkata : sekali kali tak (seorangpun ) akan masuk sorga, kecuali orang orang yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikian itu (hanya) angan angan mereka yang kosong belaka ; katakanlah : tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang orang yang benar” ( QS. Al Baqarah, 111 ).

    “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang orang yang berada dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah ; mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak lain hanyalah menyangka-nyangka” ( QS. Al An’am, 116 ).

    Lebih dari itu, upacara peringatan maulid Nabi ini – selain bid’ah –tidak lepas dari kemungkaran kemungkaran, seperti bercampurnya laki laki dan perempuan ( yang bukan mahram ), pemakaian lagu lagu dan bunyi bunyian, minum minuman yang memabukkan, ganja dan kejahatan kejahatan lainya yang serupa.

    Kadangkala terjadi juga hal yang lebih besar dari pada itu, yaitu perbuatan syirik besar, dengan sebab mengagung agungkan Rasulullah secara berlebih lebihan atau mengagung agungkan para wali, berupa permohonan do’a, pertolongan dan rizki. Mereka percaya bahwa Rasul dan para wali mengetahui hal hal yang ghoib, dan macam macam kekufuran lainnya yang sudah biasa dilakukan orang banyak dalam upacara malam peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam itu.

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Janganlah kalian berlebih lebihan dalam agama, karena berlebih lebihan dalam agama itu telah menghancurkan orang orang sebelum kalian”.

    “Janganlah kalian berlebih lebihan dalam memujiku sebagaimana orang orang Nasrani memuji anak Maryam, Aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan Rasul Allah” ( HR. Bukhori dalam kitab shohihnya, dari hadits Umar, Radliyallahu ‘anhu ).

    Yang lebih mengherankan lagi yaitu banyak diantara manusia itu ada yang betul betul giat dan bersemangat dalam rangka menghadiri upacara bid’ah ini, bahkan sampai membelanya, sedang mereka berani meninggalkan sholat Jum’at dan sholat jama’ah yang telah diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan sekali kali tidak mereka indahkan. Mereka tidak sadar kalau mereka itu telah mendatangkan kemungkaran yang besar, disebabkan karena lemahnya iman kurangnya berfikir, dan berkaratnya hati mereka, karena bermacam macam dosa dan perbuatan maksiat. Marilah kita sama sama meminta kepada Allah agar tetap memberikan limpahan karuniaNya kepada kita dan kaum muslimin.

    Diantara pendukung maulid itu ada yang mengira, bahwa pada malam upacara peringatan tersebut Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam datang, oleh kerena itu mereka berdiri menghormati dan menyambutnya, ini merupakan kebatilan yang paling besar, dan kebodohan yang paling nyata. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari kiamat, tidak berkomunikasi kepada seorangpun, dan tidak menghadiri pertemuan pertemuan umatnya, tetapi beliau tetap tinggal didalam kuburnya sampai datang hari kiamat, sedangkan ruhnya ditempatkan pada tempat yang paling tinggi (‘Illiyyin ) di sisi TuhanNya, itulah tempat kemuliaan.

    Firman Allah dalam Al Qur’an (yang artinya): “Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian pasti mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan ( dari kuburmu ) di hari kiamat” ( QS. Al Mu’minun, 15-16 ).

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku adalah orang yang pertama kali dibangkitkan / dibangunkan diantara ahli kubur pada hari kiamat, dan aku adalah orang yang pertama kali memberi syafa’at dan diizinkan memberikan syafa’at”.

    Ayat dan hadits diatas, serta ayat ayat dan hadits hadits yang lain yang semakna menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mayat mayat yang lainnya tidak akan bangkit kembali kecuali sesudah datangnya hari kebangkitan. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama, tidak ada pertentangan diantara mereka.

    Maka wajib bagi setiap individu muslim memperhatikan masalah masalah seperti ini, dan waspada terhadap apa apa yang diada adakan oleh orang orang bodoh dan kelompoknya, dari perbuatan perbuatan bid’ah dan khurafat khurafat, yang tidak diturunkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala. Hanya Allah lah sebaik baik pelindung kita, kepada-Nyalah kita berserah diri dan tidak ada kekuatan serta kekuasaan apapun kecuali kepunyaan-Nya.

    Sedangkan ucapan sholawat dan salam atas Rasulullah adalah merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling baik, dan merupakan perbuatan yang baik, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an (yang artinya): “Sesungguhnya Allah dan Malaikat malaikatNya bersholawat kepada Nabi, hai orang orang yang beriman, bersholawatlah kalian atas Nabi dan ucapkanlah salam dengan penghormatan kepadanya” ( QS. Al Ahzab, 56 ).

    Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barang siapa yang mengucapkan sholawat kepadaku sekali, maka Allah akan bersholawat ( memberi rahmat ) kepadanya sepuluh kali lipat.”

    Sholawat itu disyariatkan pada setiap waktu, dan hukumnya Muakkad jika diamalkan pada ahir setiap sholat, bahkan sebagian para ulama mewajibkannya pada tasyahud ahir di setiap sholat, dan sunnah muakkadah pada tempat lainnya, diantaranya setelah adzan, ketika disebut nama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, pada hari Jum’at dan malamnya, sebagaimana hal itu diterangkan oleh hadits hadits yang cukup banyak jumlahnya.

    Allah lah tempat kita memohon, untuk memberi taufiq kepada kita sekalian dan kaum muslimin, dalam memahami agama Nya, dan memberi mereka ketetapan iman, semoga Allah memberi petunjuk kepada kita agar tetap kosisten dalam mengikuti sunnah, dan waspada terhadap bid’ah, karena Dialah MahaPemurah dan MahaMulia, semoga pula sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

    Dikutip dari Tulisan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz, Mufti Saudi Arabia.
    Penerbit Departemen Agama Saudi Arabia.
    Edisi Indonesia “Waspada terhadap Bid’ah”

    Judul Asli: Perayaan Maulid Rasulullah dalam sorotan Islam
    Sumber: http://www.salafy.or.id versi offline

    –> mau di-cut.. kasihan. Kalau diloloskan.. kok nggak nyambung.

    • Alhamdulillah……..
      bang sholeh membuka jalan melalui Al Qur’an ( dasar hukum Islam yang hakiki )
      Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui…………………

    • itu orang salafy kok tiba-tiba muncul dengan fatwa haram nya maulid nabi? berarti dia gak baca dari awal dong. menyedihkan. main nongol2 aja

  95. sekedar mengingatkan, dijaman rosullulloh masih hidup saja sudah banyak penyelewengan dari sunah nabi

    bayangkan sampai hari ini kira2 berapa banyak penyelewengan sunah rosul,

    dan syaiton dalam menjerumuskan manusia kadang kita tidak menyadarinya,

    bid”ah dalam pengertian saya adalah menambah urusan dalam ibadah atau sesuatu ibadah yg tidak ada dasarnya dari nabi,

    karena dalam urusan ibadah otomatis kita akan menganggap itu adalah hal yg baik,

    tanpa kita sadari bisa saja kita sedang melakukan bid”ah sejalan dg kita sedang mengamalkan amalan yg menurut kita baik,

    renungkanlah saudaraku….berhatihatilah…

    .siapa tahu ibadah aatau amalan yg sedang kita kerjakan yg menurut kita baik, itu sebenarnya adalah perkara bid’ah seperti yg dimaksudkan oleh rosululloh,

    karena orang yg sedang melakukan bid”ah kalau dilihat sekilas….orang itu juga sedang mengamalkan ibadah ( menambah sesuatu dalam ibadah otomatis dengan sesuatu yg baik bukan dengan sesuatu yg tidak baik )

    dan yg selama ini kita tidak sadari adalah ORANG YG SEDANG MELAKUKAN BID’AH, PASTI ORANG ITU SEDANG MELAKUKAN KEBAIKAN ( menurut mereka ) nah lho….WASPADALAH…WASPADALAH….

    –>

    bid”ah dalam pengertian saya adalah menambah urusan dalam ibadah atau sesuatu ibadah yg tidak ada dasarnya dari nabi,

    padahal tahlilan dan yasinan itu ada dasarnya dari nabi. Majelis Rasulullah menjelaskannya di dalam artikel. Juga halaman lain di blog ini.

    Justru yg mengharam-haramkan sesuatu yg tidak haram, memusyrik-musyrikkan amal yg tidak musyrik, bahkan mengkafir-kafirkan kaum muslimin yang sedang berdzikir, itulah yang menambah-nambah/mengubah-ubah syariat di dalam agama. Itulah bid’ah sesat itu sendiri.

    • lalu bagaimana kaitannya komentar Anda dengan hadits Nabi :

      مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ

      ” Sesuatu yang dipandang baik menurut orang2 muslim maka akan dipandang baik pula oleh Alloh “.

      Apakah Anda menganggap semua bid`ah adalah sesat ?

      • afwan, karna sy masih dangkal tentang hadist shahih dan dhoif tolong sertakan pula priwayatan dan sanad, jazakumullah khair wayahdikallah

      • Ini biasanya pertanyaan yang mengandung penolakan dari banyak Mukholifin mengenai adanya pembagian masalah bid`ah hasanah dan sayyiah, tapi walau demikian akan saya tuliskan sanadnya dan silakan Anda teliti mengenai kedudukan derajatnya :

        أخبرنا أحمد بن جعفر القطيعي ، ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل ، حدثني أبي وأحمد بن منيع ، قالا : ثنا أبو بكر بن عياش ، ثنا عاصم ، عن زر ، عن عبد الله قال : ما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن ، وما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ

    • anda kayaknya memaksakan banget tentang dalil padahal,tahlil itu dibacah setelah sholat fardu,bukan pada orang yang mati,jadi anda kejebak dalm bid;ah yang berkenaan dengan waktu seperti orang hajji di bulan safar,

      –> mas.. kelihatan anda langsung ke komentas sini. Bacalah artikel juga. Biar nyambung.

  96. Dalil dalil wahabi yang sudah di patahkan oleh aswaja sering dikemukakan lagi…..
    capee…. deh………
    mana bisa kalahin aswaja…….mas….
    pemcetus wahabi, muhamad bin abdl wahab (sitanduk setan) ilmunya ngga ada se ujung kuku
    muridnya imam syafe’i (jangan dibandingin sama imam syafe’i = mujtahid mutlak)
    percuma segala dalil apapun gak akan mampu mnyadarkan para wahabi
    cuma satu yang dapat menyadarkan wahabi yaitu : MATI…..

  97. saya juga sering ngikut tahlilan ba’da magrib kebanyakan,tapi setelah tahlil kebanyakan langsung ngibrit ke rumah masing2,mesjid jadi sepi paling 1 shaf,tapi pas tahlilan ada 50-60 orang aneh yah,,,,,

    kenapa pas tahlilan banyak orang,pas adzan isya nya malah sepi,padahal shalat berjamaah di mesjid lebih utama di banding di rumah,jadi kalah shalat berjamaah di mesjid sama tahlilan,lebih antusias hal2 tidak wajib hukum nya di lingkungan saya mas,jadi miris ngeliat nya,,,,

    semoga kedepan tahlilan sama shalat berjamaah di mesjid rame nya sama.amin,,,,

    apakah di daerah lain sama ga yah sama daerah saya,shalat berjamaah di mesjid kalah sama tahlilan?????

    wasallam,,,,

    –> gak sama mas.. di tempatku tahlilan sesudah (jamaah) isya’, bukan pas (atau sebelum) isya’.

    Dan seandainya daerah anda demikian.. yg salah bukan tahlilannya, tapi orangnya. Apakah ada jaminan jika tahlilan dihapus, maka jamaah shalat jadi ramai. Saya yakin sama saja.. bahkan mungkin lebih sepi. Justru majelis ini dapat menjadi arena dakwah untk meramaikan jamaah shalat.

    • seharus nya begitu mas,,,,,
      orang2 nya begitu sehabis tahlil langsung pulang,,,,

      semoga aja ramai kaya tahlilan mas,setiap ada tahlil masyarakat di lingkungan saya langsung ngibrit bawa makanan ke rumah nya,makanya miris liat keadaan masyarakat di lingkungan saya lebih pada menghadiri tahlilan di banding langsung pergi ke mesjid untuk berjamaah, ironis,,,,,,

      padahal menurut saya shalat berjamaah ibadah yang paling baik di banding tahlilan,ada solusi mas buat saya agar bisa mengajak jamaah yang suka tahlilan bisa juga melaksanakan shalat berjamaah di mesjid,jadi antusias mereka terhadap tahlilan tidak mengalah kan antusias berjamaah di mesjid,,,

      saya yang sebagai warga masyarakat jadi miris,kegiatan atau ibadah yang ga ada tuntuntan di ikuti dengan penuh antusias,tapi ibadah wajib apa lagi laki2 di haruskan shalat berjamaah di mesjid malah di tinggalkan,itu keadaan di lingkungan saya mas,mohon saran nya agar masjid di sebelah rumah saya jadi rame,sama rame nya kaya tahlilan,,,,,

      wasalam.

      –> majelis tahlil (tahlilan) adalah majelis dzikir. Ini bukannya ibadah yang ga ada tuntunan (yg haram) .. tapi ini adalah sunnah, karena berdzikir itu sunnah (bukan wajib). Kesalahannya adalah ada (banyak) orang antusias mengerjakan yg sunnah, namun melupakan yg wajib. Seperti rajin tahajud tapi tidak mengerjakan shalat fardlu.

      Tidak mudah ngomong di depan masyarakat. Apalagi kl kita masih muda, dan bukan tokoh panutan. Kalau anda tabrak saja, hampir pasti reaksi akan negatif.

      Bagaimana kalau usul tahlilannya dilaksanakan sesudah isya’. Syukur-syukur dibuat acara tahlil rutin (mingguan/bulanan/selapanan) di masjid (mushala) sesudah isya’. Semoga dengan demikian lama kelamaan masyarakat terbiasa ikut jamaah shalat fardlu. Baik juga dibuat pengajian sesudah tahlilan. Undang ulama, dan/atau baca kitab2 yang banyak mengandung hikmah.

      Semoga manfaat.

      • nah itu dia mas,saya masih muda,dan pernah saya coba buat ngajak masyarakat sesudah tahlil langsung ke mesjid,dan saya di bilang kolot mas,,,

        tapi insyaallah saya ga akan nyerah buat ngajak masyarakat terutama laki-laki buat berjamaah di mesjid,,,

        iya mas usul nya bagus setelah isya dan di adakan nya di mesjid,supaya bisa shalat berjamaah dulu,di lingkungan saya biasa nya tahlilan di rumah yang ngadain tahlilan,,,

        ok mas terimakasih saran nya,,

        wasalam,,,

        –>hal yang mungkin paling mudah dilakukan adalah mengadakan tahlilan rutin di masjid anda. Undang ulama dari luar untuk memberikan tausyiah. Kalau yg memberikan pengajian itu orang luar, biasanya lebih didengar dan diresapi. Seperti anak-anak yg lebih taat kata gurunya dibanding ibu sendiri.

        Dakwah selalu butuh pengorbanan. Di tempat kami pengajian hampir selalu ada minum dan makanan (kecil), dan hal-hal nonteknis lainnya. Walau mungkin nanti ada panitia, namun di saat-saat awal pasti kita yg berkorban. Nahh.. siapkah anda dengan itu? Jika belum (misal secara finansial, atau masih nebeng ortu), maka hal yg lebih wajib bagi anda adalah menyiapkan diri anda sendiri terlebih dahulu. Kejar cita2, siapkan diri agar mempunyai pondasi yang kokoh, baru setelah anda yakin mampu.. silakan berjuang menegakkan agama yang mulia ini.

        semoga kesuksesan selalu menyertai anda ..

  98. asalamualaikum all segaiseorang muslim harus ingat bahwah islam ada yg membawah yng mengemban syareat yaitu rasulullah,sebenarnya ibadah itu hanya melihat dari segi perintah yang tidak diperintakahkan maka hukumnya haram,tidak ada hukum mubah dalam ibadah, dan tidak ada larangan sebab ibadah yang tanpa perintah semua dilarang,sebabseorang yg beribadah dia mengharab pahalah kalau ada hukum mubah maka pelakunya tidak dapat apa2.

    –> wa’alaikum salam wrwb. kalau sunnah bgmana mas? Sunnah Kan bukan perintah, tapi anjuran.

    Atau .. Baginda Rasul saw mengatakan bahwa dzikir yang paling utama adalah Laa ilaha illallah. Jika kita mengucapkannya setiap akan tidur (misalnya), apakah menjadi haram dan sesat hanya karena tidak ada perintah, “Bacalah sebelum tidur dzikir kalimat laa ilaha illallah”. Apakah menjadi haram karena diucapkan waktu takziah di hadapan keluarga orang meninggal?

    Baginda Rasul saw juga mengatakan bahwa hadiah pahala itu bisa sampai. Apakah menjadi sesat ketika orang-orang menghadiahkan pahala tahlil-nya kepada si mati, hanya karena tak ada perintah khusus tentangnya?

    sungguh aneh pendapat anda.

    • Mas Sukirno,

      Pernyataan Anda itu kelihatan dzohirnya benar tapi kalau kita teliti adalah ucapan yang batil, kenapa ?

      Coba Anda definisikan makna hadits nabi, disana ada yang disebut ucapan Nabi ( Qaul nabi / hadits qauliyah ) , ada hadits berupa perbuatan Nabi ( fi`iliyah ) dan ketetapan nabi/ diamnya Nabi atas perbuatan sahabatnya ( taqririyah ).

      Nah yang terakhir itu ( taqrir Nabi ) di sana tidak ada perintah dari Nabi yang dilakukan oleh sahabat, tetapi Nabi mendiamkannya sebagai tanda persetujuan Nabi karena Nabi Tidak melarangnya. Tidak melarangnya itu menandakan bahwa perbuatan itu direstui oleh Nabi.

      Kemudian kalau kita melihat dari bagian apa yang diperintahkan ( seperti kata Anda itu ) maka jawab saya :

      Perintah itu ada dua : perintah yang bersifat umum dan perintah yang bersifat khusus.

      Nah kalau perbuatan itu masih dalam ruang lingkup perintah umum maka harus dihukumi sesuai dengan keumumannya selama tidak ada hukum kekhususannya.

      Kemudian, simak pahami makna dari ;

      { وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا }

      lihat tafsir Ahkaamul Quran karangan Ibnu Al-Arobi beliau menafsirkan dan ini tafsir yang paling shoheh dalam membahas ayat itu :

      ما أمركم به من طاعتي فافعلوه وما نهاكم عنه من معصيتي فاجتنبوه . وهذا أصح الأقوال

      Artinya : ” Sesuatu yang diperintahkan kepadamu berupa ketaatan kepadaku maka kerjakanlah dan sesuatu yang dilarang berupa kemaksiatan kepadaku maka jauhilah, Ini adalah penafsiran yang paling shoheh menurut Ibnu Al-Arobi.

      Jadi kalau kita lihat ayat itu maka antara perintah dan larangan adalah satu paket tidak bisa dipotong untuk menentukan suatu hukum.

      Adakah suatu perbuatan itu masuk perintah secara umum ataukah secara khusus ? dan adakah suatu perbuatan itu masuk ke ranah larangan secara umum ataupun secara khusus? maka dari sana bisa ditentukan status hukumnya.

      Ini juga sebagai bantahan kepada yang berdalil Aqli yang batil yang mengatakan sesuatu yang tidak ada contoh/ tidak dicontohkan nabi adalah haram/bid`ah.

      Maka sayapun meminta kepada Anda dalil qur`an ataupun hadits yang menyatakan pernyataan demikian itu. Terimakasih..

    • buat sadaraku yang punya blok ya hukum sunnah itu hanya istilah ulama’yng membagi akan tetapirasulullah tidak pernah membagi dalm hukum,kecuali firman allah tentang kiyamulail makanyaketika sahabat dapat perintah dan anjuran mereka semaksimal mungkin melaksanakanya,karna yang menganjurkan orang yang mengemban risalah pada dasarnya semua apa yang diucapkan nabi urusan agama itu perintah dari allah swt,bukan dari pendapat beliau,kalo soal urusan dunia itu bukan urusan rasululah secara mutlak,dan rasullah pernah menegur orang yg mengawinkan thamernya SEANDAINYAKAU BIARKAN SAJA DIA AKAN LEBIH BAIK,TAPI KENYATANYATHAMERNYA MALAH TIDAK BERBUAH lalu para petani mengabarkan kpada nabi bahwa thamer kami tidak berbuah setelah kami tidak mengawinkan maka rasulullah bersabdah ANTUUM A’LAMUU FI UMURI DUNIAKUUM dan permasalahan suatu hukum tak akn bisa dipecahkan kalo kita mengacu dan tak asub pada satu golangan ato pada satu imam,yang telah mendapat rekomondasi dari allah dan rasulullah hanyalah para sahabat,maka kita punya kuwajiban untuk kembali meniti bagaimana para sahabat memahami alqur’an dan hadits,agar kita tidak larut dalam jidal ditengah2 umat yang penuh dengan fitnah,dan kita sebagai umat islam kita mensikapi pertengahan jangan melampui batas,antum rujuk pada pendapat madhab antum imam safi’i beliau mengatakan bahwa peringatan harikematian hukumya makruh,dan imam anawawi qoiru mustahab tidak ada satu ulamakpun yang menganggap baik dalm peringatan kematian,lalu ada yang menarik kedalam hukum sodaqah ini pendapat ulamak yang mana,sedangkan yang kita bahas itu khukum peringatan kematian bukanhukum yang sudah jelas dalm hadist,sodaqoh umroh hajji dll yng sudah jelas kita ngak ada yang mengingkari hal itu,thoyib kita sekarang melihat bagimana para sahabat melakukan riual dalmkematian beliau memperingati hari kematian apa ngak?karna dalam suatu ibadah itu bersifat taukifiyah,dan dalm algur;an jg dijelaskan,syarat diterimahnya ibadah yaitu harus memenuhi 2kreteriyah yaitu iklas hanya lillah dan mutaba’ah rasul.dan siapun boleh kita selisihi kecuali rasulullah dan orang yg telah mendapat rekomandasi,kita bersaudara dalm satu bangunan islam mari kitasaling naset dan menasehati dan bersabar,jangan sampai kita punya niat yang lain atau hanya menang2an kita semua berusaha mencari kebenaran,bukan pintar pintaran dalm retorika danmari kita brusaha membuang jauh 2 rasa ta’asub dan fanatik golangan

      • Untuk mas Suirno Hady,

        Tulisan Anda :

        dan permasalahan suatu hukum tak akn bisa dipecahkan kalo kita mengacu dan tak asub pada satu golangan ato pada satu imam,yang telah mendapat rekomondasi dari allah dan rasulullah hanyalah para sahabat,maka kita punya kuwajiban untuk kembali meniti bagaimana para sahabat memahami alqur’an dan hadits,agar kita tidak larut dalam jidal ditengah2 umat yang penuh dengan fitnah,

        Komentar saya :

        Justru dengan adanya para Imam, banyak masalah yang dapat dipecahkan, mereka berijtihad dengan ilmunya yang menurut saya susah dimiliki oleh para ulama jaman sekarang.

        Para Imam dan pengikutnya dari dulu banyak bertoleransi dalam masalah furuiyah ijtihadiyah, hampir bisa dikatakan tidak ada merasa diri paling benar diantara madzhab lainnya dan percekcokan. Berbeda dengan sekarang, ada segolongan yang menganggap diri paling benar dan yang lain salah, padahal yang lain mempunyai dalil sebagai landasan mereka berbuat, disamping juga hal ini dalam masalah furuiyah alias cabang, yang disana diperbolehkan berijtihad bagi yang mempunyai “hak ijtihad”.

        Anda mengatakan bahwa hanya para sahabatlah yang mendapat rekomendasi dari Alloh dan Rosulnya tetapi rupanya Anda lupa sabda Nabi yang Lainnya, berikut bunyinya :

        قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

        atau hadits yang senada :

        أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول : إن خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ، فلا أدري قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد قرنه مرتين أو ثلاثا .

        Artinya :

        ” Bersabda Rosululloh SAW : Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku kemudian masa sesudahnya (sahabat) kemudian masa sesudahnya ( tabiin) kemudian masa tabiinat tabiin.”

        Disana disebutkan kata “sebaik-baiknya” menunjukkan bahwa pada masa itu keadaan yang baik dalam banyak hal termasuk dalam cara memahami Al-quran dan hadits.

        Hadits itu juga secara maknawi menunjukkan kepada kita agar mengikuti mereka yang berada pada masa terbaik itu, karena hal ini bisa menyelamatkan kita.

        Para Imam itu berada pada masa terbaik ( masa Tabiin dan tabiinat tabiin ), kita disuruh oleh rosul untuk mengikuti mereka, lalu kenapa malah Anda seolah mencela mereka atau menyarankan meninggalkan pendapat para Imam itu dan merujuk langsung kepada pemahaman para sahabat ?

        Tidakkah Anda pahami bahwa hadits itu juga menunjukkan bahwa pemahaman para Imam itu juga sesuai dengan pendapat para sahabat karena Rosululloh sendiri yang menyatakan golongan itu adalah juga golongan yang terbaik seperti bunyi hadits di atas?

      • KOMENTAR ANDA :

        antum rujuk pada pendapat madhab antum imam safi’i beliau mengatakan bahwa peringatan harikematian hukumya makruh,dan imam anawawi qoiru mustahab tidak ada satu ulamakpun yang menganggap baik dalm peringatan kematian,

        Pertanyaan saya :

        Tolong dimanakah redaksi dari Imam syafi`i yang mengatakan peringatan hari kematian ( dalam hal ini tahlilan ) berhukum makruh dan ghoeru mustahab menurut Imam Nawawi?

        Dalam kitab apa? saya khawatir Anda itu terpengaruh terhadap pemalsuan fatwa atas nama Imam Syafi`i dan Imam Nawawi yang dilakukan oleh mudallisiin.

  99. buat mas IMAM ya mas imam saya sependapat dengan antum ,memang ada perintahsecara kusus dan ada secara umum,tapi smua bentuk perintah itu untuk ibadah, dan larangan untuk ma’siat contoh beribadalah hanya kepada ALLAH saja dan jauhi thoqut ,lalu tentaang perintah sholat dan larangan minum khomer lalu perintah puasa sebagaimana umat yg terdahulu juga di perintah puasa lalu larangan berzinah,haramnya lahm khinjir dll ini larangan dan perintah hakiki dan ada larang dan perintah asbabi contoh silaturohim karna menyebabkan tambahnya rizky,dan sodaqoh untuk penyakit karna mendatangkan kesembuan larangan merokok karna menyebabkan penyakit dan menyebabkan kematiadan banyak contoh yng lain lalu ulama’membagi menjadi hukum sunnah wajib dan makruh,itu pembagian segi ibadah lalu MUBAH HARAM DAN MAKRUH, dari segi hukum dunia sebab semua yang tidak diperintahkan psati rasulullah larang,rasulullah melarang orang menukar emas dngan emas milh dngan milh,dll lalu yang diamkan oleh rasulullah itu menjadi sunnah karnah yang mendiamkan rasulullah yng tidak mengikuti hawa nafsu dan orang yng ma’sum ini jaminan dari ALLAH lalu kalau kita siapa yang menjamin dan ada kabarkah bahwa setelah rasulullah ada manusia yang ma’sum tidak sama sekali,sekarang kita kembali kepada pokok permasalahan apakah memperingati hari kematian itu masalah umum,tentu bukan karnah disini terikat dengan kejadian yaitu kematian lalu terikat dengan hari 1237,40,100,1000,lalu dalil mana yang memayungi ritual ini kalo sodaqah dimasukan kedalil kusus seperti pada hari kemtian ini sangat tidak ilmia dan sangat memaksakan sebab ketika orang bersodaqoh itu dalm keadaan lapang atau sempit,bukan ketika ada keluarganya yng mati maka kenyatan ini sangattidak adil karna ada ihwan yng rajin sodaqoh lalu ketikah adakelurganya yng meninggal dia tidak mengikuti ritual ini mereka menyesatkan ihwan tersebut,dia menuduh wahaby dll lalu ada apa dengan wahaby kita sebagai ummat islam jangan mudah tersulut api yang belm jelas datangnya mari kita kaji secara ilmiah,dan kita bersabar dalam mencari kebenaran,ISLAM ITU MILIK ALLAH DAN RASULNYA,kita boleh menyeliihi siapapun didunia ini baik itu ulama’kiyai tuan guru habib dll asal jangan MENYELISIHI ALLAH WERASULUH insa’allah kita akan selamad dan paling akhir ingat yng mengatakn semua bid’ah dolalah, sesat itu bukan kami tapi rasul kami,kalo antm punya tandingan ada bid’ah hasanah itu dari rasul antm

    • Mas Suirno Hady,

      Komentar Anda :

      buat mas IMAM ya mas imam saya sependapat dengan antum ,memang ada perintahsecara kusus dan ada secara umum,tapi SMUA BENTUK PERINTAH ITU UNTUK IBADAH, ( Lihat huruf besar ).

      Jawaban Saya :

      Ternyata Anda kurang jeli terhadap makna Al-Qur`an yang sudah ada dikomentar saya sebelumnya.

      Baik saya tulis lagi :

      وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا

      ِArtinya : “Sesuatu yang diperintahkan oleh Rosul maka kerjakanlah dan sesuatu yang dilarang oleh Rosul maka tinggalkanlah.”

      Ayat itu menunjukkan perintah itu ada dua, yaitu :

      1. Perintah untuk mengerjakan
      2. Perintah untuk menjauhi

      Kalau Anda mengatakan semua bentuk perintah hanya untuk ibadah adalah pendapat keliru, kenapa ?

      Karena, kalau berpendapat seperti itu artinya mentaati perintah untuk menjauhi sesuatu yang dilarang bukanlah bernilai ibadah, ini adalah pendapat konyol…

      Jadi pada hakekatnya menjalankan perintah artinya mengerjakan sesuatu yang disuruh untuk mengerjakannya sekaligus menjauhi yang dilarangnya (berupa maksiat) (Lihat tafsir Ibnu Al-Arobi menjelaskan ayat di atas ), dan inilah yang disebut ketaatan atau tunduk atau ibadah.

      Jadi jelasnya perintah bukan hanya untuk soal ibadah saja.

    • Mas Suirno Hady,

      Tulisan Anda :

      ” semua yang tidak diperintahkan psati rasulullah larang ”

      Jawaban saya :

      Itu kaidah dari mana mas? mana dalil hadits atau qur`annya ?
      Tidak tahukah Anda bahwa Sahabat Ustman Bin Affan membuat perkara baru (bid`ah hasanah ) berupa Adzan kedua pada hari Jum’ah?

      Adzan Jumaah tidak pernah diperintahkan oleh Rosul dan tidak juga ada pada zamannya tetapi toh adzan kedua pada hari jumaah tetap dilaksanakan umat Islam baik dibelahan bumi timur maupun barat.

      Ini juga sebagai dalil, bolehnya kita menetapkan (merutinkan ) waktu2 tertentu untuk beribadah, karena sahabat Utsmanpun memberikan contoh seperti itu dengan menetapkan adzan kedua pada hari jum’ah yang tidak ada contoh dan perintah dari Rosululloh.

      • usman orang yang dapat rekomandasi dari rasulullah,dan mustahid kalo ada orang yang bisa bertemu dengan orang mati dalam keadaan jaga bukan mimpi ini ucapan seorang penipu,ok lah saya memang cenderung paham pembahasan ulama’atau ustadz yg mengikuti paham wahabi dari pada pengikutnya asy’ariyah dan saya ucapkan jazaumullah khoiran atas bantahan antum semoga kitasemua mendapatkan hidayah dai allah berupapencerahan

      • Lalu bagaimana dengan kaidah Anda sendiri yang berbunyi :

        ” semua yang tidak diperintahkan psati rasulullah larang ”

        sedangkan Rosul tidak memerintahkan Ustman bin Affan untuk membuat sunah dengan menambahi adzan kedua pada hari Jum`ah ? apakah artinya itu terlarang ???

        Kalau Anda mengatakan soal rekomendasi dari Rosululloh, bukan cuma sahabat saja mas Suirno, bahkan ulil amri minkum juga dapat rekomendasi dari Rosulluloh SAW, silakan baca saja tafsir Qur`annya.

        Saya sudah banyak menjawab kelemahan pola pikir Anda tapi Anda tetep saja keukeuh/ berpegang kepada madzhab Anda itu.

        Akhirnya saya hanya bisa mengatakan seperti kata orang Arab, Alloh yahdik ( Semoga Alloh memberi Anda petunjuk ), Amiin…. Terimakasih.

  100. buat mas imam ok lah ana juga sepaham tentang tiga masa keemasan itu bukan berarti masa setelah nabi dan sahabat itu jelek,akan tetapi setelah masa sahabat itu lebih besar penyelewengan dan fitnah bahkan seorang amirul muminin usman bin afanpun dibunuh, lalu ali bin abi tholib juga di bunuh,dan setelah masa sahabat firgo2 yng dikabarkan oleh rasulullah mulai berani menyebarkan pemahamannya yang sudah jauh dari sunnah,dan tentang rekomandasi kusus untuk sahabat itubanyak sekali riwayatnya,bahkan abu bakr dan umar ra ada rekomandasi kusus dari nabi dan yang paling jelas ketika nabi mengatan dalam satu hadist bahwa sahabatku adalah penjaga umatku kalo dia pergi maka umatku akan ditimpa fitnah seperti yang ALLAh janjikan,lalu juga perinta ALLAH PUN apa bila berselisih sesuatu maka kita kembalikan kepada alqur’an dan hadist,bukankah orang yg pertama kali memahamialqur’a dan hadist itu para sahabat yng di bimbing langsung oleh nabi,tentu iya bukan? lalu setiap orang itu pasti meyelisihi salah satu imam sadar atau tidak contoh,tentang anda qunut subuh saya tidak karna ana pegang bahwa qunut subuh dalilnya lemah menurut pendapat imam selain safi’i,bukankah secara autumatic saya menyelisihi imamsafi’i karna saya ambil pendapat yang lain,masalah furu’iyah semua ulama’ ahlusunnah memang ada toleran akan tetapi disini masalah akidah,ulama’ yang mana yng membolehkan menyeruh kepada orang yg telah mati untuk beristiqotsyah,ulama’mana yng berpendapat orang yg sudah mati sama dengan orang yg masih hidup,tidak satupun dari kalangan ulama; ahlusunah yn pnya pendapat seperti ini,mas imam bagaimanapn kita adalah saudara dalam islam selamah keislaman kita belum gugur,kita mencinta karna ALLAH dan kita mmbenci karna ALLAH,bukan karna golangan ato yg lainya,bagaimanapun sejelek apapun ISLAM adalah mutiara yng mungkin mutiara itu tidak tampak disebabkan adanya kotoran,marilah kita berjuang antukmembersihkan kotoran2itu jangan sampai kita terpancing oleh adu dombah oleh orang2 yng ingin menghancurkan islam,antum termasuk orang yng punya tangungjawab karna antum punya kemampuan untuk itu,kalo antum ada yng kurang berkenan dengan ihwan kita salafy antum bisa datangi mereka ajak dia diskusi secara ilmiyahitu lebih bermanfaat untuk agama yang mulya ini.

    • Mas Suirno Hady,

      Walaupun beberapa pertanyaan saya tidak Anda jawab dipostingan2 di atas tetapi tidak apalah, silakan Anda dan pembaca renungkan terhadap sanggahan2 saya terhadap pernyataan Saudara Suirno Hady di atas.

      Melihat komentar Anda di atas, tentang firqoh2 yang ada di zaman sahabat sampai sesudahnya ( seperti dari ulasan Anda ) adalah firqoh2 yang bukan ahli sunah wal jamaah.

      Golongan ahli sunah wal jamaah adalah sebutan bagi golongan yang berpegang teguh terhadap Al-quran dan hadits yang pada masa itu ( masa setelah sahabat ) diwakili oleh para Imam 4 madzhab itu dan pengikutnya.

      Golongan ini juga yang menentang para ahli bid`ah dan ahli hawa ( silakan Anda baca literatur mengenai Para Imam 4 madzhab ).

      Kenapa kita perlu bermadzhab ?

      Jawab singkat saya adalah karena mengikuti salah satu dari 4 Imam madzhab lebih memudahkan kita untuk beragama karena sebagian besar hukum Islam sudah dijelaskan oleh mereka dengan dalil2nya, baik dari Al-quran atau Al-Hadits dengan dilengkapi hasil ijtihad mereka atas suatu perkara yang tidak ada dalilnya secara qot`i.

      Hal di atas semuanya sudah tersusun rapi dibahas dalam perbabnya dan sistematis.

      Berbeda dengan madzhab para sahabat, mereka belum menyusun seperti pada masa para Imam 4 madzhab. Jadi sebenarnya para Imam itu menyusun dan meneruskan dari pendapat/madzhab para sahabat.

      Sekarang pertanyaan saya kepada pembaca, kalau saya ibaratkan makanan, lebih enak dan gampang mana antara makanan yang tinggal siap saji dan kita tinggal memakannya yang telah dimasak oleh ahli masak tingkat dunia dibandingkan dengan kita masih perlu mencari bahannya2 kemudian memasaknya ? itupun kalau tidak keasinan, silakan tanya ke hati Anda pembaca.

      Tapi walaupun demikian bagi mereka yang mempunyai ilmu dan mempunyai kelengkapan2 untuk berijtihad silakan mengambil langsung kepada Al-quran dan hadits kemudian mengolahnya untuk menentukan suatu hukum.

      Kalau saya sendiri melihat ulama2 terdahulu seperti Imam Nawawi, Imam Suyuti, Imam Ibnu Hajar dll, mereka tetap bermadzhab juga, padahal dunia tahu bahwa para imam besar itu mempunyai segudang ilmu agama, sangat jauh dengan kita yang kenal satu hadits saja langsung berfatwa ini itu.

      Saya sendiri tetap bermadzhab plus dengan keilmuan saya yang sedikit ini mencoba mencari dalil2 yang menjadi landasan madzhab saya sehingga hati saya menjadi lebih kuat berpegang kepadanya.

      Mengenai qunut,

      Banyak sudah tulisan2 saya di atas membuka kelemahan2 tulisan Anda di atas. kalau saya misalkan tidak berqunut bukan artinya saya menyelisihi Imam Syafi`i sebab hukum qunut itu sunah menurut madzhabnya artinya kerjakan berpahala tidakpun tidak apa2. Wong Imam Syafi`i juga pernah tidak membaca qunut subuh ko waktu sholat dekat makam gurunya sebagai penghormatan terhadap pendapat beliau yang tidak berqunut subuh, Anda itu aneh……

      Mengenai tawasul dan istighosah,

      Anda mengatakan ulama mana yang membolehkan melakukan itu, hal ini disebabkan Anda itu tidak tahu dalilnya tapi langsung memvonisnya.

      Carilah referensinya jangan hanya referensinya dari golongan Anda saja, sehingga Anda bisa menimbangnya. Terus terang saya mempunyai referensi beberapa kitab dari aliran Wahabi, sedangkan untuk kitab2 ahli sunah wal jamaah ya…lumayanlah.

      Silakan Anda Tanya Bab Tawasul dan Istighosah sama Admin, kalau tidak salah ada di artikel membahas masalah itu di sini. Terimakasih.

  101. buat mas imam ana sudah baca kok apa yang menjadi referensinya bab ma’tam dan istighotsyah yng di tulis oleh mundir musawa dan ana juga baca bantahanya oleh ihwan salafi,bahwah mundir musawa megatakan orang mati sama orang yg hidup itu sama saja,ketika dia seorang yg sholeh,ma’tam ditarik jadi sodaqoh ya ok lah mungkin perbedaan paham salafi dan asy’ary gak mungkin bisa bertemu/atau menyatu maka harus kita akhiri sampai disini aja wesalam

    –> jaga akhlak.. saya kira pertama kali anda salah ketik dalam menulis nama habib munzir al musawa. Tapi sampai 2x menuliskan sama.. itu bukan salah ketik. itu penghinaan dan itu sengaja.

    Dan imam abu hasan al asy’ari itu adalah salafy itu sendiri. Beliau hidup di era salafiyah (300-an H). Jelas beda dengan pengaku2 salafy yg bukan salafy, yang hidup di era kini.

    • Saudara Suirno Hady,

      Saat seseorang berhujjah/ menunjukkan dalil aqli maupun naqli mengenai sesuatu perbuatan yang dilakukannya, kemudian Anda sudah kehabisan amunisi maka larilah Anda sehingga pembahasan ini tidak ada manfaatnya buat Anda, ini adalah sifat yang sering dilakukan oleh golongan Anda, berupa Anda merasa paling benar dan yang lain salah.

      Seharusnya sebagai seorang muslim sejati memikirkan apa yang sudah menjadi pembasahan di atas, direnungkan dan direnungkan…..

      Mengenai sodakoh setelah kematian,

      Silakan Anda baca Hadits sbb :

      Dalam kitab Shoheh muslim dalam bab sampainya pahala sodaqoh kepada mayit :

      عن أبي هريرة رضي الله عنه (( أن رجلاً قال للنبي صلى الله عليه وسلم : إن أبي مات وترك مالا ولم يوصِ فهل يُكفَّر عنه أن أتصدّق عنه ؟ قال : نعم ))

      Artinya : ” Dari Abu Huraeroh ra bahwa seorang laki2 bertanya kepada Rosulalloh SAW : Sesungguhnya bapakku telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta tetapi beliau tidak berwasiat mengenai hartanya itu maka apakah dapat menutupi dosa2nya jika saya sedekahkan dengan atas namanya ? Rosululloh menjawab : ya.

      Apa yang bisa kita petik dari hadits di atas ?

      Jawabnya : kita boleh bersedekah pada saat sesudah kematian berdasarkan hadits di atas.

      Kemudian mengenai cara bersedekah setelah kematian di sana tidak ada ketentuan khususnya, artinya caranya diserahkan kepada umat.
      Boleh dengan mengumpulkan orang kemudian diberi sedekah (misalkan acara tahlilan ) atau cara yang lainnya.

      Kalau Anda mengatakan seperti pada komentar Anda no. 120 yaitu :

      ” apakah memperingati hari kematian itu masalah umum,tentu bukan karnah disini terikat dengan kejadian yaitu kematian lalu terikat dengan hari 1237,40,100,1000,lalu dalil mana yang memayungi ritual ini kalo sodaqah dimasukan kedalil kusus seperti pada hari kemtian ini sangat tidak ilmia dan sangat memaksakan sebab ketika orang bersodaqoh itu dalm keadaan lapang atau sempit,bukan ketika ada keluarganya yng mati ”

      Komentar Anda di atas menunjukkan ketidaktahuan Anda mengenai hadits di atas.

      Justru dalam hadits itu menunjukan anjuran tentang kebolehan bersedekahnya ahli mayit yang pahalanya di hadiahkan untuk mayit itu.

      Mengenai tahlilan,

      Saya melihat paling tidak ada dua hal yang bisa ditelaah :

      1. Bagi keluarga yang mampu atau ada harta peninggalan dari mayit, kemudian berniat untuk mengumpulkan orang dengan niat memberikan sedekah kepada mereka yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit itu adalah perbuatan terpuji seperti penjelasan saya dalam hadits di atas.

      2. Bagi keluarga yang tidak mampu dan juga keluarga yang mampu, kemudian berniat mengumpulkan orang untuk membaca kalimat toyyibah ( Al-qur`an atau dzikir ) yang pahalanya dihadiahkan ( diatasnamakan ) kepada mayit itu adalah perbuatan terpuji karena kalimat toyyibah adalah sedekah berdasarkan hadits dalam kitab Soheh Bukhori berbunyi :

      الكلمة الطيبة صدقة ( kalimat toyyibah adalah sedekah ).

      Jadi minimal bagi keluarga tidak mampu bersedekah dengan kalimat toyyibah yang diatasnamakan mayit itu.

      Itulah antara lain dalil acara tahlilan dari banyak dalil yang bisa menjadi dasarnya.

      Tegasnya bersodaqoh setelah kematian itu boleh dan yang membolehkan adalah Rosulloh sendiri. Terimakasih.

      • buat mas imam akhlak yang mana yang harus kita jaga,karna panggilan munzir musawa antum anggap aku ngak punya akhlak kamu sunggu ngak paham apa itu akhlak bukan nabi memanggil mertuanya ya abu bakar,salahkah kalo aku memanggil orang yang ngak aku kenal dengan panggilan namanya,aku berada didaerah arob hampir 20 tahun disudan dimisry disaudi arabia aku ngak pernah menjumpai panggilan habib bagi orang yng dianggap a’lim sekalipun dia dari keluarga nabi kecuali orang suffi yang qulluh, habib panggilan umum atau memanjakan saja bukan sampai keluar dari keburukan akhlak dan kami orang lebih tau tentang apa itu akhlak,kau lihat bagaimana munzir memanggil dengan menyebut kekurang pisik seorang ulama’dengan meyebut yg buta mata itu, siapakah yang ngak berakhlak aku apa habibmu munzir musawa, itukah akhlaknya orang yang kau jadikan patokan dalam beragama,beribadah dengan musik dan lagu itukah aklaknya terhadap nabi yang muliya

        –> nahh .. kali ini anda menyebut/menulis nama dgn benar.. Tapi anda jawaban anda ini tidak nyambung dengan mas imam.

      • Untuk Mas Suirno Hady,

        Sekarang saya menjadi tahu, saya kira Anda itu berbeda dengan orang2 yang sering bermujadalah/ munaqosah dengan saya, saya kira Anda bisa menahan emosi.

        Saya saja dituduh Anda dan dicap oleh Anda sebagai seorang pelaku bid`ah saja tidak marah ke Anda ko, yang penting tuduhan Anda itu tidak benar ( itu tuduhan yang berat lho bukan tuduhan sembarangan ), Anda disuruh oleh Admin untuk menjaga akhlak, Tetapi Anda marah2……sampai2 jawaban Anda salah alamat….

        Komentar /Tulisan Anda yang menunjukkan kebanggaan Anda sbb :

        ” nabi memanggil mertuanya ya abu bakar,salahkah kalo aku memanggil orang yang ngak aku kenal dengan panggilan namanya,aku berada didaerah arob hampir 20 tahun disudan dimisry disaudi arabia aku ngak pernah menjumpai panggilan habib bagi orang yng dianggap a’lim ”

        Tanggapan saya,

        Istilah Abu adalah kuniyah / julukan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang.

        Adat/ kebiasaan orang arab kalau memanggil seseorang yang diketahui nama anaknya maka ia akan memangil dengan Abu mutlaq misalnya ( kalau anaknya bernama Mutlaq ) atau Abu Abdulloh misalnya, atau Abu Sulthon misalnya, sedangkan untuk memanggil ibunya dengan sebutan Ummu Mutlaq, Ummu Abdulloh, Ummu Sulthon dst…

        Pangilan Abu dan Ummu yang diikuti nama anaknya itu adalah panggilan penghormatan, sedangkan bagi orang yang tidak mempunyai anak biasanya dipanggil dengan Abu Muhammad.

        Sejauh yang saya tahu jarang sekali orang memanggil orang lain dengan sebutan namanya ( kecuali untuk anak muda ) karena itu tidak sopan.

        Saya jadi ingat ada kaidah berbunyi Al-`Aadatu Muhakkamah ( Adat itu bisa menjadi hukum ),dalam makna luas bisa saya gunakan dalam masalah ini.

        Adat/ kebiasaan suatu negri bisa menjadi hukum/ norma dalam masyarakat itu.

        Contoh di Indonesia :

        Kalau ada seorang yang pandai agama maka akan dipanggil kyai, ustad sedangkan di daerah arab dipanggil dengan syeh untuk kyai dan ustadz panggilan untuk mu`allim ( guru ).

        Di Arab orang hafal Al-qur`an saja sudah dipanggil syeh tapi kalau di Indonesia tidak demikian.

        Nah, demikian juga dengan panggilan habib untuk daerah selain Saudi Arabia seperti di Yaman, Suria, Masr kata itu memang digunakan untuk keturunan Nabi SAW, termasuk di Indonesia.

        Itu adalah kebiasaan atau Adat sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih berilmu atau sebab yang lainnya.

        Anda mengatakan : ” kami orang lebih tau tentang apa itu akhlak ”
        Menurut Anda ucapan itu kategori akhlak yang bagaimana mas?

        Terakhir, andaikan ada orang yang berahlak buruk kepada kita, entah itu ucapan, ataupun perbuatan apakah kita harus meniru seperti itu dan juga membalasnya sama dengan itu ?

        Terus terang saya menanggapi tulisan Anda dan juga Salafy-Wahaby lainnya dengan santai-santai saja tidak kebaran jenggot, saya tidak suka mencap orang yang tak sepaham dengan saya dengan kata bid`ah, musyrik, kafir ( maaf ini bukan kepada Anda ) dll yang dapat mengkibatkan keislaman kita luntur . Terimakasih.

  102. affan ana bukan mundur karna kehabisan amunisi sebab mustahil orang pelaku bid’ah itu bertaubat hanya di karnakan jidal,karna dia berdalil dengan akalnya bahwa perkara yngbaik itu dapat pahala,amin atas da’anya dan semoga anda tetap kokoh dengan sunnah antum,

    –> julukan yg anda berikan kepada yg tak sepaham sungguh amat buruk (pelaku bid’ah). Kami berlindung kepada Allah dari yang demikian. Jika hal itu tak benar.. ingatlah julukan itu akan berbalik kepada anda sendiri. Hanya Allah yang Maha Mengetahui.

    kami berdalil dengan al Qur’an, hadits, ijma’, qiyas sebagaimana madzab kami, Syafi’i. Artikel di atas dan diskusi yang panjang telah memperlihatkan secara gamblang.

    Biar pembaca/penonton yg menilai.. siapa yg berdalil dengan apa.

  103. jangan salah imam safi’i bukan pengikt paham asy’ary jangan sampai salah membawah nama ulama’ besar sekaliber imam sapi’i asy’ary banyak mengingkari ayat2 alqur’an sblm dia bertaubat

    –>imam safi’i memang bukan pengikut asy’ary. Justru imam al asy’ari adalah pengikut madzab imam syafi’i. ehh.. sapi’i itu siapa mas?

    Saya kira komentar anda mulai melebar ke mana2.. tidak fokus lagi.

  104. buat yang punya blog ok terserah antum yang menilai, yang jelas ana dah baca semua blognya RM,mulai dari karomah bah anom sampai karomah munzir musawa dll yang jelas ini blognya orang toreqot dan tasawub mungkin ana salah masuk,karna saya dah baca semuanyaaa isinya kesaktian para wali ,,,,,,,,dan qullu dengan mereka,anda berari belum kenal akhidahnya imam safi’i kalo asy’ary dibilang pengikut imam safi’i asy’ary sebelum dia bertaubat sama dengan zahmiyah kemana saja antum ngentib dibaik layar ya,,,,,,mana yang ngak pokus ketika orang pamit dengan baik bicaranya kemana2 yg Dak berakhak yang habis amunisi dll seharusnya ketikangak ada kesepahaman dalm berdebat ya kita keluar dengan baik,karna dilanjukanpun ngak ada gunanya saya sebagai tamu tadinya ana pamit baik2 tapi jawabanya kemana2 ok semoga andaselalu dapat barakanya habaib,dan soga Allahselalu memberkahtiku dan semaga para habaib membimbingmu dan semoga ALLAH senantiasa membimbingku AMIN,,,,

  105. buat yng punya blog tidak menyambung yng mana dalm bahasa arabketika di tulis dengan hurup latin tidak ada kaedah baku semua trgantung apa yng dimaksud mau mundir atau munzir, semua gak sama dengan mahroj arab kalo itu yang dima’sud berarti antum yg kurang paham dngan kaedah

  106. mas imam rosululloh memangil abu lahab abu jahal itu bukan karna penghormatan memang seperti itu panggilan keseharianya,lalu kalo kebiasaan jadi suatu hukum bagaimana seorang yg biasa mandi dan berak dipingir kali dengan membuka auratnya maka kalo itu juga ngak bole disalahi bukan?karna sudah menjadi hukum, siapapun akan marah ketika seorang menegur langsung menyangkut akhlak,karna akhlak itu tidak ada sangkut pautnya dengan adat,hampir semua orang arab ketika dia memangil kakaknya atau yg lebih tua tidak harus dengan sebutan akhuna au ukhti fulan kecuali yng memang punya hak mutlak seperti ayah dll kalo antum ingin tau bahasa yang paling buruk setiap hari yg iya gunakan antum pergi ke yaman,hal yng lumrah dia bicara ibnu kalb ibnu zina tapi tak seorangpun mereka mengatakan tak berakhlak,sekalipun diaberperangai buruk,kalo antum ingin tau apa itu akhlak lihatla nabi yng dalam hadist disebutkan akhlak beliau adalah alqur’an bukn adat sebuah negara/kampung,maka dari awal ana katakan kita boleh menyelisihi siapapun di dunia ini itu termasuk adat dll kecuali ALLAH dan RASULNYA. SEMOGA ANTUM PAHAM NGAK MUTER 2 KEMANA2LAGI diarab sendiri tidak semua orang yang hafal qur’an dipanggil syech /orang yang kaya juga tidak demikian,itu memang panggilan penghormatan tapi ketika tidak memanggil syech bukan tidak berakhlak,tidak sama sekali bahkan dia lebih suka di perlakukan demikian,

    • Tahukah Anda Abu lahab dan Abu Jahal adalah orang terhormat dan terkemuka di kaumnya hingga diutusnya Rusulloh SAW kemudian keduanya tak beriman kepada Rosulloh SAW sehingga berderajat rendah di mata Islam.

      Sudah saya katakan kata Abu dan Ummu adalah kuniyah atau julukan kepada seseorang sebagai bentuk penghormatan tapi bukan berarti orang itu adalah orang terhormat secara mutlak. Bedakan julukan sebagai penghormatan dan Kehormatan orang itu sendiri.

      Kebiasaan yang sudah menjadi norma hukum yang tak tertulis ( disini saya perjelas biar Anda tidak muter2 ) di suatu masyarakat, apabila kita tidak melaksanakannya maka akan terasa janggal alias tidak sopan dan ini dapat dirasakan oleh yang mempunyai nilai rasa berbahasa ( saya tidak tahu apa Anda termasuk golongan ini atau bukan ) – ( ingat yang saya katakan ini berkaitan dengan kuniyah bukan yang lainnya atau melebar masalah lainnya ).

      Kalau kita memanggil seseorang dengan yang lebih tua dengan namanya maka akan terasa berbeda dengan kalau memanggilnya dengan kata Bapak / Abu atau Ibu/ Ummu, Bapak Bambang atau Ibu Faizah atau Bapaknya Bambang atau Ibunya Faizah.

      Begitu pula memanggil yang lebih muda dengan panggilan mas atau de adalah sebagai bentuk penghormatan baik itu penghormatan untuk diri sendiri atau untuk orang lain.

      Nah di Arab ( bukan cuma di SAudi ) memanggil saudara kandung/ tiri misalnya tidak dengan kata akhi atau ukhti ( Ini tidak secara mutlak ) tapi dengan namanya langsung, itu membuktikan kaidah saya itu Al-Aadatu Muhakkamah ( adat bisa menjadi hukum/ norma ).

      Norma hukum tak tertulis, di Arab memanggil saudara sendiri dengan namanya adalah tidak apa2 dan itu adalah hal biasa, maka berlakulah keadaan yang biasa itu (adat) yang tidak berkaitan dengan rasa kesopanan. Lalu bagaimana untuk Indonesia khususnya daerah jawa ? maka kaidah yang saya sebut menjadi berlaku. ( Semoga Anda paham masalah ini ).

      Penggunaan kata2 kasar sepeti Ibnu kalb ( anak anjing ), ibnu zina ( anak zina ), Ibnu hinzir ( anak babi ) adalah kata2 yang digunakan oleh orang yang sedang marah/ makian, sangat jelas berkaitan dengan ahlak orang itu.

      Akhlak adalah sifat sedangkan almaushuf bih ( yang disifati dengan sifat itu adalah orang ) baik itu perkataannya ataupun perbuatannya.

      Kalau orang mengucapkan dengan kata2 kotor maka menunjukkan sifat orang itu, yang akan menunjukkan kepada akhlak orang itu juga, baik itu perbuatan atau perkataannya.

      Kalau bicara adat yang bisa menjadi hukum, silakan Anda baca kitab Al-qoidah Alfiqhiyyah Al-Asybah wan Nadzooir karangan As-Suyuti, biar lebih jelas. ( Jadi tidak debat yang ngawur ,atau akal-akalan).

      Mengenai penggilan Syeh, ini tulisan saya tak ambil dari komentar sebelumnya :

      ” Di Arab orang hafal Al-qur`an saja sudah dipanggil syeh tapi kalau di Indonesia tidak demikian.”

      Saya katakan di Arab bukan hanya di Saudi saja dan saya katakan kalimat saya itu bukan menunjukkan semuanya dipanggil syeh, pahami kata2 saya itu.

      Yang memanggil syeh adalah jamaahnya bukan dari orang alim itu sendiri yang minta dipanggil syeh demikian juga dengan para habaaib tidak minta dipanggil habib kecuali yang gila kehormatan.

      Komentar Anda :

      ” maka dari awal ana katakan kita boleh menyelisihi siapapun di dunia ini itu termasuk adat dll kecuali ALLAH dan RASULNYA. SEMOGA ANTUM PAHAM NGAK MUTER 2 KEMANA2LAGI ”

      Jawab saya :

      Lalu bagaimana firman Alloh yang artinya :

      ” Hai orang2 yang beriman, taatilah Alloh dan Rosulnya dan ulil amri di antara kamu “.

      Disana menggunakan fiil amar/ kata perintah untuk mentaati Alloh, Rosul dan Ulil amri tapi malah Anda seolah menganjurkan atau membolehkan menyelisihi selain keduanya, Anda itu berdalil pakai Al-quran ataukah hawa nafsu Anda ?

      Sebenarnya komentar2 Anda yang terakhir2 ini tidak bersesuaian dengan topik tentang tahlil dan setiap saya jawab masalah A, Anda membahas masalah lainnya yang tidak sesuai ( Silakan cek lagi komentar Anda ).

      Sehingga kadangkala tidak ingin saya tanggapi, cuma saya hanya memberi masukan ke Anda antara bahwa Anda masih perlu mencari referensi2 lainnya, saya juga demikian. Terimakasih.

      • taat pada ulil amri tidak mutlak kalo taat pada pada ALLAH DAN RASULNYA taat yg mutlak karna tidak ada ketaatan pada makhluk kalo ma’siat kepada yng kholik, maka boleh menyelisihinya, ULIL AMR bukan manusia yng maksum hanya ketika tidak menyelisihi ALLAHdan RASULNYA maka berlaku ketaatan padanya,bukan semua yg menggunakan fi’il amr itu mutlak wajib diikuti kadang harus membutuhkan rincian contohnya ketaatan pada pemimpin

  107. sebenernya dari awal ana ngak maukomentar cuma dari golong antum kalo komen itu berlebihan salafy yg hanya pakai terjemahanlah dll kalo bicara soal bidah itu ada dalil yg jelas yng ternyata yang anti terjemahan itu bingung mencari maulid habsyi tec arab dan terjemahanya,bahkan tecnya aja di tulis latin,jadi cuma sombong mulutnya doang

    • Untuk Saudara Suirno Hady,

      Benarkah kami yang memulai coment berlebihan terhadap golongan Anda ? ataukah golongan Anda yang memulainya ? Tolong Anda baca komentar2 dari permulaan sampai ke komentar yang terakhir ini.

      Pada saat seseorang menyebut kelompok Anda menggunakan buku terjemahan, Anda merasa tersinggung tapi pada saat kelompok Anda ( Salafy jaman sekarang ) menuduh kami melakukan bid`ah bahkan ahli bid`ah, musyrik bertawasul, menyembah kubur dll berupa tuduhan yang tidak layak untuk sesama muslim, maka kami seolah tidak boleh tersinggung….inikan Aneh???
      Padahal komentar rekan2 kami ke Anda atau kelompok Anda hanya sebatas itu.

      Kalau Anda membaca komentar2 saya dari awal di bawah artikel di atas sampai akhir maka Anda akan dapat melihat bahwa memang banyak dari kelompok Anda menggunakan buku2 terjemahan yang sudah dirubah, bahkan dipalsukan maknanya dari redaksi arab aslinya ( saya sudah membuka pemalsuan ini ), silakan lihat komentar saya dari awal artikel yang bernama/ bertuliskan Imam.

      Oh ya saran ke Anda , tplong kalau menulis komentar diberi spasi supaya pembaca dan saya dapat memahami dengan mudah apa maksud tulisan Anda. Terimakasih.

      • menyembah kuburan itu bukan fitnah itu waqig,menyeruh pada orag mati itu dah ciri khas golongan ahli bid;ah tawasul tabaruk pada mayitnya orang sholeh itu sudah menjadi akhidah golongn antum,iya kami tidak tersinggung dengan sebutan kami menggunakan terjemahan,tapi yg saya herankan digolongan antum terjemahan itu jga berlaku coba lihat kamu di pembahasan maulid habsi mereka semua bingung mencari terjemahanya bahkan tec arabnya saja di tulis latin,konyol bukan? kalo soal terjemahan itu ngak ada ygbisa memalsukan karna bahasa arab punya qowaid baku kalo ada kesalahan itu mungkin saja,

      • Saudara Suirno Hady ,

        ” menyembah kuburan itu bukan fitnah itu waqig,menyeruh pada orag mati itu dah ciri khas golongan ahli bid;ah tawasul tabaruk pada mayitnya orang sholeh itu sudah menjadi akhidah golongn antu ”

        Sanggahan saya :

        Menyembah kubur bukan fitnah ? apa definisi menyembah kubur mas ? Oh…ya dalam percakapan bahasa Arab ( sejauh yang saya tahu ) tidak ada kata ” waqig” ( واقق ) mas ? yang ada itu waagi` ( biasanya logat masri ) atau waaqe` ( واقع ) artinya yang terjadi /ada. atau Anda akan menjawab karena ga ada kaidah baku ….. he..he..he…

        Baik ke pokok permasalahan,

        Tolong dijawab ya :

        1. Mana dalil larangan ke kuburan ? dan mana dalil tuduhan Anda kami menyembah kubur ?

        2 Mana dalil larangan bertawasul dan bertabarruk ?

        Tolong jawab pertanyaan saya jangan muter2 dan membahas yang bukan urgent.

        Komentar Anda :

        “kalo soal terjemahan itu ngak ada ygbisa memalsukan karna bahasa arab punya qowaid baku kalo ada kesalahan itu mungkin saja,”

        Tanggapan saya :

        Terjemahan ga ada yang bisa memalsu ?

        Ini adalah omongan yang lucu atau omongan orang yang mimpi alias mengigau ?

        Sudah saya katakan, saya sudah membedah beberapa pemalsuan terjemahan dari redaksi Arab tentang fatwa2 ulama yang ada dalam kitab mereka yang dilakukan oleh kelompok Anda wahabiyyin.

        Saya sudah meminta Anda membaca komentar2 saya terdahulu dipaling atas setelah artikel, yang ada nama ” Imam”., silakan Anda cari, masa saya yang harus posting ulang lagi??? cape dehhhhhhh…….

  108. Assalamualaikum ” sesama muslim adalah saudara ” apa yang kita yakini,kita jalankan semaksimal mungkin dengan istiqomah……..kebenaran harus tetap disuarakan,….soal mau atau tidak kembalikan kepada yg bersangkutan. Rosulullah dalam sejarah dakwahnya bukan cuma dicaci maki diludahi bahkan akan dibunuh…….Bagi yang memahami ” A ” sampaikan kebenaran yang & yg memahami ” B ” sampaikan kebenaran…kan Rosul saja diperintahkan hanya menyampaikan kebenaran……dalam alqur’anpun disebutkan mau beriman silahkan mau kufur ya silahkan.

    • buat mas agus,bid’ah adalah bentuk pelecehan terhadap nabi,maka harus dibasmi,semampu kitadan sekuat tenaga dan keilmuan para ulama’ahlusunnah,sekalipun membasmi bid’ah lebih sulid dari pelaku masiat, karna kalo pelaku ma’siat lebih tau kalo yng dilakukan itu keburukan,bedah halnya dengan pelaku bid’ah yg mereka menganggap itu kebaikan sekalipun beribada dengan lagu dan musik,kekufuran dianggap tawasul/atau beritiqatsyah,kesaktian dianggap karomah,

      • Bid`ah itu ada dua :

        1. bid`ah hasanah
        2. Bid`ah sayyi`ah

        Pembagian itu adalah menurut jumhur ulama ahlu sunah wal jama`ah salaf asli maupun kholaf , jaman sekarang muncul golongan wahaby yang lahir dari Najd/ riyad ( lihat hadits mengenai tidak didoakannya Najd oleh Nabi karena di sana akan keluar tanduk syetan ), yang mengingkari pembagian bid`ah di atas.

        Kalau Anda mengatakan semua bid`ah adalah sesat dengan dalil kullu bid`atin dolalah ( semua bid`ah adalah sesat ) adalah lemah.

        Ok, kita perhatikan redaksi arabnya dan saya akan tafsirkan menurut hadits dan Al-qur`annya bukan menurut ulama itupun kalau anda berpegang pada keduanya. Perhatikanlah !

        كل بدعة ضلالة ( Semua bid`ah sesat – menurut makna dzohirnya )

        Bandingkan makna ” Kullu ” / كل di hadits di atas dengan hadits berikut :

        كل عين زانية ( Semua mata berzina – menurut makna dzohirnya )

        Bandingkan pula dengan makna dalam Al-Quran :

        تدمر كل شىء ( Yang menghancurkan segala sesuatu )

        Tafsir yang paling afdol adalah ayat Al-quran dengan ayat Al-Quran atau Al-Quran dengan hadits ataupun bisa sebaliknya.

        Di atas sudah saya sandingkan hadits kullu bid`atin dolalah dengan hadits sesudahnya yang semuanya terdapat kata/ lafadz kullu ( yang makna dzohirnya bermakna ” Semua ” ).

        كل عين زانية ( Semua mata berzina – menurut makna dzohirnya )

        Apakah makna semua mata berzina artinya tidak ada pengecualian/ pengkhususannya ?

        Jawabnya bukan begitu, karena

        فالأنبياء والملائكة مثلا لا يقعون في هذه المعصية أي زنا العين. فكلمة “كل” هنا في الحديثين تأتي بمعنى أكثر أو غالبا وليس كل على الاطلاق

        Karena Para Nabi dan malaikat misalnya tidak melakukan perbuatan maksiat ini yakni zina mata. oleh karena itu, makna ” kullu” dalam dua hadits di atas bermakna kebanyakan atau “biasanya” bukanlah bermakna ” semuanya ” secara mutlak.

        Jadi makna kebanyakan bid`ah adalah sesat berarti ada bid`ah yang tidak sesat yaitu bid`ah hasanah – yang makna gampangnya bid`ah yang masih bernafaskan ajaran Islam.

        Kedua,

        تدمر كل شىء ( Yang menghancurkan segala sesuatu ) ( Al-Ahqof : 25 )

        Apakah makna segala/semuanya bermakna mutlak seperti itu ?

        Jawab saya tidak, karena gunung2, bumi dan langit tidak hancur yang hancur hanyalah daerah mereka atau tempat tinggal mereka yang kena adzab, walaupun menggunakan kata kullu.

        Jadi bisa dibuktikan bahwa kata kullu secara dzohir bermakna semuanya tapi pada kenyataannya bisa bermakna kebanyakan atau “biasanya”.
        Ini adalah tafsir menurut Al-Quran dan Al-Hadits sebagai dalil yang utama sebelum ijma dan qiyas.

        Makanya para ulama ahlu sunah wal jamaah menafsirkan makna kullu dengan kalimat : lafdzuhu `aam wamaknahu makhshush ( lafadznya umum tetapi bermakna khusus ) yang dimaksud dalam hadits kullu bid`atin dolalah adalah Gholibul bad`i ( kebanyakan/ kebiasaan bid`ah sesat ) berdasarkan kedua penjelasan di atas.

        Tegasnya yang dimaksud Nabi SAW dalam hadits itu adalah :

        إن مراد النبي صلى الله عليه وسلم ما أحدث على خلاف الكتاب أو السنة أو الإجماع أو الأثر.

        ( Silakan Anda terjemahkan sendiri )

        Bid`ah yang sesat itu yang harus KITA BASMI, bid`ah yang baik YANG KITA JAGA DAN PELIHARA.

      • ya dari para ulama’ banyak yang menafsirkan semacam ini sayangnya sama golangan pengikut bida’ah dinafikan atau dia ngak paham tafsir kullu bid’ah dolalah,yaitu yang bersangkutan dengan ibadah itu yng di maksud dolal,sedangankan hal yang baru urusan dunia tidak termasuk dolal, wlaupun pada dasarnya dia perkara baru, seperti pesawat terbang mobil dll. seperti perkataan nabi ketika menegur petani kurma ketika hasilnya jelek ,setelah nabi melarang mengawinkanya, MAKA NABI BERKATA ANTUM A’LAMU BIUMURI DUNIAKUM, kalo bid’ah dibagi menjadi 2/5 ini ngak ada dalil kecuali pendapat ulama’pendapat boleh kita ambil kalo tidak menyelisihi dalil, saya kira semau orang paham.kecuali yg memang yg nga mau paham, IMAM SAFI’I berkata BID’AH hasanah yng SESUAI DNGAN SUNNAH bid’ah SAYYI’AH yang tidak sesuai dengan sunnah,maka semua orang akan memahami yng tidak sunnah pasti sesat,mau muter kemana lagi kalo perkaranya sudah jelas sedangkan YANG DISEBUT SUNNAH PERBUATAN/ANJURAN,dan PERKATAAN NABI, NABI menganjurkan tahlil,ya kita contoh bgaimana kalimat tahlil yg di contohkan, nabi tidak pernahTAHLILAN YA kita tinggalkan, NABI BERTA’ZIYAH, DALAM KEMATIAN,ya kita BERTAZIYAH SEPERTI NABI brta’ziah,nabi tidak memperingati HARI KEMATIAN YA KITATINGALKAN BERES, NABINYA SATU KOK sunnahya bayak, ya kita ikuti sunnahNABI MUHAMMAD SWA AJA, SEKARANG PAHAM BUKAN?

        –> maaf.. apakah ini berarti anda memvonis imam syafi’i sebagai ahli bid’ah. Sudah jelas imam syafi’i yang pertama kali mengemukakan hal tersebut.

        Banyak hal yg bikin tanda tanya,

        …. PERKATAAN NABI, NABI menganjurkan tahlil,ya kita contoh bgaimana kalimat tahlil yg di contohkan, nabi tidak pernahTAHLILAN YA kita tinggalkan, NABI BERTA’ZIYAH, DALAM KEMATIAN,ya kita BERTAZIYAH SEPERTI NABI brta’ziah…..


        satu saja. mas wawan sering tanya ini,.. bgaimana cara ber-tahlil yg di contohkan nabi? kapan? di mana?

        …. yaitu yang bersangkutan dengan ibadah itu yng di maksud dolal,sedangankan hal yang baru urusan dunia tidak termasuk dolal, wlaupun pada dasarnya dia perkara baru, seperti pesawat terbang mobil dll. …


        kalau naik haji pakai pesawat itu juga ibadah kan mas.. Menurut logika anda, ini tidak dicontohkan nabi. Sesat.

      • Untuk Saudara Sukirno Hady atau Suirno Hady ( saya tidak tahu mana yang benar ),

        Pertama,

        Pada tulisan Anda di atas ada sudah mengakui penafsiran makna kullu seperti penjelasan tafsir saya di atas, ini kalimat Anda :

        ” ya dari para ulama’ banyak yang menafsirkan semacam ini ”

        tapi Anda masih mengatakan kata ” sayangnya ” dan seterusnya…

        Ok, saya tetap meladeni Anda walaupun banyak tulisan2 Anda yang syad alias janggal yang malah menunjukkan derajat keilmuan Anda yang harus dipertanyakan.

        Baik dilanjutkan,

        Komentar Anda :

        “dia ngak paham tafsir kullu bid’ah dolalah,yaitu yang bersangkutan dengan ibadah itu yng di maksud dolal,sedangankan hal yang baru urusan dunia tidak termasuk dolal.”

        Sanggahan saya :

        Saya rujuk ke ulama Anda dari makna Kullu bid`atin dolalah, silakan Anda buka (kalau Anda punya kitabnya ) kitab Albad`u wal Mukhdatsaat hal 33 :

        كل بدعة – كلية عامة شاملة مسورة

        Makna kullu (semua ) dalam kata kullu bid`atin (semua bid`ah ) adalah keseluruhan yang umum yang menyeluruh.

        Jadi makna kullu ( semuanya ) tanpa kecuali dalam hadits itu bermakna sesat tanpa kecuali baik itu soal dunia atau soal agama, jelasnya tidak ada pembagian bid`ah.

        Tapi kenapa Anda sekarang membagi bid`ah ibadah dan bid`ah dunia, jadi yang konsekwenlah kalau membuat kaidah hukum.

        Oooo…ya ataukah Anda berbeda dengan tokoh ulama Anda ?

        Mengenai hadits Nabi :

        ” MAKA NABI BERKATA ANTUM A’LAMU BIUMURI DUNIAKUM ”

        Artinya : ” Kamu lebih tahu akan urusan duniamu ” apakah ini menunjukkan Anda lebih tahu tentang dunia dari pada Rosul ? ataukah Rosul tidak tahu/ alias buta tentang dunia ? ( Tolong ini jawab )

        SAYA KATAKAN BID`AH ITU BUKANLAH HUKUM, BID`AH ADALAH SESUATU YANG ADA DIDUNIA INI ( GAMPANGNYA BID`AH ADALAH SESUATU ATAUPUN PERBUATAN ). YANG NAMANYA PERBUATAN MANUSIA ITU HARUS DITIMBANG DAN DITAKAR MENURUT HUKUM TAKLIFI YANG LIMA ( WAJIB, HARAM,MAKRUH,MUBAH, SUNAH ).

        Jadi kalau ada ulama yang membagi bid`ah menurut hukum yang lima artinya sudah benar.

        Komentar Anda :

        “IMAM SAFI’I berkata BID’AH hasanah yng SESUAI DNGAN SUNNAH bid’ah SAYYI’AH yang tidak sesuai dengan sunnah,maka semua orang akan memahami yng tidak sunnah pasti sesat,mau muter kemana lagi kalo perkaranya sudah jelas sedangkan YANG DISEBUT SUNNAH PERBUATAN/ANJURAN,dan PERKATAAN NABI”

        Tanggapan saya :

        Fatwa Imam Syafi`i yang seperti Anda sebutkan di atas itu tersebut dikitab mana Mas ? Kalau saya katakan Anda memalsu perkataan Imam Syafi`i, maka Anda akan sebut saya tukang fitnah, sedangkan kalau saya sebut Anda ngawur dan pemahan kacau maka mungkin Anda sebut saya sebagai penghinaan, yang paling enak menyebut Anda apa ya kira2 ?

        Ok, saya sebut Anda orang yang debat kusir / debat tukang becak / debat orang yang kurang berilmu ( maaf bukan saya menghina Anda krn tidak ada kata yang tepat untuk Anda ).

        Ini Fatwa Imam Syafi`i yang diriwayatkan oleh Imam Baehaki dengan sanad shoheh :

        قَالَ الإمامُ الشَّافِعيُّ رضيَ الله عنهُ: “المُحدَثاتُ مِنَ الأمُورِ ضَربانِ، أحَدُهُما مَا أُحدِثَ ممّا يُخَالِفُ كِتابًا أَو سُنَّةً أو إجْماعًا أَو أثَرًا، فَهذِه البِدْعَةُ الضّلالَةُ، والثّانِيةُ مَا أُحْدِثَ مِنَ الخَيرِ ولا يُخَالِفُ كِتَابًا أو سُنَّةً أو إجْماعًا، وهَذه مُحْدَثَةٌ غَيرُ مَذْمُومَةٍ

        Artinya : ( silakan Anda terjemahkan sendiri kan Anda sudah 20 th di saudi, silakan monggo…)

        Tolong ini diterjemahkan baru kita lanjutkan bermujadalahnya, jangan MUTER2 ya….

  109. munzir,samapaikanlah apa yang haq,jangandi tambahi dan di kurangi,jangan bawa umat terjerumus ke lembah yang salah,

    Alhamdulillah Agama Islam adalah agama yang sempurna, tidak ada satu perkarapun semuanya telah di jelaskan dalam alqur’an dan al Hadits yang shohih.

    Ahlussunnah tidaklah mereka berbicara melainkan dengan Dalil dari al Qur’an dan Assunnah yang dipahami para salafush shaleh.

    Ada sebagian Kaum Muslimin mengatakan Bahwa ahlussunnah salafy melarang Tahlilan. Telah dimaklumi seluruh Kaum muslimin bahwa kalimat لا إله إلا الله kalimat yang Agung, dan kita diajarkan Rasulullah untuk mengucapkannya dan mengamalkan kandungan maknanya. Untuk mengetahui benarkah ahlussunnah salafy melarang Tahlilan? Tahlilan yang bagaimana yang dilarang Syariat?

    Simak kajian berikut:

    ————————————————————————————–

    TAHLILAN

    DALAM TIMBANGAN ISLAM

    Penulis : Buletin Al Ilmu Jember

    Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

    Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

    Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

    Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

    Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

    Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):

    “Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

    Historis Upacara Tahlilan

    Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?

    Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.

    Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

    Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam

    Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

    Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.

    Kedua: Penyajian hidangan makanan.

    Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.

    Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

    1.Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.

    Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?

    Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

    “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

    Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

    “Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)

    Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

    Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

    Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

    Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):

    “Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

    Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

    Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

    Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak.

    Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

    “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)

    Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

    “Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)

    Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

    فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

    “Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

    Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

    مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

    “Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

    Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit.

    Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

    “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

    2. Penyajian hidangan makanan.

    Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum.

    Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

    Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

    Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

    Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

    Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

    اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

    “Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)

    Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

    • Putera syah alam,

      Tulisan Anda itu sudah dibahas dari artikel di atas sampai dengan komentar rekan2 kami dari awal sampai akhir, silakan Anda simak : Jangan diulang kemudian dibahas kemudian diulang lagi dan dibahas lagi.

      Disini tidak ada gelapnya permasalahan, disini dalam bab tahlil adalah permasalahan yang jelas dan terang benderang kecuali bagi mereka yang tidak mau menerima penjelasan dan dalil2nya. Terimakasih.

      • dalil yang diseret kemana2 dianggap terang benderang ,makruh dapat pahalah,bid’ah jadi sunnah fiqihnya mundir musawa.

  110. Telah berkata Abu Al-Jauzaa’ – dimana ia merupakan salah seorang ulama besar dari kalangan tabi’in – :

    لأن
    يجاورني قردة وخنازير أحب إليّ من أن يجاورني أحد منهم – يعني : أصحاب
    الأهواء – .

    “Sungguh,… seandainya aku bertetangga dengan monyet-monyet dan babi-babi itu lebih aku sukai dibanding aku…bertetangga dengan mereka – yaitu para pengekor hawa nafsu – “[Al-Laalikaai no. 231, dengan sanad laa ba’sa bihi].

    hambal bin ishaq berkata : saya mendengar abu abdillah (IMAM AHMAD) berkata : ” tidak pantas seseorang itu bersikap ramah kepada ahlu bid’ah dan duduk bergaul dengan mereka”.(AL ibanah 2/475 nomor 495)

    coba kalian perhatikan bagaimana kedudukan Abu jauzaa radhiyallohu anhu di bandingkan HAKIM ABDAT hadahulloh ?

    coba kalian perhatikan bagaiamana kedudukan IMAM AHMAD BIN HAMBAL rohimahulloh di bandingkan HAKIM ABDAT hadahulloh ?
    maksud di sini jika beliau IMAM AHMAD BIN HAMBAL rohimahulloh melarang kita untuk bersikap ramah kepada ahlu bid’ah apalagi semacam hakim abdat ?

    mereka sangat takut kepada golongan ahlu bid’ah,menjauhi dan memboikot dari segala penjuru.lalu kenapa orang orang muta’akhir ( orang2 belakangan ) berani berhadapan dengan ahlu bid’ah mengatasnamakan dakwah ahlu sunnah ? apakah mereka mereka ini lebih kokoh di atas sunnah di bandingkan kedua para salafush sholeh yang di kenal sebagai panutan untuk di ambil sikapnya terhadap ahlu bid’ah.

    –> anda mengomentari siapa, yang mana mas??? Kagak nyambung..

    • saya mengomentari bagi pengekor ahlu hawa’dari awal memang ngak ada yang nyambung seandainya nyambung antum taslim/islah mengakui kebatilanya tahlilan,dan peringatan orang mati

      –> kok ada HAKIM ABDAT hadahulloh segala.. siapa dia? Seingat saya.. tidak ada komentator bernama HAKIM ABDAT hadahulloh di sini. Mungkin anda juga sedang diskusi di lain forum .. terus ke enter di sini. kagak nyambung mas..

      • mas admin, Komentar diatas tu kopas kali , mau mengkopi dalilnya abu jauzaa malah yang lain (hakim abdat) lupa nggak di delete, saya heran komentarnya sepertinya mengindikasikan antara abu jauzaa ma hakim abdat ada perselisihan, padahal mereka berdua sama2 “ngaku bermanhaj salaf” ato “salafy”. aneh rasanya.

        …………………………………………………………………..
        Tak pantas mengaku salaf, kalo masih menghina habib. yang sudah jelas sanad keguruannya muttasil ke para salaf, dari pada yang hanya meng-kopas dari syaik Sir Algoogly … Wal ‘iyyadzu Billah…

  111. ini peringatan juga bagi ihwan salafi wahaby untuK menjauHi majlis mereka walaupun yg disampaikan itu hag/benar ini salah satu peringatan ketika Ustadz habdul hakim amdat di undang oleh AA GIM UNTUK MENGISI KAJIAN,di darul tauhid bandug

  112. Benar yg dikatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kpd sahabat:

    “Jika kalian diberi umur panjang, saksikanlah bhw kalian akan melihat pertentangan yg banyak. Maka peganglah erat2 sunnahku”.

    Fakta: kegiatan peringatan kematian hari ke-1, 3, 7, dst.mendapat pertentangan seperti komen2 di atas. Mengapa? Karena kegiatan tsb. tdk mengikuti kebiasaan (sunnah) Rasulullah!!! Ayo, ikuti sunnah Rasulullah. Jangan ikuti ulama yg berbeda dgn Rasulullah!!!

    –> justru isi artikel dan diskusi di komentar menunjukkan bahwa kegiatan itu tak menentang sunnah Rasul saw. Perlu juga ditambahkan informasi anda,.. kelak di akhir zaman akan muncul kaum yang jelek akhlaknya … iman mereka tak sampai kerongkongannya..dst.

    Kini kaum itu (telah) muncul, dan membuat banyak pertentangan sebagaimana dalil yg anda sebut. So.. silakan ikut yg mana.

    • BUAT KANG ABDLLOH inilah yang disebut kaum quraba’ kala antum berjenggot maka antum dikatakan teroris,kalau jelana antum cingkrang/diatas mata kaki atum dikatakan lari dari daerah banjir,kalau antm poligami dikatakan antum mesum,kalau antum sholat pakai sendal ngak tau dikatakan apalagi padahal itulah dalil yng dimaksud untuk memulai/membikin perkara yg baru dalam agama maka kita akan mendapat pahala,bukan menciptakan syareat baru seperti ahli bid’ah dizaman sekarang,,, tapi menghidupkan sunnah sunnah yng tak dikenal lagi oleh kebanyakkan kaum muslimin

      • Mas Sukirno hady,

        Anda itu jangan men-geralisir perorang yang mengatakan seperti itu, kami dan Admin/ orgawam tidak pernah mengatakan seperti yang Anda tuduhkan ko….

        Kalau Anda mau mengatakan itu ya…. sama orang yang bersangkutan dong…bukan kami.

        Saya ma afham biqaulik kama yalii:

        ” padahal itulah dalil yng dimaksud untuk memulai/membikin perkara yg baru dalam agama maka kita akan mendapat pahala ”

        Bayyin lii baena “memulai/membikin ” wa ” mendapat pahala ”

        Kedua,

        Apasih definisi menciptakan syareat baru menurut Anda ?

        Komentar Anda :

        ” menghidupkan sunnah sunnah yng tak dikenal lagi oleh kebanyakkan kaum muslimin .”

        Tanggapan saya :

        Jadi ulama Anda dan Anda saja ya…yang tahu mengenai sunah.

        kebanyakan kaum muslimin tidak kenal sunah sehingga sunah harus dihidupkan lagi, kaum muslimin yang mana mas yang tidak kenal sunah Rosul ? Silakan Anda silaturohmi ke pesantren2 maka Anda akan mendapatkan ucapan Anda itu salah, Aneh …ibnu …Aneh….

      • ebanyakan kaum muslimin tidak kenal sunah sehingga sunah harus dihidupkan lagi, kaum muslimin yang mana mas yang tidak kenal sunah Rosul ? Silakan Anda silaturohmi ke pesantren2 maka Anda akan mendapatkan ucapan Anda itu salah, Aneh …ibnu …Ane

        tidak semua sunnah2 diketauhi oleh kebayakan kaum muslimin contohnya ketika sholat ketika tahyat kami menggerak2kan jari telunjuk mereka pada complin,ini contoh kecil,lalu sholat pakai sapatu,/sendal,

        mengusap sepatu /kaus kaki dll semua pada complin

      • tidak semua sunnah2 diketauhi oleh kebayakan kaum muslimin contohnya ketika sholat ketika tahyat kami menggerak2kan jari telunjuk mereka pada complin,ini contoh kecil,lalu sholat pakai sapatu,/sendal,

        mengusap sepatu /kaus kaki dll semua pada complin

        Sanggahan saya :

        Itu semua sudah dibahas dengan lebih mendetail oleh para Imam Madzhab dan para ulama penerusnya, banyak sudah sedari dulu kitab2 yang menerangkan masalah itu, jadi bukan masalah baru atau tidak dikenal oleh kaum muslimin.

        Itu angan2 Anda saja.

  113. satu saja. mas wawan sering tanya ini,.. bgaimana cara ber-tahlil yg di contohkan nabi? kapan? di mana? TAHLIL YANG SUNNAH TERIKAT DENGAN WAKTU,YAITU BAKDA SHALAWAT KHOMS 33 tasbih 33 tahmid 33 takbir 1 tahlil bacaan tahlil ma’ruf/mutawatir tempat dimanapun anda mengerjakn shalat
    kalau naik haji pakai pesawat itu juga ibadah kan mas.. Menurut logika anda, ini tidak dicontohkan nabi. Sesat. NABI BERHAJJI NAIK ONTA,NAIK ONTA BUKAN SUNNAH KARENA SEBAGAIAN SAHABAT JALAN KAKI,SEANDAINYA SUNNAH MAKA NABI PASTI PERINTAHKAN SEMUA SAHABAT NAIK ONTA,NAIK ONTA MERUPAKAN SEBUAH SARANA INI MENUNJUKAN BAHWA SARANA ITU JAIZ,KARNA SARANA HANYA TERGANTUNG KEMAMPUAN DAN KONDISI,TIDAK ADA SANGKUT PAUT DENGAN HUKUM HAJJI ITU SENDIRI ANDA NAIK PESAWAT TIDAK ADA NILAI + ANDA NAIK KUDA NGAK ADA NILAI+ANDA JALAN KAKI JUGA DEMIKIAN,YG DINILAI IBADAH ITU HAJJINYA ADAPUN SARANA DA PRASARANA ITU MENDAPAT PAHALAH KARNA TA’AWUN DENGAN KHOIR BEGITU JUGA ORANG AKAN MENDAPAT DOSA APA BILA TA’AWUN DENGAN SYAR–> maaf.. apakah ini berarti anda memvonis imam syafi’i sebagai ahli bid’ah. Sudah jelas imam syafi’i yang pertama kali mengemukakan hal tersebut AL IMAM ADALAH SEORANG MUSTAHID YANG ADIL APA BILA SALAH MAKA MENDAPAT AJR APABILA BENAR MENDAPAT AJROEN,TAK SEORANGPUN YNG MENUDUH AL IMAM SEORANG MUFTADI’ BAIK DARI KALANGAN ORANG AWAM LEBIH2 ULAMA’KECUALI ORANG YG BODOH DENGAN BAHASA MUSTAHID, maka dari itu seorang yng menuntut ilmu kenalilah perkataan para imam mustahid B ELIAU BERKATA APA BILA KALIAN MENDAPATI PENDAPATKU YANG MENYELISIHI DALIL MAKA TINGGALKAN jadi seorang mustahid salah maupun benar mendapat pahalah tapi yg salah ngak boleh diambil SEMOGA PAHAM

    –> tidak usah pakai huruf besar semua mas .. kami masih bisa melihat kok.

    TAHLIL YANG SUNNAH TERIKAT DENGAN WAKTU,YAITU BAKDA SHALAWAT KHOMS 33 tasbih 33 tahmid 33 takbir 1 tahlil bacaan tahlil ma’ruf/mutawatir tempat dimanapun anda mengerjakn shalat

    anda melakukan bid’ah sesat .. tidak ada dalam rukun shalat 33 tasbih 33 tahmid 33 takbir 1 tahlil bacaan tahlil. setahu saya .. itu dilakukan sesudah shalat, bukan ketika mengerjakan shalat.
    ok.. terus … apakah menjadi bid’ah ketika melakukannya di luar / selain yang anda sebutkan, serta mengucapkannya lebih dari 1x.

    ANDA NAIK PESAWAT TIDAK ADA NILAI + ANDA NAIK KUDA NGAK ADA NILAI+ANDA JALAN KAKI JUGA DEMIKIAN,YG DINILAI IBADAH ITU HAJJINYA

    acara tahlilan (kapanpun dan di manapun, termasuk ketika ada orang meninggal) itu merupakan sarana berkumpul saja. Berdzikir tahlil itulah yang sunnah. Sama kan (dalam hal sbg sarana) .. Jadi tak ada gunanya anda ribut2.

    B ELIAU BERKATA APA BILA KALIAN MENDAPATI PENDAPATKU YANG MENYELISIHI DALIL MAKA TINGGALKAN

    benar kata anda. namun kalau menurut saya sihh.. pendapat imam syafi’i tentang bid’ah lebih mendekati kebenaran dari pada anda.

    • Mas Admin/ orgawam,

      Yang sabar aja ya…kita ini sedang berdebat dengan orang yang kurang berilmu jadi bahasa yang digunakan ngawur kadang tidak sinkron dengan apa yang menjadi bahan perdebatan, sabar ya……pembaca yang akan menilai ko justru makin banyak Saudara Sukirno menulis makin jelas dangkalnya pemahaman mereka akan makna bid`ah itu sendiri, Insya Alloh banyak yang sadar wahaby itu apa. Santai aja….

      Saya Alhamdulillah dah banyak menyadarkan anak muda yang bermadzhab wahabi melalui mujadalah, dan memang ada yang sadar ada juga yang tetap ngotot seperti dia ini…..he…he…Santai aja…

      Wong nulis arabnya dengan tulisan latin aja banyak yang ngawur ko masaa….. ucapan dia bisa dipegang ditambah tidak beralinea alias spasi bikin pembaca jadi pening…santai aja.

      Pertanyaan saya banyak yang tidak dijawab ko malah bikin bab lain wele…wele..wele…tidak ilmiah.

      –> terima kasih mas…

      • buat mas imam bagi orang awam seperti ana ngak butuh ilmu yng banyak sedikitpun cukup asal ilmu yg saya dapat shoheh, dan saya bisa mengamalkanya dan istikomah, di saat umurku yg mulai uzur maklum udah kepala 4, karna umurku dulu siasia habis buat ngapilin perkara yg bid’ah dan berkelana kekuburan kramat para wali,,untung saya kenal dengan orang salafy lalu saya belajar ilmu agama yg benar dengan sisa umurku sekarang aku bertekat untuk selalu belajar dan berjihat untuk agama yg mulya ini, dulu saya kira agama itu cuma seperti itu saja, ternyata aku termasuk korban pembodohan,,,tapi ALLAH berkehendak lain sekarang ilmu sudah terbentang luas,, para ustadz kami orang2 yg amanah dia tidak menggiring kami untuk berkelompok, dan tidak harus mengikuti mereka ini belum pernah saya jumpai di waktu saya masih jadi muslim N DAN U yang harus berebut dan selalu bersimpu pada guru mereka,KALAU PEMUDA YANG SUDAH BELAJAR DENGAN WAHABY LALU BALIK JADI N dan U ini pemudah yag kurang cerdas [ baca bodoh] KAMI JUGA NGAK BUTUH ORANG YG KURANG BISA MENCERNAH,,,tidak kritis karna kebenaran itu bukan harus pengikutnya banyak sedikit juga kalau itu kebenaran tetap BENAR banyak juga kalau hanya seperti buih dilautan buat apa, satu lapangan penuh berjubel sambil teriak 2 hu hu hu hu memangnya untuk menakut nakuti burung padi apa

      • bismillah,
        panjang banget neh komentar postingan, mohon maaf sebelumnya, mau ikutan ah…

        mas sukirno hady, apa anda gak cape ngetik mempertahankan syiar rebutan pepesan kosong anda?
        taufik hidayah itu dari Allah gak bisa dipaksakan dan jalan masing-masing manusia telah Allah takdirkan,
        tawadhu bersandar saja pada Allah, Allah maha mengetahui.

        saya di pihak anda, banyak setuju nya dengan anda, dan saya juga sama sudah dibodohi bertahun-tahun dengan aneka macam ritual kelompok si fulan yang menurut saya maksudnya baik tetapi pelaksanaan fiqh nya terlalu kreatif.
        dan barakalah dengan taufik hidayah Allah saya bahkan keluarga saya sudah tinggalkan semua. dan insyaAllah saya akan selalu tegakkan ahlusunnah waljamaah sejati bukan cuma nampangin merk ASWJ di papan plang doang.

        mas sukirno hady, anda hebat sekali, anda kaum mu’tazillah??he he he bercanda…hati-hati dengan hisab perkataan tulisan dan logika anda di postingan ini, anda akan pertanggungjawabkan di akhirat nanti. anda dan saya pun belum tentu imannya sebaik si fulan yang anda hujjah. daripada nge-hujjah lebih baik sharing aza. Allah Maha Mengetahui.
        maafkan kelebihan dan kekurangannya, semoga komentar saya berkah dan bermanfaat.

      • BUAT PENCARI HAK
        barakallahufik ana faham ma’sud anda
        dan saya paham bahwa ana khilab
        semoga ALLAh mengampuniku

      • buat pencari hak
        anda masuk aja ke fb temanku saja sebab aku jarang on
        fb temanku TKI wahda

    • anda melakukan bid’ah sesat .. tidak ada dalam rukun shalat 33 tasbih 33 tahmid 33 takbir 1 tahlil bacaan tahlil. setahu saya .. itu dilakukan sesudah shalat, bukan ketika mengerjakan shalat.
      ok.. terus … apakah menjadi bid’ah ketika melakukannya di luar / selain yang anda sebutkan, serta mengucapkannya lebih dari 1x. kayaknya anda ini tidak paham bahasa arab ana bilang ba’dah sholawat khams siapa yang bilang rukun sholat kalau diluar sholat tidak terikat zaman dan makan boleh saja mau berapa kalipun misalnya di mobil di rumah, dikantor onta sarana untuk hajji pesawat juga sarana untuk hajji,kematian bukan sarana tapi musibah kalau musibah di tarik jadi sarana ini orang yang ngawur dan dalam kematian sudah ada contoh bagaimana rasulullah berta’ziyah, cara anda berpikir ini dah sangat rusak kalo cara ibadah seperti agama anda ini, dah ngak usa belajar tinggal menyamakan saja anjing disamakan sama kambing kan binatang to babi disamakan dengan kerbau kan sama binatang to begitu maunya antum kan? dan kalau orang mati sama untuk sarana dalam hajji ya kalau antum hajji naik mayat aja, kayaknya antum orang terpelajar cuma agak bloon, sebab penempatan tulisanya bagus cuma ngak paham perkataan atau persamaan, kendaraan itu sarana untuk umum bukan untuk ibadah saja, kalo yg anda mau karna sarana ibadah berarti andah memang hanya ingin menang dalam berjidal bukan mencari kebenaran benar kata anda. namun kalau menurut saya sihh.. pendapat imam syafi’i tentang bid’ah lebih mendekati kebenaran dari pada anda. itu terserah antum anda punya hak untuk memilih yg penting sudah tau duduk persoalanya anda ikuti pendapat imam anda,, dan saya ikuti rasul kami sudah,,

      –> lhaa .. anda menulis juga tak karuan sihh .. salah sendiri diakhir kalimatnya ada, “dimanapun anda mengerjakn shalat”. Konsen saya jadi ke sana.

      Anda katakan,

      kalau diluar sholat tidak terikat zaman dan makan boleh saja mau berapa kalipun misalnya di mobil di rumah, dikantor ……..

      makan?? mbok nulisnya yg tertib mas.. memang tak ada contoh nabi saw untuk menulis tertib, tapi tulisan anda kacau balau bikin saya repot. Percayalah .. walau tak ada contoh nabi, nulis tertib runtut rapi itu bukan bid’ah sesat. Tuhh yg di atas.. saya salah tafsir maksud anda kan.

      Nahh tuh anda katakan, “… tidak terikat zaman dan makan boleh saja …”. Tapi di akhir kok balik lagi, di tempat orang kena musibah (kematian) malah kagak boleh. Bukannya di kantor juga tak ada contoh, di mobil tak ada contoh, di tempat lelayu pun tak ada contoh. Kalau di rumah sendiri boleh, rumah tetangga boleh,.. kok di rumah lelayu kagak boleh.

      Jadi … wahduh Binung bener aku.

      sekedar catatan, pendapat mas sukirno sdh ada kemajuan. artinya ngadain tahlilan di acara2 lain boleh. Arisan RT, tahlilan malam jum’at, selapanan, ultah, dll. Boleh kan mas yaa. Hanya di tempat lelayu saja yg kagak boleh. Lumayan lah. Ada lhoo yg main pukul rata .. pokoknya semua yg berbau tahlilan bid’ah sesat-sat.

      • Nahh tuh anda katakan, “… tidak terikat zaman dan makan boleh saja …”. Tapi di akhir kok balik lagi, di tempat orang kena musibah (kematian) malah kagak boleh. Bukannya di kantor juga tak ada contoh, di mobil tak ada contoh, di tempat lelayu pun tak ada contoh. Kalau di rumah sendiri boleh, rumah tetangga boleh,.. kok di rumah lelayu kagak boleh.

        sekarang ana tanya ditempat yg saya sebutkan selain ORANG MATI
        adakah nabi mengadakan ibadah kusus semacam ta’ziyah,dll

        lalu apakah setiap anda menyaksikan tetangga anda beli mobil kalian langsung gelar tikar membaca tahlil
        karna disunnahkan

        tapi mengapa anda setiap melihat tetangga ada yg mati
        langsung gelar tikar lalu baca tahlil
        anda menganggap sunnah

        lalu siapa yg kalian contoh padahal nabi tidak mencontohkan dalam ta’ziyah semacam ini
        lalu mengapa harus dibatasi hari2 tertentu

        bukan berarti bacaan tahlil yg tidak terikat zaman dan makan tidak dicontohkan justru itulah yg dicontokan nabi
        lalu mana yg gembar gembor saya cinta RASULALLAH,tapi justru ngak mau mencontoh beliau

        sebenar soal tulisan ana mahdur karna kaybord ana yng ngak bisa bekerja dengan normal

        –>

        kalau diluar sholat tidak terikat zaman dan makan boleh saja mau berapa kalipun misalnya di mobil di rumah, dikantor

        saya baru sadar… kalau benar-benar ada ikatan makan. hehe. itu kaidah diambil dari mana mas? Qur’an hadits, contoh nabi saw? Waktu kapan saja asal tidak ada makan. Hehe … Kaidah yg aneh.

        Anda tak konsisten ketika memperkarakan ini,

        ….. lalu apakah setiap anda menyaksikan tetangga anda beli mobil kalian langsung gelar tikar membaca tahlil karna disunnahkan
        ……. tapi mengapa anda setiap melihat tetangga ada yg mati langsung gelar tikar lalu baca tahlil

        Katanya boleh saja berapa kalipun.. (lihat yg atas)
        Kok tetangga beli mobil terus syukuran tahlilan kagak boleh. Kok anda ribut ketika tetangga ada yg mati kemudian ada yg baca tahlil. (lihat yg bawah)

        Maaf .. Tak konsisten kan. Waktunya kapan mas? Makannya harus pakai lauk apa?

        nb: jangan salahkan keyboardnya mas. Beli saja yg baru. bereskan..

      • sekedar catatan, pendapat mas sukirno sdh ada kemajuan. artinya ngadain tahlilan di acara2 lain boleh. Arisan RT, tahlilan malam jum’at, selapanan, ultah, dll. Boleh kan mas yaa. Hanya di tempat lelayu saja yg kagak boleh. Lumayan lah. Ada lhoo yg main pukul rata .. pokoknya semua yg berbau tahlilan bid’ah sesat-sat.

        anda kayaknya termasuk orang yg kena korban pembodohan
        sebab anda ngak paham bahasa/perkatan orang dengan baik bukan karna tulisanya
        yng kacau balau tapi otak anda kayaknya yg semrawut

        ngadain tahlillan diacara2lain boleh
        anda tidak sambung,
        kalau mengartikan bahasa seperti ini

        ngadain dan acara ini menunjukan ada tempat dan zaman
        padahal ana bilang boleh tahlil selain dimasjid dengan jumblah berapa saja kalau tidak terikat dengan zaman dan makan

        ngadain dan acara itu kan sudah menunjukan sudah
        diatur sedemikian rupa tempatnya jamnya
        kalau comen yang seperti ini maka ngak ada bedahnya saya bicara dengan TEMBOK alangka baiknya ana mohon diri
        KARNA BLOG INI HANYA UNTUK BUANG BUANG WAKTU TERMASUK BLOG TABLIS IBLIS perangkap syetan

        –> maafkan saya yg bodoh ini,

        padahal ana bilang boleh tahlil selain dimasjid dengan jumblah berapa saja kalau tidak terikat dengan zaman dan makan

        Kaidah membingungkan. lhaa maksud anda dari “terikat dengan zaman dan makan” itu yg bagaimana sihh? Berarti membaca tahlil selain waktu dan makan yang “TAHLIL YANG SUNNAH TERIKAT DENGAN WAKTU,YAITU BAKDA SHALAWAT KHOMS” dan lebih dari 1x tahlil, maka dilarang dong ..

        Kalau saya baca tahlil 10x sebelum tidur, dilarang dong..
        Atau gini, kl masakannya kagak enak, maka dilarang. Kalau waktunya anda nggak pass.. yaa dilarang sekalian. Begitu yaach..

      • Kaidah membingungkan. lhaa maksud anda dari “terikat dengan zaman dan makan” itu yg bagaimana sihh? Berarti membaca tahlil selain waktu dan makan yang “TAHLIL YANG SUNNAH TERIKAT DENGAN WAKTU,YAITU BAKDA SHALAWAT KHOMS” dan lebih dari 1x tahlil, maka dilarang dong ..

        Kalau saya baca tahlil 10x sebelum tidur, dilarang dong..
        Atau gini, kl masakannya kagak enak, maka dilarang. Kalau waktunya anda nggak pass.. yaa dilarang sekalian. Begitu yaach..

        nah sekarang anda baru paham apa yg saya ma’sud
        kalau saya baca tahlil sebelum tidur 10 kali dilaraang dong,,
        itulah yang disunnahkan oleh nabi tapi jumblah 10 kali bukan ikatan/keharusan demikian juga waktu sebelum tidur juga bukan waktu ketetapan

        karna DO’A sebelum tidur itu ada yng diTETAPKAN /diSUNNAHKAN

        saya baca tahlil ini menunjukan mufrot/ sendiri
        saya mengadakan acara tahlil ini menujukan ter organisir

        artinya nanti bisa ditentukan kapan wakytunya dimana tempatnya
        seperti kenyataanya yg berlaku dikalangan orang ahlu hawa’/sufi asy’ariah

        dan dipandu dengan imam tahlil inilah tahlil yang batil
        kalau anda tanya mana larangnya saya melakukan ibadah tahlil seperti ini
        tahlil seperti ini tidak diSYARE’ATKAN,,,

        thoyib kalau anda masih tetap mau muter2 lagi
        saya mau tanya
        bagaimana pendapat anda kalau saya sholat tahyatul masjid berjama’ah
        bukankah sholat berjama’ah lebih afdol dari pada sholat fardi,,kalau anda jawab BOLEH ,mana dalilnya
        kalau anda jawab NGAK BOLEH mana laranganya,
        MOHON DIJAWAB

        –> ohh dilarang yaach.. terus kapan boleh? kalau tidak tahu doanya (krn tak semua orang punya akses seperti anda) .. doa bahasa indonesia tak boleh dong?

      • –> ohh dilarang yaach.. terus kapan boleh? kalau tidak tahu doanya (krn tak semua orang punya akses seperti anda) .. doa bahasa indonesia tak boleh dong?

        saya ngak faham yg anda ma’sud do’a apa yg ngak tahu,
        kalau do’a sebelum tidur yg disunnahkan nabi ngak apal,terus dia ngapalin do’a dari kiyainya yg bikinan kiyainya apa begitu ma’sud anda

        atau benar perkataan ini orang kalau doyan BID’AH
        maka sunnah akan ditinggalkan

        saya bicara kenyataan
        dikampung saya setiap hari
        jum’at tahlilan
        selasa baca manakib syech abdul qodir
        kamis sholawatan
        belum ditambah,maulid,isro’ mi’roj ,nujul ,sa’banan masih banyak yg lain lagi,,

        setelah saya faham islam salafy saya berda’wa sama mereka banyak saudara kaum muslimin yg ternyata
        dalilnya wudu saja ngak paham
        rukun syahadad ngak paham,

        lalu apa yg diajarkan dengan seredetan acara rutin itu
        apakah anda akan tutup mata dan telinga
        dengan kenyataan ini

        ngak perlu royal2 ibadah
        sederhana saja yg penting sesuai dengan sunnah

        sunnah yg dari nabi itu lebih dari cukup bahkan kita ngak mampu melaksanakanya

        kok harus bikin bikin perkara yg baru dengan dalil kan baik
        itu baik menurut hawa nafsu
        dalam agama baik itu yg sesuai dengan sunnah dan alqur’an

        juga dalam hadis diterangkan
        yg haram itu jelas dan yg halal jg jelas
        webaina humma mustabihat


        –>

        kalau do’a sebelum tidur yg disunnahkan nabi ngak apal,terus dia ngapalin do’a dari kiyainya yg bikinan kiyainya apa begitu ma’sud anda

        ohh.. begitu yaachh. Kalau memang kagak boleh doa bahasa indonesia (krn doa termasuk ibadah maka hrs sesuai contoh, kata anda) yaa sudah. Mungkin memang anda kagak pernah doa pakai bahasa indonesia, krn sdh 20 th di arab. Mungkin anda tak pernah doa misalnya anak/putra masuk madrasah/sekolah tertentu.

        Sayang.. umat islam yg lain akan masuk neraka gara2 doanya tak bisa persis nabi, dan/atau tidak bisa doa arab sebagaimana anda.

        kapan bolehnya juga belum dijawab.

        Aku jadi semakin binung …

      • ohh.. begitu yaachh. Kalau memang kagak boleh doa bahasa indonesia (krn doa termasuk ibadah maka hrs sesuai contoh, kata anda) yaa sudah. Mungkin memang anda kagak pernah doa pakai bahasa indonesia, krn sdh 20 th di arab. Mungkin anda tak pernah doa misalnya anak/putra masuk madrasah/sekolah tertentu.

        Sayang.. umat islam yg lain akan masuk neraka gara2 doanya tak bisa persis nabi, dan/atau tidak bisa doa arab sebagaimana anda.

        kapan bolehnya juga belum dijawab.

        jawaban saya
        seingat saya ana ngak jawab boleh/tidak dan ana juga ngak jawab bahwa
        do’a itu ibadah

        kelihatanya kesemrawutan anda lebih para lagi
        padahal saya juga tidak membahas SURGA/NERAKA karna saya tau
        bahwa SURGA/NERAKA hanyaALLAH yg menentukan

        bahkan nabi jg bersabda
        tidak ada seorangpun yng masuk surga karena amalnya
        lalu sahabat bertanya sekalipun engkau ya Rasulallah
        sekalipun aku,

        Kapan bolehnya juga belum dijawab
        kalimat ini masih global ma’sudnya bolehnya apa
        masak ana jawab pertanyaan yg ngak jelas apa yg ditanyakan

        padahal ini perkataan saya

        saya ngak faham yg anda ma’sud do’a apa yg ngak tahu,
        kalau do’a sebelum tidur yg disunnahkan nabi ngak apal,terus dia ngapalin do’a dari kiyainya yg bikinan kiyainya apa begitu ma’sud anda

        seharus anda jawab dulu pertanyaan saya.
        baru saya bisa menentukan jawaban

        bukanya pertanyaan anda telah anda jawab sendiri
        kok malah menyandarkan kesaya

        kayakny anda butuh istirahat dulu biar fresh

  114. > justru isi artikel dan diskusi di komentar menunjukkan bahwa kegiatan itu tak menentang sunnah Rasul saw. Perlu juga ditambahkan informasi anda,.. kelak di akhir zaman akan muncul kaum yang jelek akhlaknya … iman mereka tak sampai kerongkongannya..dst. YA SAYA SEPENDAPAT DENGAN ANTUM,kelak diakhirzaman akan muncul kaum yg jelek akhlaknya INI SUDAH MUNCUL HAL ITU COBA ANTUM LIHAT DI MASJID2 MEREKA MEROKOK BERNYANYI PADAHAL ITU RUMAH DARI RUMAH RUMAH ALLAH,TASBIH DITANGAN KIRINYA ROKOK DITANGAN KANANYA, iman mereka tak sampai kerongkonganya INI KALIMAT YG SANGAT TEPAT ANDA KATAKAN KITA TIAP HARI MELIHAT IBU2 DATANG KEMASJID DENGAN SUARA YNG LANTANG ENTA APA YG DIA BACA,DENGAN BERDALIH MARI KITA MENGAJI,PADAHAL AURAT MEREKA SAJA TIDAK TERTUTUP,DENGAN BANYAKNYA KENYATAAN APA YG DISAMPAIKAN OLEH NABI TAPI HATIMU MASIH BELUM TERSENTUH, IBADAH DENGAN LAGU DA MUSIK APAKAH INI YG NAMANYA KHUSNUL KHULUK KAL AU DINASEHATI APAKAH ADA LARANGAN SAYA IBADAH SEPERTI INI SUNGGUH SANGAT ERONI ATAS KEHANCURAN AKHLAK KALIAN,

    –> kayaknya anda salah sasaran .. kaum yang anda sebut itu telah ada sejak dahulu (maulid, yg anda sindirkan itu, bahkan sdh ada sebelum era perang salib). Mereka tidak meremehkan amal-amal kami dibanding mereka, shalat kami dibanding mereka. Menurut pengalaman, mereka juga tak keluar islam secepat (lebih cepat) anak panah keluar dari busurnya. Kalau pun ada orang-orang islam ndeso (di antara mereka) yang terpaksa/terbujuk keluar dari agama (islam), data menunjukkan itu lebih karena faktor ekonomi. Dan kaum missionaris dgn iming2 finansial butuh waktu bertahun-tahun untuk menariknya keluar dari islam. Tidak secepat melesatnya anak panah keluar dari busurnya, sebagaimana sabda baginda Nabi saw.

    Kayaknya kaum itu indikasinya lebih mengarah ke … hehehe. Itulah kaum yang muncul di akhir zaman ini yang membuat banyak pertentangan, sebagaimana sabda baginda Nabi saw. Kaum itu muncul belum lama, baru kemarin, di saat zaman hampir berakhir ini.

    mohon maaf.

  115. ma’af para pembaca tulisanya kurang teratur maklum dah kolot/tua tapi aku tetap berusaha belajar,biAsa X,N dan U

  116. Kang Sukirno

    Orang2 yg mencintai sunnah Rasulullah akan dicap wahabi. Padahal mereka tdk tahu siapa wahabi itu. Mereka mengambil referensi dari kaum orientalis. Mereka hanya taklid kpd guru2 mereka. Guru mereka bahkan mengadakan forum caci maki. Nggak percaya? Baca dilink berikut:
    http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/11/22/16780/melongok-forum-nahdiyin-parade-caci-maki-terhadap-ulama-salafi-dan-pks/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+voa-islam-com+%28Voice+of+Al+Islam%29&utm_content=Yahoo!+Mail

  117. Mereka yg berkata wahabi
    Ketahuilah perbedaan antara Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan AbdulWahab bin Rustum. Cari referensi yg akurat. Jangan asal dengar /fitnah.
    kaum penjajah sangat takut kpd ulama2 yg menegakkan sunnah. Maka mereka menebar fitnah utk mengadu domba umat Islam.Ini tdk hanya terjadi di TimTeng tetapi juga di Indonesia. Prof. Buya Hamka pernah mengingatkan kita. Silakan simak di:
    http://www.voa-islam.com/counter/liberalism/2011/12/03/16891/buya-hamka-vonis-sesat-terhadap-wahabi-direkayasa-untuk-gurita-kolonialisme/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+voa-islam-com+%28Voice+of+Al+Islam%29&utm_content=Yahoo!+Mail

  118. buat mas imam soal apa saja anda sebut itu ngak apa2 mau tkang becak mau direktur tahillan, perkataan imam safi’i tentang masalah bid’ah hasanah itu banyak, ada dikitab ARRISALAH,AL,UM DLL yang semakna dengn apa yg saya sebut, dan secara terjemahan leterlek maknanya ngak jauh berbedah yg ngak sesuai dengan sunnah bid’ah sayyi’ah..bid’ah dolalah, bid’ah mungkarah, bid,ah muharamah, yg sesuai dngan sunnah bukan bid’ah secara syar’i, hanya istilahi karna banyaknya orang ngak paham apa itu SUNNAH, sory mas imam saya ngak bisa menterjemahkan secara detil buang2 waktu dan ini ngak mungkin berpengaruh apa2sekalipun saya terjemahkan dengan terjemahan yg paling bagus,,itu hanya bentuk pengetesan doang,,,,ana paham triknya orang2 tasawub suffiyah asy’ariyah yg ngak paham waqik kenyataan, dan bahasa arab tidak menjamin orang akan paham manhaj dan agama dengan benar,, sebab dimesir sendiri gudangnya BID’AH DI HADRAMAUT YAMAN mbahnya BID’AH padahal dia paham bahasa arab bahkan NASRANI juga banyak,, jangan terkeco muslihat AHLIBID’AH yang mengandalkan NAHWU SHOROF itu tidak berlaku untuk ana itu hanya berlaku bagi pengikut bid’ah yg awamnya, kami sebagai pengikut salafy wahaby sudah dibekali pemahaman yg shoheh bahasa arab hanya alat saja,,,,bukan andalan bagi manhaj salafy,,

    • Masyaa Alloh, ucapan Anda benar2 sudah kena racun wahaby sampai ke tulang sumsum Anda, `Audzubillah min dzalik….Semoga Alloh memberi hidayah kepada Anda.

      Bilang saja ga bisa menterjemahkan gitu aja repot…..kalau Anda mengatakan buang2 waktu ko kenapa Anda repot2 berkomentar toh….

      Bahasa Arab itu bukan bahasa sekedar alat ( ayatnya ada ko ), Anda seakan malah meremehkan Al-quran…..ce..ce…ce…

      Kalau ingin mempelajari Al-quran dan hadits ya harus tahu bahasa Arab ( bahkan wajib ) biar tidak mudah ditipu sama terjemahan yang ngawur…..ya seperti Anda ini.

      • alhamdulillah saya bisa meresapi dan memahami islam setelah tau paham wahaby
        soal bisa /ngak bisa bahasa arab itu terserah antum

        itu ucapanmu sendiri yang meremehkan alqur’an
        dan sudah bukan asing lagi di aliran asy’ari perkara mengacak2kan alqur’an,dengan andalan luqoh saja,

        30 tahun aku dibesarkan dilingkungan asy’ary aku paham benar bagaimana dia memalingkan alqur’an dari semestinya ,dengan dalil ngak sesuai dengan akalnya

      • 30 tahun aku dibesarkan dilingkungan asy’ary aku paham benar bagaimana dia memalingkan alqur’an dari semestinya ,dengan dalil ngak sesuai dengan akalnya

        Mana bukti Al-Ashairoh/ golongan Asy`ary melencengkan atau memalingkan al-quran dari semestinya? dan mengacak2 AL-QURAN ?

        Jangan hanya fitnah saja ? sebutkan satu ayat saja deh ga usah banyak2 ya…..

    • Saudara Sukirno Hady,

      Komentar Anda :

      ” perkataan imam safi’i tentang masalah bid’ah hasanah itu banyak, ada dikitab ARRISALAH,AL,UM DLL yang semakna dengn apa yg saya sebut.”

      Tanggapan saya :

      Anda itu jangan menipu pembaca lagi dengan menyebut tafsiran Anda tentang bid`ah itu semakna dengan apa yang Anda sebut, ngemeng…ngemeng.. punya kitabnya tidak ? kalau copas yang bilang aja gitu lhoooo…..( saya tidak merehkan copas tapi copas yang bertanggung jawab gitu…)

      Komentar Anda lainnya :

      ” yg sesuai dngan sunnah bukan bid’ah secara syar’i, hanya istilahi karna banyaknya orang ngak paham apa itu SUNNAH .”

      Tanggapan saya :

      Secara syar`i dan secara istilakhi itu semakna mas, ngomong aja gelepotan kayak gitu bilang penegak sunah ah….pusing deh gue….( saya tidak menghina penegak sunah versi Anda tapi saya pembela sunah salafus sholeh ).

      Bid`ah yang didefinisikan oleh Imam Syafi`i yaitu bid`ah syar`i bukan bid`ah lughowi (bahasa ). saya kirim lagi nih tulisan di atas :

      قَالَ الإمامُ الشَّافِعيُّ رضيَ الله عنهُ: “المُحدَثاتُ مِنَ الأمُورِ ضَربانِ، أحَدُهُما مَا أُحدِثَ ممّا يُخَالِفُ كِتابًا أَو سُنَّةً أو إجْماعًا أَو أثَرًا، فَهذِه البِدْعَةُ الضّلالَةُ، والثّانِيةُ مَا أُحْدِثَ مِنَ الخَيرِ ولا يُخَالِفُ كِتَابًا أو سُنَّةً أو إجْماعًا، وهَذه مُحْدَثَةٌ غَيرُ مَذْمُومَةٍ

      Artinya : ” Silakan Anda terjemahkan ….jangan muter2 !

      Disana disebutkan kalimat : maa ukhditsa min alkhoiri ( sesuatu yang baru yang baik ), jadi jelas bukan bid`ah menurut bahasa seperti praduga Anda yang konyol itu. Makanya mas Bahasa Arab itu perlu biar copasnya disesuaikan dengan bahasa asalnya jadi tidak nyasar.

    • disini tidak ada yg tipu menipu ana katakan bahwa maknanya secara garis besarnya
      bahwa BID’AH HASANA suatu perkara baru yg baik yg tidak menyelisihi kitab dan sunnah,,,,,,wela yukholifu KITAB WESUNNAH, orang yg berpikir jernih kritis yg tidak menyelisihi SUNNAH YA SUNNAH ITU SENDIRI,

      dan suatu perkara baru yg menyelisihi KITAB WESUNNAH bid’ah sayyi’ah

      kami katakan BID’AH HASANA yg sesuai dengan SUNNAH
      dan BID’AH SAYYIAH yg tidak sesuai dg SUNNAH

      maka disini ngak ada yang dipersoalkan karna pada dasarnya yg disebut BID’AH YG GAK SESUAI DENGAN SUNNAH anda meyakinkan orang hanya dengn modal MEMBOOH BODOHKAN LAWAN
      BICARANYA

      • Mas Sukirno Hady,

        Komentar Anda :

        dan suatu perkara baru yg menyelisihi KITAB WESUNNAH bid’ah sayyi’ah

        kami katakan BID’AH HASANA yg sesuai dengan SUNNAH
        dan BID’AH SAYYIAH yg tidak sesuai dg SUNNAH

        Tanggapan saya :

        Kemudian Anda melencengkan makna bid`ah sebagai berikut :

        maka disini ngak ada yang dipersoalkan karna pada dasarnya yg disebut BID’AH YG GAK SESUAI DENGAN SUNNAH

        Lihat yang ditulis Anda dengan huruf besar itu, Anda sudah menegaskan pada kalimat sebelumnya dengan kata ” KAMI KATAKAN …dst

        tapi Anda rubah dengan mengatakan :

        pada dasarnya yg disebut BID’AH YG GAK SESUAI DENGAN SUNNAH

        Lalu definisi bid`ah hasanah dan sayyi`ahnya kemana mas ?

        Kemudian,

        Apakah ada tulisan saya bahwa saya membodoh-bodohkan Anda coba posting lagi tulisan saya ke sini, malahan kalau tidak salah Anda pernah membodohkan kepada Admin/ orgawam ko…aneh Anda ini.

        Atau mungkin secara tidak sadar Anda mengatakan itu benar adanya mengenai diri Anda sendiri itu …….ya syukur kalau begitu.

        Perlu diperhatikan yang sedang kita bicarakan adalah fatwa Imam SYafi`i bukan Fatwa Wahabiyiin.

      • Lalu definisi bid`ah hasanah dan sayyi`ahnya kemana mas ?

        kamu minta depinisi bid’ah hasanah dan sayyi’
        ya mungkin saja depinisi itu hanya secara lugowi saja,
        contoh anda berkorban pakai kerbau
        orang yg gak paham kerbau mungkin ini dianggap bid’ah
        anda zakat pakai beras ini juga bid’ah secara lugowi

        perkataan imam safi’i jelas sekali mengatakan
        bahwa bid’ah hasanah yg tidak menyelisihi sunnah
        WELA YUKHOLIFU SUNNAH
        sedangkan orang yng kena MUKHOLAFA murur itu didenda

        lalu apakah anda berpendapat yg tidak menyelisihi sunnah itu bid’ah hasanah

        contohnya kami zakat pakai beras/jagung /sagu dll
        padahal ini bagi orang yg ngak tau itu adalah dianggap bid’ah hasana maupun dol

        padahal disini terdapat zakat yg bid’ah secara lugowi
        karna jagung,sagu dll belum pernah dilakukan dizaman nabi
        kalo dikatakan bid’ah hasana juga bisa
        sebab kalau kami berzakat gandum didaerah yg mayoritas memakan sagu mungkin sangat tidak bermanfa’at bagi penduduk tersebut

        lalu apa sama kejadian ini dengan tahlilan
        yg anda sebut bid’ah hasana karna kejadiannya hampir mirib yang hanya berbedah zaman dan medan

        kalau asalnya zamanya dibaca ba’dah sholat
        medanya dimana dia sholat/masjid,

        kalau kita kritisi ternyata jauh berbedah dalam tahlilan medanya hampir semua dikenal oleh nabi dikematian
        caranya ta’ziah begini,dirumah begini

  119. Artinya : ” Kamu lebih tahu akan urusan duniamu ” apakah ini menunjukkan Anda lebih tahu tentang dunia dari pada Rosul ? ataukah Rosul tidak tahu/ alias buta tentang dunia ? ( Tolong ini jawab ya rasulullah tidak diutus untk urusan dunia seperti ilmu bagaimana menanam padi dan thamer dll karna nabi sendiri yg mengatakan hal itu aku adalah manusia sperti kalian yg membedahkan hanyalah wahyu, dan apa bila aku bicara soal urusan dunia itu hnya pendapatku sendiri maka kamu ambil bila ada manfaatnya kalau tidak kamu tinggalkan jadi ini sudah jelas bahwa yg di maksud bid’ah itu hanya urusan agama, karna nabi di utus untuk itu , ana jelaskan disini secara bahasa kullu memang semuanya tapi secara syar’i melihat apa yg dimaksud, dan disesuaikan dengan orang yg dimaksud tadi, KUL,KULLU MAKANLAH SEMUANYA, apa akan kamu makan semua sama piring2nya,tapi yang di maksud isinya,MINUMLAH KULLU, apa kamu telan sama gelas2nya tentu jawabanya tidak, atau kamu membagi menjadi dua padahal sudah nampak jelas yg di maksud,oleh orang yg mengatakan, KULLU BID’AH DOLALAH, SETIAP PERKARA BARU SESAT, KALAU YANG MENGATAKAN INI TUKANG KAYU, MAKSUDNYA YA SEPUTAR PERKAYUAN,KALAU SEORANG MONTIR, YG DIMA’SUD YA URUSAN MOBIL,sekarang yang bicara itu nabi yg dimaksud ya urusan wahyu,karna setelah nabiwafat wahyu pasti terputus,maka ini sebagai PERINGATAN

    • Mas Sukirno Hady,

      Qiyas Anda adalah qiyas batil, Anda mencotohkan kalimat :

      ” Makanlah semuanya ”

      Anda menafsirkan : ” apa akan kamu makan semua sama piring2nya,tapi yang di maksud isinya ”

      Jawaban Saya :

      Inilah menunjukkan kedangkalan ilmu Anda ( maaf ya …) khususnya ilmu semantis dalam hal ini bahasa Indonesia, kenapa ?

      Kata “Makanlah semuanya ” adalah kalimat yang masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya ( ini pada keadaan normal ) atau kalimat itu berkaitan sesuatu yang menjadi rujukannya. Jadi kalimat itu bukan sekonyong2 muncul dalam dialog.

      Saya contohkan :

      Anak : Bu saya lapar, saya pingin makan, ada nasi tidak Bu ?

      Ibu : Ada, di dapur nasinya di atas piring, makanlah semuanya ! kalau ibu sudah makan.

      Nah kalimat makanlah semuanya jelas rujukannya ke nasi bukan ke piring atau bukan kepada kedua2nya ( kalau dalam bahasa Arab bisa dilihat dari domirnya ), kenapa ? karena yang disebut makanan ya nasi itu bukan piring itu ( semoga Anda paham ). ( waduh belajar bahasa lagi kayak anak tk aja….he..he..he..)

      • ok sekarang kalo anda menolak dengan logika
        bahasa yg ngak tepat dll tidak masalah,,

        sekarang simak apa yg terkandung dalam hadist itu sendiri
        barang siapa yg membikin suatu perkara baru yg bukan dariku/contoh, maka tertolak

        sekarang tolong jawab nabi memangnya memberi contoh tentang
        bikin pesawat/radio dll ,,,,,,

        apa beliau memberi contoh bagaimana mengurus jenasa dan berta’ziaH

        dan apa beliau juga menerimah wahyu soal bagaimana
        menanam padi bagaimana membikin roti

        anda bertanya

        Apasih definisi menciptakan syareat baru menurut Anda

        syare’at BAGI ORANG AWAM SEPERTI SAYA BEGINI
        SYARE’AT,adalah hukum,jalan sebab,pelantara dll

        contoh saya bisa bertemu prisiden dg PELANTARA anda
        saya bisa membantah bid’ah anda, SEBAB ada dalil/hadist
        saya selamat tidak kena tilang polisi karna saya patuh HUKUM

        saya tidak tersesat karna mengikuti PETUNJUK JALAN

        MEMBIKIN syare’at baru yaitu orang yg keluar dari pembawa syare’at itu sendiri,yaitu RASULALLAH

        SYARE’AT ISLAM ITU BAKU TIDAK BOLEH DIKURANGI DAN DITAMBAH

        contoh
        presiden menaikan harga bensin 1000 rp
        lalu mentri2nya mengubah menjadi 500rp dengan dalil untuk kebaikan rakyat
        DPR mengubah menjadi 1500rp dengan dalil
        untuk kebaikan negara
        apa semua ini dibenarkan oleh presiden

        begitu juga ALLAH hanya bisa disembah kecuali hanya
        dengan syare’at yg di emban oleh RASULALLAH

        yg menambahi dan mengurangi maka itu sudah bukan SYARE’AT DARI RASULALLAH

        bagaimana SAHABAT UMAR,ABU BAKAR,USMAN
        yg bikin syare’at baru

        SAHABAT UMAR ABU BAKAR,USMAN
        telah mendapat recomandasi dari ALLAH DAN RASULALLAH,
        allah ridhoh kepada mereka [sahabat] dan sahabatpun demikian

        ALAIKUUM BISUNNAHTI WESUNNAH KULAFA ARASIDIIN ikuti aku dan para sahabatku

        jangan diartikan
        BIKIN SUNNAH SEPERTI AKU DAN SEPERTI USMAN BIKIN ADAN
        artinya kalian hanya disuruh melaksanakan
        kasarnya yg RASULALLAH DAN SAHABATNYA BIKIN SYARE’AT, KARNA SAHABAT telah mendapat ridho dari ALLAH DAN RECAMANDASI DARI NABI

  120. Mas Sukirno Hady,

    Tulisan Anda :

    ” yg di maksud bid’ah itu hanya urusan agama ”

    Ulasan saya :

    Ok, saya pegang dulu kaidah Anda itu, untuk diuji.

    Artinya : segala urusan dunia yang bukan agama kita boleh berbid`ah ria, begitu maksudnya ?

    Pertanyaan :

    Kalau anak SMA lulus sekolah umum kemudian setelah mendengar kelulusannya mereka langsung coret2 bajunya, menurut Anda ini bagaimana ?

    Ini bid`ah lho karena zaman Nabi tidak ada dan juga inipun bukan soal agama serta bukan pula soal ibadah. Silakan jawab, saya pingin tahu apa kaidah Anda konsekwen ga ? Ingat jangan melenceng dari kaidah yang telah dibuat oleh Anda.

    • Kalau anak SMA lulus sekolah umum kemudian setelah mendengar kelulusannya mereka langsung coret2 bajunya, menurut Anda ini bagaimana ?

      ya itu perbuatan syetan,

      siapa yg bilang itu bid’ah dari dulu yg namanya ma’siat
      itu sudah ada laranganya, disini ada larang isrob dan tabdzir

      Artinya : segala urusan dunia yang bukan agama kita boleh berbid`ah ria, begitu maksudnya ?

      ya boleh seperti anda bikin tempe lalu tahu mobil dll

      ma’siat bukan urusan dunia ma’siat diatur oleh agama,

      • Nah sekarang makna bid`ah itu sendiri apa mas?

        dan juga makna bid`ah agama serta bid`ah dunia apa mas?

        BInung…saya…

    • na’am saya tetap akan jawab pengetesan anda

      ma’na BID’AH Secara bahasa/umum perbuatan manusia itu sendiri,

      BID’AH secara syar’iat adalah suatu perbuatan baru dalam ibadah yng tidak ada contoh sebelumnya
      atau tidak ada landasan dasar dalil dari alqur’an dan sunnah

      BID’AH DUNIA /yaitu masuk pada bid’ah lugowi karna nabi tidak di utus untuk itu sebab pada dasarnya dunia ini semuanya BID’AH karna sebelumnya tidak ada dunia selainya/contonya

      makanya kita boleh bikin urusan dunia semampu kita
      tidak ada yg membatasi
      sebab kalau ada urusan dunia yg mengarah pada
      sesuatu yng haram maka hukum bicara

      contoh
      rokok ini urusan dunia akan tetapi disini setelah dicek
      oleh dokter sepenjuruh dunia
      ternyata rokok terdapat beberapa puluh racun didalamnya
      dan racun bukan perkara baru dan bukan perkara dunia karna dijaman nabi sudah ada larangnya minum racun/ khamer dll hukumnya haram

      maka dari itu anda boleh berbid’ah ria dalam urusan
      dunia sebelum ditemukan keharamanya
      tapi setelah ditemukan keharamanya kita sama’nah weatho’nah,jangan kayak kiyai suffi dimasjidpun dia merokok,memberi hukum makruh lagi
      sekalipun dia memberi hukum makruh sharusnya ditinggalkan karna seorang kiyai itu contoh bagi umatnya

  121. 1) Kenapa juga pada sibuk mengharamkan yang tidak diharamkan, law makruh, ya makruh, makruh koq di bilang haram…
    2) Trus kenapa law keluarganya si mayit mau bersedekah makanan atas nama mayit ke masyarakat… emang salah? org ada dalilnya…
    3) Emang salah law kita datang menghibur orang yang ditinggal mati keluarganya…? Justru disitu nilai persaudaraannya umat islam… Jangan lupa hai org2 pintar, Hablu minallah penting, tapi hablu minannash juga penting… masa saudaramu sesama muslim berduka kamu gak datang menghibur, punya rasa cinta gak sih ama saudaramu? fahami hadits tuh dengan hati… jangan pake otak. Rasanya org awam kyak akupun mikir ga mungkin Rasulullah melarang org datang menghibur saudaranya yang lagi berduka… law dikasi makan, berbaik sangka aja, siapa tw emang diniatkan sedekah makanan itu pahalanya atas nama si mayit…
    4) Buat Habib Munzir… makasih banyak buat ilmunya… Jazakallah khairan katsiran.

  122. anto jawa.
    assalamu alaikum.buat semuanya saudara2 muslim yang berdebat mudah2an dibei kemudahan allah untuk menemukan kebenaran.. saya saran kalau mau mencari kebenaran tolong emosinya dibuang dulu. setalah merenungkan penjelasan habib dan wahabi ,saya yang orang awam ini tambah bingung. hasil renungan saya begini: kalu memang rosul mengadakan tahlilan hari ke 1,3,7 40,100 dst itukan melibatkan banyak orang,pasti sahabat pada hadir tuh, tapi kok gak ada ya riwayat yang mengambarkan tatasusunan acaranya ya?padahal waktu itu sayidah khodijah udah wafat, trus anak nabi juga ada yng meninggal. tapai kok gak ada hadist yang jelas dan gamblang. kalau dari penjelasan habib saya liat ada kesan dipaksakan supaya amalan cocok ama hadist.terus amalan itu lebih mirip ajaran hindu.saya setuju dengan penjelasan pendeta hindu masuk islam ,bahwa itu ritual hindu tapi bacaan hong wilahing diganti sama yasin/tahlil. cuba antum buka dinternet” pendeta hindu masuk islam”. mudah2an sodaraku semua mendapat pencerahan.amin

    –> wa’alaikum salam wrwb. Kalau ukurannya adalah dilakukan kanjeng Rasul saw atau tidak, maka tahlilan hari ke 1,3,7 40,100 dst (menurut tradisi kami/kita) tidak ada. Maka banyak kegiatan yang lain pun tidak ada.

    Ukurannya bukan dilakukan Nabi saw atau tidak mas… ukurannya adalah adanya dalil pendukung, dan ada tidak syariat yg dilanggar. Artikel habib Munzir menjabarkan dalil pendukung. Dan kami tidak melihat ada syariat yg dilanggar.

    • buat mas salam dan mas anto

      jauhilah blog semacam ini karna ngak akan ada manfaatnya mereka beragama
      hanya mengandalkan akal dan teori saja dalil dikesampingkan saya berjidal hampir sebulan tapi ketika kehabisan amunisi dia tinggal begitu saja

      pesan saya jauhilah ini adalah blognya iblis la’natullah alaih bersama prajuritnya

      • @ eeee.. mas sukirno kok emocional cih? wong blognya orang muslim gini kok dikatakan blognya IBLIS laknatullah?? jangan2 tuduhan tu kembali..

        hee ..he.. menurut ane, jidal ente tu malah dalil2e lemaaah banget …

    • alhamdulillah dari jawaban pak bos aku dapat pencerahan sbb:
      1. pak bos mengatakan tahlilan itu tidak ada dalilnya dan tidak dilakukan rasulullah.
      2.rosul tdk pernah mencontohkan menentukan hari 1,3,7,40 dst.(pertanyaanku siapakah yg menentukan hari2 tsb???)
      3. kalau rosul tidak memerintahkan dan tidak melakukan , tidak mungkin ada dalil pendukung/sandaran..
      4. kalau rosul aja tidak melakukan kenapa kita repot2 menjalankanya
      MUDAH2AN ALLAH MELEMBUTKAN HATI2 KITA,DAN MEMBERIKAN KPD KITA SEMUA KEMUDAHAN DLM MEMAHAMI AGAMA YG SUCI DAN MURNI INI, DAN MENGUMPULKAN KITA SEMUA DLM SURGANYA INSYA ALLAH.

      –> saya tak mengatakan tak ada dalil lhoo mas… artikel justru menyatakan dalilnya. Baginda Nabi melakukan dzikir, dan kita disunnahkan melakukannya setiap saat. Semakin sering semakin baik.

      “Tidaklah duduk sesuatu kaum, akan suatu majils untuk berzikir kepada Allah, melainkan para malaikat akan menaungi mereka, akan terlimpah rahmat ke atas mereka, dan Allah s.w.t. juga akan memperingati mereka…” (HR Muslim)

      1,3,7 dst itu tradisi, itu hanya salah satu sarana (dan merupakan sekian waktu dari yang setiap saat itu). Ada lhoo yg setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dst.

      Anda melakukan kajian mingguan nggak mas… baginda nabi saw juga tak melakukan itu, dan tak memerintahkannya.

      • assalamu alaikum ,aku setuju sama pak bos kita disunahkan memperbanyak berzikir,apalagi kalau lagi jalan macet,sambil nyetir baca wirid ati jadi adem.masih ada yg mengganjal ini pak bos?
        1.pertanyaan aku apa bedanya antra ajaran agama dengan tradisi suatu kaum?informasi yg aku dapat dari orang hindu yg dpt dipercaya, bahwa ritual hari ke 1,3,7,40,100 dst itu ajaran agama hindu yg tercantum dlm kitab agama mereka. jadi bukan tradisi orang bali atau tengger.mohon pencerahan??
        2. kalau tahlilan kita rubah harinya ke 4,8,13, 47,113 kira2 setuju gak ya???

        –> wangalaikum salam wrwb.
        1. Adat/tradisi itu kebiasaan masyarakat. Dapat berasal dari manapun, tidak hanya hindu saja. Orang Turki yg mayoritas islam pun punya tradisi sendiri, yang mungkin berasal dari yunani/eropa/nasrani. Ketika anda mencipta tradisi pengajian (dan/atau tahlilan) berkala di setiap hari minggu, apakah itu berarti anda dkk merayakan hari raya-nya orang nasrani? Agama mereka menyuruh beribadah di hari minggu.

        Sangat naif kl sebuah kegiatan kebiasaan diberi label haram hanya karena dari asal-usulnya. Seharusnya sebuah amal/kegiatan/kebiasaan dihukumi halal haramnya berdasar ada tidaknya syariat yg dilanggar, bukan karena asal-usulnya.

        Bahkan ulama wahaby sendiri mengakui tradisi boleh diteruskan jika kegiatannya adalah sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya,

        Dan adat itu sendiri terbagi tiga : Pertama : yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah). …………….. lihat sini

        2. Silakan saja, terserah anda dan lingkungan anda. Tiap hari pun ok.

    • “wa’alaikum salam wrwb. Kalau ukurannya adalah dilakukan kanjeng Rasul saw atau tidak, maka tahlilan hari ke 1,3,7 40,100 dst (menurut tradisi kami/kita) tidak ada. Maka banyak kegiatan yang lain pun tidak ada.

      Ukurannya bukan dilakukan Nabi saw atau tidak mas… ukurannya adalah adanya dalil pendukung, dan ada tidak syariat yg dilanggar. Artikel habib Munzir menjabarkan dalil pendukung. Dan kami tidak melihat ada syariat yg dilanggar.”

      Wah hebat lhoo sampeyan, sampeyan lebih pinter dari rosul dalam hal ibadah????, lebih banyak ibadahnya dari rosul, lebih lengkap syareatnya dari rosul, ??????
      1. sampeyan kirim tahlil buat mayit rosul tidak
      2.Sampeyan yasinan buat mayit rosul tidak
      3. 3, 7, 40, 100 harian setelah kematian sedang rosul tidak
      4. KALIAN TIDAK MERASA CUKUP DENGAN SYARIATNYA ROSUL??????
      NGERI AKU. SETELAH BACA BLOG INI AKU JADI NGERTI. ternyata ada orang yang ibadah dan syareatnyanya lebih banyak dari rosul SAW

      –> satu contoh.. berasumsi sendiri, kemudian ngata-ngatain orang lain dari asumsi-nya. “…….. ada orang yang ibadah dan syareatnyanya lebih banyak dari rosul SAW” itu kan kata2mu sendiri tohh mas. jangan ditembakkan ke sini.

      Ada dalil/hadits bahwa Rasulullah saw ber-istighfar 100x sehari.
      Kalau anda beristighfar 15x saja, apakah itu berarti membuat syariat baru? Kalau anda melakukannya 126x, apakah berarti anda ibadah dan syareatnya lebih banyak dari rosul SAW?

  123. assalamu alaikum. sedulurku kabeh……..sebenarnya dalm islam itu kita beramaal dulu terus baru dicarikan dalil atau kita tau dalil yanh sokeh baru diamalkan…? wingi aku ndengerin ceramahe pak ustad didalam al quran dikatakan islam itu sudah sempurna(gak apal surat dan ayatnya,nuwun sewu) . dalam pikiranku yg namanya sempuna ya sempurna jauh dari kekurangan. gambarane ngene mas artis kae hidungya pada disuntik silikon biar tambah mancung terus ben tambah ayu. karena gak p.d. harus ada yg ditambah biar lebih sempurna.kalau islam udah sempuna sejak 14 abad yg lalu mungkinkah 12 abad kemudian jadi kurang sempurna jadi harus ditambah……? hayo sopo sing bisa ngasih pencerahan?????.salam buat sedulur2 kabeh

    –> wa’alaikunm salam wrwb. duluuu anda belajar shalat, shalat dulu terus baru belajar dalil atau ngejar tau dalil yang sokeh dulu baru diamalkan shalatnya … hayoo

    ilustrasi lain .. hidung si artis dicungkil hanya karena dituduh bikin hidung buatan. Padahal hidung itu asli, hanya di-make up saja.

    • buat admin

      sekalipun hidungnya tidak dicongkel maka disini sudah dikatakan hidung palsu
      dan hukumnya haram merubah sebagaian atau seluruh dari ciptaan ALLAH
      karna ciptaan ALLAH itu sudah sempurna
      kalo kamu paham masalah itu kalo ngak paham ya belajar dulu baru ngomong

      –> lhaa yg mengubah itu siapa mas.. wong hidung yg dipanjangin itu yg mengatakan bukan saya. Kok amunisi ditembakkan ke sini. wahduh..

  124. islam itu mudah tidak sulit,ngak ada sapi dan onta, AYAMpun jadi
    jadi kalo kita ngak punya sapi dan onta maka kita boleh korban pakai ayam
    itukan bid’ah hasanah,

    daripada ngak korban di hari raya idul adha bebek juga sunnah

  125. assalamu alaikum bosss……betul kata bos dulu aku waktu kecil yah..kira2 umur 6-7 tahun belajar sholat otodidak kaya robrot gitulah…tapi waktu itu belum balig. kata pak ustad belum ada beban syariat, ternyata setelah gede , aku baru tau,ternyata tata cara sholat aku bayak yg menyelisihi syariat bahkan gak ada dalilnya. barulah aku belajar dalilnya agar sholatku sesuai dengan tata cara sholat nabi. terus yg gak ada dalil aku tinggalin yang ada dalil aku kerjain .ternyata islam itu mudah…murah…dan ringan .kira2 aku salah apa bener ya boss???

    –> wa’alaikum salam wrwb. sungguh beruntung anda punya akses untuk belajar sampai tingkat tinggi sehingga tahu dalil-dalil secara komplit, dan dapat memutuskan mana-mana yg menyelisihi syariat.

    Namun tak semua orang punya akses seperti anda. Ada yg belajar sampai tingkat menengah (bahkan dasar), namun kemudian disibukkan cari rumput, atau terkena masalah ekonomi hingga harus berhenti. Dan itu buaanyak mas.. maka jangan menyalahkan kl masih taklid, karena memang ilmunya belum sampai.

    Anda salah atau benar.. saya tidak tahu. Coba hubungi ustadz/kyai terdekat. Hanya kl boleh menyarankan, coba belajar masalah hati. Supaya tak terjebak ke masalah halal haram terus-terusan. Juga biar membuka wawasan.

    Mohon maaf kl tak berkenan. wallahu a’lam.

  126. assalamu alaikum. dengan rendah hati saya mohon maaf kalau tulisan dan komentar saya selama ini kurang berkenan. dan saya sementara mohon pamit kepada saudaraku semua. saya takut kalau diskusi yg selama ini berlangsung akan menjadi jidal yg pada akhirnya hanya akan menambah kerasnya hati ini dlm menerima kebenaran, dan makin menjauhkan kita dari amalan. kebenaran dan hidayah itu datangnya dari allah subhanahu wataala. seseorang tidak kan bisa memaksakan kepada orang lain untuk mengikutinya,atau mengikuti pemahamnnya ,semua itu seiring dengan hidayah yg diberikan allah azawajalla. dan hidayah itu harus dicari dengan menuntut ilmu yg benar,ilmu yg datang dariAllah subhanahu wataala lewat lisan suci rosulnya, yg pertama kali diajarkan kepada para sahabtnya, yg jauh dari kukurangan dan udah sempurna.apa yg 14 abad yg lalu menjadi agama sekarangpun begitu juga, dan hendaknya kita jangan menambah atau menguranginya, kebenaran telah diajarkan oleh almusthofa salalahu alaihi salam,terang benderang spt cahaya surya. saudaraku semua….kita ini masih seislam dan seiman yg insya allah akan menikmati indahnya syurga yg dijanjikan allah azawajalla. mudah2an allah swt melembutkan hati2 kita,dan memudahkan hati kita untuk menerima kebenaran. barakallahufikum ,saya mhn pamit assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh.

    –> wa’alaikum salam wrwb. sama-sama mas.. mohon maaf juga kl ada kesalahan. semoga petunjuk dan sukses menyertai anda. amien. Agama yg telah sempurna 14 abad yg lalu itu tentunya berlaku sampai sekr. Tidak hanya berlaku untuk 14 – sedikit abad yg lalu saja. Maka segala perbuatan kita pasti dapat dihukumi dgn syariat tsb, bukannya perbuatan kita yg semuanya baru (14 abad kemudian) dihukumi bid’ah sesat semuanya. Ukurannya syariat mas.. bukan baru tidaknya. Syariat manakah yg dilanggar.

  127. assalamualaikum………ane mau tanya ni, tentang artikel yang diatas. apakah bisa di katakan sunah bila berkumpul di rumah si mayit hanya mengadakan tahlil tanpa menyuguhkan makanan tetapi menyuguhkan hanya air putih,karna kluarga si mayit benar2 tidak punya. 2. apa doa itu akan sampai bila si tamu tahlilan merasa tidak ikhlas,karena tidak ada makanan. 3. apa dasarnya tentang 7 hari,40 hari,100 hari. 4. apakah bisa dikatakan haram apa bila keluarga si mayit mengadakan tahlil sedangkan tidak punya biaya cukup,tetapi dipaksa untuh hutang terlebih dahulu,dan apa bisa di katakan haram apabila keluarga si mayit mampu tetapi tidak mau mengadakan tahlilan. sebab apa sebagian orang islam mengatakan tahlilan itu hukumnya haram,sedangkan yang ane apabila seseorang berdoa sendirian belum tentu doanya itu diterima,dan apabila berdoa lebih dari 40 orang maka salah satu dari doa mereka pasti diterima…………………mohon jawabannya untuk menambah ilmu ane.

    –> wa’alaikum salam wrwb. Ada 3 hal, a. orang/keluarga mengadakan acara tahlilan, b. orang/keluarga berhutang untuk mengundang acara, c. tradisi 7 40 100 dst.

    Tentu saja orang mengadakan acara berdzikir insya Allah berpahala. Bersedekah (dengan suguhan makanan) insya Allah berpahala juga. Kalau hanya salah satu, berdzikir saja (tanpa makanan) atau sedekah suguhan makanan saja (tanpa tahlilan), maka insya Allah berpahala juga. Kalau tidak dua-duanya? Yaa tak mendapat pahala (dari kegiatan tsb) tohh mas. Tapi juga tak apa2 (tidak dosa).

    Bagaimana kalau dengan hutang? Kl hutangnya mampu ia bayar dan tak menyusahkan yaa.. tak papa kan, kredit motor saja boleh kok. Tapi kl hutang sampai tak terbayar(atau susah membayarnya), itu namanya mendzolimi orang lain, menyengsarakan diri/keluarga jelas mendzolimi keluarga. Kalau dzolim .. yaa berdosa. Mungkin saja dosanya lebih besar daripada pahalanya (mengadakan acara itu). Hanya Allah yang menentukan.

    Tentang tradisi 7 40 100 dst, itu hanya tradisi. Apa pun tradisi itu (tidak hanya tahlilan 3 7 40 dst saja), kalau itu baik, menjadikan kita lebih dekat kepada-Nya, lebih ramah thd sesama, yaa lebih baik diteruskan kan. Tapi kalau keburukannya lebih besar.. yaa dihentikan saja. Ganti dengan kegiatan lain yang positif.

    Sekr dilihat dari dua sisi, keluarga mayit dan tamu/undangan. Kalau anda keluarga mayit, jika anda ingin melaksanakan acara itu, silakan saja. Tentu dengan cara/harta yang baik, yang tidak bakal menyusahkan diri sendiri.

    Kalau anda sebagai tetangganya mendapat undangan tahlilan .. yaa datang tohh mas. Memenuhi undangan itu wajib hukumnya bagi sesama muslim. Kalau tak datang akan membuat keluarga si mayit tambah sedih. Anda tak perlu beraksi bak detektif dari mana biaya penyelenggaraannya atau berprasangka buruk .. karena itu akan menyakitkan hati. Kalau anda tahu terjadi hal-hal yg anda khawatirkan spt di atas, lebih baik menasihatinya baik-baik, sambil bawa amplop. Tidak perlu memperolok-olokkannya.

    Di sini anda dapat menilai, ketika ada orang diundang, dia sengaja tidak mau datang.. berprasangka buruk.. mengolok-olok lagi.

    Doa yang diaminkan orang lebih banyak .. jelas lebih ma’bul. Apalagi mendoakan orang lain.

    Demikian mas.. mohon maaf kl ada salah. wallahu a’lam. Semoga Allah selalu menunjuki dan meridloi kita. amien.

  128. pingin menanggapi Tahlil, yasinan dan maulid Nabi.
    sebenarnya yang bilang bidah tu pada tau ga arti dari tiga kata itu?
    Tahlil = Membaca kalimat “Laa ilaaha illallah” yaitu kalimat Tauhid
    Yasinan = Membaca Surat yasin
    Maulid Nabi = Kelahiran Nabi
    sesudah tau artinya masih berani bilang tahlil, yasinan dan maulid nabi bidah ?
    hati2 dengan ucapan anda
    jika anda membidahkan tahlil berarti membidahkan orang yang membaca kalimat Laa ilaaha illallah (kalimat syahadat)
    Jika anda membidahkan Yasinan berarti membidahkan orang yang membaca surat yasin..
    Membidahkan maulid nabi berarti membidahkan kelahiran Nabi…
    naudhubillah…

    • Tuan / Nyonya Hamba Allah yg di Rahmati Allah
      sebenarnya anda paham g sih apa yg di maksud dalam Tahlil,yasinan ato Maulid Nabi yg d maksud dalam Forum diskusi ini ??
      sudah tahu lah dan sangat jelas sekali ketiganya itu bukan Bid`ah,

      yg Bid`ah di sini Niat pelaksanaan ketiganya itu, atau bisa di bilang Upacara yang di ada2kan tanpa berdasarkan suatu Dasar Hadits ato Dalil yg Shahih, emang pernah apa pada jamannya Nabi dan Sahabat mengadakan Upacara Tahlilan orang yang sudah meninggal ?? terus membacakan Yasin agar pahala bacaannya dapat di sampaikan kpd yg sudah Meninggal?? atau upacara Khusus malam Yasinan ?? terus emang nabi pernah apa ngerayain Ulang Tahunnya ???

      jika anda membenarkan upacara ini brarti anda Biang Dhalalah dong yah ??
      Nau`dhubillah….. -_-

      –> mas mas .. baginda Nabi saw ta’ziyah .. iyaa. Kanjeng Nabi saw berdzikir tahlil iyaa.. baginda Nabi saw membaca yasin iyaa.. baginda Nabi saw mendoakan muslim yg hendak/telah meninggal iyaa.

      Kalau umat islam melaksanakan ke semuanya itu dicap dhalalah, yang manakah sesatnya. Apakah hanya gara-gara dijadikan satu? AApakah ada dalil bahwa kegiatan-kegiatan (dengan dalil2) yang baik.. menjadi sesat/dhalalah hanya ketika diadakan dalam satu waktu. Dalil dari mana?

      • buat admim
        kalo kamu tidak tau kesesatan yang kamu lakukan di dalam ta’ziah ana sedikit bantu biar kamu faham

        hukum asal ta’ziyah itu sunnah
        tujuan ta’ziah adalah untuk menghibur ahlu mayit
        berkumpul/mengumpulkan orang ketika ta’ ziah tidak di syare’atkan

        betul apa yag anda katakan bahwah nabi itu berzikir TAHLIL,MEMBACA SURAT YASIN,DAN BERDO’AH

        kalo admim mau sedikit kritis mungkin akan segera faham masalah bab ini
        ta’ziyah itu ibadah tersendiri,bukan ibadah secara umum bukan sperti yang kamu golongkan
        karna ta’ziyah ibadah yng mempunyai sebab,yaitu kematian
        adapun ,bacaan tahlil,membaca,qur’an,berdoa ini ibadah secara umum,

        didalam berta’ziah itu sudah di ajarkan oleh nabi tatacaranya,
        kalo ada orang yang mau nambah/ngurangi ya datangkan dalil..

        kalo anda bilang karna amalan itu hanya dilakukan sekaligus /dijadikan satu menjadi bid’ah sesat/dolalah darimana dalilnya
        jawabanya dalilnya dari nabi juga sahabat tidak pernah melakukan hal itu

        buat admim
        saya mau tanya kenapa para kiyai /ustadz dipesantren2 mengajarkan tata cara berwudu
        kenapa buang2 waktu saja
        kenapa kok ngak disuruh nyebur saja dalam sungai dindonesia kan banyak sungai
        buat apa dia merinci aturan dalam berwudu?bukankah kalo menyebur kesungai juga sudah basah semua

        dan kenapa kalo bertayamum hanya disuruh mengusap muka dan tangan saja
        kenapa kok ngak di suruh gulung aja di tanah kan lebih berdebuh

        saudaraku kita sudah saatnya belajar kritis karna islam ini sudah sempurnah
        kita tidak butuh tambahan dari HABIB HABIB SYAITONIYAH.DAN PENDUKUNGNYA

    • hai sdr ku,aku doeloe biasa tahlilan tapi alhamdulillah semenjak ngaji n terus belajar ke guru yg jelas ilmu n akhlaqnya HIDAYAH ALLAH SWT inya Allah senantiasa menunjuki jalannya yg LURUS.Jadi..sgl aktifitas amaliah kita harus senantiasa ada dasarnya/dalilnya agar ibadah kita diterima Allah SWT..jgn ikuti apa kata guru/org2 tua kita bila tidak ada dalilnya..begitulah perintah Nabi yg MULIA Muhammad sollollohu alaihi wasallam.

      • Ahmad Yasin
        Saya sangat setuju. Sebaik2 petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Petunjuk seorang ustadz, walaupun ia digelar k.H., ulama, Habib, dsb. tdk perlu diikuti selama ia tdk menunjukkan dalil karena petunjuk Rasulullah sudah sempurna. Abubakar Siddiq, Umar bin Khattab, dan shabat2 lainnya yg dijamin masuk surga tdk mengamalkan apa yg tdk diperintah agama. Mereka juga tdk bergelar habib atau yg lainnya.

        Andri
        Yang benar adalah yg dicontohkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak mengerjakan yg tdk dikerjakan Rasulullah dijamin tdk berdosa. Jika kita istiqomah, maka itu termasuk contoh perbuatan mencintainya. Mengapa tdk mengerjakan amalan yg sdh pasti? (sdh pasti ada contoh dari Rasulullah).

  129. HaBib yg mulya ilmunya,gimana? Dgn imam syafi’i yg ktanya wahabi yg mengharamkan tasawuf dan bagaimana tentang rebo wekasan pd hri rabu terakhir di bulan shafar mohon penjelasannya

  130. gue mo komentar cuma takut salah ( jadi dosa deh..) cuma mengingatkan jika belum cukup ilmu mending nggak usah ikut komentar deh, kalau yang dah cukup ilmunya bolehlah agar wawasan kita2 bertambah, karena berat resiko orang yang bicara tanpa ilmu (hanya merasa dirinya berilmu ). kritik buat habib ndak usah mengatakan orang lain bodoh / kurang ilmu cukup katakan kebenaran adalah milik Allah. Karena anda bukan patokan kebenaran ( lalu menyalahkan pendapat orang lain ). menuduh sesama muslim sangat berat kan bib karena kalau betul tidak maka tuduhan itu akan berbalik kepada kita. sukron

  131. Tahlilan dan Yasinan TDK ADA CONTOH..YA..
    DI ZAMAN Rasulullah..TDK ADA YG MENGERJAKAN Tahlilan dan Yasinan
    BANYAK..SAHABAT Rasulullah.YG WAFAT BERJIHAT
    TAPI.. Rasulullah TDK PERNAH Tahlilan dan Yasinan

    –> BANYAK..SAHABAT Rasulullah.YG WAFAT BERJIHAT. TAPI.. Rasulullah TDK PERNAH nge-blog, atau nulis komentar di blog.

    • kanng dul

      sebenarnya mereka itu tahu kalo amalan semacam itu ngak pernah dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya,,,

      akan tetapi yang buat rujukan mereka itu bukan nabi dan para sahabatnya,,tapi WALI SONGO DAN PARA HABAIB,,kalo seandainya mereka mengikuti imam safi’i saja mereka juga tidak akan melakukan,sebab imam safi’i menghukumi makruh soal ma’tam didalam kematian,,bahkan dari kalang nu sendiri itu menghukumi makruh lihat hasil mu’tamar di surabaya thn 1926

      –> beginilah kl orang belajar madzab syafi’i Dan/atau NU tidak dari ulama syafi’i yah. Ngawur..

      • cobah baca kembali pendalillan sang ahli hadist dari seorang yg ngaku2
        ahlu bait/habib alias keturunan nabi,,

        حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

        “riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.

        nah sekarang mari kita ungkap bersama kebohongan dan kebodohan sang idolah
        telah BERHUJJAH DENGAN HADIS INI untuk membodohi ummat

        kalo selamatan kematian di tarik menjadi sodaqoh apa lagi menganggap undangan ahli mayit terhadap NABI dianggap selamatan,,maka sang HABIB telah berbuat KEJJI terhadap Rasulalloh

        dan sang HABIB sampai disi telah terkuak kebohonganya dan kebodohanya,,

        PERTAMA
        sang habib menuduh rasululloh memakan dari SELAMTAN/SODAQOH
        KEDUA
        sang habib sendiri tidak paham kedudukan AHLU BAIT
        kok ngaku2 ahlu bait atau kelurga nabi,
        yang selalu menghadiri selamatan /sodaqoh kematian

        padahal UNTUK SELURUH KELUARGA AHLU BAIT DIHARAMKAN MAKAN DARI HARTA SODAQOH,,insa;Allah akan kami tuliskan hadist laranganya tentang bab ini

      • inilah dalil pelecehan mundir musawa
        terhadap rasululloh
        وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة

        Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.

        marilah kita belajar kritis bukan taklit buta,
        masak pendalilan macam begini kok dianggap benar
        ini adalah dalilnya orang bodoh dan seorang penipu hanya demi mencari jamuan orang mati

        pantaskah nabi digolongkan dengan seorang fuqara’yang makan dari sodaqah,
        padahal undangan seorang wanita keluarga simayit itu
        bentuk penghormatan kepada seorang nabi
        bukan untuk sodaqah,,

        apakah dalil semacam begini yang disebut sanatnya bersambung/mangkul
        ini dalil pelecehan terhadap nabi

        masak keturunan nabi ngak tau kalau kelurga ahlu bait itu di haramkan makan sodaqah,,
        ini berarti habib mundir sendiri ngak tahu kedudukan ahlu bait/alias BOHOOOOONG

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Anda akan menunjukkan kebohongan dan kebodohan sang Habib dan menuduh sang habib berbuat keji terhadap Rosululloh tapi malah yang kelihatan adalah sebaliknya bahwa Anda ngawur memahami apa yang dijelaskan oleh sang habib.

        Sang habib mengatakan (saya tulis lagi tulisan beliau ) :

        Habib : Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :

        Inilah penjelasan sang Habib dalam membahas hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud,

        JADI SEKALI LAGI TUDUHAN ANDA NGAWUR DAN NGAWUR.

        Disana sang Habib hanya menunjukkan bahwa Rosululloh dan sahabat pernah makan di rumah duka (ahli mayit) karena beliau diundang.

        Nah hal ini berimplikasi hukum bahwa atas bolehnya makan di rumah duka dan bukan merupakan keharaman.

        Jadi secara tekstual hadits itu tidak dalam kapasitas pembicaraan sodaqoh. Hal itu bisa kita lihat dalam redaksi arabnya setelah hadits itu sebagai berikut : ( saya postingkan lagi redaksi arab setelah hadits itu ) :

        نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

        Hadits itu menunjukkan penjelasan yang nyata bahwa Rosululloh SAW menerima undangan ahli mayit kemudian beliau dan para sahabat berkumpul dirumah ahli mayit setelah penguburan dan mereka makan di sana.

        Nah dari situ jelas dan nyata tuduhan Anda terhadap sang Habib tidak benar dan ngawur serta tidak ilmiah.

        kemudian,

      • buat mas imam

        perkataan ini sudah jelas dan ngak perlu dirinci lagi
        bahwa kang musawa
        mensyaratkan bolehnya undangan itu harus fuqorok,kala orang kaya maka hukumnya terlarang dan makruh,,dan sang idolah mencontohkan yg fuqarah itu nabi,dan sahabatnya

        tapi kalo yang bersama nabi ketika diundang ada abdurahman bin auf atau umar/abu bakar
        saya ngak tau apa yang akan sang habib katakan buat bodohin umat

        kalau anda punya riwayat yng valid siapa sahabat yang bersama rasululloh
        ana mohon di cantumkan
        kalo anda punya bukti yg hadir ketika itu memang dari kalang sahabat yg fuqarah
        dengan rendah hati ana ralat tuduhanku terhadap habib anda

        kalau tidak aku akan lebih semangat lagi untuk
        mentahdiir sang pendusta agar umat tidak mudah dibohongi

        ana ngak perlu coment anda kemana mana dulu
        tapi tolong jawab pertanya saya karna ini menyangkut
        pribadi orang

        dan ana sudah hadirkan perkataan dusta habib anda
        sekarang vana tunggu jawabanya
        وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة

        Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Katanya Anda ingin membahas secara ilmiah ??? ko malah Anda sendiri yang tidak ilmiah….

        Ada dua hal yang menjadi pembahasan Anda ( lihat di atas ):

        1. Tentang hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud

        yang oleh Anda Sang habib dituduh dengan kata2 Anda sebagai berikut :

        nah sekarang mari kita ungkap bersama kebohongan dan kebodohan sang idolah
        telah BERHUJJAH DENGAN HADIS INI untuk membodohi ummat

        kalo selamatan kematian di tarik menjadi sodaqoh apa lagi menganggap undangan ahli mayit terhadap NABI dianggap selamatan,,maka sang HABIB telah berbuat KEJJI terhadap Rasulalloh

        dan sang HABIB sampai disi telah terkuak kebohonganya dan kebodohanya,,

        Komentar saya :

        Itulah kamus fasad Anda kepada sang Habib berupa kata2 : kebohongan, kebodohan, membodohi umat dan berbuat keji terhadap Rosulluoh.

        Saya membuktikan dalam membahas hadits ini bahwa sang habib hanya mengatakan :

        Habib : Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :

        Dan

        Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?

        Kenapa malah Anda melenceng dari perkataan sang Habib, Anda itu aneh…..

        PEMBAHASAN ANDA YANG KEDUA :

        2. inilah dalil pelecehan mundir musawa
        terhadap rasululloh
        وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة

        Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.

        Dan ini belum saya bahas.

        Makanya kalau membahas masalah itu satu2 biar tidak kacau dan salah tafsir mas….

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Komentar Anda pada bagian kedua :

        inilah dalil pelecehan mundir musawa
        terhadap rasululloh

        وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة

        Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.

        Tanggapan saya :

        Setelah Anda membuat kamus caci makian kepada sang habib di komentar sebelumnya, sekarang Anda menambah kamus fasad itu dengan kata2 : pelecehan Mundir Musawa ( sebutan Anda ) kepada Rosululloh SAW.

        Baik, sekarang saya bahas secara ilmiah :

        Tidakkah Anda membaca dengan lengkap bahwa redaksi arab yang Anda tuliskan berasal dari kitab Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116, jadi kalau Anda menuduh sang Habib itu melecehkan Rosululloh , adalah salah alamat karena sang Habib itu hanya menukil dari kitab itu.

        Pertanyaan apakah kutipan dalam kitab itu salah ?

        Untuk Mudahnya akan saya terjemahkan versi saya :

        Dan adapun penyediaan makanan oleh ahli mayit, apabila tujuannya untuk diberikan kepada orang2 miskin maka hal itu tidak mengapa kerena adanya dalil bahwa Rosululloh telah menerima undangan seorang perempuan ahli mayit ( dan Rulululloh berkenan memakan hidangan makanannya itu ) seperti dalam riwayat Sunan Abu Daud.

        Sedangkan apabila penyediaan makanan oleh ahli mayit, apabila tujuannya untuk diberikan hanya kepada orang2 kaya dan untuk pesta perjamuan maka hukumnya terlarang dan makruh, karena berdasarkan dalil hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah.

        Pendapat saya :

        Dalam redaksi arabnya tertulis لا بأس به ( laa ba`sa bih / tidak mengapa ) artinya memang tidak mengapa memberikan makanan oleh ahli mayit kepada orang miskin, apakah itu ada larangannya bahwa orang miskin tidak boleh makan di rumah ahli mayit ?

        Karena Muhammad SAW sebagai Rosululloh telah mencontohkan bahwa makan di rumah duka / ahli mayit itu boleh dan bukan hal yang dilarang, berdasarkan hadits riwayat Sunan Abu Daud.

        Jadi persoalannya bukan terletak bahwa Rosululloh miskin atau tidak tapi pada pokok permasalahannya pada kebolehan makan makanan di rumah duka/ ahli mayit.

        Berbeda dengan memberikan makanan kepada orang kaya dan untuk pesta jamuan, karena hal ini bukan hal yang dibutuhkan.

        Jadi jelaslah pemahaman Anda dengan kami jelas jauh berbeda, dan Anda telah salah tafsir.

      • untuk mas sukirno hady
        kayaknya yang dusta anda deh, apa yang anda nukil itu ucapan habib munzir padahal bukan mau bukti nih saya copykan ya

        Ijtima; ila ahlilamyyit

        وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة

        Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
        (Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116)

        lihat yang didalam kurung itu artinya habib munzir menukil dari kitab syarah sunan ibnu majah. bukan perkataan habib munzir.

        trus dengan nukilan yang salah itu anda mencaci maki habib munzir dengan sebutan pendusta dan bohong.

        trus anda dijelaskan oleh mas imam anda malah minta dalil yang lebih rinci pake harus ada nama nama sahabatnya.

        jadi kesimpulannya sama seperti yang habib suka bilang
        1. anda itu tidak mengerti cara mengambil nukilan orang, yang berarti anda bodoh
        2. anda tahu cara mengambil nukilan orang tetapi anda sengaja merubah nukilan. itu yang berarti anda seorang pendusta

        wallohualam

      • buat kang roni
        terlepas menukil atu copas dari mana saja
        tapi itulah pendalilan sang habib

        yang jelas membagi dua persyaratan sarat diterimahnya selamatan kematian yaitu boleh berselamatan kematian kalo yang diundang orang miskin saja sedangkan yang kaya maka dilarang,

        nah kalo mau jujur sang habib harusnya ketika diundang jangan datang dengan alasan saya tidak berhak memakan sodaqah,
        bapak undang yang fakir saja,tapi pada kenyataanya dia embat juga kan?
        nah kalo demikian pendapat sanghabib menyelisih perbuatanya sendiri

        kan di undang hukumnya wajib?
        betul di undang hukumnya wajib
        kalo tidak ada penyimpangan dalam undangan tersebut
        sebab kalo yang kaya dan ahli bait mengembat sodaqah ini
        namanya dolim

        buat kang roni
        sebenarnya pendalilan semacam ini kalo kita mau kritis
        ini hanya tipuan syaiton saja,,

        karna pada prakteknya di masayarakat
        ketika mengundang selamatan tidak pernah ada yg pilih2 ini miskin dan ini kaya tapi mereka undang semua orang di sekitarnya,,

        sadarlah sampai kapan berhenti membodoh2hin ummat yng awam
        kalian akan di tanya dihadapan allah
        atas kedustaanmu ini

      • buat mas sukirno

        gimana anda mengatakan kesalahan nukil itu hal yang biasa, sedangkan nukilan itu anda jadikan landasan untuk mencaci maki habib. tatkala anda melakukan kesalahan, yang pertama dilakukan adalah meminta maaf atas kesalahan anda. dan melihat kembali dalil secara menyeluruh.

        bukan anda membuat kesalahan trus yang ber ulang saya kasih contoh ya ini kutipan dari sanggahan anda kesaya:

        yang jelas membagi dua persyaratan sarat diterimahnya selamatan kematian yaitu boleh berselamatan kematian kalo yang diundang orang miskin saja sedangkan yang kaya maka dilarang,

        tolong tunjukan di artikel sebelah mana habib membuat syarat seperti diatas. yang menyatakan itu hanya anda saja kayaknya.

        anda boleh aja mengkritisi dalil mana pun yang anda mau tapi bisa jadi hasil kritisi andalah yang sebenarnya dari syetan.

        kalo saya lebih memilih dalil dari habib soalnya pendalilannya mengacu pada ulama ulama terdahulu tidak dalil olah pikir sendiri, dibandingkan dengan dalil dari anda yang seperti ngambil dari quran dan hadist tapi kesimpulannya hasil olah pikiran anda sendiri,

        jadi yang lebih besar kemungkinan tersusupi pikiran syetan adalah pikiran anda deh.

        untuk pernyataan terakhir anda, saya kembalikan lagi ke anda bahwa kebohongan anda juga akan dihadapkan ke alloh.

    • halo2 buat
      admim

      anda itu sangat ngawur kalo memberi sanggahan terhadap DUL
      apa sangkut pautnya blog sama jihad

      kalo blog itu hanya sarana
      jihad itu ibadah

      jadi sangat kelihatan kalo anda itu ngawur banget
      kematian dijadikan sarana untuk tahlillan
      sedangkan blog dijadikan sarana untuk da’wah

      kalao kematian boleh dijadikan sarana berarti boleh membunuh sebanyak2nya asal dijadikan untuk sarana tahlillan/ibadah

      sepertihalnya anda boleh membikin blog sebanyak2nya asal untuk sarana da’wah

      buat admin kalo bicara pakai………dong
      jangan pakai dengkulllllllllllllllll

    • hoho…walisongo yg masyhur waliyulloh dipilih allah sbagai pewaris nabi masih disalahkan mereka…mungkin orang2 yg berkata ni sangat suci hatinya dan dipilih allah sebagai penunjuk kebenaran…kkkk,,, sangat tinggi derajatnya di hadapan allah dan dikaruniai rahasia luar biasa diatas para waliyulloh..hebat hebat…hihi sangat bagus haliyah mereka yang harus kita tiru..orang gila pun msih meragukan mereka kalau itu pembawa kebenaran…keliatan tuuuuuh hatinya uda pada ga bener..suka cemooh para auliya hoho…sangat memaksakan diri menjadi yang paling bener kkkk…..ziaroh,tahlil,yasin ???? tuh ngaji madzhab arba’ah yang bener..jgn sepotong2…lagian ga ada madzhab arba’ah yang fahamnya kaya wahabi…ngaji aja masih pake quran,quran aja zaman nabi ga ada…tu bid’ah namanyaaaaaaaaaaaa…bilang bid’ah eh juga nglakuin bid’ah ga sadar kkkk…makanya ngaji biar faham maksud bid’ah dan rincian pembagian bid’ah pada tau….kkkkk….yaa itulah hal hal yang baru ni senengnya pada ngawur,bier jadi agama gaul…memang dari dulu penyakit ngeyel tu dari orang2 yg dangkal ilmunya kkkkk…lelucon model faham apalagi nih kkkkkkkkkkkkkkkkk….

      • kang paijo

        dikitab apa imam arba’ah membahas tahlilan,dan yasinan untuk orang mati
        tolong sebutkan satu saja

        nanti kalo ada dan benar orang wahabi langsung pindah siap jadi orang N,U alias suffi

        kalo ngak ada anda telah berbohong alias dusta,dengan nama mereka
        ingat yg saya minta bab tahlilan dan yasinan untuk orang mati 3,7,40,dst

        kang paijo kalo ngomong sedikit dikontrol biar ngak terlalu ngawur
        kalo zaman nabi belum ada alqur’an lalu siapa yg menerimah wahyu qur’an itu sendiri,dan para sahabat menghafal dan menulis qur’an juga di zaman nabi

        hanya saja pengumpulan lembaran2 alqur’an itu dimasa sahabat
        tapi saya salut juga sama kenekatan anda walaupun ngak punya modal masih berani coment,,pokoknya BONEK

  132. Woi Habib , orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu itu Anda , enteng Banget ngata2in org , Ingat Pak Habib , terkadang perbuatan dan perkataan kita itu tanpa di sadari dapat menghapus amal kebaikan ,,,,

    Lebih baik kita tidak menyampaikan dalil yang ditetapi sebagai hadits lemah (dhoif), tidak ada asalnya (Laa ashla lahu), atau palsu (maudhu’) Supaya qt Selamat dan terhindar dari anceman Rasulullaahu shollallaahu ‘alaihi wa sallam

    “Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan fal yatabawwa’ maq’adahuu minan naar”.
    Barang siapa yang berdusta padaku secara sengaja, maka bersiaplah untuk menempati tempat tinggalnya yang telah disiapkan untuknya nanti di neraka) – Shahih Muslim No.1209.

    udah jelasnya amalan org yg g terputus bagi org yg sudah meninggal itu hanya ada 3 yg udah dy lakuin di masa kehidupannya : Amal Jariyah, iLmu yang bermanfaat , dan anak yang shaleh …

    kalo udah meninggal, ya meninggal, hanya amalan itu yg dapat menolong, g ada lg penyambungan pahala melalui kebaikan ato amalan org lain, ,, Heddeeeh -_-

    –> Simak hadits dan pendapat Imam Nawawi berikut,

    Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).

    Berkata Imam Nawawi pada kitab Al-Azkaar : ‘ Dan disunatkan bagi yang ziarah kubur itu memperbanyakkan daripada membaca Al-Quran dan zikir dan berdoa bagi demikian penghuni kubur dan sekelian yang telah mati dan sekelian orang Islam.’

    wallahu a’lam.

    • buat atmim
      hadist sodaqoh itu sudah disepakati kebenaranya ,bahwa sampai pahalanya bagi simayit,
      tapi bukan selamatan kematian

      adapun soal bacaan alqur’an itu tidak sampai menurut pendapat imam syafi;i
      kalo menurut anda sampai tolong hadirkan dalilnya

    • BUAT MERE
      memang betul kalo sodaqah itu sampai pahalanya kpd simayit karna ada dalil yang mendukung

      tapi bukan jamuan untuk orang mati/ selamatan kalo yang ini
      malah dilarang oleh nabi

      kecuali dari golong habib saja yang ngak dilarang
      kan dia keturunan nabi
      siapa yng berani melarang habib

      kalo melarang habib itu kuwalat,,,,,

  133. gitu aja kok repot…buat yg anti bid’ah semasa hidup rosululloh tidak pernah menyuruh membukukan al quran…semua al quran sekarang hukumnya bid’ah karena al quran adalah kalam qodim..ya udah klo anda msih punya al quran di bakar aja biar ga dinamakan pengikut bid’ah pula , ada rosululloh nyuruh pasang pengeras suara/speaker di masjid2..?baiknya pada dilepas biar ga dikatakan bid’ah..ga ahlu sunah ga wahabi ga syiah smua nglakuin..buat yang yakin allah tidak tuli dn doa anda bermanfaat bagi ortu anda yg sudh mniggal silahkan lakuin toh kdudukan anak sholeh tu untk apa lo ngga doain ortunya..yg ngga percaya doanya bermanfaat buat orang yg meninggal/ahli kubur yah tak doain bpak ibu anda smoga diakhirat dihukum sebarat2nya,di azab allah seberat2nya,disiksa di kubur seberat2nya,dimasukkan bersama golongan orang kafir di neraka jahannam selama lamanya amiin yarobbal ‘alamiin yaa samii’u yaa ‘aliim..eit jgn marah dulu..ni cuma brcanda krena doa orang hidup kan gak pernah sampai kpada mayyit..ehm jdi nyantai aja doaku ga bakalan sampai..buat yg pengin ikut al quran dn sunnah jgn tanggung2..ga usah pke ulama2 sbb percuma..langsung ja ikuti secara tekstual apa isi al quran dan hadits…biar tambah bingung mahaminya heh heh….semua pada ngaku bener sih..kmu pada tahu ngga ntar kamu pada mati husnul khotimah apa sebaliknya ? kuk pda sneng udur2an ribut bantah2an..orang kafir aja yang hidup dinegara islam dilindungi sama rosululloh..giliran kmu udah makan enaknya gak ingat rosululloh dan pra sahabat, solihin,mujtahidin,ulama…doain aja ngga pernah.. hyo ngaku2..yah mungkin itulah yg diajarkan rosululloh pda kita..anda sndiri pda ngga tahu ntar selamat pa ngga di akhirat..knpa msti ngomongin orang lain ga selamat ? “..seneng ngafirke marang liyane kafire dewe ndak digatekke..yen isih kotor ati akale..” betapa dalam kandungan syair tersebut buat pelajaran bagi orang yg mau berfikir..indonesia berdiri bukan milik nu,wahabi,syi’ah,budha,kristen dll..lindungi hak masing2..bhineka tunggal ika..ahlu sunnah wal jama’ah,syi’ah,wahabi dll.. silakan yakini apa yg anda yakini jgn brdebat trus..giliran non muslim mengadu domba dan menjelekkan kita loe smua pda diem aja kya kambing ompong..sedih sekali baginda rosululloh mlihat kita ..lihat disini :http://indonesian.alisina.org

  134. kalo ente ngomong semua bid’ah itu sesat ente bisa berbuat apa di zaman sekarang ini yang sudah serba canggih…
    apa semua itu harus dibilang bid’ah juga??

    afwan.
    wallahu a’lam

    –> di dunia ini, apa sihh yang tidak bisa dijadikan ibadah. Kita hidup di dunia memang untuk ibadah.

    • buat kang rama
      saya ingin sedikit mengulangi pembahasan tentang bid;ah
      padahal masalah ini sudah saya bahas sama mas imam
      lalu terhenti karnah mas imamnya tidak pernah on lagi

      yg mengatakan kullu bid’atin dolalah itu nabi bukan kami,
      ulama’ dari golangan kami salafyun memberi pengertian bid’ah itu hanyalah dalam ibadah,

      bukan urusan dunia karna nabi tidak di utus untuk urusan bikin rumah atau pesawat,tapi di utus bagaimana kita beribadah yg sesuai dngan kemauan allah

      ana kasih contoh yang paling gampang
      ROKOK pada zaman nabi belum dikenal padahal masa itu sudah ada
      dan rokok pada hakekatnya itu urusan dunia
      bukan ibadah

      lalu kami tidak mengatakan ROKOK ITU BID’AH tapi setelah dicek oleh seluruh dokter didunia ini bahwa rokok mengandung RACUNyg mematikan, maka ulamak sepakat keharamanya,

      kami tidak katakan pesawat itu bid’ah mobil itu bid’ah
      karna itu bukan urusan ibadah,

      sebab urusan dunia ini sudah punya hukum sendiri,MUBAH/boleh
      anda boleh hajji pakai pesawat/jalan kaki/naik mobil dll,yang wajib hajjinya bukan naik kendaraanya atau jalan kakinya,

      yag penting hajjinya kemekkah tapi kalo ke india makkah hajji antum hajji bid’ah
      atau antum hajji dengan jalan kaki tapi tawafnya sepulu puteran,itu juga tawaf yg bid’ah,,walaupun seandainya antum bertawaf pakai sepeda ontel kalao tawafnya 7 puteran makah tawaf antum syah /sunnah

      lo kan nabi tidak pakai sepeda ontel
      tapi nabi pakai onta

      onta dan ontel itu hanya sama2 sarana bukan tujuanya,yg hukumnya mubah/ boleh
      semoga anda bisa faham

      • yaa bginilah klo bntar2 mkan sabda nabi buta…imam syafi’i menguraikan tentang sabda nabi tentang bid’ah dlm hal ibadah masih ada 2 : bid’ah hasanah dan bid’ah dlolalah…apa dan bagaimana sih detailnya ? silakan kaji kitab2 syafi’iyyah…q jga heran sma orang2..sudah mayshur para auliya/wali pengikut setia dan pewaris nabi…mereka selain suci sangat taat beribadah tak lepas qolbunya dzikrulloh..ibadah.amaliyah jelas kita ga ada apa2nya…karena kita ni masih banyak munafiknya tentang ibadah,,,,kita ni msih banyak munafiknya tentang agama..prcya pa ngga ???kita ngaku aja ga usah malu2…ga usah neko2 dgn kedangkalan ilmu pda kita..,saya heran.. orang suci sederajat auliya yg dipilih allah sebagai pewaris rosulluloh masih bisa disalahkan dan dilecehkan …mmang derajatnya mereka tu kayak apa di hadapan allah ? maunya sih pengikut nabi yang paling benar gitu..orang2 ahli ilmu haq dn para wali allah malah disalahkan…maunya nyari kebenaran yang kayak apa ? ngaji dulu dong yang bener syukur2 madzhab 4 dikuasai semua baru komentar..jangan ngaji diluar madzhab 4 karena sangat diragukan,.ngaji ja terjemahan,syarat sah sholat ja ga hafal2 kalo ga buka buku kkkk..,oh iya belum tahu ya imam syafi’i pernah ziaroh ke kuburan? maka ngaji ntar ketinggalan lho..belum tahu ya para auliya pernah berziaroh ke makam ? ngaji yang banyak yuk ntar ketinggalan…orang pinter tu lo semakin pinter ga dpt barokah manfa’at ilmu akan semakin melesat jauh dari alloh hoho..saya heran imam madzhab 4 yang mashur,pengikut2 imam madzhab ,ashab smpe mujtahidnya madzhab..kuk ngga’ ada yg berfaham kaya wahabi ya…justru kitab2 beliau nih sering dipake wahabi buat hukum fiqih dll….kasihan orang awam dunk..dikira madzhab arba’ah pendukung wahabi..rosululloh pernah melarang ziaroh tapi akhirnya juga menganjurkan ziaroh…jangan diambil separuh ya haditsnya kkkk….ngga’ tahu dimana kitabnya ??ngaji duluuuu…eit klo ambil keterangan dari madzhab arba’ah loooo jgn diluar madzhab 4 kkkkk..

      • buat paijo
        sangahan anda tidak sambung dengan apa yang ana katakan
        kalo benar anda pernah belajar tentang fiqih imam syafi’i

        coba anda bawakan contoh perkataan imam safi’i tentang bid’ah hasanah
        kayak apa perkataan beliau dalam mencontohkan tentang bid’ah hasanah dan dolalah,saya minta perkataan imam safi’i aslinya
        bukan perkataan habib rombeng

        dan coment yg semrawut kayak gini ini menunjukan semarawutnya pemahamanya apa ngak adalagi yng sedikit ilmiyah,,biar sedikit gayeng

  135. Untuk Saudara Sukirno,

    buat kang rama
    saya ingin sedikit mengulangi pembahasan tentang bid;ah
    padahal masalah ini sudah saya bahas sama mas imam
    lalu terhenti karnah mas imamnya tidak pernah on lagi

    yg mengatakan kullu bid’atin dolalah itu nabi bukan kami,
    ulama’ dari golangan kami salafyun memberi pengertian bid’ah itu hanyalah dalam ibadah,

    Tanggapan saya :

    Bukan saya berhenti dari pembahasan dengan Anda karena saya setia dengan blog pembela sunah ini, terakhir malah saya membahas terhadap seseorang yang taqlid buta kepada Pak mantan kyai NU, disana saya bahas bagaimana mereka menipu umat (silakan Anda lacak sendiri judulnya di blog ini ).

    Kerancuan Anda ( dan sudah banyak saya bahas ) dalam mengkaji sebuah hadits :

    Kullu bid`atin dolalah ( semua bid`ah adalah sesat )

    Kalau Anda tidak membagi bid`ah maka ranculah pemahaman Anda tentang hadits itu.
    Karena Anda sendiri membagi bid`ah hanyalah dalam agama artinya adanya bid`ah diluar agama artinya Anda juga membagi bid`ah menjadi dua.

    Kalau Anda membagi bid`ah menjadi dua maka berlawanan dengan hadits Kullu bid`atin dolalah ( semua bid`ah adalah sesat ).

    Bagi orang yang berpemahaman jernih pasti akan mengerti dan memahaminya.

    Mengenai pendapat Imam Syafi`i tentang pembagian bid`ah sudah banyak saya postingkan bahkan sebelumnya Anda telah membaca postingan saya itu, mengenai adanya bid`ah hasanah dan sayyiah ( silakan Anda cari sendiri ).

    • buat mas imam

      kasih contoh dulu apa yg dikatakan imam syafi’i yng disebut bid’ah hasanah dan dolalah untuk kami kaji

      ingat bid’ah hasanah/dolalah yg dibikin imam syafi’i
      bukan contoh dari sahabat karna itu sudah kami bahas

  136. ah pusing q bca comen dari atas…huff !!! q cuma meneliti ucapan2 diatas..q membaca,,dan q mengerti,,, wal hasil q cukup bisa lebih bnyak belajar dan tahu mana golongan yang menjaga akhlak2nya dan mana yang rusak akhlaknya…semakin mantab mau ikut aswaja…semoga allah slalu buka hatiku untuk menerima kebenarannya..amiiin yaa robbal ‘alamiin…blog yang sangat bermanfaat.

    –> sorry mas… komentar anda yang lain terpaksa saya delete. Tidak perlu ganti-ganti nama untuk menunjukkan dukungan. Mohon maaf.

    • ini saya suguhkan perkataan habib munzir
      yang suka mengarang2itu

      Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yg tak suka dengan dzikir

      jawaban saya
      dalam rangkuman tahlilan itu sangat fariatif
      entah siapa yang bikin ana belum tahu,,

      nah setelah ana mendapat kalimat dari sang habib ini
      mungkin kami akan menemukan titik terang tentang rangkuman bacaan tahlilan kematian ini siapa pencetusnya sebenarnya

      sang habib berkata tak satupun ulama,dan para aimma/imam yg memungkiri tentang rangkuman bacaan tahlilan,
      sudah kita fahami bersama kalau menyebut para imam maka disini adalah imam arba’ah[4]

      kalo benar yg dima’sud kang musawa ini benar
      ana mohon sebutkan
      ulama musatahid mana yg tidak memungkiri,?,dan imam siapa? dari kalang imam
      yng pernah menuliskan rangkuman tahlilan kematian seperti yang ada saat ini
      minimalnya yg telah mengoreksi rangkuman bacaan tahlilan

      saya butuh jawaban ilmiah
      yg mudah kita fahami

      dan saya mohon yang dimaksud ulama mustahid
      bukan wali songo[9]
      yg di ma’sud imam al imam madhab syafi’i dll
      bukan imam tahlil atau musolah

      untuk pencerahan ana tunggu jawabanya

  137. sudah..jelas…Tahlilan dan Yasinan..tidak..ada contoh..ya..
    kita di kasi..oleh..ALLOH SWT…akal..gunakan…akal..kita.
    jangan..mau..di bodoh..in..terus..jangan jd orang awam..terus…
    belajar….kita..orang islam..jangan sampai..kaga tau…agama..kita..sendiri..
    bagaimana…klo..kg..tau..kasi..an..anak..cucu..kita..

    –> ada mas.. lihat dalil di artikel.

    • buat admim
      dalil diartikel bukan membahas masalah tahlil tapi soal ma’tam
      jamuan dalm ta’ziah,,

      kalo masalah tahlilan dalam kematian saya kira belum di kenal dimasa sahabat bahkan di masa imam arba’ah

      itu hanya bentuk pelestarian budayah hindu bukan budaya umat islam
      antum lihat perkataan para kiyai nu sendiri

      kalo tahlillan ada contoh dari sahabat atau aimma arba’ah tolong hadirkan
      diartikel ini
      ini hanya dalil akal akalan orang ahli bid’ah
      dia memelintir dalil demi menguatkan amalan leluhurnya yang terlanjur membudayah,dan menjadi sumber penghasilan para pemalas yang menjual ayat2 Allah dengan harga yang murah

      –> lhaa iyaa.. berarti kan tentang ta’ziah juga kan, dengan isi sesuai judul artikel. Kalau tentang dalil/contoh/acuan tahlilan atau majelis tahlil, mungkin ini yg saudara maksud,
      https://orgawam.wordpress.com/2009/10/09/seri-tahlil-1/

      Panduan ada macam-macam mas.. silakan pilih ada di sini,
      https://orgawam.wordpress.com/2011/07/21/buku-panduan-tahlilan/

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Semoga penjelasan2 saya sebelumnya dapat mencerahkan hati Anda dalam pembahasan mengenai penghidangan makanan oleh ahli mayit, atau silakan Anda menyanggahnya pada bagian komentar yang sama ( jangan loncat-loncat biar mudah menanggapinya ).

        Satu pertanyaan saja untuk Anda dan tolong dijawab : TAHLILAN menurut Anda isinya bacaan Al-quran dan juga dzikir bukan ?

        Kalau Anda sudah menjawabnya maka baru saya akan membahas : Kenapa tahlilan masuk pada hari-hari ke 3,7 dan 40 setelah kematian.

        Komentar :

        itu hanya bentuk pelestarian budayah hindu bukan budaya umat islam
        antum lihat perkataan para kiyai nu sendiri.

        Tanggapan saya :

        Anda terlalu terburu2 mengatakan hal ini, sebab kami tidak melestarikan budaya hindu karena dalam budaya hindu tidak terdapat bacaan2 al-quran dan dzikir, mereka (mungkin) membaca mantra2 dll sesuai ajaran mereka.

        Di Masr pun ada hal semacam ini, ada yang dengan mendirikan kemah besar untuk para tamu disamping rumah ( hal ini juga ada di Saudi Arabia – saya lihat dengan mata kepala sendiri ) , cuma bedanya di Masr hampir mirip acaranya dengan di Indonesia sedangkan di Saudi tidak, yakni hanya minum teh manis dan kopi ( gahwa istilah mereka ).

        Jadi kalau beranggapan bahwa tahlillan hanya untuk pelestarian budaya Hindu bukan budaya umat Islam adalah praduga yang ngawur.

        Komentar Anda yang lainnya :

        kalo tahlillan ada contoh dari sahabat atau aimma arba’ah tolong hadirkan
        diartikel ini

        Tanggapan saya :

        Penggunaan dalil dengan kata : ADA CONTOH ATAU DICONTOHKAN ROSULULLOH ATAU SAHABAT, INI BUKANLAH DALIL karena dalil itu ada berdasarkan Al-quran dan Hadits, kalau dalam Al-quran ada maka ambil sebagai dalil dan kalau di Al-Hadits ada ambil juga sebagai dalil.

        Kata Rosululloh :

        Apa yang saya PERINTAHKAN maka KERJAKANLAH dan apa YANG SAYA LARANG maka TINGGALKANLAH.

        BUKAN DENGAN KATA : APA YANG SAYA CONTOHKAN MAKA KERJAKANLAH……….BUKAN SEPERTI INI.

        Kalau ada hadits berbunyi seperti kata Anda tolong tunjukkan kepada kami !

        Dalil penggunaan Hadits setelah Al-quran itu meliputi : qauliyah / ucapan Nabi, fi`liyah /perbuatan Nabi dan Taqririyah /ketetapan Nabi.

        Kalau Anda jeli pada bagian terakhir yaitu taqririyah / ketetapan Nabi, apakah Nabi mencontohkan dalam suatu perbuatan ?

        Jawab saya : TIDAK SAMA SEKALI, malah justru yang memberi contoh perbuatan itu ada shahabat Nabi.

        Jadi jelas penggunaan dalil : Ada contoh dari Nabi atau tidak perbuatan itu ? adalah penggunaan dalil yang tidak seratus persen benar. ( Semoga Anda mengerti ).

      • buat admin

        anda ini lucu banget kalo memilih dalil untuk tahlilan menguatkan amalan tahlilan anda

        ini dalil keutaman berzikir dan sebagai penyemangat untuk para sahabat
        agar tidak merasa putus asa dalam memperbanyak amal,,
        dan alloh memberi pahala setara dengan pahalah sodaqah

        ini dalilnya orang nu buat ngelabuhi orang bodoh
        karna tidak ada lagi dalil yng mendukung sehingga asal comot

        mana ada sahabat sodaqah untuk kematian pakai dalil ini
        sodaqoh pakai fateha,surat yasin,dll

        ini dalil yang bukan pada tempatnya
        kamu lihat asbaubul wurutnya hadis ini
        sebab2 turunnya hadist ini jangan ngawuuuuur atu

        Dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat berkata kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershodaqoh dengan kelebihan harta mereka”. Maka Nabi saw bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqaoh? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh, mencegah kemungkaran adalah shodaqoh dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh “. Mereka bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim no. 2376)

        Dari Ibnu Mas’ud r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang membaca sebuah huruf dari kitabullah -yakni al-Quran, maka ia memperoleh suatu kebaikan, sedang satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang seperti itu. Saya tidak mengatakan bahwa alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif adalah satu huruf, lam satu huruf dan mim juga satu huruf.” [Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih]

        1.

        –> lhaa gimana sihh mas.. katanya suruh menghadirkan dalil. Ketika dihadirkan ..anda bilang bohong. Kalau kata anda bukan pada tempatnya.. , terus.. tempatnya di mana mas. Kalau dalil itu kata anda berfungsi sebagai penyemangat sahabat, apa tidak boleh dengan dalil yang sama menjadi penyemangat umat juga?

        Dalil anda pun otomatis menjadi penambah dalil yg sdh kami ungkapkan.

      • imam berkata
        BUKAN DENGAN KATA : APA YANG SAYA CONTOHKAN MAKA KERJAKANLAH……….BUKAN SEPERTI INI.

        Kalau ada hadits berbunyi seperti kata Anda tolong tunjukkan kepada kami !

        jawabab saya

        shalatlah sebagaimana aku sholat
        ambillah untukmu manasik hajji dariku

        ini dalil yang kamu pinta
        semoga ngak muter lagi

        dan cepat sadar serta dapat hidayah aminn

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Komentar Anda sebagai jawaban dari pertanyaan saya :

        imam berkata
        BUKAN DENGAN KATA : APA YANG SAYA CONTOHKAN MAKA KERJAKANLAH……….BUKAN SEPERTI INI.

        Kalau ada hadits berbunyi seperti kata Anda tolong tunjukkan kepada kami !

        jawabab saya

        shalatlah sebagaimana aku sholat
        ambillah untukmu manasik hajji dariku

        ini dalil yang kamu pinta
        semoga ngak muter lagi

        TANGGAPAN SAYA :

        Sebuah jawaban yang bukan sebagai jawaban,

        shalatlah sebagaimana aku sholat
        ambillah untukmu manasik hajji dariku

        Dalil di atas bukan menunjukkan sesuatu secara muntlak bahwa suatu perbuatan HARUS ADA CONTOH DARI NABI SEBELUMNYA, KALAU TIDAK ADA CONTOHNYA BERARTI HARAM.

        Apakah Anda tidak memahami bahwa dalil yang Anda ungkapkan adalah kalimat perintah yang jelas2 masuk dalam ketegori dalil saya, yaitu :

        Apa yang saya PERINTAHKAN maka KERJAKANLAH dan apa YANG SAYA LARANG maka TINGGALKANLAH.

        BUKAN DENGAN KATA : APA YANG SAYA CONTOHKAN MAKA KERJAKANLAH……….BUKAN SEPERTI INI.

        Perintah dalam hal ini ada yang masuk kategori qauliyah ataupun fi`iliyah ataupun taqririyah. (Semoga Anda paham ).

        Dan semoga Anda membuka hati Anda yang membatu itu dari penjelasan2 madzhab lain.

      • buat imam

        kalo dalil yang saya contohkan masih anda tolak
        karna tidak persis seperti yang anda mau
        terserah antum

        sekarang ana mintak datangkan dalil kehalalanya buah apel
        seperti keharamanaya daging babi

      • imam berkata

        Dalil di atas bukan menunjukkan sesuatu secara muntlak bahwa suatu perbuatan HARUS ADA CONTOH DARI NABI SEBELUMNYA, KALAU TIDAK ADA CONTOHNYA BERARTI HARAM.

        jawabanya saya

        ya kalo ngak ada contoh pasti haram atau rusak hajjinya atau sholatnya
        kenapa anda kalo i’tidal harus mengucapkan sami’alloh huliman hamidah
        kenapa ngak allohuakbar

        lalu kenapa anda sholat harus rukuk
        kok tidak ngesot saja

        tapi nabi berhajji kan ngak naik pesawat
        tapi naik onta

        Apa yang saya PERINTAHKAN maka KERJAKANLAH dan apa YANG SAYA LARANG maka TINGGALKANLAH.

        jawaban saya
        apakah nabi pernah memerintah selamatan dalam kematian
        atau khotijah mati nabi mengadakan selamatan atau memerintahkan kepada kelurganya khotijah
        kalo jawaban tidak
        mengapa anda melakukan?
        siapa yang merintah
        jangan jangan habaib yang menyuruh kan cucunya nabi

        toyib sekarang
        apakah nabi memeliharah jenggot
        apakah nabi pakainya tidak isbal
        kalo jawabanya ia

        lo kenapa anda kok kayak banci jenggatnya dicukur
        celananya nyapu jalan
        katanya perbuatan nabi itu mengandung perintah fi’liyah

        tapi mana buktinya kok jenggotnya pada dicukur celananya pada isbal
        padahal nabi tidak pernah isbal dan mencukur jenggotnya

        bohoooooong lagi bohooooong lagi apal aku,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

      • imam berkata
        Kalau Anda jeli pada bagian terakhir yaitu taqririyah / ketetapan Nabi, apakah Nabi mencontohkan dalam suatu perbuatan ?

        Jawab saya : TIDAK SAMA SEKALI, malah justru yang memberi contoh perbuatan itu ada shahabat Nabi.

        jawaban saya
        semua ulama sepakat tentang taqrirnya atau ketetapan nabi/perbuatan sahabat yg didiamkan oleh nabi

        tapi yang jadi pertanyaan saya apakah nabi juga mendiamkan tentang majelis zikir bid’ahnya sang habib
        danapa nabi juga mendiamkan tentang selamatan dan tahlilan dalam kematian

        apakah nabi juga mendiamkan kalian tabaruq dan tawasul kepada kuburan
        sedang nabi sekarang telah tiada
        lalu siapa yang mendiamkan bid’ah kalian ini
        siapa yang mentaqrir? apa anak cucunya nabi termasuk habib anda
        yang mentaqrir?

        mas imam ini bukan dalil
        bolehnya anda bikin syare’at baru setelah nabi meninggal,
        sabahat ketika mempraktekan suatu amalan lalu dibenarkan/disalahkan oleh nabi
        yang dibenarkan oleh nabi itu otomatis menjadi sunnah
        lo kenapa?,karna yng membenarkan itu nabi,bukan cucunya itupun kalo benar

        kadang kala nabi juga melarang suatu amalan padahal nabi melakukanya

  138. coba cek hadis yang dibawakan sang habib
    riwayat abu dawud

    حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي[ امرأته] فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

    dan telah diluruskan oleh abu jauzah
    namun sang habib tidak menjawabnya
    malah ngoce ngalor ngidul

    Abu Al-Jauzaa: Mari kita lihat riwayat yang ada di Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut ada di nomor 3332 :

    حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا بن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أ

    hadis yang dibawakan kang musawa telah dirobah untuk mengkaburkan ma’nahnya

    kalimat[imroati diganti imroatihi]
    ma’nanya yg seharusnya seorang perempuan/umum bukan istrinya
    menjadi seorang perempuanya/istrinya

    sekarang kita semua telah jelas dan gamblang bahwa habib munzir itu seorang penipu umat kelas ulung
    seandainya hadis yang dibawakan kang musawa itu benar
    sang habib pasti akan menyerang habis2san
    tapi buktinya dia tidak mala ngoce ngalor ngidul

    • Untuk Saudara Sukirno,

      Ternyata dalam membaca sesuatu, Anda itu sepotong2 dan langsung berkomentar serta dibumbui caci makian,…… itulah sifat Anda.

      Tanggapan Abul Jauzaa sudah saya tanggapi bahkan tidak tanggung2 saya sertakan ulama jempolan Anda dan kebanggaan Anda, yang katanya ahli hadits : Syeh Albani mensohehkan hadits ini yakni dengan domir imro`atih (perempuan ahli mayit ). ( LIHAT KOMENTAR2 SAYA DI ATAS YANG TERTULIS NAMA : IMAM ).

      Atau saya tambahkan lagi kalau masih belum puas juga, fatwa dari Syeh DR. Ali Jum`ah Muhammad ( Ulama besar Masr ).

      ما رواه الإمام أحمد أيضًا بسند صحيح وأبو داود عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال: ((خرجنا مع رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- في جنازة، فلَمّا رجع استقبله داعي امرأته فجاء، وجيء بالطعام، فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- يلوك اللقمة في فيه)). الحديث، فهذا يدل على إباحة صنع أهل الميت الطعام والدعوة إليه، بل ذكر في البزازية أيضًا من كتاب الاستحسان: وإن اتخذ طعامًا للفقراء كان حسنًا.

      Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan berderajat SANAD SHOHEH dan juga juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, disana disebutkan dengan redaksi داعي امرأته ( perempuan/ istrinya mayit ).

      Selanjutnya silakan Anda terjemahkan sendiri ( Anda kan ahli bahasa Arab dan lebih pinter dari sang Habib yang dicaci maki oleh Anda ).

      SEKARANG AKHIRNYA MAU PEGANG MANA, APAKAH ABUL JAUZAA YANG BERLAWANAN DENGAN ALBANI DAN JUGA SYEH ALI JUM`AH ( Silakan …..).

      • Imam Syafie:

        وَاُحِبُّ لِجِیْرَانِ الْمَیِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِھِ اَنْ یَعْمَلُوْا لاَھْلِ الْمَیِّتِ فِىْ یَوْمِ یَمُوْتُ وَلَیْلَتِھِ طَعَامًا مَا
        یُشْبِعُھُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.
        “Aku suka kalau jiran si Mati atau saudara mara si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”.
        Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
        قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِیْنَ قُتِلَ قَ الَ النَّبِ ي صَ لَّى اللهُ عَلَیْ ھِ وَسَ لَّمَ :
        اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاھُمْ مَایُشْغِلُھُمْ . (حسنھ الترمزى وصححھ الحاكم)
        “Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyebukkan (kesusahan)”. [1]
        Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si
        Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar dan ramai. Tentunya tidak dipertikaikan bahawa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan
        juga di dalam kitab ( اعانة الطالبین ) jld. 2. hlm. 146:
        وَقَالَ اَیْضًأ : وَیَكْ رَهُ الضِّ یَافَةُ مِ نَ الطَّعَ امِ مِ نْ اَھْ لِ الْمَیِّ تِ لاَنَّ ھُ شَ رَعَ فِ ى السُّ رُوْرِ وَھِ يَ
        بِدْعَةٌ
        “Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertetamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.
        Seterusnya di dalam kitab ( اعان ة الط البین ) juz. 2. hlm. 146 – 147, Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:

        وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُھُ مَا یَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِیْنَ بَ لْ كَ لُّ
        ذَلِكَ حَرَامٌ
        1 H/R Asy-Syafie (I/317), Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad I/205. Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.
        “Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.
        Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramairamai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie. Oleh itu, mereka yang mendakwa bermazhab Syafie sewajarnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini sebagai mematuhi wasiat imam yang agung ini.
        Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama a ( اعانة الط البین ) juz 2. hlm. 145-146, Mufti
        yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa
        Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:

        وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ ھَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَ رَةِ فِیْ ھِ اِحْیَ اءٌ لِلسُّ نَّة وَاِمَاتَ ةٌ لِلْبِدْعَ ةِ وَفَ تْحٌ
        لِكَثِیْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَیْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِیْرٍ مِنْ اَبْ وَابِ الشَّ رِّ ، فَ اِنَّ النَّ اسَ یَتَكَلَّفُ وْن تَكَلُّفً ا كَثِیْ رًا
        یُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ یَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .
        “Dan tidak boleh diragukan lagi bahawa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan
        terdedah (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”.
        Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul ( خ ول ). Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:

        مَا یَفْعَلُھُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَھْلِ الْمَیِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ

        “Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”.[2]
        Di dalam kitab fikh ( حاش یة القلی وبي ) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab ( – قلی وبى – عمی رة
        حاش یتان ) juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:
        2 Lihat: اعانة الطالبین juz 2 hlm. 145.

        قَالَ شَیْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُھَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا یَفْعَلُھُ النَّاسُ
        مِمَّا یُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَیْھِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِ دَهُ وَمِ ن ال ذَّبْحِ عَلَ ى
        الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِ نْ مَ الٍ مَحْجُ وْرٍ وَلَ وْ مِ نَ التَّركَ ةِ ، اَوْ مِ نْ مَ الِ مَیِّ تٍ
        عَلَیْھِ دَیْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَیْھِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.
        “Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” iaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuklah (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.
        Di dalam kitab ( الفقھ على المذاھب الاربعة ) jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa:

        وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْھَ ةِ مَ ا یَفْعَ لُ الآن مِ نْ ذَبْ حِ ال ذَّبَائِحَ عِنْ دَ خُ رُوْجِ الْمَیِّ ت اَوْ عِنْ دَ الْقَبْ رِ
        وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ یَجْتَمِعُ لِتَّعْزِیَةِ .
        “Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, iaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”.
        Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si
        Mati. Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau
        ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi’ مبت دع ) ) “pembuat atau aktivis bid’ah” sehingga amalan ini tidak mahu dipersoalkam oleh
        pengamalnya tentang haram dan tegahannya dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.
        Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh
        dilakukan secara suka-suka (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berpandukan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya
        masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa-Ta’ala telah memberi amaran
        yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang ramai yang tidak
        ada dalil atau suruhannya dari syara sebagaimana firmanNya:

        وَاِنْ تُطِ ع اَكْثَ رَ مَ ن فِ ى اْلاَرْضِ یُضِ لُّوْكَ عَ ن سَ بِیْلِ اللهِ اِنْ یَّتَّبِعُ وْن اِلاَّ الظَّ نَّ وَاِنْ ھُ مْ اِلاَّ
        یَخْرُصُوْنَ
        “Dan jika kamu menuruti kebanyakan (majoriti) orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. Al-An’am, 6:116)

  139. Untuk Saudara Sukirno,

    Maaf jawaban Anda tidak nyambung, kita pada komentar di atas, sedang membahas kedudukan hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang ternyata shoheh tapi malah ko Anda membahas pendapat Imam Syafi`i dan kitab I`anathut tholibin…….Anda itu aneh.

    Mengenai pendapat Imam Syafi`i dan pembahasan dalam kitab I`anathut tholibin sudah saya bahas tuntas dan justru saya buktikan bahwa kelompok Anda banyak memalsukan redaksi kitab itu, merubah artinya dan mengganti redaksinya.

    Ngomong2 Anda punya kitabnya tidak atau asal copas aja dengan tidak melihat redaksi Arabnya?

    Silakan Anda baca dikomentar2 saya No 82 – 85 di atas, sudah saya bahas tuntas, saya mau mempostingkan hal ini lagi cape dan silakan ditanggapi di nomer itu ( monngo).

    • Ritual Tahlilan Menurut Kitab NU (1)

      Published: 2 September 2010
      Posted in: Manhaj

      Tahlilan yang dimaksudkan di sini bukanlah tahlilan menurut tinjauan Bahasa Arab. Dalam Bahasa Arab, makna tahlilan adalah mengucapkan laa ilaaha illallaah. Yang dimaksud dengan ritual tahlilan di sini adalah peringatan kematian yang dilakukan pada hari ke-3, 7, 40, 100 atau 1000

      Berikut ini kutipan dari kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin, suatu buku yang terkenal dalam kalangan NU untuk belajar fikih syafi’i pada level menengah atau lanjutan.

      ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه،

      “Makruh hukumnya keluarga dari yang meninggal dunia duduk untuk menerima orang yang hendak menyampaikan belasungkawa. Demikian pula makruh hukumnya keluarga mayit membuat makanan lalu manusia berkumpul untuk menikmatinya.

      لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة،

      Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdillah al Bajali-seorang sahabat Nabi-, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.

      ويستحب لجيران أهل الميت – ولو أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.

      Dianjurkan bagi para tetangga-meski bukan mahram dengan jenazah, kawan dari keluarga mayit-meski bukan berstatus sebagai tetangga-dan kerabat jauh dari mayit-meski mereka berdomisili di lain daerah-untuk membuatkan makanan yang mencukupi bagi keluarga mayit selama sehari semalam semenjak meninggalnya mayit. Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk mau menikmati makanan yang telah dibuatkan untuk mereka.

      ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.

      Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan

      وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك.

      Aku- yaitu penulis kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin- telah membaca sebuah pertanyaan yang diajukan kepada para mufti di Mekkah mengenai makanan yang dibuat oleh keluarga mayit dan jawaban mereka untuk pertanyaan tersebut.

      (وصورتهما).

      Berikut ini teks pertanyaan dan jawabannya.

      ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.

      Pertanyaan, “Apa yang dikatakan oleh para mufti yang mulia di tanah haram –moga ilmu mereka manfaat untuk banyak orang sepanjang zaman– tentang tradisi yang ada di suatu daerah. Tradisi ini hanya dilakukan oleh beberapa orang di daerah tersebut. Tradisi tersebut adalah jika ada seorang yang meninggal dunia lantas datanglah kawan-kawan mayit dan tetangganya untuk menyampaikan belasungkawa maka para kawan mayit dan tetangga ini menunggu-nunggu adanya makanan yang disuguhkan. Karena sangat malu maka keluarga mayit sangat memaksakan diri untuk menyiapkan beragam jenis makanan lalu menyuguhkannya kepada para tamu meski dalam kondisi yang sangat kerepotan.

      فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.

      Seandainya penguasa di daerah tersebut –karena belas kasihan dengan rakyat dan sayang dengan keluarga mayit– melarang keras perbuatan di atas agar rakyatnya kembali berpegang teguh dengan sunah sebaik-baik makhluk yang pernah bersabda, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far”. Apakah penguasa tersebut akan mendapatkan pahala karena melarang kebiasaan di atas? Berilah kami jawaban secara tertulis”.

      (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.
      اللهم أسألك الهداية للصواب.

      Jawaban, “Segala puji hanyalah milik Allah. Semoga Allah senantiasa menyanjung junjungan kita, Muhammad, keluarga, sahabat dan semua orang yang meniti jalan mereka. Aku meminta petunjuk untuk memberikan jawaban yang benar kepada Allah.

      نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

      Betul, acara kumpul-kumpul di rumah duka dan kegiatan membuat makanan yang dilakukan oleh banyak orang adalah salah satu bentuk bid’ah munkarah. Sehingga penguasa yang melarang kebiasaan tersebut akan mendapatkan pahala karenanya. Semoga Allah meneguhkan kaidah-kaidah agama dan menguatkan Islam dan muslimin dengan sebab beliau.

      قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرح المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم،

      al-’Allamah Ahmad bin Hajar dalam Tuhfah al Muhtaj li Syarh al Minhaj mengatakan, “Dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan keluarga mayit selama sehari dan semalam

      للخبر الصحيح اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.

      Dalilnya adalah sebuah hadits yang sahih, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka –dari menyiapkan makanan–”

      ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.

      Dianjurkan hukumnya keluarga mayit untuk agak dipaksa agar mau menikmati makanan yang telah disiapkan untuk mereka karena boleh jadi mereka tidak mau makan karena malu atau sangat sedih.

      ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية،

      Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan

      وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك،

      Kebiasaan sebagian orang berupa keluarga mayit membuat makanan lalu mengundang para tetangga untuk menikmatinya adalah bid’ah makruhah. Demikian pula mendatangi undangan tersebut termasuk bid’ah makruhah.

      لما صح عن جرير رضي الله عنه: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.

      Dalilnya adalah sebuah riwayat yang sahih dari Jarir, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.

      ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.

      Alasan logika yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk niyahah adalah karena perbuatan tersebut menunjukkan perhatian ekstra terhadap hal yang menyedihkan

      ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.اه.

      Oeh karena itu, makruh hukumnya keluarga mayit berkumpul supaya orang-orang datang menyampaikan bela sungkawa. Sepatutnya keluarga mayit sibuk dengan keperluan mereka masing-masing lantas siapa saja yang kebetulan bertemu dengan mereka menyampaikan bela sungkawa.” Sekian penjelasan dari penulis Tuhfah al Muhtaj.

      وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.اه.

      Dalam Hasyiyah al Jamal untuk kitab Syarh al Manhaj disebutkan, “Termasuk bid’ah munkarah dan makruhah adalah perbuatan banyak orang yang mengungkapkan rasa sedih lalu mengumpulkan banyak orang pada hari ke-40 kematian mayit. Bahkan semua itu hukumnya haram jika acara tersebut dibiayai menggunakan harta anak yatim atau mayit meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang atau menimbulkan keburukan dan semisalnya.” Sekian dari Hasyiyah al Jamal.

      وقد قال رسول الله (صلى الله عليه و سلم ) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.

      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal bin al Harts, “Wahai Bilal, siapa saja yang menghidupkan salah satu sunahku yang telah mati sepeninggalku maka baginya pahala semisal dengan pahala semua orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.

      ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.

      Sebaliknya siapa saja yang membuat bid’ah yang sesat yang tidak diridhai oleh Allah dan rasul-Nya maka dia akan menanggung dosa semisal dosa semua orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”.

      وقال (صلى الله عليه و سلم ): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebaikan itu bagaikan simpanan. Simpanan tersebut memiliki kunci. Sungguh beruntung seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kebaikan dan penutup kejelekan. Celakalah seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kejelekan dan kunci penutup kebaikan”.

      ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.

      Tidaklah diragukan bahwa melarang masyarakat dari bid’ah munkarah di atas berarti menghidupkan sunah dan mematikan bid’ah, membuka berbagai pintu kebaikan dan menutup berbagai pintu keburukan. Banyak orang yang terlalu memaksakan diri untuk melakukan acara di atas sehingga menyebabkan perbuatan tersebut statusnya adalah perbuatan yang haram”.

      كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.

      Demikianlah fatwa tertulis yang ditulis oleh Ahmad bin Zaini Dahan, mufti Syafi’i di Mekkah. Moga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, para gurunya dan seluruh kaum muslimin.

      (الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.

      Segala puji hanyalah milik Allah. Kepada zat yang memberi nikmat untuk seluruh makhluk aku-mufti Hanafi-memohon taufik dan pertolongan-Nya.

      نعم، يثاب والي الامر – ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده – على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.

      Betul, penguasa tersebut- moga Allah berikan kepadanya pahala yang berlipat ganda dan moga Allah selalu menolongnya- akan mendapatkan pahala dengan melarang masyarakat melakukan acara tersebut yang berstatus sebagai bid’ah yang jelek menurut mayoritas ulama.

      قال في (رد المحتار تحت قول الدر المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (صلى الله عليه و سلم ): اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.

      Penulis kitab Radd al Muhtar yang merupakan penjelasan untuk kitab al Durr al Mukhtar mengatakan sebagai berikut, “Dalam kitab al Fath disebutkan, dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit dan kerabat jauh mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan mereka selama sehari dan semalam mengingat sabda Nabi, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka-dari menyiapkan makanan-”. Hadits ini dinilai hasan oleh Tirmidzi dan dinilai sahih oleh al Hakim.

      ولانه بر ومعروف،

      Menyediakan makanan untuk keluarga mayit adalah kebaikan.

      ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.

      Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk menikmati makanan yang disediakan untuk mereka karena kesedihan menghalangi mereka untuk berselera makan sehingga mereka malas untuk makan”.

      وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.

      Penulis Radd al Muhtar juga mengatakan, “Makruh hukumnya bagi keluarga mayit untuk menyajikan makanan karena menyajikan makanan itu disyaratkan ketika kondisi berbahagia. Sehingga perbuatan keluarga mayit menyajikan makanan adalah bid’ah.

      روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.

      Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Jari bin Abdillah mengatakan, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”. Sekian penjelasan penulis kitab Radd al Muhtar-kitab fikih mazhab Hanafi-.

      وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.

      Dalam kitab al Bazzaz disebutkan, “Makruh hukumnya membuat makanan pada hari pertama, ketiga dan ketujuh setelah kematian. Demikian pula, makruh hukumnya membawa makanan ke kuburan di berbagai kesempatan dst”.

      وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع. والله سبحانه وتعالى أعلم.

      Penjelasan detailnya ada di kitab tersebut. Siapa saja yang ingin penjelasan lengkap silahkan membaca sendiri buku tersebut. Wallahu a’lam.

      كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة – كان الله لهما حامدا مصليا مسلما.

      Demikianlah fatwa tertulis yang disampaikan oleh pelayan syariat dan minhaj Islam, Abdurrahman bin Abdillah Siraj al Hanafi, mufti Mekkah seraya memuji Allah, dan mengucapkan salawat dan salam untuk rasul-Nya.

      وقد أجاب بنظير هذين الجوابين مفتي السادة المالكية، ومفتي السادة الحنابلة.

      Fatwa yang sama juga disampaikan oleh mufti Maliki dan mufti Hanbali”.

      Sumber: Hasyiyah I’anah al Thalibin karya Sayid Bakri bin Dimyati al Mishri juz 2 hal 145-146 terbitan al Haramain Singapura.

      Catatan:
      Bandingkan penjelasan di atas dengan praktek saudara-saudara kita, jamaah NU yang hanya mengenal NU secara kultural bukan secara ajaran sebagaimana yang tercatat dalam kitab-kitab NU standar.

      Perlu diketahui bahwa Zaini Dahlan adalah ulama syafi’iyyah di zamannya yang sangat benci dan sangat memusuhi apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam masalah tauhid. Meski demikian beliau keras dengan masalah tahlilan. Beliau menilai acara tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. Beliau tidak menilai ritual tahlilan sebagai ajaran Wahabi yang sangat beliau musuhi. Sehingga anggapan bahwa anti tahlilan hanyalah pemahaman Wahabi adalah anggapan yang sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada.

      Zaini Dahan ternyata tidak menolerir acara tahlilan dengan alasan sikap arif terhadap budaya lokal. Bahkan beliau menegaskan bahwa memberantasnya adalah amalan yang berpahala. Bandingkan dengan sikap banyak orang NU yang menolak kebenaran dengan alasan sikap arif dengan budaya lokal, meneladani dakwah Sunan Kalijaga padahal model dakwah Sunan Kalijaga sendiri ditentang oleh mayoritas wali songo, Sunan Bonang yang merupakan guru ngaji Sunan Kalijaga, Sunan Giri dll.

      Berdasarkan penjelasan mufti Hanafi di atas acara tahlilan adalah bid’ah yang harus diberantas menurut mayoritas ulama.

      –> setelah menyimak pertanyaan mas Imam dari diskusi selanjutnya (di bawah), dan dicek komentar anda (mas sukirno hady), tampak sekali anda tak memahami apa yang anda tulis. Ini jelas PEMALSUAN FATWA.

      Pertama, syaikh Zaini Dahlan (w.1304 H) tidak mungkin menulis Hasyiah I’anatut Tholibin karya Syaikh Bakri Syatha (w. 1311 H). Syaikh Zaini Dahlan wafat terlebih dahulu.

      Komentar anda ini di copy paste dari mana mas.. jelas ngawurnya.

      Kedua, kalimat terakhir anda salah total. Dua-duanya bermadzab Syafi’i, bukan Hanafi. Bahkan syaikh Zaini Dahlan itu mufti madzab Syafi’i di Makkah al Mukaramah di masanya.

      • Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama [ NU ] Tentang Tahlilan, Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah
        MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA

        Keluarga Mayit Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah

        Soal : Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziyah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala sedekah tersebut?

        Jawab : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu.

        Keterangan :

        1. Dalam Kitab I’anah al- Thalibin:

        وَ يُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسِ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قاَلَ كُنَّا نَعُدُّ الْإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ.

        “Dan makruh [dibenci] hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja diundang untuk berta’ziyah dan menghidangkan makanan bagi mereka, sesuai dengan riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, yang mengemukakan: “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian ratapan (yang dilarang)”.

        2. Dalam Kitab Al-Fatawa al-Kubra:

        وفي الفتاوى الكبرى فى أوائل الجزء الثانى ما نصه (وَسُئِل) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.

        “Imam Ibnu Hajar ditanya -semoga Allah mengembalikan barakahnya kepada kita-, bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya? Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh); kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit. Dalam melakukan prosesi tersebut ia harus bertujuan menangkal “ocehan” orang-orang bodoh, agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. terhadap seseorang yang batal (karena hadats) shalatnya untuk menutup hidung dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat. Dan tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah seperti kasus di atas. Sebab, tirkah yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, atau ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris)”.

        ——————————————————————

        Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166 Daar Ibn ‘Ashooshoh Littibaa’ati wan Nasri wa at tauzdi’i, Beirut , Seperti terlampir di bawah ini :

        وقد أرسل الامام الشافعي – رضي الله عنه – إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له قد مات بقوله: إني معزيك لا إني على ثقة * * من الخلود، ولكن سنة الدين فما المعزى بباق بعد ميته * * ولا المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية: هي الامر بالصبر، والحمل عليه بوعد الاجر، والتحذير من الوزر بالجزع، والدعاء للميت بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة، فيقال فيها: أعظم الله أجرك، وأحسن عزاءك، وغفر لميتك، وجبر معصيتك، أو أخلف عليك، أو نحو ذلك.وهذا في تعزية المسلم بالمسلم.

        وأما تعزية المسلم بالكافر فلا يقال فيها: وغفر لميتك، لان الله لا يغفر الكفر.

        وهي مستحبة قبل مضي ثلاثة أيام من الموت، وتكره بعد مضيها.ويسن أن يعم بها جميع أهل الميت من صغيروكبير، ورجل وامرأة، إلا شابة وأمرد حسنا، فلا يعزيهما إلا محارمهما، وزوجهما.ويكره ابتداء أجنبي لهما بالتعزية، بل الحرمة أقرب.ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت – ولو أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.

        وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام.وجواب منهم لذلك.

        (وصورتهما).

        ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.

        (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.اللهم أسألك الهداية للصواب.

        نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

        قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرحك المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح.اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم
        .
        ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه.كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.

        ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.

        ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.

        اه.

        وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشةوالجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.

        اه.وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.

        ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

        ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما.والله سبحانه وتعالى أعلم.

        كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.

        (الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.نعم، يثاب والي الامر – ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده – على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.

        قال في (رد المحتار تحت قول الدار المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (ص): اصنعوا لآل جعفر

        طعاما

        (ما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.

        ولانه بر ومعروف، ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.

        وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع.والله سبحانه وتعالى أعلم.كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة – كان الله لهما حامدا مصليا مسلما

        Terjemahan kalimat yang berwarna hijau ditulis tebal di atas, di dalam Kitab I’anatut Thalibin :

        1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid’ah Mungkar, yang bagi orang [ulil amri] yang melarangnya akan diberi pahala.

        2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid’ah yang dibenci.

        3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan bid’ah mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.

        4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari’atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah bid’ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : “Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk Niyahah”

        5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.

        _______________________________________________
        Sumber :

        [Buku “Masalah Keagamaan” Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]
        Hasil Scan halaman buku “Masalah Keagamaan” Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah);

        Hasil scan Kitab I’anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166 Daar Ibn ‘Ashooshoh Littibaa’ati wan Nasri wa at tauzdi’i, Beirut.

        Ditulis Ulang dari buku tersebut di atas, oleh:

        Anwar Baru Belajar
        ——————————————————————–

        Note:

        Dalam Kamus Al Munawwir, yang diolah oleh Keluarga Pondok Pesantren “Al Munawwir” Krapyak Yogyakarta, Versi Arab-Indonesia, hal. 1204. Mengenai arti kata “Makruh”;

        كَِرهَ – كَرْهًا – وَكَرَاهَة ً. اَلْمَكْرُوْهُ.
        Artinya : yang tak disenangi, dibenci.
        ——————————————————

    • Untuk Saudara SUkirno,

      Anda mencopy paste dan membuat kesimpulan yang ngawur, inilah karakter golongan Anda, bagaimana mungkin penganut madzhab Imam Syafi`i tidak mengetahui fatwa2 ulama2nya dan sekaligus salah mempelajarinya ?

      Tidaklah masuk akal para ulama dan murid2 madzhab Imam Syafi`i salah tafsir terhadap kitab2 yang bermadzhab Syafi`i, berbeda dengan golongan diluar madzhab Syafi`i tapi bicara fatwa2 madzhab Syafi`i maka akan lebih banyak salah penafsiran, apalagi seperti Anda yang copy paste dan percaya terhadap terjemahannya saja.

      Kometar Anda :

      Perlu diketahui bahwa Zaini Dahlan adalah ulama syafi’iyyah di zamannya yang sangat benci dan sangat memusuhi apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam masalah tauhid. Meski demikian beliau keras dengan masalah tahlilan. Beliau menilai acara tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. Beliau tidak menilai ritual tahlilan sebagai ajaran Wahabi yang sangat beliau musuhi. Sehingga anggapan bahwa anti tahlilan hanyalah pemahaman Wahabi adalah anggapan yang sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada.

      PERTANYAAN SAYA :

      Dibagian mana secara jelas dan nyata Syeh Zaini Dahlan (seorang mufti besar Makkah pada masanya ) menulis seperti pernyataan Anda di atas ?

      Sekali LAgi, Anda rupanya tidak membaca komentar2 saya di no. 82 -85 ya….?
      Disana saya tulis runut dan tidak sepotong2.

      Oh ya….satu lagi Anda belum menjawab :

      SEKARANG AKHIRNYA MAU PEGANG MANA, APAKAH ABUL JAUZAA YANG BERLAWANAN DENGAN ALBANI DAN JUGA SYEH ALI JUM`AH ( Silakan …..). dikomentar sebelumnya.

      Anda itu selalu lari dari pembahasan yang ada, kemudian memunculkan masalah yang lainnya. sehingga Anda merasa paling benar padahal berdasarkan buktinya Anda tidak bisa berhujjah dengan benar. ( Maaf).

      Mengenai Fat wa NU seperti terdapat dalam :

      Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama [ NU ] Tentang Tahlilan, Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah
      MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA

      SUDAH DIBAHAS OLEH REKAN SAYA orgawam, silakan cari sendiri dan Anda ternyata ketinggalan informasi ya…

      • buat imam
        perkataan bodoh anda sekarang akhirnya keluar juga

        imam berkata
        tidaklah masuk akal para ulama dan murid2 madzhab Imam Syafi`i salah tafsir terhadap kitab2 yang bermadzhab Syafi`i, berbeda dengan golongan diluar madzhab Syafi`i tapi bicara fatwa2 madzhab Syafi`i maka akan lebih banyak salah penafsiran, apalagi seperti Anda yang copy paste dan percaya terhadap terjemahannya saja.

        ala mak beginikah perkataan orang yang banyak ilmunya
        apa memang kalau ulama dan muridnya madhab safi’i semuanya ma’sum
        sampai anda mengatakan ngak masuk akal

        barang kali akal anda hang/error
        makanya perlunya diformat lagi dengan windw yang sunnah
        syukron

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Pertama saya hanya tersenyum kepada umpatan Anda bahwa saya bodoh…
        Kenapa saya katakan tidak masuk akal, karena murid2 Imam Syafi`ilah yang menyebarkan madzhab Imam Syafi`i itu hingga sampai pemahaman itu sampai kepada kami.

        Murid2 madzhab Imam Syafi`i telah berkecimpung banyak dalam menelaah madzhabnya makanya saya bandingkan dengan golongan Anda yang hanya melihat kulit dari madzhab Imam Syafi`i, maka lebih banyak akan salah tafsir.
        Itulah kenyataannya, mau bukti salah tafsir Anda, nanti saya buktikan.

        Saya tidak mengatakan ma`sum atau ghoeru ma`sum tapi saya katakan mengenai hal dalam memahami madzhab dan kitab2 madzhab Imam Syafi`i dibandingkan dengan pemahaman Anda.

        Dari sini jelaslah bahwa yang error adalah Anda sendiri.
        Maaf ini bukanlah kajian dalam hal ini, jadi jangan melenceng dari pembahasan kitab I`anathut tholibin yang oleh Anda banyak dilencengkan maknanya.

        Seperti Andapun telah melenceng dari pembahasan kedudukan hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra, ke kitab I`anathut tholibin…(Sungguh tidak Ilmiah tapi walau begitu akan saya ladeni pembahasan mengenai kitab itu, dan akan saya buktikan bahwa Anda hanya modal mencaci dan mengumpat saja kalau tidak bisa menjawab secara ilmiah…..sekali lagi itulah sifat Anda…

        –> seingat saya .. saya pernah mengilustrasikan dengan motor honda yang dimontir oleh montir suzuki. Karena pahamnya hanya mesin suzuki, maka apa pun motornya .. ya di-stel gaya suzuki. Jalan.. yaa jalan. Nyaman-kah.. coba rasakan sendiri. Apalagi yang montir baru belajar, itu pun di klas suzuki dasar. Biasanya anak klas dasar sudah merasa sebagai ahli mesin top. Ketika nyetel mesin honda… bagaimana hasilnya? bisa diduga.

      • imam bertanya

        SEKARANG AKHIRNYA MAU PEGANG MANA, APAKAH ABUL JAUZAA YANG BERLAWANAN DENGAN ALBANI DAN JUGA SYEH ALI JUM`AH ( Silakan …..). dikomentar sebelumnya.

        jawab
        kalo anda ingin tahu milih yang mana
        seorang muslim harus milih yg sesuai dengan apa yg dikerjakan oleh rasulullah dan para sahabatnya
        terlepas itu pendapat seorang ulama yg anda anggap jempolan sekalipun
        karna selain rasulullah orang bisa salah bisa benar

        imam berkata
        Anda itu selalu lari dari pembahasan yang ada, kemudian memunculkan masalah yang lainnya. sehingga Anda merasa paling benar padahal berdasarkan buktinya Anda tidak bisa berhujjah dengan benar. ( Maa

        jawaban saya
        anda ternyata juga ngak paham apa yg kita bahas
        padahal yg saya suguhkan itu dalil tentang tahlilan dan selatan kematian
        lalu anda mengatakan saya lari dari pembahasan
        anda ini bangun apa tidur atau diantara keduanya

        dari awal jawaban anda semua saya jawab sekarang pertanyaan saya
        anda cek banyak yang belum anda jawab, tolong jawab pertanyaan saya dulu
        dan saya juga akan cek pertanyaan anda yang belum ana jawab
        insa’alloh akan jawab semuanya

      • imam bertanya
        Dibagian mana secara jelas dan nyata Syeh Zaini Dahlan (seorang mufti besar
        Makkah pada masanya ) menulis seperti pernyataan Anda di atas

        jawaban saya
        anda terlalu banyak bertanya seharusnya anda bisa mencari sendiri
        dari mana saya ambil
        lalu buktikan kalo perkataan saya ini benar,,,

        setelah ketemu jangan dipelintir lagi
        tinggal mengatakan kalo perkataan ini benar

        –> wahduh..gimana tohh mas. Anda yg memulai, ketika ditanya sumbernya kok disuruh cari sendiri.

        A: “Aku punya kalung cantik lhoo..”
        B: “Mana..coba lihat”
        A: “Cari sendiri, buktikan saya benar”

        dialog ini Seperti anak2 yg baru belajar ngomong. Bukan diskusi yg sehat.

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Komentar Anda :

        mam bertanya

        SEKARANG AKHIRNYA MAU PEGANG MANA, APAKAH ABUL JAUZAA YANG BERLAWANAN DENGAN ALBANI DAN JUGA SYEH ALI JUM`AH ( Silakan …..). dikomentar sebelumnya.

        jawab
        kalo anda ingin tahu milih yang mana
        seorang muslim harus milih yg sesuai dengan apa yg dikerjakan oleh rasulullah dan para sahabatnya
        terlepas itu pendapat seorang ulama yg anda anggap jempolan sekalipun
        karna selain rasulullah orang bisa salah bisa benar

        TANGGAPAN SAYA :

        Ah mas ….. semua orang itu menginginkan mengikuti Rosululloh lalu bagaimana bisa mengikuti Rasulloh kalau tanpa ulama ? kalau membuat jalan sendiri untuk mengikuti Rosulloh maka akan lebih banyak tidak memncapai tujuannya itu malah akan nyasar, ibarat mau ke Jakarta sudah ada jalan yang dibuat pemerintah tapi malah bikin jalan sendiri membabat hutan segala untuk bikin jalan sendiri ke Jakarta maka akibatnya lebih cape dan belum tentu sampai ke sana.

        Nah jawaban Anda itu bukan jawaban karena pertanyaannya antara Abu Jauzaa ataukah mengikuti albani yang dalam hal ini sepaham dengan Syeh Ali Jum`ah dalam membahas hadits ini, jangan muter2 lah …..malu dibaca orang lain yang lebih kristis dari saya…..

        Setiap orang bisa salah bisa benar …….lalu dalam membahas hadits itu yang benar mana mas ? (jawab aja yang jantan ya…..tidak saya gebuki ko …santai aja, saya aja menanggapi komentar2 Anda santai2 saja ko tapi saya ga tahu yang disana……)

      • lo memang dialok disini dari awal memang sudah ngak sehat
        blogbya aja milik orang yang ngak sehat sebab kalo blognya orang sehat yang dimuat itu ilmu untuk mencari kebenaran,
        bukan taklid

        coba artikel yang di bahas ini saja itu sudah disepakati para ulama
        kalo hukum membikin jamuan kematian itu makruh atau dilarang

        tidak ada satu ulamapun mengatakan ini sunnah
        coba jawaban adminya aja ngak ada yang sarat ilmu

        ngashnya contoh aja bengkel susuki sama honda
        saya cuma ingin tahu aja sampai dimana sih pembelaanya atas bid’ah
        yang dia bikin itu,

      • buat kang imam

        kalo anda benar2 mengikti ulama
        tolong sebutkan ulama mana yang melakukan tahlilan dalam kematian

        dan tolong hadirkan bacaan tahlilan yng ditulis imam safi’i
        atau imam nawawi
        biar terbukti kalo antum benar2 pengikut safi’i
        bukan babat alas baru seperti perumpamaan anda sendiri

        kalo benar imam safi’i melakukan tahlilan
        atas kematian gurunya atau muridnya
        saya berhenti bercoment dan saya mengikuti pendapat antum

        kalo anda tidak bisa menghadirkan bukti maka anda hanya pendusta kelas teri
        dan tolong dijawab
        pertanyaan saya

        contoh bid’ah hasana dan dolalah yang dibikin imam safi’i atau imam nawawi
        yang seperti orang nu bikin bid’ah tahlilan dalam kematian
        dan bertawasul pada orang mati,,

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Sudah berkali2 saya katakan ke Anda kalau diskusi maka yang fokus, jadi enak dipahami jangan loncat2. Dari pembahasan hadits belum selesai Anda jawab maka Anda pindah ke kitab I`anathot tholibin, kemudian pembahasan belum selesai pindah minta pendapat atau fatwa Imam Syafi`i atau Imam Nawawi, nanti kalau ada fatwa Imam Syafi`i dan Imam Nawawi maka Anda akan mengatakan itu bukan pendapat sahabat, nanti kalau menggunakan pendapat Sahabat sebagai contoh senafas dengan itu maka Anda akan menjawab itu kan masa sahabat jadi kalau ada sesuatu hal baru maka disampaikan kepada Rosululloh.

        Jadi tegasnya sampai matipun Anda tidak bakalan menerima dalil2 dari kami yang valid dibandingkan Anda yang hanya mencaci maki dan berdalil ngawur dalam pengambilan rangkuman atau hukum.

        Saya Contohkan pertanyaan saya kepada Anda yang malah dijawab dengan : saya disuruh cari sendiri kalimatnya atau dalilnya dalam kitab I`anathut tholibin.

        Pertanyaan saya sebagai berikut : ( Saya postingkan lagi )

        Kometar Anda :

        Perlu diketahui bahwa Zaini Dahlan adalah ulama syafi’iyyah di zamannya yang sangat benci dan sangat memusuhi apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam masalah tauhid. Meski demikian beliau keras dengan masalah tahlilan. Beliau menilai acara tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. Beliau tidak menilai ritual tahlilan sebagai ajaran Wahabi yang sangat beliau musuhi. Sehingga anggapan bahwa anti tahlilan hanyalah pemahaman Wahabi adalah anggapan yang sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada.

        PERTANYAAN SAYA :

        Dibagian mana secara jelas dan nyata Syeh Zaini Dahlan (seorang mufti besar Makkah pada masanya ) menulis seperti pernyataan Anda di atas ?

        BANTAHAN SAYA SEKARANG :

        1.Tidak ada satu katapun dalam kitab I`nathuth tholibin bahwa Syeh Zaini Dahlan mengkategorikan bahwa tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. coba buktikan ke saya kalau memang itu ada.

        2. Beliaupun tidak pernah membawa-bawa nama wahabi dalam membahas hal ini dalam kitab beliau itu.

        Jadi golongan Anda menggunakan kitab ini untuk menjatuhkan penganutnya (kami) adalah sesuatu yang sangat dipaksakan dan mengada-ngada kalau tidak saya sebut orang yang tidak memahami suatu permasalahan.

        3. Anda pula tidak memahami kandungan tanya jawab perkalimatnya dalam kitab itu sehingga Andapun salah tafsir ( kelihatannya disengaja karena tahlillan tidak sesuai dengan madzhab Anda ).

        4. Dan terakhir, saya tanyakan ke hati nurani Anda bukan nafsu Anda : Adakah point 1 sampai 3 ada dalam kitab itu ?

        5. Kalau tidak ada maka akuilah bahwa pembahasan tahlil dalam kitab itu tidak ada, maka kita bisa selesaikan pembahasan kitab itu.

      • buat imam
        anda cari sendiri refrensinya di kitab apa beliau syech zaini berfatwa
        anda kan penganut madhab safi’i bahkan anda yng berguru secara mangkul
        anda tinggal tanya saja sama2 guru anda yang bersanad sampai imam safi’i

        dan anda baca saya nukilkan sebagian saja perkataan syech zaini bin dahlan
        dengan tek arabnya
        soal anda mengingkari semua dalil yang saya sodorkan sama anda
        itu hak anda

        1. Pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
        Berkata Imam an-Nawawi di dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim :
        وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أنَّهُ لاَ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيَّتِ … وَدَلِيْلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيْهِ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى(. وَقَوْلُ النَّبِيِّ: “إِذِا مَاتَ ابْنَ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ”.
        Artinya : Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i, pahalanya tidak sampai kepada mayit yang dikirimi … adapun dalil Imam asy-Syafi’i dan yang sependapat dengannya, adalah firman Allah I : QS. Al-Najm : 39 :
        َأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
        Artinya : Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri”,
        Dan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
        إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
        juga sabda Nabi SAW: “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdoa untuknya” [1].
        Juga as-Subki di dalam kitab Takmilah al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab mengatakan:
        وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَجَعْلُ ثَوَابِهَا لِلْمَيِّتِ وَالصَّلاَةُ عَنْهُ وَنَحْوُهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَالْجُمْهُوْرُ أنَّهَا لاَ تَلْحَقُ الْمَيِّتَ وَكَرَّرَ ذَلِكَ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ فِيْ شَرْحِ مُسْلِمٍ.
        Artinya : Adapun bacaan al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit, mengganti shalatnya mayit[2] dan sebagainya, Imam asy-Syafi’i dan jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa pahalanya tidak akan sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah berulangkali disebutkan (oleh Imam an-Nawawi) di dalam kitab Syarah Muslim” [3].

        Al-Haitsami, di dalam kitabnya: Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, menjelaskan:
        الْمَيِّتُ لاَ يُقْرَأُ عَلَيْهِ, مَبْنِيٌّ عَلَىمَا أطْلَقَهُ الْمُتَقَدِّمُوْنَ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ تَصِلُهُ -أَيْ الْمَيِّتَ- ِلأنَّ ثَوَابَهَا لِلْقَارِئِ، وَالثَّوَابُ المُرَتَّبُ عَلَى عَمَلٍ لاَ يُنْقَلُ عَنْ عَامِلِ ذَلِكَ الْعَمَلِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39.
        Artinya : Mayit tidak boleh dibacakan atasnya, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak akan sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Adapun pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari ‘amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, adalah berdasarkan firman Allah swt
        )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (
        ِArtinya : “Dan manusia tidak memperoleh kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri” An-Najm: 39″ [4].

        3. Imam al-Muzani, di dalam Hamisy Al-Umm, mengatakan demikian:
        فَأَعْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ كَمَا أعْلَمَ اللهُ مِنْ أَنَّ جِنَايَةَ كُلِّ امْرِئٍ عَلَيْهِ كَمَا أَنَّ عَمَلَهُ لَهُ لاَ لِغَيْرِهِ وَلاَ عَلَيْهِ.
        Artinya : Rasulullah SAW telah memberitahukan sebagaimana yang diberitahukan Allah I; bahwa (ganjaran atas) dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, sebagaimana pahala amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain” [5].

        4. Imam al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut:
        وَالمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ لاَ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ ثَوَابُهَا.
        Artinya : Dan yang masyhur dalam madzab Syafi’i, bahwa bacaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak sampai kepada mayit yang dikirimi” [6].

        Di dalam Tafsir al-Jalalain disebutkan demikian:
        فَلَيْسَ لَهُ مِنْ سَعِيِ غَيْرِهِ الْخَيْرِ شَيْء .
        Artinya : Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikit pun dari amal kebaikan orang lain” [7].

        Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim menjelaskan (ketika menafsirkan ayat 39 dari surat an-Najm):
        أيْ كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ؛ كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأجْرِ إِلاَّ مَا كَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الْكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ (رَحِمَهُ اللهُ) وَمَنِ اتَّبَعَهُ, أنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى لأَِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلاَ كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ أُمَّتَهُ وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أرْشَدَهُمْ إلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إيْمَاءٍ, وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ , وَلَوْكَانَ خَيْرًا لَسَبُقُوْنَا إلَيْهِ. وَبَابُ الْقُرُبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بأَنْوَاعِ اْلأقْيِسَةِ وَاْلآرَاءِ.
        Artinya : Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak akan menimpa orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan ulama-ulama yang mengikutinya, mengambil kesimpulan bahwa bacaan(yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak akan sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau amalan semacam itu memang baik, tentu mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya. Dan amalan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah SWT) hanya terbatas dengan yang ada nash-nashnya (dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah) saja, serta tidak boleh di’otak-atik’ dengan berbagai macam qiyas (analogi) dan ra’yu (rasio)” [8].
        Demikian beberapa nukilan pendapat ulama Syafi’iyah tentang acara tahlilan atau acara pengiriman pahala qira’ah kepada mayit. Yang ternyata menunjukkan bahwa mereka mempunyai satu pandangan, yaitu: bahwa mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit itu tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Lebih-lebih lagi kalau yang dibaca selain Al Qur’an, tentu saja lebih tidak akan sampai.
        Kalau sudah jelas, bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka atau dengan kata lain merupakan tabdzir, padahal Islam melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir.
        Kemudian mungkin akan timbul pertanyaan; bagaimana jika setiap usai tahlilan kita berdo’a: Allahumma aushil tsawaaba maa qara’naahu ilaa ruuhi fulan (Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh Fulan)?
        Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas sebagai berikut: Di depan telah dijelaskan bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak dapat sampai kepada roh yang dikirimi, sebab bertentangan dengan firman Allah SWT dalam ayat 39 dari surat an-Najm. Adalah sangat janggal, kalau kita mengirimkan pahala bacaan kepada mayit -yang berarti kita telah melanggar syari’at-Nya- lantas kemudian kita mohon agar perbuatan yang melanggar syari’at itu diberi pahala, dan lebih dari itu mohon agar pahalanya disampaikan kepada roh orang lain!
        Jadi, hal ini tetap tidak dapat dibenarkan, karena akan terjadi hal-hal yang kontradiktif (bertentangan); yaitu di satu sisi do’a adalah ibadah, dan di sisi lain amalan mengirim pahala bacaan adalah amalan sia-sia yang berarti melanggar syari’at. Apalagi jika amalan semacam itu kita mohonkan agar diberi pahala, lantas pahalanya disampaikan kepada roh orang lain. Wallahu a’lam.

        II. SELAMATAN KEMATIAN

        Selamatan adalah: berkumpul dan menikmati hidangan makanan di rumah keluarga mayit -baik pada saat hari kematian, hari kedua, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dan seterusnya-, maupun dalam upacara yang sifatnya masal, yang lazimnya dilakukan di pekuburan yang biasa disebut haul, yang di situ juga diadakan acara makan-makan.
        Tidak jauh berbeda dengan tahlilan, sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi’iyah -baik kitab-kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits- maka akan kita dapatkan bahwa amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan “terlarang” atau dengan kata lain “haram”.
        Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab Syafi’i sendiri, atau kalaupun ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak. Maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan para ulama Syafi’iyah tentang masalah ini.

        1. Imam asy-Syafi’i tidak menyukai adanya kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab al-Umm:
        وَأَكْرَهُ الْمَأْثَمَ؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ, وَإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ, فَإنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْن.
        Artinya : Aku tidak menyukai ma’tsam; yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga si mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru” [9].

        2. Di dalam kitab fiqih I’anah ath-Thalibin dinyatakan demikian:
        نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا.
        Artinya : Ya, apa yang dikerjakan kebanyakan orang, yaitu berkumpul di (rumah) keluarga si mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid’ah munkarah (bid’ah yang diingkari agama) dimana orang yang memberantasnya akan mendapatkan pahala” [10].

        Pengarang juga menjelaskan:
        وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرٍ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاجْتِمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ.
        Artinya : Dan apa yang menjadi kebiasaan sebagian orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan, adalah bid’ah makruhah (yang tidak disukai dalam agama), sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena telah shahih perkataan Jarir : “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) (yakni haram -pen)” [11].

        3. Dalam kitab Barzanjiyah:
        وَيُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ اْلأوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إلَى الْقُبُوْرِ.
        Artinya : Dan makruh menghidangkan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan (seperti dalam peringatan haul -pen)” [12].

        4. Di dalam kitab fiqih Mughni al-Muhtaj disebutkan demikian:
        وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ, وَرَوَى أحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه بِإسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدُ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتَمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ.
        Artinya : Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah bid’ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan, dan dalam hal ini Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jarir bin Abdillah, ia berkata: “Kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga si mayit untuk acara itu, adalah termasuk niyahah (meratapi mayit), (yakni haram -pen)” [13].

        5. Di dalam kitab fiqih Hasyiyah al-Qalyubi, dinyatakan demikian:
        قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِي الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى “الْكِفَارَةَ” وَمَنْ صَنَعَ طَعَامًا لِلاِجْتِمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ أوْ بَعْدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ.
        Artinya : Syeikh kami Ar-Ramli berkata: “Diantara bid’ah munkarah (yang tidak dibenarkan agama), yang dibenci untuk dikerjakan -sebagaimana diterangkan di dalam kitab ar-Raudlah- adalah apa yang dikerjakan banyak orang dan disebut: “kifarah”, penghidangan makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit sebelum maupun sesudah kematian, juga penyembelihan (hewan) di kuburan” [14].

        6. Di dalam kitab fiqih karangan Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, antara lain dikatakan demikian:
        وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهُ شَيْءٌ, وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرِ مُسْتَحَبَّةٍ.
        Artinya : Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah tidak ada dalilnya sama sekali, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan)” [15].

        Dalam kitab al-Jamal Syarah al-Minhaj:
        وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاس مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلأرْبَعِيْنَ, بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ.
        Artinya : Dan diantara bid’ah munkarah yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang seperti wahsyah (kesedihan yang berlebih-lebihan), berkumpul (di rumah keluarga mayit saat kematian) dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” [16].

        8. Dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:
        وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَنْكَرَةٌ مَكْرُوْهَةٌ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعِ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ.
        Artinya : Apa yang menjadi kebiasaan banyak orang, berupa menghidangkan makanan untuk mengundang orang banyak ke rumah keluarga si mayit, adalah bid’ah munkarah makruhah (yang tidak dibenarkan agama dan tidak disukai), sebab karena telah shahih perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat Nabi r) menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan niyahah, (yakni haram -pen)” [17].

        9. Fatwa Ahmad Zaini bin Dahlan sebagai berikut:
        وَلاَ شَكَّ أنَّ مَنْعَ النَّاسَ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإمَاتةٌ ِللْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرِ مِنْ أبْوَابِ الْخِيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِ. فَإنَّ النَّاسَ َيتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إلَى أنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا.
        Artinya : Dan tidak ada keraguan sedikit pun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarah ini adalah berarti menghidupkan sunnah Nabi r, memberantas bid’ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan. Sesungguhnya orang-orang telah terlalu memaksakan diri mereka, sehingga membuat hal itu diharamkan” [18].

        10. Dan di dalam kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, dinyatakan demikian:
        وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يُفْعَلُ اْلآنَ مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحِ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ أوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَإِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِلتَّعْزِيَةِ.
        Artinya : Dan di antara bid’ah makruhah (yang dibenci) ialah: apa yang dikerjakan sebagian orang dengan memotong binatang-binatang ketika mayit dikeluarkan dari tempat persemayaman, atau di kuburan, dan juga menyediakan hidangan makanan untuk orang-orang yang ta’ziyah (melayat)” [19].

        Demikian pendapat para ulama Syafi’iyah tentang selamatan kematian, yang menunjukkan kesepakatan mereka bahwa amalan tersebut adalah bid’ah yang munkar. Dasar mereka ialah kesepakatan (ijma’) para sahabat Nabi SAW, yang menganggap haram amalan tersebut.
        Sedekah itu akan lebih tepat mengenai sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, jika tidak diwujudkan dalam bentuk selamatan, tapi langsung diberikan kepada kaum fakir miskin. Sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir atau yang diundang adalah orang-orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka. Ini kalau dipandang dari segi kepentingan materiil para fakir miskin.
        Ditambah lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbis al-haq bi al-bathil (mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil); sebab di satu pihak, sedekah adalah diperintahkan agama, sedang di pihak lain, yakni berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga si mayit adalah haram, juga mengirim pahala bacaan itu sendiri perbuatan sia-sia (tabdzir). Wallahu a’lam.

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Anda copy paste tapi Anda tidak tahu apa makna yang Anda copy pastekan.

        Sudah saya katakan melalui bantahan saya terhadap kitab I`anathuth tholibin yang dipelintir maknanya oleh Anda dalam menghukumi tahlilan setelah kematian.

        Lihat Bantahan saya ini lagi ( saya ulang postingan saya ).

        BANTAHAN SAYA , BAHKAN UNTUK MEMBANTAH KITAB2 YANG SUDAH ANDA SEBUTKAN ITU :

        1.Tidak ada satu katapun dalam kitab I`nathuth tholibin bahwa Syeh Zaini Dahlan mengkategorikan bahwa tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. coba buktikan ke saya kalau memang itu ada.

        2. Beliaupun tidak pernah membawa-bawa nama wahabi dalam membahas hal ini dalam kitab beliau itu.

        Jadi golongan Anda menggunakan kitab ini untuk menjatuhkan penganutnya (kami) adalah sesuatu yang sangat dipaksakan dan mengada-ngada kalau tidak saya sebut orang yang tidak memahami suatu permasalahan.

        3. Anda pula tidak memahami kandungan tanya jawab perkalimatnya dalam kitab itu sehingga Andapun salah tafsir ( kelihatannya disengaja karena tahlillan tidak sesuai dengan madzhab Anda ).

        4. Dan terakhir, saya tanyakan ke hati nurani Anda bukan nafsu Anda : Adakah point 1 sampai 3 ada dalam kitab itu ?

        5. Kalau tidak ada maka akuilah bahwa pembahasan tahlil dalam kitab itu tidak ada, maka kita bisa selesaikan pembahasan kitab itu.

        Atau ringkasnya begini kalau Anda tidak paham :

        Adakah hukum berkumpul untuk membaca tahlilan sesudah kematian dalam kitab itu yang menghukumi haram ataukah makruh ?

        Tidak ada sedikitpun dalam kitab itu mengatakan itu, yang ada adalah :

        Hukum berkumpul untuk tujuan makan-makan yang disediakan oleh ahli mayit setelah penguburan di rumah ahli mayit.

        Lalu bagaimana pula hukum berkumpul untuk tujuan berta`ziyah ?

        Tiga hal itu mengandung makna berkumpul tapi dengan tujuan lain-lain, maka jelas hukumnyapun lain juga. (Semoga Anda paham …).

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Jawaban Anda :

        buat imam
        anda cari sendiri refrensinya di kitab apa beliau syech zaini berfatwa
        anda kan penganut madhab safi’i bahkan anda yng berguru secara mangkul
        anda tinggal tanya saja sama2 guru anda yang bersanad sampai imam safi’i

        dan anda baca saya nukilkan sebagian saja perkataan syech zaini bin dahlan
        dengan tek arabnya
        soal anda mengingkari semua dalil yang saya sodorkan sama anda
        itu hak anda

        Sanggahan Saya :

        Jawaban Anda di atas menunjukkan bahwa Anda tidak bisa membuktikan bahwa tahlilan adalah dilarang oleh para Imam ahli sunah ( madzhab Syafi`i ).

        Nukilan Anda adalah nukilan yang batil yang disalahtafsirkan dan mengambil nukilan yang seolah itu mendukung pendapat Anda.

        Penukilan salah dengan cara memotong fatwa adalah menunjukkan madzhab Anda tidak amanah dalam ilmu, lalu bagaimana saya mengikuti Anda malahan bagi saya hukumnya wajib mengingkarinya serta membantahnya.

        Saya contohkan :

        Dalam kitab I`anathuth tholibin membicarakan berkumpul di rumah ahli mayit dan makan-makan di sana ( dengan tujuan makan2 ) tapi oleh Anda dipelintir maknanya dengan tahlilan, apakah Anda menyamakan tahlilan dengan makan2 ? Sungguh pendapat yang konyol……..

        Banyak acara tahlilan dengan tanpa makan2, ada pula yang memang dihidangkan hidangan ala kadarnya oleh ahli mayit ( inipun hukumnya harus ditafsil – tidak bisa dikatakan secara mutlak itu haram ).

        Sedikit saya ulas dalam kitab I`antuhth tholibin sebagai berikut ( yang telah dipelintir Anda ) :

  140. buat kang imam
    apapun alasan anda dan dahlil yang telah dipelintir kemana mana
    untuk menguatkan kebohongan dan akal bulus para pendusta
    semuanya pasti akan terkuak juga

    dibahas apa macam apa lagi
    soal jamuan kematian itu sudah disepakati oleh semua para ulama’ bahwa hukumnya dibenci/dilarang

    orang yang paling bodoh pun paham yang namanya makruh itu untuk di tinggal kan bukan untuk diamalkan

    kecuali fikihnya habib munzir barang yang dilarang masih bisa dapat pahalah
    karna kalo sampai dilarang kan ngak ada panggilan untuk makan2gratis
    hanya modal iler
    bukanya begitu maunya?

    la wong mintak tolong sama mayit saja boleh,
    apalagi cuma makruh,,,,,,ya pasti diemmmmbaat

    • ini dalil penipuan sang habib yg lainya

      Oleh : Ibnu Mugnie Al-Banjary

      Ini adalah catatan tambahan saja, untuk bantahan yang ditulis Al-Ustadz Abu Utsman Kharitsman yang berjudul BANTAHAN TERHADAP BUKU MENITI KESEMPURNAAN IMAN KARYA HABIB MUNZIR AL-MUSAWA (BAG I : ISTIGHOTSAH)

      Oleh sebab itu, sebelum membaca catatan ini hendaknya membaca artikel tersebut. disini

      Pada BAB I : Istighosah, Hal 6 Habib mengatakan :

      Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat. Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt. Maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt.Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaaat dan kematian adalah mustahilnya manfaaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian

      ——————————————– (sampai disini nukilan)

      Ucapan habib : ” Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt”

      Maka kita katakan seandainya saja, sekali lagi seandainya saja….ucapan ini kita terima… maka dari manakah bolehnya orang-orang yang meminta pertolongan dengan orang-orang yang sudah meninggal yang tidak jelas kedudukannya di sisi Allah. Sekali lagi, Seandainya saja ini ucapan ini benar (dan tidak benar) maka harusnya tidak boleh meminta pertolongan kepada orang yang sudah mati kecuali dengan orang-orang yang kata habib munzir ” diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah Subhana Wa Ta’ala” Maka kalau orang-orang itu konsekuen dengan dengan kalimat ini, maka kita tidak akan melihat orang-orang semisal habib Munzir dan pengikutnya meminta pertolongan kecuali kepada hamba-hamba yang telah disebutkan oleh Allah dan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam sebagai hamba yang memiliki kedudukan di sisi Allah, seperti para nabi, Maryam bintu Imron, luqman, Abu Baker, Umar dan semua yang telah datang penyebutannya dalam al-qur’an dan assunah sebagai hamba-hamba sholih.

      Lalu dalil dari mana orang-orang zaman sekarang memohon pertolongan kepada wali mbah priok, wali songo, syaikh abdul qodir zailani, dll ??? apakah ada penyebutan dalam al-qur’an atau as-sunnah tentang kedudukan mereka di sisi Allah ???

      Maka bisa jadi habib dan orang yang semisalnya meyakini bahwa orang-orang itu memilki manzilah disisi Allah. Maka renungkanlah hadits ini :

      Suatu ketika seorang sahabat mulia Utsman bin Madz’un Rhadiyallahu ‘anhu meninggal dunia,segeralah seorang wanita mempersaksikan baginya kemuliaan di Akhirat,namun dengan segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menukas persaksiannya. Kisah berharga tersebut termaktub dalam kitab Shahih Al-Bukhari (2687), bahwa seorang wanita bernama Umul ‘Ala, wanita Anshor yang pernah berbaiat kepada Rasulullah berkisah bahwa saat itu dibagikan undian orang-orang muhajirin, maka kami mendapatkan bagian Utsman bin Madz’un Rhadiyallahu ‘anhu sehingga kami menempatkannya di rumah kami, tapi ia dirundung sakitnya yang menyebabkan kematiannya, maka ketika beliau wafat dan dimandikan lalu dikafani dengan kain kafannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, aku-pun mengatakan,

      رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لقد أَكْرَمَكَ الله

      “Rahmat Allah atas dirimu wahai Abu Saib (Utsman bin Madz’un),persaksianku terhadap dirimu bahwa Allah telah memuliakan dirimu”,maka serta merta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

      وما يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ أَكْرَمَهُ فقلت بِأَبِي أنت يا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ يُكْرِمُهُ الله فقال أَمَّا هو فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ والله إني لَأَرْجُو له الْخَيْرَ والله ما أَدْرِي وأنا رسول اللَّهِ ما يُفْعَلُ بِي قالت فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا

      “Darimana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya”. Akupun mengatakan, ”Ayahku sebagai tebusanmu Wahai Rasulullah, lalu siapa yang Allah muliakan?” Rasulullah menjawab: ”Adapun dia maka telah datang kematiannya, demi Allah aku benar-benar berharap untuknya kebaikan, demi Allah saya sendiri tidak tahu -padahal aku ini adalah utusan Allah- apa yang nantinya akan diperlakukan terhadap diriku”. Umul ‘Ala mengatakan: Demi Allah aku tidak lagi memberikan tazkiyah (persaksian baik) setelah itu selama-lamanya”

      Coba renungi kisah ini, siapakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah Utsman bin Madz’un Rhadiyallahu ‘anhu dan siapakah Umul ‘Ala Rhadiyallahu ‘anha. [1]

      Maka persaksian terhadap seseorang yang sudah mati memiliki manzilah di sisi Allah,dirahmati Allah atau masuk surga tidak bisa ditentukan oleh ijtihad manusia, akan tetapi hanya Allah yang bisa menentukannya baik melalui firmannya atau melalui lisan Rasulnya Shalallahu ‘alaihi wassallam .

      Maka orang-orang yang menyeru kepada wali-wali,kyai-kyai,habib-habib yang sudah mati tersebut apabila memang seperti yang dikatakan habib munzir yaitu : ” diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah Subhana Wa Ta’ala”

      Maka mereka merasa lebih memilki ilmu dibanding Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam dan para sahabatnya. Naudzubillah

      Mungkin ada yang menjawab , maksud kami adalah : ” yang disangka mempunyai manzilah di sisi Allah Subhana Wa Ta’ala“

      Maka kami katakan, bahwa manusia menyangka bahwa seseorang sholih maka terkadang dia bukan orang sholih, ingatlah hadits :

      Dalam Sunan Abu Daud diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radliyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
      “Pada hari kiamat ada seorang lelaki yang dihadapkan lalu dilemparkan ke dalam neraka sampai terburai isi perutnya. Lalu ia berputar-putar laksana keledai yang berputar-puter mengelilingi penggiling gandum. Maka para penghuni neraka berkerumun kepadanya dan bertanya : ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk di sini, bukankah kamu dulu orang yang memerintahkan kami kepada kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’ Ia menjawab : ‘Dulu saya memang memerintahkan kalian kepada kebaikan namun saya tidak menjalankannya dan saya melarang kalian dari kemungkaran namun saya melakukannya.’”

      Dan yang lebih penting lagi, bagaimana seseorang bisa berbicara tentang Allah tanpa ilmu hanya dengan prasangka , Allah berfirman :

      قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

      Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (QS.Al-A’raf:33)

      Dan bukanlah maknanya apabila kita tidak mepersaksikan individu tertentu sebagai orang yang memiliki manzilah di sisi Allah atau dirahmati Allah maka kita berarti meyakini orang itu masuk neraka, atau tidak dirahmati Allah. Sama sekali tidak, maknanya adalah kita tidak boleh meyakini seorang individu tertentu masuk surga atau masuk neraka kecuali dengan dalil

      Maka kalau seseorang sudah mencukupi dengan penjelasan ini dan meninggalkan meminta tolong dengan orang-orang meninggal, maka itulah yang diharapkan. Tapi bisa jadi ada yang mengatkan : “mulai sekarang saya akan meninggalkan memohon pertolongan kepada orang-orang yang tidak datang dalil tentang manzilahnya di sisi Allah, saya hanya akan meminta pertolongan dengan para nabi , rasul, sahabat rasul dan orang-orang sholih yang telah diyakini meiliki manzilah di sisi Allah.”

      Maka sesungguhnya hidayah dan taufik hanya milik Allah, maka jawaban untuk ini ada pada artikel Al-Ustadz Abu Utsman.

      Kemudian ucapannya : Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt. Maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt.Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaaat dan kematian adalah mustahilnya manfaaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian

      ———————————————–(sampai disini nukilan)

      Kami pun setuju bahwa seluruh manfaat dan mudharat dari Allah, seluruh muslim pun sepakat permasalahan ini. Dan kami pun sepakat bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah, maka jangankan orang yang sudah meninggal, seandainya saja Allah menghendaki , Allah maha mampu menjadikan batu hidup dan menolong kita, bukankah Allah telah menjadikan batu bisa berlari dan membawa lari baju musa alahi salam ??? akan tetapi titik perbedaannya adalah Allah sendiri telah menetapkan bahwa manfaat dan mudaharat itu diletakkan pada sebab-sebab. Misalkan saja kita ingin menyalakan api pada sebuah kompor, dan kompor itu kita isi dengan air bukan dengan minyak tanah, karena kita berkeyakinan bahwa Allah maha mampu atas sesuatu. Apakah ini benar atau salah ??? maka kita katakan bahwa keyakinan dia benar, Bahwa Allah maha mampu atas segala sesuatu dan maha mampu untuk menjadikan Air bisa menyalakan api tapi apakah ini tindakannya benar ??? tentu tidak, karena apa ??? karena Allah yang maha mampu telah meletakkan semua sebab pada tempatnya , dan Allah telah menjadikan sebab manfaat untuk mendatangkan api pada minyak tanah, gas, dll.

      Begitu juga soal meminta pertolongan kepada orang yang sudah meninggal, ketika kita katakan bahwa orang yang mati dan orang yang hidup itu berbeda dalam masalah manfaat dan mudharat, maka bukan berarti kita mengatakan bahwa Allah tidak mampu menjadikan orang-orang meninggal itu memberi manfaat ??? permasalahannya adalah , kembali kepada Air dan Api tadi, apakah datang dalil bahwa orang yang sudah meninggal itu bisa mendatangkan manfaat kepada orang yang hidup ?? itu yang dibahas… bukan soal keyakinan Allah mampu atau tidak mampu..

      Maka ingatlah, Allah yang maha mampu, Dia sendiri yang telah membedakan antara orang yang masih hidup dan yang sudah mati :

      وَمَا يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ وَلَا الظُّلُمَاتُ وَلَا النُّورُ وَلَا الظِّلُّ وَلَا الْحَرُورُ وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ

      Tidaklah sama antara orang buta dengan orang yang melihat, Tidak pula sama kegelapan dengan cahaya ,Tidak pula naungan dengan sesuatu yang panas , Dan tidak sama antara orang yang hidup dengan orang yang mati. Sesungguhnya Allah memperdengarkan kepada orang –orang yang dikehendakiNya, dan tidaklah engkau mampu memperdengarkan kepada orang yang berada di (alam)kubur (Q.S Fathir :19-22)

      Maka berpikirlah orang-orang yang mecari kebenaran

      Habib Munzir menyatakan (halaman 7-8):

      Kita bisa melihat kejadian Tsunami di aceh beberapa tahun yang silam, bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka tak menyentuh masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yg lari ke makam shalihin selamat, inilah bukti bahwa Istighatsah dikehendaki oleh Allah swt, karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam–makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu, yang itu sebagai isyarat Ilahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yang taat pada Nya swt, tubuh tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan benteng untuk mereka yang hidup.., tubuh yang tak bernyawa itu Allah jadikan sumber Rahmat dan perlindungan Nya swt kepada mereka–mereka yang berlindung dan lari ke makam mereka.

      Kesimpulannya: mereka yang lari berlindung pada hamba–hamba Allah yang shalih mereka selamat, mereka yang lari ke masjid–masjid tua yang bekas tempat sujudnya orang–orang shalih maka mereka selamat, mereka yang lari dengan mobilnya tidak selamat, mereka yang lari mencari tim SAR tidak selamat. Pertanyaannya adalah: kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindungan-Nya swt? kenapa bukan orang yang hidup? kenapa bukan gunung? kenapa bukan perumahan?.

      Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin

      —————————————————(sampai disini nukilan)

      Sebagai tambahan bantahan yang sudah disampaikan Al-Ustadz Abu Utsman, bahwa gereja di jepang juga ada yang selamat pada tahun 2009 .

      Ada juga gereja yang selamat di mexico setelah Gunung berapi pada tahun 1943 Semua diagungkan oleh kamu nasrani dan tersebar di Internet…

      Apakah maknanya berarti Allah mengajarkan berlindung dengan gereja ?????

      Wallahu A’lam

      • Pada bab kedua ini, Habib Munzir membantah Ibnu Baaz Rahimahullahu di dalam pengingkarannya terhadap amalan orang-orang yang menghidupkan malam Nisfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban). Maka karena catatan ini adalah tanggapan untuk buku Habib Munzir, maka terkait dengan hukum Nisfu Sya’ban sendiri silahkan baca dahulu di sini. Kami sendiri hanya akan menanggapi tulisan Habib Munzir.

        Habib Munzir berkata di halaman 28 dan 29 :

        Berkata Imam Syafii rahimahullah “Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam Jum’at, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan Rajab, dan malam Nisfu Sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319).

        Dengan fatwa ini maka kita memperbanyak doa di malam itu, jelas pula bahwa doa tak bisa dilarang kapanpun dan dimanapun, bila mereka melarang doa maka hendaknya mereka menunjukkan dalilnya?,

        Kemudian berkata pada hal 30-31 :

        Para ulama kita menyarankan untuk membaca surat Yaasiin 3x , itu pula haram seseorang mengingkarinya, kenapa dilarang? apa dalilnya seseorang membaca surat Alqur’an? melarangnya adalah haram secara mutlak.

        Sebagaimana Imam Masjid Quba yang selalu menyertakan surat Al Ikhlas bila ia menjadi imam, selalu ia membaca Al Ikhlas disetiap raka’atnya setelah surat Al Fatihah, ia membaca Al Fatihah, lalu Al Ikhlas, baru surat lainnya, demikian pada setiap sholatnya, bukankah ini kegiatan yang tak diajarkan oleh Rasul saw? bukankah ini menambah-nambahi bacaan dalam sholat? Maka makmumnya berdatangan pada Rasul saw seraya mengadukannya, maka Rasul saw memanggilnya dan bertanya mengapa ia berbuat demikian, dan orang itu menjawab innii uhibbuHaa (aku mencintainya), yaitu mencintai surat Al Ikhlas, hingga selalu menggandengkan Al Ikhlas dengan Al Fatihah dalam setiap rakaat dalam sholatnya. Apa jawaban Rasul saw? Apakah Rasul saw berkata: “Kenapa engkau buat syariah dan ajaran baru? Apakah ibadah sholat yang kuajarkan belum sempurna???” beliau tak mengatakan demikian, malah seraya berkata: hubbuka iyyaahaa adkholakal jannah (cintamu pada surat Al Ikhlas itulah yang akan membuatmu masuk surga).

        Hadits ini dua kali diriwayatkan dalam Shahih Bukhori dan Shahih Bukhori adalah kitab hadits yang terkuat dari seluruh kitab hadits lainnya untuk dijadikan dalil, maka jelaslah Rasul saw tak melarang berupa ide-ide baru yang datang dari iman, selama tidak merubah syariah yang telah ada, apalagi hal itu merupakan kebaikan ???

        CATATAN KAMI

        Disini habib Munzir meletakkan dalil yang tidak pada tempatnya, Bagaimana dia bisa berdalil dengan perbuatan yang terjadi ketika zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam masih hidup dan kemudian perbuatan sahabat tersebut dibenarkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam kemudian dijadikan dalil dan diterapkan pada perbuatan dan amalan yang dilakukan jauh sesudah beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam meninggal.

        Sesuatu yang sudah maklum, bahwa sesuatu yang dibenarkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam adalah dalil di agama ini dan ini adalah salah satu jenis hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yaitu Iqror (pembenaran) dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam .

        Adapun ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam sudah wafat, kemana kita harus mengadu dan bertanya tentang amalan-amalan yang diamalkan manusia ??? maka sungguh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam sendiri telah bersabda :

        Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

        مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَد

        “Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari no. 2550 dan Muslim no. 1717)

        Lalu ucapan Habib Munzir berdalil dengan hadits ini :

        , maka jelaslah Rasul saw tak melarang berupa ide-ide baru yang datang dari iman, selama tidak merubah syariah yang telah ada, apalagi hal itu merupakan kebaikan ???

        Ini kalimat yang tidak benar, Sungguh telah kita temukan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam mengingkari dan melarang beberapa perbuatan sahabatnya yang mungkin menurut istilah habib munzir “ selama tidak merubah syariah yang telah ada”

        Lihatlah tentang larangan sholat pada waktu-waktu tertentu, dalam keadaan sholat adalah tiang Agama ini :

        Abdullah bin ‘Abbas Rhadiyallahu ‘anhu Ia berkata:

        “Telah bersaksi di sisiku beberapa orang yang diridhai dan yang paling aku ridha adalah ‘Umar, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam melarang shalat setelah fajar hingga terbitnya matahari, dan setelah ‘Ashar hingga terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

        Dan perhatikan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam ‘anhu memanjangkan sholatnya, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam sholat membaca al-Baqarah, an-Nisâ‘ dan Ali ‘Imran dalam satu raka’at (HR Imam Muslim rahimahullâh dalam Shahih-nya (1/536-537), dari hadits Hudzaifah radhiyallâhu’anhu.)

        Tapi lihatlah ketika Muadz Rhadiyallahu ‘anhu menerapkan sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam tersebut tidak pada tempatnya, sebagaimana diceritakan Jabir Rhadiyallahu ‘anhu dia berkata: “Mu’adz mengimami shalat Isya bagi para sahabatnya, lalu dia memanjangkan (shalat) hingga memberatkan mereka. Maka beliau n bersabda: ‘Apakah engkau ingin menjadi orang yang menimbulkan fitnah, wahai Mu’adz? Apabila engkau mengimami orang-orang, bacalah Wasy-syamsi wa dhuhaha, atau Sabbihisma rabbikal a’la, atau Iqra` bismi rabbika, atau Wal-laili idza yaghsya’.” (Muttafaqun ‘alaih)

        Perhatikan pula apa yang dikatakan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam tentang cara berdzikir para sahabatnya dalam keadaan dzikir adalah sesuatu yang disyariatkan, Dari Abu Musa Al-Asy’ari Rhadiyallahu ‘anhu :

        “Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam perjalanan). Jika kami mendaki bukit maka kami bertahlil dan bertakbir hingga suara kami meninggi. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, kasihanilah (baca: jangan paksakan) diri-diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Zat yang tuli dan juga tidak hadir. Sesungguhnya Dia -yang Maha berkah namanya dan Maha tinggi kemuliaannya- mendengar dan dekat dengan kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704).

        Maka perhatikanlah , bahwa pada satu keadaan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam membenarkan perbuatan sahabatnya dan pada keadaan lain beliau mengingkari dan melarang perbuatan sahabat, dalam keadaan semua perbuatan tersebut ada asalnya ada dari syariat, tidak seperti yang diklaim oleh habib munzir dengan kalimatnya ” , maka jelaslah Rasul saw tak melarang berupa ide-ide baru yang datang dari iman, selama tidak merubah syariah yang telah ada, apalagi hal itu merupakan kebaikan”

        Dan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam telah wafat, dan wahyu telah terputus, dan agama telah sempurna.

        Berkata di Hal.32:

        Beramal dengan hadits dhoif adalah boleh, bukan dijadikan dalil hukum syariah ,bukan dijadikan dalil hukum fardhu atau hukum jinayat atau hukum syariah lainnya Mereka tak bisa membedakan antara amal ibadah mustahab dengan hukum fardhu dan syara.

        CATATAN KAMI

        Ketika seseorang telah mengamalkan sebuah amalan, baik amalan fardhu, mustahab, jinayat dll maka secara tidak langsung baik sadar ataupun tidak, dia telah meyakini bahwa hal tersebut adalah perkara syariah yang datang dari Allah , karena dia meyakini hal itu akan menyebabkan dia mendapatkan pahala dan akan mendekatkan dia ke surga, dan dia meyakini bahwa itu adalah bagian dari agama islam. Dan ini adalah perkara Aqidah, yaitu meyakini bahwa suatu perbuatan telah dicintai Allah

        mengenai beramal dengan hadits dho’if, silahkan lihat catatan kami disini.

        Berkata di hal 32 :

        Nisfu Sya’ban tak ada perayaan, siapa pula yang merayakannya? cuma wahabi (gelar bagi penganut faham Ibn Abdul Wahhab, sebagaimana pengikut madzhab Imam Malik disebut Malikiy, pengikut Imam Syafi’i disebut Syafi’iy) saja yang menuduhnya, kalau untuk kelompok mereka tidak

        ada istilah bid’ah dan musyrik, walau pakai pesta dan memajang foto – fotonya di masjid dan dimana – mana. Itu sih tidak mengapa, juga hari ulang tahun kelompoknya, buat pesta besar – besaran dengan menggelar panggung artis dan musik, itu sih tidak mengapa tapi Nisfu Sya’ban bid’ah.

        CATATAN KAMI

        Ada dua kandungan di kalimat-kalimat ini :

        Pertama : Klaim bahwa pada malam Nisfu Sya’ban tidak ada perayaan, jujurkah ???

        Maka kami katakan, Apa makna perayaan : “pe·ra·ya·an n pesta (keramaian dsb) untuk merayakan suatu peristiwa ” (Kamus Besar bahasa Indonesia)

        Maka silahkan buka http://www.youtube.com ketik di kotak pencarian, “Tabligh Akbar Majelis Rasulullah SAW Malam Nisfu Sya’ban” atau langsung klik disini

        Perayaan atau bukan ???

        Kedua : Wahabi [1] melaksanakan pesta, memajang foto di mesjid, pada hari ulang tahun kelompoknya membuat pesta mengundang artis dan musik

        Maka kemungkinan besar yang anda anggap wahabi adalah Ibnu Baaz yang bukunya anda bantah dan juga ulama-ulama Saudi arabia, Maka datangkan bukti, di mesjid mana di kota mana di Saudi arabia ada mesjid memajang foto ???

        Dan tolong tunjukkan apa yang dimaksud dengan hari ulang tahun kelompoknya ??? kapankah itu ?? datangkan buktinya kalau anda jujur.

        Adapun pesta-pesta yang diadakan oleh pemerintah Saudi Arabia (bila ada),, maka kami katakan, apakah dengan ini bisa disandarkan kepada para ulamanya ??

        Apakah ada ulama yang berfatwa dengannya ?? atau hadir di pesta tersebut ??? ataukah bahkan mengingkarinya ??

        Apakah setiap pesta yang diadakan pemerintah indonesia maka Ulama-ulama Indonesia yang tergabung dengan MUI juga dianggap mendukungnya ??

        Berkata di hal 33

        Mengenai fatwa Ibn Baz yang menentang malam Nisfu Sya’ban, tentunya Imam Syafii lebih mulia dari seribu orang semacam pengingkar tersebut, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum Imam Bukhari lahir, dan ia adalah guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal itu hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan matannya.

        CATATAN KAMI

        Disini Habib mengatakan bahwa Imam As-Syafi’I lebih mulia dari 1000 orang pengingkar malam Nisfu Sya’ban (seperti Ibnu Baaz), maka tidak ada yang meragukan tentang kemuliaan Imam As-Syafi’I ….

        Maka sekarang kami katakan kembali, mana yang lebih mulia dan berilmu apakah Imam As-Syafi’I ataukah ulama yang menguatkan pendapat bolehnya menganjurkan membaca yasin 3x (Hal. 30) membaca doa-doa khusus (hal. 31) membuat panggung dan mengadakan perayaaan (seperti di Monas) manakah yang lebih alim ????

        Imam As-Syafi’I dalam keadaan beliau seperti yang anda nukil sendiri bahwa beliau mengatakan (Hal 28-29):

        Berkata Imam Syafii rahimahullah “Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam Jum’at, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan Rajab, dan malam Nisfu Sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319).

        Apakah beliau menganjurkan membaca yasin 3x, berdoa dengan doa-doa yang khusus, membangun panggung dan mengumpulkan manusia ???

        Mana yang lebih pintar ?? lebih alim ?? Imam As-Syafi’I ataukah …. ???

        Atau mungkin Imam As-Syafi’I termasuk dalam kriteria yang habib munzir sebutkan : “

        Beramal dengan hadits dhoif adalah boleh, bukan dijadikan dalil hukum syariah ,bukan dijadikan dalil hukum fardhu atau hukum jinayat atau hukum syariah lainnya Mereka tak bisa membedakan antara amal ibadah mustahab dengan hukum fardhu dan syara“

        Ataukah Imam as-Syafi’I tidak tahu kaidah yang habib Munzir sebutkan : “, maka jelaslah Rasul saw tak melarang berupa ide-ide baru yang datang dari iman, selama tidak merubah syariah yang telah ada, apalagi hal itu merupakan kebaikan” ????

        Berkata di hal 30 :

        Namun bukan berarti pendapat yang pertama ini batil, karena diakui oleh para muhadditsin, bisa saja saya cantumkan seluruh fatwa mereka akan malam Nisfu Sya’ban beserta bahasa arabnya, namun saya kira tak perlulah kita memperpanjang masalah ini pada orang yang dangkal pemahaman syariahnya.

        CATATAN KAMI

        Yang ingin saya komentari adalah kalimat :

        “Orang yang dangkal pemahaman syariahnya ???

        Siapakah mereka ?? Siapakah yang mengingkari menghidupkan malam Nisfu Sya’ban yang kata habib Munzir dangkal pemahaman syariahnya ??

        Cukup satu saja yang kami nukil, Berkata Imam An-Nawawi salah seorang ulama bermadzhab Syafi’I :

        Berkata Imam An_Nawawi : “Sholat yang dikenal dengan sholat Rhogo’ib, yaitu sholat 12 raka’at antara maghrib dan isya, pada malam juma’at pertama dari bulan rajab dan sholat malam pertengahan dari bulan sya’ban 100 raka’at. Maka dua sholat ini adala bid’ah mungkar, maka janganlah tertipu dengan penyebutannya di dalam dua kitab : Quutul Qulub dan Ihya’ Uluumuddin, dan jangan pula tertipu dengan hadits-hadits yang disebutkan di dua kitab tersebut. maka sesungguhnya semua itu batil. (Al-Majmu’ 4/56)

        Dan Ulama As-Syafi’iyah mengingkari tata cara perayaan malam Nisfu Sya’ban yang disebutkan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Uluumuddin. (Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah )

        Ternyata inilah ulama-ulama yang dimaksud dengan ““Orang yang dangkal pemahaman syariahnya ??? “

        Waalahu a’lam

        NB : Kami terus menunggu Ustadz-ustadz kami membantah buku habib Munzir ini, Sebagaimana para ulama membantah gurunya Habib Umar Al-Hafidz di Yaman.

  141. Alquran surah ke 23 ayat ke 53, menyebutkan bahwa para pengikut para rusul itu (a.l. para rahib/Yahudi, rasul u/Kristiani atau para sahabat/Islam memutuskan ajaran para Rusul iitu dalam beberapa kitab(zubur/faham), kemudian setiap golongan merasa bangga (paling benar, yang lainnya salah alias sesat, kafir atau inkarusssunnah) thdp apa yang menjadi pegangannya, apa lagi telah menjadi keputusan Muktamar atau Dewan Gereja. Benar apa yg telah disinyalir Alquran bahwa agama yang tengah dipeluk siapapun ( sejak zamandulu hingga kini) tidak lagi mengikut para rasul Allah, namun mengikuti ajaraaan-ajaaran para tokoh atau yang mereka anggap tokoh. Bukti bahwa kullu hizbin bimaa ladayhim farihun, dimana satu faham selalu menyalahkan faham yang lainnya, sebagimana Yahudi menyalahkan Nasrani,dengan ucapan: Laysatin Nasharaa ‘ala syain – demikian pula Nasrani menyalahkan Yahudi:Laysatin Yahuudu ‘ala syaiin padahal masing-masing memiliki kitab pijakan (Yatluunaaal kitab). Pada gilirannua, orang-orang yg tidak tahu apa-apa (gak pernah ngajiyg mendalam/awwam) saling mengatakan: kamu gak tahu apa-apa (=yg tahu cuman gua), Lalu Allah berkommentar: Demikianlah telah Kami jadikan indah/bagus/cocok thdp apa yang mereka kerjakan (sesuai dgn faham masing-masing). Yang Allah larang adalah jangan saling mencelaa, mencaci maki sekalipun berlainan agama sebagaaimana QSS6:108, (apa lagi satu agama – Islam) Apa tidak capai bila kelompok Sunnah selalu saja menyalahkan dan membenci Wahabi, padahal kalau kita (Indonesia) berhajji dan umrah masuk arealnya kelompok Wahabi, makanya setiap apa saja yg berbau syirik, dilarang…….

  142. Pertanyaan Anda seharusnya ditujukan ke mereka bukan ke kami, karena yang menghujat dan mengkafirkan amaliyah kami adalah mereka dengan tanpa dalil.

    Semua yang masuk kategori syirik jelas dilarang tapi harus jelas dong kriteria syirik itu yang bagaimana ? dan pendapat ulama terdahulu bagaimana dalam menjelaskan makna syirik.

    kami hanya menjawab tuduhan mereka kepada kami dengan menunjukkan dalil2 yang valid dan kamipun tidak suka mencaci mereka seperti mereka mencaci kami.

    • imam berkata
      Semua yang masuk kategori syirik jelas dilarang tapi harus jelas dong kriteria syirik itu yang bagaimana ? dan pendapat ulama terdahulu bagaimana dalam menjelaskan makna syirik.
      jawaban saya

      SYIRIK, DEFINISI DAN JENISNYA

      A. Definisi Syirik

      Syirik iaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah di samping berdoa kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdoa dan sebagainya kepada selain-Nya.

      Kerana itu barangsiapa menyembah selain Allah bererti dia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikan kepada yang tidak berhak, dan itu adalah suatu bentuk kezaliman yang paling besar. Allah berfirman,

      Sesungguhnya rnenyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman: 13)

      Allah tidak akan mengampuni orang musyrik, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya. Allah berfirman,

      Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48)

      Syurga pun diharamkan atas orang musyrik. Allah berfirman,

      Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah menghararnkan kepadanya syurga, dan ternpatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72)

      Dan Syirik menghapuskan pahala segala amal kebaikan. Allah berfirman,

      Seandainya mereka menyekutukan Allah, nescaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (Al-An’am 6: 88)

      Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadarnu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu menyekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah arnalmu dan tentulah karnu termasuk orang-orang yang merugi. (Az-Zumar: 65).

      Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jurnpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di ternpat pengintaian.” (At-Taubah: 5)

      Nabi bersabda,

      Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyatakan, ‘Tiada sesembahan yang haq melainkan Allah.’ Jika mereka telah menyatakannya, nescaya darah dan harta mereka aku lindungi kecuali kerana haknya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

      Kerana itu, syirik adalah dosa yang paling besar. Rasulullah bersabda,

      Mahukah kalian aku beritahukan tentang dosa yang paling besar?” Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah dan derhaka kepada kedua orang tua.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

      Syirik adalah suatu kekurangan dan aib yang Allah s.w.t. menyucikan diri dari keduanya. Kerana itu, barangsiapa berbuat syirik kepada Allah bererti dia menetapkan untuk Allah apa yang Dia menyucikan diri daripadanya. Dan ini adalah puncak pembangkangan, kesombongan dan permusuhan kepada Allah.

      B. Jenis Syirik

      Syirik ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.

      Syirik Besar

      Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat daripadanya. Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdoa kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan menyembelih korban dan nadzar untuk selain Allah, sama ada untuk kuburan, jin atau syaitan. Termasuk juga takut kepada orang-orang yang telah mati, jin atau syaitan, meyakini bahawa mereka boleh mernbahayakan atau memberi mudharat, juga mengharapkan sesuatu kepada selain Allah yang tidak kuasa melakukannya kecuali Allah, berupa pemenuhan keperluan dan menghilangkan kesusahan, hal yang saat ini dilakukan di sekeliling bangunan-bangunan yang didirikan di atas kuburan para wali dan orang-orang soleh di sebahagian wilayah Islam. Allah berfirman,

      Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah. (Yunus: 18)

      1. Syirik Dakwah (doa):

      Iaitu di samping dia berdoa kepada Allah ia berdoa kepada selain-Nya. Allah berfirman,

      “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Al-Ankabut: 65)

      2. Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan:

      Iaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah. Allah berfirman,

      Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, nescaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (Hud 11: 15-16)

      3. Syirik Ketaatan:

      Iaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah. Allah berfirman,

      Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dan apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)

      4. Syirik Kecintaan (Mahabbah): Yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan. Allah berfirman,

      Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandigan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagai-mana mereka mencintai Allah.” (al-Baqarah: 165)

      Syirik Kecil

      Syirik Kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi (mencemarkan) tauhid dan merupakan per-antara (wasilah) kepada syirik besar. Syirik kecil ada dua jenis.

      1. Syirik Nyata (Zahir):

      Iaitu syirik yang dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah bersabda,

      Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dihasankannya, serta dishahihkan oleh al-Hakim)

      Termasuk di dalamnya adalah ucapan, (atas kehendak Allah dan kehendakmu). Ibnu Abbas menuturkan,

      “Ketika ada seseorang berkata kepada Nabi, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, maka ketika itu beliau bersabda, ‘Apakah engkau menjadikan diriku sebagai sekutu bagi Allah? Katakanlah, Hanya atas kehendak Allah saja’.” (HR. an-Nasai)

      Termasuk juga ucapan, “Kalau bukan kerana Allah dan kerana si fulan.” Yang benar adalah hendaknya diucapkan,

      “Atas kehendak Allah kemudian kehendak si fulan.”

      “Kalau bukan kerana Allah kemudian karena si fulan.”

      Sebab kata (kemudian) menunjukkan tertib berurut, yang bererti mejadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah. Sebagaimana firman Allah,

      Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikendaki Allah, Rabb semesta alam. (At-Takwir: 29)

      Sedangkan (dan) maka untuk menunjukkan kebersamaan dan persekutuan, tidak menunjukkan tertib berurut.

      Termasuk dalam larangan ini adalah ucapan ‘Tidak ada penolong bagiku kecuali Allah dan engkau’, ‘ini adalah atas berkah Allah dan berkahmu.’

      Adapun yang berbentuk perbuatan adalah seperti memakai kalung atau benang sebagai pengusir atau penangkal mara bahaya, atau menggantungkan tamimah (Tamimah adalah sejenis tangkal yang biasanya di kalungkan di leher anak-anak) kerana takut kena ‘ain (penyakit mata) atau perbuatan lainnya, jika ia berkeyakinan bahawa perbuatannya tersebut merupakan sebab-sebab pengusir atau penangkal mara bahaya, maka ia termasuk syirik kecil. Sebab Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya mara bahaya) dengan hal-hal tersebut. Sedang ia berkeyakinan bahawa hal-hal tersebut boleh menolak atau mengusir mara bahaya, maka ia adalah syirik besar, sebab ia bererti meletakkan kebergantungan diri kepada selain Allah.

      2. Syirik tersembunyi (Khafi):

      Iaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti ingin dipuji orang (riya’) dan ingin didengar orang (sum’ah). Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya dengan membaikkan solatnya atau bersedekah agar dipuji dan disanjung kerananya, atau ia melafazkan zikir dan memperindah suaranya dalam bacaan (al-Qur’an) agar didengar orang lain, sehingga mereka menyanjung atau memujinya. Jika riya’ itu mencampuri (niat) suatu amal, maka amal itu menjadi tertolak. Kerana itu, ikhlas dalarn beramal adalah sesuatu yang perlu (sebagai syarat yang penting diterimanya amal). Allah berfirman,

      Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal soleh dan janganlah ia berbuat syirik sedikit pun dalam beribadah kepada Rabbnya. (Al-Kahfi: 110)

      Yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu? Beliau menjawab, “Iaitu riya’. (Hadis Riwayat Ahmad, ath-Thabrani dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah)

      Termasuk di dalamnya adalah motivasi amal untuk kepentingan duniawi, seperti orang yang menunaikan haji atau berjihad untuk mendapatkan harta benda. Nabi bersabda,

      Celakalali hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan celakalah haniba khamilah*, jika diberi, ia senang (gembira), tetapi jika tidak diberi ia marah. (Hadis Riwayat al-Bukhari)

      * Khamishah dan khamilah adalah pakaian yang terbuat dari wool atau sutera dengan diberi sulaman atau garis-garis yang menarik dan indah. Maksud ungkapan Rasulullah s.a.w. (wallahu a’lam) dengan sabdanya tersebut adalah untuk menunjukkan orang yang sangat mengejar dengan kekayaan duniawi, sehingga menjadi hamba harta benda. Mereka tulah orang-orang yang celaka dan sengsara. (pent.)
      POSTED BY NAWAWI BIN SUBANDI AT 4:55 PM
      LABELS: SYIRIK
      0

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Maaf dalam hal ini kita sedang membicarakan tahlillan bukan membahas syirik jadi komentar copy paste Anda tidak saya jawab, menungu artikel yang sesuai saja dari orgawam.

        Kita tuntaskan dulu tentang tahlilan ini ya….

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Pertanyaan yang sesuai topik itu yang saya bahas tapi yang tidak sesuai tidak saya bahas karena kita harus fokus pada satu topik biar kesimpulannya tidak bias dan mudah bagi pembaca memahaminya serta mudah bagi pembaca memahami jawaban Anda yang ngawur, semakin Anda berkomentar semakin ketahuan seberapa besar ilmu Anda dan juga sifat Anda, dan juga saya semakin tahu apa yang ada di hati golongan Anda melalui Anda, silakan menulis dan berkomentar terus dan yang tidak sesuai akan saya sanggah.

        Dalam hal ini kita sedang membahas tahlilan yang oleh Anda dan kelompok Anda dituduh bid`ah mungkar dengan menggunakan kitab I`anathuth Tholibin ( saya postingkan lagi ) dan silakan Anda tanggapi :

        Saya Contohkan pertanyaan saya kepada Anda yang malah dijawab dengan : saya disuruh cari sendiri kalimatnya atau dalilnya dalam kitab I`anathut tholibin.

        Pertanyaan saya sebagai berikut : ( Saya postingkan lagi )

        Kometar Anda :

        Perlu diketahui bahwa Zaini Dahlan adalah ulama syafi’iyyah di zamannya yang sangat benci dan sangat memusuhi apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam masalah tauhid. Meski demikian beliau keras dengan masalah tahlilan. Beliau menilai acara tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. Beliau tidak menilai ritual tahlilan sebagai ajaran Wahabi yang sangat beliau musuhi. Sehingga anggapan bahwa anti tahlilan hanyalah pemahaman Wahabi adalah anggapan yang sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada.

        PERTANYAAN SAYA :

        Dibagian mana secara jelas dan nyata Syeh Zaini Dahlan (seorang mufti besar Makkah pada masanya ) menulis seperti pernyataan Anda di atas ?

        BANTAHAN SAYA SEKARANG :

        1.Tidak ada satu katapun dalam kitab I`nathuth tholibin bahwa Syeh Zaini Dahlan mengkategorikan bahwa tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. coba buktikan ke saya kalau memang itu ada.

        2. Beliaupun tidak pernah membawa-bawa nama wahabi dalam membahas hal ini dalam kitab beliau itu.

        Jadi golongan Anda menggunakan kitab ini untuk menjatuhkan penganutnya (kami) adalah sesuatu yang sangat dipaksakan dan mengada-ngada kalau tidak saya sebut orang yang tidak memahami suatu permasalahan.

        3. Anda pula tidak memahami kandungan tanya jawab perkalimatnya dalam kitab itu sehingga Andapun salah tafsir ( kelihatannya disengaja karena tahlillan tidak sesuai dengan madzhab Anda ).

        4. Dan terakhir, saya tanyakan ke hati nurani Anda bukan nafsu Anda : Adakah point 1 sampai 3 ada dalam kitab itu ?

        5. Kalau tidak ada maka akuilah bahwa pembahasan tahlil dalam kitab itu tidak ada, maka kita bisa selesaikan pembahasan kitab itu, kemudian kita lanjutkan ke masalah diluar kitab itu. ( mari diskusi secara ilmiah )

  143. imam berkata
    Kalau Anda jeli pada bagian terakhir yaitu taqririyah / ketetapan Nabi, apakah Nabi mencontohkan dalam suatu perbuatan ?

    Jawab saya : TIDAK SAMA SEKALI, malah justru yang memberi contoh perbuatan itu ada shahabat Nabi.

    jawaban saya
    semua ulama sepakat tentang taqrirnya atau ketetapan nabi/perbuatan sahabat yg didiamkan oleh nabi

    tapi yang jadi pertanyaan saya apakah nabi juga mendiamkan tentang majelis zikir bid’ahnya sang habib
    danapa nabi juga mendiamkan tentang selamatan dan tahlilan dalam kematian

    apakah nabi juga mendiamkan kalian tabaruq dan tawasul kepada kuburan
    sedang nabi sekarang telah tiada
    lalu siapa yang mendiamkan bid’ah kalian ini
    siapa yang mentaqrir? apa anak cucunya nabi termasuk habib anda
    yang mentaqrir?

    mas imam ini bukan dalil
    bolehnya anda bikin syare’at baru setelah nabi meninggal,
    sabahat ketika mempraktekan suatu amalan lalu dibenarkan/disalahkan oleh nabi
    yang dibenarkan oleh nabi itu otomatis menjadi sunnah
    lo kenapa?,karna yng membenarkan itu nabi,bukan cucunya itupun kalo benar

    kadang kala nabi juga melarang suatu amalan padahal nabi melakukanya

    –> Mas sukirno.. anda selalu menuduh majelis dzikir habib sebagai bid’ah sesat. Saya pernah menunjukkan berbagai dalil majelis dzikir dan dalil bacaan dalam majelis tahlil kepada anda.

    Bid’ah sesatnya di mana sihh mas? lhaa wong dalilnya ada kok.

    • buat admim

      jangankan yang urusan ibadah
      seorang pelacur saja punya dalil,bahkan orang yang makan bunga bank saja
      yang jelas2 riba itu punya dalil

      la sekarang terserah anda kalo itu memang kau anggap sunnah
      dan saya juga pernah membahas dimana letak bid’ahnya

      • buat admim

        saya hadirkan sedikit masalah sikap para sahabat terhadap
        majelis zikirnya habib anda dan semisalnya
        kalo dengan dalil inipun anda masihragu ya anda ikut sang panutan
        saja karna sang habib kan lebih utma dari sahabat
        karna merupakan keluarganya nabi begitu bukan

        PERTAMA: Sikap Umar bin Khththab رضي الله عنه:

        Abu ‘Utsman an Nahdiy mengatakan:

        Seorang pegawai Umar bin Khaththab رضي الله عنه mela­porkan kepadanya: Bahwa di wilayahnya ada sekelompok orang yang (sering) berkumpul untuk mengadakan do’a (bersama) untuk kaum muslimin dan penguasa. Maka Umar me­ngirimkan surat balasan kepadanya (yang isi­nya): Hadapkan mereka itu kepadaku bersamamu! Kemudian Umar meminta disiapkan untuknya sebuah cambuk, ketika mereka itu masuk menghadap Umar, langsung beliau menyambuk dengan sebuah cambukan kepada pemimpin mereka. Maka aku berkata: Wahai Umar! Kami bukanlah orang-orang yang di­maksud, mereka itu adalah orang-orang yang akan datang dari arah Timur.1

        KEDUA: Sikap Ibnu Mas’ud & Abu Musa al Asy’ariy رضي الله عنهما:

        Dahulu di kota Kufah (wilayah Iraq saat ini) ada sekelompok orang yang mengadakan dzikir secara berjama’ah di masjid sete­lah shalat Maghrib, yang salah seorang dari mereka memimpin dengan mengatakan: bertasbihlah kalian sebanyak 100 kali, dan seterusnya, maka hal itu dilaporkan oleh Abu Musa al Asy’ariy رضي الله عنه kepada Ibnu Mas­’ud رضي الله عنه (sebagai walikota Kufah saat itu), maka mereka berdua langsung mendatangi sekolompok orang yang sedang mengada­kan dzikir berjama’ah itu untuk melarang mereka dari perbuatan itu, seraya Ibnu Mas’ud berkata kepada mereka:

        “Demi Dzat Yang tidak berhak untuk disembah dengan benar kecuali Dia, kalian semua telah berbuat sebuah bid’ah dengan zhalim, dan ka­lian juga telah merasa lebih berilmu daripada para Shahabat Muhammad صلي الله عليه وسلم “?!’.

        Maka ‘Amr bin ‘Utbah menyangkal: Kami hanya beristigfar kepada Allah. Ibnu Mas’ud berkata lagi: “Hendaklah kalian cukup mengikuti Sunnah, dan pegang teguhlah Sunnah itu, karena bila kalian mengambil dari sana dan sini (selain apa yang telah dite­tapkan Sunnah), maka kalian akan tersesat dengan kesesatan yang jauh”.2

        Bahkan Ibnu Mas’ud صلي الله عليه وسلم juga pernah menghancurkan sebuah masjid yang diba­ngun kota Kufah yang biasa digunakan un­tuk berdzikir berjama’ah oleh ‘Amr bin ‘Ut-bah bersama para pengikutnya.3

        KETIGA: Sikap Khabbab bin Art :

        Setelah sempat hilang, maka bid’ah ini muncul kembali setelah wafatnya Shahabat Ibnu Mas’ud, sekitar tahun 32 atau 33 H.

        Abdullah bin Khabbab bin Art, pernah duduk bersama beberapa orang yang memimpin dzikir mereka, maka ketika ayah­nya Khabbab bin Art رضي الله عنه, melihatnya berbuat demikian, iapun memanggilnya dan me­ngambil sebuah cambuk untuk memukul kepala putranya itu, lalu putranya bertanya: Mengapa engkau memukulku? “Karena engkau duduk bersama orang-orang Amaliqah4” jawabnya.5

        Begitulah juga sikap yang ditunjuk­kan oleh para ulama dari kalangan Tabi-‘in dan para ulama yang datang setelah mereka — rahimahumullahul jami’ —6

        Sekilas Tentang Sejarah Dzikir Berjama’ah Setelah Shalat Wajib Di Masjid:

        Adapun yang pertamakah mengada­kan dzikir “Takbir” berjama’ah adalah: Ma’dhad bin Yazid al ‘Ijliy bersama ke­lompok (dzikirnya) di kota Kufah,7 se­belum tahun 32 atau 33 H, kemudian di­larang oleh Ibnu Mas’ud رضي الله عنه lalu muncul kembali pada masa Khabbab bin Art رضي الله عنه seperti tertera di atas, lalu pada tahun 116 H Khalifah al Makmun memerintah­kan orang-orang untuk bertakbir setiap selesai shalat wajib di masjid, dan ini merupakan salah satu bid’ah yang dia­dakan olehnya.8

        Copyleft © 2009, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

        ——————————————————————————–

        1 Kisah ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitabnya al Bida Wan Nahyu ‘Anha hal. 10 dan Ibnu Abi Syaibah di dalam kitabnya al Mushannaf (VIll: 746) no: 6242 dengan sanad yang hasan, sebagaimana dikemukakan oleh DR. Al Khumais di dalam kitabnya adz DzikrulJama’iy Bainal Ittiba’ WalIbtida’ hal. 29.

        2 Kisah ini telah diriwayatkan oleh ad Darimi di da­lam kitab Sunannya (I: 68-69), Ibnu Wadhdhah di da­lam kitabnya al Bida’ Wan Nahyu ‘Anha hal. 5 dari ba­nyak jalan, Ibnul Jauziy di dalam kitabnya Talbisul Iblis hal. 28-29. Dan telah disebutkan oleh Imam Suyuthiy di dalam kitabnya al Amru bil Ittiba’ hal. 83-84, dan Syaikh Masyhur Alu Salman berkata di dalam catatan kakinya: Atsar ini shahih; karena jalannya yang banyak.

        3 Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam ki­tabnya alBida’ Wan Nabyu ‘Anha hal. 5.

        4 Maksudnya adalah: Karena kamu telah berbuat suatu urusan yang teramat besar dalam Agama ini.

        5 Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam ki­lahnya al Bida’ Wan Nahyu ‘Anha hal. 10, dan Ibnu Abi Syaibah di dalam kitabnya al Mushannaf (VIII: 559).

        6 Lihat keterangannya di kitab al Bida’ Wan Nahyu ‘Anha karya Imam Ibnu Wadhdhah al Qurthubiy

        7 Majmu’ Fatawa (XXXV: 41), sebagaimana yang disebutkan oleh DR. Nashir al ‘Aql di dalam kitabnya Rasaa-il Wal Dirasat Fil Ahwaa-i Wal Iftiraq Wal Bida’ (I: 226).

        8 Lihat kitab al Bidayah Wan Nihayah (X: 270)

        –> telah banyak kami utarakan dalil-dalil tentang dzikir berjamaah. Silakan cari dari search kanan atas. Terus ada dalil-dalil bacaan dzikir (tahlil). Itu semua telah cukup. Kalau pun dalil anda benar, itu tak bisa untuk menafikan dalil-dalil yang telah kami kemukakan.

        Kalau anda katakan sesat.. tidak cukup anda hanya mengemukakan dalil anda saja. Kami pun juga punya landasan dalil mas. Dan itu semua sahih.

        Terlihat anda tidak mengutip hadits dari periwayat hadits yg muktabar. Tapi banyak mengutip dari sumber ke sekian, imam Ibn Wadhdhah. Boleh anda terangkan siapa dia? Kalau anda tak tahu … tampak sekali anda asal kutip. Argumen anda menjadi sangat lemah.

        Tampaknya dalil kami derajatnya lebih sahih mas.

      • Tim gabungan bersama jurnalis mendaki di kaki Gunung Salak, Sukabumi, Jawa Barat, dalam upaya pencarian pesawat Sukhoi Superjet 100, Kamis (10/5/2012). Pesawat Sukhoi Superjet 100 jatuh di Gunung Salak Sukabumi, Jawa Barat, Rabu 3 Mei lalu saat melakukan demo penerbangan yang disebut Joy Flight. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

        Sejak dulu ada isyarat. Ini bukan menyembah Gunung Salak, kita tidak boleh musryik.Kalau kemusryikan, menyembah selain Allah
        Berita Terkait: Pesawat Sukhoi Jatuh
        /Rif Doa Bersama untuk Korban Sukhoi
        Anggota Mapala UI: Sedih Lihat Kondisi Lokasi Sukhoi…
        21 Jam Tembus Lokasi Sukhoi Jatuh
        Didik: Biar Saja Sukhoi Masuk Indonesia Jadi Pesaing
        KNKT: Kotak Hitam Belum Ditemukan
        Lampu Lilin Raksasa Rusia Ambruk di Gunung Salak

        TRIBUNNEWS.COM,BOGOR–Awan tebal atau kabut yang menyelimuti puncak Gunung Salak menjadi musuh utama tim evakuasi korban pesawat Sukhoi jatuh. Kabut tebal membatasi jarak pandang sehingga jasad korban tidak bisa diangkut. Kendala lainnya lokasi jatuhnya peswat berada di tebing terjal yang sulit dijangkau.
        Seperti, kejadian Jumat sore. Komandan Landasan Udara Atang Sendjaya Marsekal Pertama Tabri Santoso terpaksa menghentikan upaya mengangkut empat kantong jenazah yang telah disiapkan di landasan helikopter di lokasi jatuhnya pesawat.
        Tabri mengatakan, helikopter sangat berbahaya bila diterbangkan di tengah kabut tebal. Dikhawatirkan bisa kecelakaan.
        Sejak Rabu, saat Sukhoi Superjet100 buatan Rusia jatuh di tebing Gunung Salak, Cidahu, Kabupaten Sukabumi, kabut tebal selalu menyelimuti puncak gunung. Sebentar tersapu, namun sekejap lagi langsung tebal.
        Kondisi inilah yang dikeluhkan tim evakuasi. “Semoga besok cuaca terang, agar heli bisa evakuasi dari lokasi,” kata Danlanud Atang Sendjaya Marsekal Pertama Tabri Santoso, Jumat lalu saat mengehntikan upaya evakuasi SAR udara.
        Sabtu pagi, harapan serupa dilontarkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Sabtu (12/5/2012).
        “Semoga cuaca terang. Mari kita doakan, kalau cuaca cerah, Isnya Allah evakuasi cepat beres,” kata Ahmad Heryawan, saat meninjau kegiatan aktivitas evakuasi di lapangan transit, Lapangan SMP Negeri 1 Cijeruk, Cipelang, Cijeruk Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
        Harapan Tabri, Ahmad Heryawan, dan tentu saja keluarga para korban Sukhoi jatuh itu, akhirnya terwujud. Tapi tahukah anda ada prosesi ritual-tradisional yang sesuai adat-istiadat warga kaki Gunung Salak di balik itu? Namanya tawasulan qubro.
        Boleh percaya, boleh tidak. Namun ini kenyataan.
        Sabtu pagi, mobil doble kabin, Mitsubishi Strada mengangkut sejumlah orang pemuka masyarakat Cipelang, Cijeruk. Bersama mereka, dibawa pula nasi tumpeng, dengan menu khusus petai bakar dan ikan pedak atau ikan kembung, juga dibakar.
        “Saya baru membawa para pemuka masyarakat ke atas. Bawa nasi tumpeng dan sajen. Di atas akan diadakan ritual,” kata seorang anggota polisi dari Polsek Cijeruk.
        Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Cijeruk H Marsa Abdullah, membenarkan adanya doa dengan pendekatan ritual lokal.
        Menurutnya, tumpengan digelar selain melanjutkan tradisi turun-temurun warga sekitar Gunung Salak, juga atas dukungan keluarga korban. Ada keluarga korban yang meminta nasihat orang pintar atau paranormal dari luar Cijeruk menganjurkan adanya acara ritual lokal.
        “Tumpengan ini dilakukan, karena upaya sudah berhari-hari tapi mayat belum bisa dievakuasi semua. Kita khawatir masih ada yang diselimuti gaib, jadi kita berharap supaya dibukakan,” ujar Kiai Haji Marsa, ditemui Tribunnews.com di kediamannya di kampung Pasir Pogor, Cijeruk, Sabtu siang.
        Lewat doa ini, katanya berharap, ada mukjizat, semoga masih ada penumpang yang hidup sehingga bisa bersaksi memberi keterangan soal musibah jatuhnya Sukhoi, sejak Rabu lalu. “Walaupun agak mustahil, 100 persen mati. Tapi itu usah-usaha saja,” kata laki-laki paruhbaya ini.
        Saat ditemui Tribunnews.com, KH Marsa sedang menerima dua tamu, pemuka masyarakat Cijeruk. Salah satunya, Habib Mukhsin Barakbah, tinggal di kaki Gunung Salak, Kampung Palasari, Cijeruk.
        “Itu usulan paranormal yang lain. Lalu mereka komunikasi ke saya. Ya saya pikir, kalau demi kebaikan, dan tidak kemusryikan, saya bersedia mengarahkan. Lalu dibikin tumpeng dengan menu petai bakar dan ikan bakar,” ujarnya.
        “Dan kita berdoa, agar tim penyelamat pun selamat, tidak ada yang celaka,” sembari menyebut, Jordan, wartawan salahsatu media pun diduga sempat disesatkan makhluk gaib Gunung Salak.
        Sabtu pagi, sedianya, KH Marsa yang akan mengantar tumpeng dan sajen petai-ikan bakar ke arah puncak, namanya Puncak Manik.
        Namun dia mewakilkan kepada pemuka masyarakat lainnya karena Jumat malam dia dihubungi Bupati Bogor tidak pergi ke mana-mana, untuk menerima kunjungan Gubernur Jabar Ahmad Haryawan ke Cijeruk.
        Lokasi doa dan membawa sajen untuk makhluk gaib Gunung Salak dilakukan di landasan helikopter memasok logistik kepada tim evakuasi di lokasi jatuhnya pesawat, atau di Posko 3.
        “Sebenarnya di rumah pun tawasulan boleh, tetapi supaya lebih mantap, dilakukan di kawasan Gunung Salak,” ujarnya.
        Biasanya, habis tawasulan, tumpang, dimakan semuanya orang yang terlibat. Dan tidak boleh dibuang.
        Habib Mukhsin mengibaratkan tumpengan ini seperti syukuran atas kelahiran anak.
        “Kalau dalam kelahiran anak ada penebusan nyawa, ada akekah. Dalam kelahiran laki-laki kan sunnahnya, dipotong dua kambing. Sedangkan untuk anak perempuan, satu kambing,” katanya.
        Lalu kambing itu dipotong dan dimakan rame-rame, bukan roh gaib yang makan, tapi badan kita. Kalau roh-roh itu yang dikasi makan, atau nasinya dibuang, itu justru musryik,” kata Habib lagi.
        “Usai tumpengan, terbukti cuaca terang, dan evakuasi bisa dilakukan hari ini,” apa artinya kaitannya ini?” tanya Tribun.
        KH Marsa menjawab, “Sejak dulu ada isyarat. Ini bukan menyembah Gunung Salak, kita tidak boleh musryik, tidak ada Tuhan yang lain disembah. Kalau kemusryikan, menyembah selain Allah.”

    • Untuk Saudara Sukirno,

      Komentar Anda :

      jawaban saya
      semua ulama sepakat tentang taqrirnya atau ketetapan nabi/perbuatan sahabat yg didiamkan oleh nabi

      TANGGAPAN SAYA :

      Pertama saya ingatkan kepada Anda bahwa Anda menggunakan dalil semua perbuatan yang tidak ada contohnya dari Nabi maka adalah haram.

      Kemudian saya tunjukkan bahwa tidak semua harus ada contoh perbuatan dari nabi sebelumnya karena berdasarkan dalil adanya dalil taqririyah.

      Kemudian Anda lebih memperjelas lagi bahwa taqririyah adalah PERBUATAN SAHABAT yang di diamkan oleh Nabi.

      Pernyataan Anda itu yang berhuruf besar menunjukan bahwa saya benar dalam hal bahwa berdalil dengan AMALAN YANG TIDAK DICONTOHKAN OLEH NABI adalah SUATU PENDALILAN YANG SALAH DISAMPING TIDAK ADA SATUPUN NASH DALAM AL-QURAN DAN HADITS YANG MENYATAKAN DEMIKIAN.

      Inilah kenyataannya……..

      Selanjutnya Anda mengaitkan dengan tahlilan atau dzikirnya sang habib dengan taqririyah Nabi….

      Jawab saya sekarang :

      Sebelumnya saya definisikan apa itu taqririyah Nabi :

      Menurut Syeh Isya Abdullah Alkhumairi ( Kepala urusan keislaman di Emirat Arab yang terdahulu ) :

      إن السنة التقريرية تعني أن يقول أحد الصحابة قولاً أو أن يفعل فعلاً ابتداء من نفسه، دون أن يكون له سند من كتاب أو سنة يخصه بعينه، ثم يبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم، فيسكت عنه صلى الله عليه وسلم ولا ينكره، أو يقرره بقول منه أو فعل من جنسه أو استبشار به أو دعاء لفاعله، إلى غير ذلك مما يعلم به جواز هذا الفعل أو القول

      Bahwa makna sunah taqririyah adalah perkataan seseorang sahabat Roslulloh atau perbuatannya YANG TIMBUL DARI DIRINYA SENDIRI (bukan dari Rosululloh) yang hal itu TIDAK MEMPUNYAI SANAD (sandaran) KHUSUS (sebelumnya ) dalam Al-qur`an dan hadits mengenai hal itu. Kemudian hal itu (perkataan atau perbuatan sahabat) diadukan kepada Nabi SAW kemudian Nabi mendiamkannya serta tidak mengingkarinya atau Nabi menetapkannya dengan ucapan mengenai hal itu atau dengan perbuatan yang sejenis atau merasa senang dengannya atau mendoakan kepada pelakunya dll yang menunjukkan akan kebolehan perbuatan dan ucapannya itu.
      (LIHAT YANG BERHURUF BESAR DAN SILAKAN DIPAHAMI ).

      Nah sekarang Nabi telah tiada lalu bagaimana mengetahui perbuatan itu direstui oleh Islam atau Nabi SAW ?

      Jawabnya dengan “warisan” beliau yaitu Al-quran dan hadits, adakah perbuatan itu sesuai dengan keduanya atau tidak, adakah perbuatan itu berlawanan dengan keduanya atau tidak. baik dengan dalil umum maupun dalil khusus. selesai———

      • to imam
        perkataan imam

        Jawabnya dengan “warisan” beliau yaitu Al-quran dan hadits, adakah perbuatan itu sesuai dengan keduanya atau tidak, adakah perbuatan itu berlawanan dengan keduanya atau tidak. baik dengan dalil umum maupun dalil khusus. selesai

        jawaban saya

        apakah sahabat umar dan abu mas’ud tidak lebih alim dari pada anda dan para habaib
        bukankah para sahabat yang lebih tau tentang alqur’an dan hadist
        kalo anda jawab ia maka perbuatan anda dan para habaib itu benar2bid’ah dolalah dan sesat menyesatkan,

        kenapa anda begitu selalu berhujjah dengan sahabt umar dan abu bakar ketika
        amalan anda dibid’ahkan
        anda selalu berhujjah dan menjadikan barometer para sahabat

        sekarang anda malah menentangnya kepada pendapat para sahabat
        karna tidak sesuai dengan hawa nafsu anda dan para habaib

        inilah nukilan dari sikap para sahabat atas bid’ah kalian

        PERTAMA: Sikap Umar bin Khththab رضي الله عنه:

        Abu ‘Utsman an Nahdiy mengatakan:

        Seorang pegawai Umar bin Khaththab رضي الله عنه mela­porkan kepadanya: Bahwa di wilayahnya ada sekelompok orang yang (sering) berkumpul untuk mengadakan do’a (bersama) untuk kaum muslimin dan penguasa. Maka Umar me­ngirimkan surat balasan kepadanya (yang isi­nya): Hadapkan mereka itu kepadaku bersamamu! Kemudian Umar meminta disiapkan untuknya sebuah cambuk, ketika mereka itu masuk menghadap Umar, langsung beliau menyambuk dengan sebuah cambukan kepada pemimpin mereka. Maka aku berkata: Wahai Umar! Kami bukanlah orang-orang yang di­maksud, mereka itu adalah orang-orang yang akan datang dari arah Timur.1

        KEDUA: Sikap Ibnu Mas’ud & Abu Musa al Asy’ariy رضي الله عنهما:

        Dahulu di kota Kufah (wilayah Iraq saat ini) ada sekelompok orang yang mengadakan dzikir secara berjama’ah di masjid sete­lah shalat Maghrib, yang salah seorang dari mereka memimpin dengan mengatakan: bertasbihlah kalian sebanyak 100 kali, dan seterusnya, maka hal itu dilaporkan oleh Abu Musa al Asy’ariy رضي الله عنه kepada Ibnu Mas­’ud رضي الله عنه (sebagai walikota Kufah saat itu), maka mereka berdua langsung mendatangi sekolompok orang yang sedang mengada­kan dzikir berjama’ah itu untuk melarang mereka dari perbuatan itu, seraya Ibnu Mas’ud berkata kepada mereka:

        “Demi Dzat Yang tidak berhak untuk disembah dengan benar kecuali Dia, kalian semua telah berbuat sebuah bid’ah dengan zhalim, dan ka­lian juga telah merasa lebih berilmu daripada para Shahabat Muhammad صلي الله عليه وسلم “?!’.

        Maka ‘Amr bin ‘Utbah menyangkal: Kami hanya beristigfar kepada Allah. Ibnu Mas’ud berkata lagi: “Hendaklah kalian cukup mengikuti Sunnah, dan pegang teguhlah Sunnah itu, karena bila kalian mengambil dari sana dan sini (selain apa yang telah dite­tapkan Sunnah), maka kalian akan tersesat dengan kesesatan yang jauh”.2

        Bahkan Ibnu Mas’ud صلي الله عليه وسلم juga pernah menghancurkan sebuah masjid yang diba­ngun kota Kufah yang biasa digunakan un­tuk berdzikir berjama’ah oleh ‘Amr bin ‘Ut-bah bersama para pengikutnya.3

        KETIGA: Sikap Khabbab bin Art :

        Setelah sempat hilang, maka bid’ah ini muncul kembali setelah wafatnya Shahabat Ibnu Mas’ud, sekitar tahun 32 atau 33 H.

        Abdullah bin Khabbab bin Art, pernah duduk bersama beberapa orang yang memimpin dzikir mereka, maka ketika ayah­nya Khabbab bin Art رضي الله عنه, melihatnya berbuat demikian, iapun memanggilnya dan me­ngambil sebuah cambuk untuk memukul kepala putranya itu, lalu putranya bertanya: Mengapa engkau memukulku? “Karena engkau duduk bersama orang-orang Amaliqah4″ jawabnya.5

        Begitulah juga sikap yang ditunjuk­kan oleh para ulama dari kalangan Tabi-’in dan para ulama yang datang setelah mereka — rahimahumullahul jami’ —6

        sekarang sudah jelas bahwa sahabat banyak yg mengingkari masalah itu
        jadi ini bukan perkara yng baru
        karna sudah dilakukan dimasa para sahabat
        dan telah diingkarinya,

        kalo sudah diingkari oleh para sahabat ini jelas2 bukan sunnah
        karnah para sahabat adalah pecinta dan penganjur sunnah,

        dalil umum yg mayoritas dipakai sandaran anda dan para habaib
        untuk berhujjah bahwa tahlilan dan majels zikir cara anda dan habaib maka telah di bantah oleh kholifa umar dan ibnu mas’ud

        karna saya masih waras bisa membedahkan keutamaan para sahabat
        dari pada anda dan habaib yg nyeleneh
        tentu saja yang kita pilih pendapat sahabat umar ra

        untuk anda selamt berjuang
        demi suksesnya bid’ah berikutnya

        –> kayaknya yg begini ini pernah dibahas dehh. Dan juga referensi anda ini sumbernya dari mana mas.. Berkali-kali anda bermasalah dalam referensi. Anda kan tak berjumpa sayidina Umar langsung kan.

      • buat imam
        ini perbuatan kiyai dari golongan anda
        apkah yang kayak gini jug sunn

        abtu pagi, sedianya, KH Marsa yang akan mengantar tumpeng dan sajen petai-ikan bakar ke arah puncak, namanya Puncak Manik.
        Namun dia mewakilkan kepada pemuka masyarakat lainnya karena Jumat malam dia dihubungi Bupati Bogor tidak pergi ke mana-mana, untuk menerima kunjungan Gubernur Jabar Ahmad Haryawan ke Cijeruk.
        Lokasi doa dan membawa sajen untuk makhluk gaib Gunung Salak dilakukan di landasan helikopter memasok logistik kepada tim evakuasi di lokasi jatuhnya pesawat, atau di Posko 3.

        JADI KALO SESAJEN UNTUK MAKLUK GOIB INI PERBUATAN SYIRIK,
        bukan sunnah

        –> mas.. anda mulai melenceng keluar topik. Yang dibahas di sini adalah sesuai judul artikel. Bukan sesajen.

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Lagi2 Anda ketinggalan informasi, mengenai bantahan saya terhadap Atsar itu (tentang dzikir itu ) sudah pernah saya postingkan silakan cari sendiri.

        Penggunakan Atsar itu tidaklah kuat dan silakan Anda cari di web ini atau ngaji lagi mengenai kedudukan atsar itu di kyai lain selain Wahabi. Mas Admin juga sudah mengatakan itu.

      • buat admim

        apa anda juga ketemu sama rasulullah dan imam safi’i langsung?
        kok anda selalu dan golongan anda yang paling paham tentang madhab safi’i,
        dan ana juga tidak mengatakan ketemu sahabat umar secara langsung

        anda kalo baca sambil tidur sehingga tidak melihat
        refrensi yang saya nukil

        anda bilang saya mulai melenceng kelur dari topik,
        makanya kalo membahas sesuatu itu lihat apa yang terkait dengan,

        topikmu bab selamatan tahlilan sesajjen mintak barakah sama ahli kubur dll itu semua masih satu topk

        anda lihat siapa yang melakukan semua ini yaitu para kiyaimu sama habibmu

        ini perkatan habib mu hadahkumullah
        Habib Mukhsin mengibaratkan tumpengan ini seperti syukuran atas kelahiran anak.
        “Kalau dalam kelahiran anak ada penebusan nyawa, ada akekah. Dalam kelahiran laki-laki kan sunnahnya, dipotong dua kambing. Sedangkan untuk anak perempuan, satu kambing,” katanya.
        Lalu kambing itu dipotong dan dimakan rame-rame, bukan roh gaib yang makan, tapi badan kita. Kalau roh-roh itu yang dikasi makan, atau nasinya dibuang, itu justru musryik,” kata Habib lagi.
        masak musibah disamakan dengan kelahiran sebagai sukuran
        sadar bib kalo kamu doyan pete bakar sama ikan asin bakar ana juga bisa menyediakan jangan menunggu musibah datang

        buat admim sadar dong????????????????

        –> saya tidak ketemu kanjeng Nabi saw langsung.. Tentu saja. Tapi kami mengetahui sumber dan guru-guru kami. Kami menguasai referensi yang kami ambil. insya Allah.

        Sudah lah .. dijawab saja komentar saya. Gak usah muter-muter.

      • buat imam
        kalo anda menyuruh ngaji di kiyai selain wahabi
        sudah barang pasti kalo yang diajarkan pasti bid’ah lagi,

        sekarang kalo anda melemahkan atsdsyar sahabat
        karna tidak sesuai dengan amalan anda itu hak anda

        dan para ulama banyak yng berhujjah dengan dalil ini
        dan tidak mendoifkan nya

        kalo anda menganggapnya doif tafadhol,
        dan pada kenyataanya amalan anda tidak pernh dikerjakan oleh salafu sholeh
        bahkan oleh imam arba’ah

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Jadi yang paling benar adalah wahabiy ya…dan yang masuk sorga juga wahabiy ya…….. ( Anda itu terlalu takabur padahal sebab takabur kita akan miskin amal di akherat, iyadzu billah ).

        Yang mengatakan atsar itu tidak kuat itu bukan saya tapi para ulama ahli hadits , dan itu sudah saya bahas di artikel lain, silakan Anda cari di blog ini juga ko.

        Kalau Anda mengatakan para ulama berhujjah dengan atsar ini ,maka pertanyaan saya : ulama yang mana mas ? ulama wahabiy ya?

        Apakah amaliyah kami setelah kematian ada contohnya oleh salafuhs sholeh atau Imamul arba`ah ?

        Maka jawab saya ada yang senafas dengan ini, nanti pada waktunya saya munculkan, siap-siap aja ya……

  144. buat imam

    sekarang anda menolak
    pendalilan kami tentang tahlilan yng kami nukil dari para ulama safi’i
    itu anda hanya tidak paham dengan penepatan dalil/ penggunaan dalil

    dalam seluruh kitab imam arba’ah memang tidak pernah membahas masalah tahlilan
    karnah belum dikenal pada masa itu dan juga sebelumnya

    pembahasan dalam kitab yang kami sebutkan itu memang membahas masalah jamuan dalam ta’ziah
    dan ini sudah sepakat para ulama bahwa semua itu adalah di larang/makruh
    adapun kami menggunakan kalimat tahlilan atau selamatan itu kami sesuaikan dengan bahasa anda padahal tahlilan dalam kematian itu tidak ada
    itu dikarnakan dari golangan antum cara menipu /menyamarkan suatu amalan
    dengan cara mengadakan tahlilan

    agar tidak dikatakan sebagai amalan bid’ah
    dan kadang kalah juga dinamakan sebagai sodaqah
    itu hanya pengkaburan terhadap suatu hukum yang sudah jelas hukumnya

    –> Satu hal yang tidak pass…

    makruh itu itu yaa makruh. Haram itu yaa haram. Beda mas. Sejak kapan makruh sama dengan haram. Haram itu berdosa jika dikerjakan, sedangkan makruh tidak berdosa.

    Mengubah-ubah status hukum, mengharamkan yg tak haram, itu lah bid ah sesat itu sendiri. Karena mengubah ubah hukum syariat tanpa contoh.

    • buat admin

      dalam masalah penetapan suatu hukum itu hanya istimbat para ulama
      anda juga tidak akan bisa menghadirkan dalil makruh,

      dan tidak selamanya hukum makruh itu seperti definisi anda
      bahwa apabilah ditinggalkan mendapat pahalah dan
      bilah dikerjakankan tidak mengapa
      kalo definisi anda itu benar
      tolong datangkan dalil

      kalo anda menuduh saya melakukan perkara bid’ah dolalah
      itu perkataan ngawur dan sangat ngawur

      katanya anda yang lebih faham tentang madhab safi’i
      mana buktinya
      padahal imam safi’i atau dalam mad’hab imam safi’i ada pembagian hukum makruh itu sendiri
      yaitu
      MAKRUH TAHRIMI DAN GOIRU TAHRIMI

      pada dasarnya semua yng namanya makruh itu harus ditinggalkan/dilarang
      bukan seperti golong ahli bid’ah makruh juga masih di anggap dapat pahalah
      itu lihat perkataan habib musawa,

      padahal yg namanya makruh itu suatu perkara yg subhad
      makanya nabi mengatakan
      yang halal itu bayyin dan yng harampun bayyiin diantara keduanya ada perkara mustabihat, kamu lihat hadis 40 nawawi yg ke 6

      dan sekarang sudah jelas bahwa amalan anda
      tahlilan dan selamatan dalam kematian itu hukunya dilarang/makruh tahrimi alias haram,saudaranya BID’AH DOLALAH SESAT DAN MENYESATKAN

      DAN TAK SATUPUN ULAMA BERPENDAPAT SUNNAH

      –> artikel justru menyatakan sebaliknya. Nahh sekarang anda tambal lagi.. yang tadinya “dilarang/makruh”, sekarang “dilarang/makruh tahrim”. Itu referensi dari mana mas..

      Yang makruh itu adalah perbuatan perjamuan. Itupun makruh. Bukan haram. Sedangkan dzikir tahlil itu bukan perjamuan.

      Dan para ulama syafi’iyah membagi bid’ah menjadi lima, sebagaimana pembagian hukum islam.

      • to admin

        debat kusir anda semakin nyata selalu muter tanpa ara
        dan ngawur tak teratur

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Hukum taklifi itu ada lima : wajib, sunah,haram, makruh daN mubah. Ini sudah ijma para ahli fiqh dan ahli hadits dari semenjak ulama salafus sholeh sampai sekarang.

        Kalau Anda mengingkarinya berarti Anda bukan penganut pemahaman mereka dan hanya omongan saja menyebut diri salafy tapi ternyata wahabiy. Kasian Anda ini.

        Kalau Anda minta dalilnya maka jawab saya : KITA SEDANG MEMBICARAKAN TAHLILAN BUKAN MEMBAHAS HUKUM TAKLIFI.

      • to admim

        berilah contoh bid’ah hasanah,dan syayiah
        yang dibikin oleh imam safi’i

        seperti para habaib yg bikin bid’ah syayiah zikir jama’ih
        ingat jangan contoh dari sahabat
        karna sahabat tidak ada yang bikin perkara bid’ah

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Komentar Anda :

        dan tidak selamanya hukum makruh itu seperti definisi anda
        bahwa apabilah ditinggalkan mendapat pahalah dan
        bilah dikerjakankan tidak mengapa
        kalo definisi anda itu benar
        tolong datangkan dalil

        TANGGAPAN SAYA :

        Sekarang saya buktikan apakah benar makruh dalam kitab itu berarti haram ?

        Saya nukilkan dari satu kitab saja yaitu I`anath tholibin :

        ويسن لجيران اهله اي الميت تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم ,,,,,,,,,,,,,,و يحرم تهيئته للنائحات لاته اعانة على معصية وما اعتيد من جعل اهل الميت طعاما ليدعوا الناس اليه بدعة مكروهة

        Saya terjemahkan ( sengaja saya cuplikan sedikit yang bersesuaian dengan hukum taklifi )

        Dan DISUNAHKAN menyediakan makanan untuk keluarga mayit oleh tetangganya yang mencukupi mereka untuk sehari semalam………….

        Dan HARAM menyediakan makanan untuk tujuan meratap karena perbuatan itu membantu kepada kemaksiatan

        Dan Kebiasaan yang dilakukan ahli mayit untuk menyediakan makan kemudian mengundang manusia adalah PERBUATAN BID`AH MAKRUHAH.

        Lihatlah yang berhuruf besar :

        Disana disebutkan kata SUNAH, HARAM, dan MAKRUH

        Jadi jelaslah dalam kitab itu ada perbedaan penyebutan antara kata Sunah, Haram dam Makruh.
        Jelas pula bahwa makruh disini ( yang terdapat dalam kitab itu ) adalah makruh tanzihi ( murni makruh ) bukan merupakan keharaman. ( Silakan Anda yang mempunyai kitabnya baca lebih teliti dan pahami ).

      • Kemudian,

        ومن ثم كره اجتماع اهل الميت ليقصدوا بالعزاء

        Kemudian MAKRUH HUKUMNYA berkumpulnya ahli mayit dengan maksud untuk menerima pernyataan bela sungkawa.

        Ini juga menggunakan kata MAKRUH, sebenarnya banyak lagi kata makruh dalam kitab itu yang mengindikasikan bahwa makruh bukan berarti haram.

    • Untuk Saudara Sukirno,

      Komentar Anda :

      pembahasan dalam kitab yang kami sebutkan itu memang MEMBAHAS MASALAH JAMUAN DALAM TA`ZIYAH.
      dan ini sudah sepakat para ulama bahwa semua itu adalah di larang/makruh

      adapun kami menggunakan kalimat TAHLILAN atau SELAMATAN ITU KAMI SESUAIKAN DENGAN BAHASA ANDA padahal tahlilan dalam kematian itu tidak ada
      itu dikarnakan dari golangan antum cara menipu /menyamarkan suatu amalan
      dengan cara mengadakan tahlilan, (LIHAT BERHURUF BESAR).

      TANGGAPAN SAYA :

      Pertama, Anda sudah mengakui bahwa pembasan tahlilan dalam kitab itu tidak ada jadi jelaslah penggunakan kitab itu untuk melarang tahlilan itu tidak berdasar dan terlalu dipaksakan.

      Kedua, setelah Anda mengakui pada pernyataan sebelumnya kemudian pada kalimat berikutnya Anda menolaknya ( Sungguh pendapat yang plingplang ).

      Pemaksaan oleh Anda dalam penggunaan istilah tahlilan dengan disamakan dengan JAMUAN MAKAN adalah suatu perbandingan / qiyas yang batil, kenapa ?

      Karena Jamuan makan (setelah kematian) adalah penghidangan makan kepada para pentahziyah jadi pada pokok masalahnya pada makanan.

      Sedangkan tahlilan adalah pembacaan al-qur`an, sholawat, istighfar dan do`a ( atau istilah mudahnya berdzkir setelah kematian ).

      Jadi ellatnya (sebab hukumnya) sangatlah berbeda, karena ellatnya berbeda maka tidak bisa disamakan mengenai hal ini.

      Jelaslah qiyas Anda batil.

      ANDA MENGATAKAN :

      itu dikarnakan dari golangan antum CARA MENIPU /MENYAMARKAN SUATU AMALAN
      dengan cara mengadakan tahlilan

      agar tidak dikatakan sebagai amalan bid’ah
      dan kadang kalah juga dinamakan sebagai sodaqah
      itu hanya pengkaburan terhadap suatu hukum yang sudah jelas hukumnya. ( LIHAT BERHURUF BESAR )

      SANGGAHAN SAYA :

      Bukankah yang menipu dan menyamarkan hukum suatu amalan tahlilan adalah Anda sendiri ?
      Dengan mengambil cuplikan kitab2 mdzhab Syafi`i untuk melarang tahlilan tapi setelah di cross check dalam kitabnya ternyata berisi penjamuan makanan oleh ahli mayit bukan mengenai tahlilan. Andalah yang menipu bukan ?

      Jadi copy paste Anda berisi tipuan saja yang disebarkan oleh penipu seperti Anda ( Maaf saya tidak ingin menghujat Anda, saya hanya membalikkan omongan Anda tentang tipu menipu ).

      • to imam

        1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).

        “Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”[1]

        Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”
        2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :
        ha ha ha dimana ada maling teriak maling
        ya pasti muter cari alsan

        la sudah jelas berkumpulnya saja sudah dilarang alias haram
        kok ditambah lagi tahlilan

        apa karna yang dibaca kalimat thoyibah lalu amalan anda benar
        sudah saya sodorkan bagaimana sahabat mengingkari bid’a’ anda itu
        kok yo engkel juga

      • Mas Sukirno,

        Tolong sertakan arabnya fatwa Imam Syafi`i itu karena banyak dari golongan Anda bersilat lidah dengan kata makruh. ( Kalau omongan Anda itu benar ).

        Anda salah duga terhadap fatwa Imam Syafi`i bagaimana Anda yakin fatwa itu tidak bisa di ta`wil atau ditafsir.

        Kalau Anda mengatakan demikian lalu bagaimana hukumnya berkumpul untuk ta`ziyah seperti tafsiran Anda bahwa berkumpul saja sudah haram.

        Ternyata yang engkel itu Anda tidak bisa memahami fatwa secara konfrehensif main ceplak aja…….

        Lalu bagaiamana hukumnya hadits Nabi yang menjelaskan makan bersama sahabat di rumah duka, yang sudah pasti berkumpul juga ( Penjelasan hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud ) . Ini Hadits Shoheh.

        INI POSTINGAN SAYA SEBELUMNYA UNTUK MENJAWAB GOLONGAN ANDA KALAU ANDA BELUM MEMBACANYA :

        Apakah Anda juga sudah membaca kitab yang telah ditahqiq oleh ulama besar Anda sendiri , Syeh Albani? dan apakah Anda juga akan menolak beliau ? silakan lihat kitab Misykatul mashobih karangan Muhammad Abdulloh dengan tahqiq : Muhamad Nasrudin Al-Bani cetakan Baerut.

        semoga kalau Anda sudah membacanya maka Anda tidak menyalahkan kepada orang yang berkumpul di keluarga mayit dan memakan makanannya ( pada bagian inipun ada beberapa hukum yang mengikutinya – hai ini kalau tidak salah sudah ada dalam tulisan saya – ).

        Demikian redaksinya :

        خرجنا مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – في جنازة ؛ فرأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وهو على القبر يوصي الحافر ؛ يقول : أوسع من قبل رجليه ، أوسع من قبل رأسه ، فلما رجع استقبله داعي امرأته ، فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده

        Artinya : ( Saya ambil dari terjemahan Anda ) :

        Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.

        Dalam hadits ini disebutkan kata daa`i imroatih ( داعى امرأته ) ( pengundang dari istri mayit ) bukan dengan kata داعى امرأة .

        Hadits ini menurut Al-Bani adalah Shoheh ( داعى امرأته ) Lihat di kitab yang telah saya sebutkan diatas, demikian juga beliau menshohehkan hadits dengan redaksi yang tanpa tambahan ( داعى امرأة ) Silakan Anda lihat di kitab Irwa Al-Gholil 196/3,

        Sedangkan Imam Abu Dawud sendiri mendiamkan hadits ini ( سكت عنه ), dengan redaksi tanpa tambahan : داعى امرأة

        Dalam kitab Dalail An-Nubuwwah Imam Abu Dawud dan Imam Baehaki meriwayatkannya juga dengan tambahan yaitu داعى امرأته dan hadits itu dishohehkan oleh Albani .

        Dalam kitab Tuhfatul Ahwaazi karangan Muhammmad Abdurrahman Bn Abdurrokhim Almubarokfuri meriwayatkan hadits ini dengan tambahan : داعى امرأته dengan derajat hadits ini shoheh.

        Jadi hendaknya bagi Anda, janganlah memaksakan keinginan Anda agar kami mengikuti pendapat Anda yang melarang makan dirumah ahli mayit – walaupun kita juga harus memperhatikan hukum dari hal ini pula – ( ini sudah ada di kometar saya). Semoga menjadi pencerahan. Terimakasih.

        MENURUT SAYA ILMU ANDA ITU SUDAH MENTOK TAPI ANDA TIDAK MAU MENGAKUINYA BERBEDA DENGAN DISKUSI DENGAN ORANG2 SEBELUM ANDA MEREKA CEPAT SADAR ( Lihat komentar di awal-awal ).

      • imam berkata
        Jadi hendaknya bagi Anda, janganlah memaksakan keinginan Anda agar kami mengikuti pendapat Anda yang melarang makan dirumah ahli mayit – walaupun kita juga harus memperhatikan hukum dari hal ini pula – ( ini sudah ada di kometar saya). Semoga menjadi pencerahan. Terimakasih.
        jawaban saya

        anda mungkin salah ketik
        saya tidak punya pendapat dalam masalah hukum agama
        karna ana bukan mustahij/ulama
        dan selama ini yg saya perjuangkan itu hanya pendapat ulama
        karna dalil yg datang dari saya itu semata2 hanya nukilan dari para ulama

        pertanyaan saya
        adakah ulama mustahij yang mensunnahkan makan2 didalam berta’ziyah
        dan yang tidak menyelisihi perintah nabi
        untuk menjamu ahli mayit

        MENURUT SAYA ILMU ANDA ITU SUDAH MENTOK TAPI ANDA TIDAK MAU MENGAKUINYA BERBEDA DENGAN DISKUSI DENGAN ORANG2 SEBELUM ANDA MEREKA CEPAT SADAR ( Lihat komentar di awal-awal ).
        jawaban saya
        saya tidak membaca semua coment
        tapi adakah yng membenarkan setelah menolak pendalilan ala anda dan habib anda
        atau jangan2 mereka hanya merasa kurang bermanfaat berdebat yg muter2
        seperti ana katakan diawal 2 ana bercoment
        tapi anda mengatakan ana kehabisan amunisi
        seorang pencari ilmu ini perkataan yg merupakan tantangan
        makanya ana siap sampai kapanpun untuk melayani anda
        walaupun jawaban anda kadang sangat telat
        dan bahkan terbengkelai seperti pembahasan bid’ah
        yg pernah kita bahas sehingga tidak menghasilkan apa2
        dan coment dari admim tidak ada yang menarik

  145. to imam

    kalo berdasarkan al ihtisan amalan kita di benarkan
    lalu bagaimana pendapat anda kalo saya sholat tahyatul masjid dengan berjama’ah
    bukankah sholat berjama’ah lebih afdol dari pada sholat fardi

    bagaimana pendapat anda kalo saya hakekah dengan onta atau sapi
    bukankah keduanya lebih baik dari pada kambing

    lalu kenapa anda mengajarkan tatacara berwudu bukankah hanya menghabiskan waktu saja,
    kenapa murid anda kok ngak disuruh menyebur saja disungai
    bukankah menyebur lebih basah dari pada berwudu

    • imam berkata

      Karena Jamuan makan (setelah kematian) adalah penghidangan makan kepada para pentahziyah jadi pada pokok masalahnya pada makanan.

      Sedangkan tahlilan adalah pembacaan al-qur`an, sholawat, istighfar dan do`a ( atau istilah mudahnya berdzkir setelah kematian ).

      Jadi ellatnya (sebab hukumnya) sangatlah berbeda, karena ellatnya berbeda maka tidak bisa disamakan mengenai hal ini.

      jawaban saya
      perkataan yang asal keluar tanpa menela’ah lebih dalam
      bahwa imam safi’i membenci berkumpulnya para penta’ziyah
      apalagi di tambah makan2 ditambah tahlillan dll

      dan tolong anda jangan selalu menghindar dari pertanyaan saya
      tolong jawab
      berilah contoh bagaimana tata cara imam safi’i tahlillan
      dan tolong sebutkan siapa saja yg ditahlili oleh imam safi’i
      muridnya maupun gurunya

      dan tolong sebutkan bid’ah hasanah dan sayyiah yang dibikin imam safi’i
      jangan mencontohkan sahabat
      karna sahabat tidak pernah membikin bid’ah

    • Untuk Saudara Sukirno,

      Komentar Anda :

      kalo berdasarkan al ihtisan amalan kita di benarkan
      lalu bagaimana pendapat anda kalo saya sholat tahyatul masjid dengan berjama’ah
      bukankah sholat berjama’ah lebih afdol dari pada sholat fardi

      bagaimana pendapat anda kalo saya hakekah dengan onta atau sapi
      bukankah keduanya lebih baik dari pada kambing

      Tanggapan Saya :

      Sebuah tolok ukur yang salah kaprah menandakan yang membuat pernyataan jahil dalam agama.

      Bid`ah hasanah itu ada syarat2 lho mas bukan main ceplak aja, belum tahu ya ??? Makanya ngaji dengan para kyai non wahabi ( masuk pesantren saja ya…).

      • to imam

        imam berkata
        Sebuah tolok ukur yang salah kaprah menandakan yang membuat pernyataan jahil dalam agama.
        oh begitu ma’af ya kalo salah tolak ukur saya
        tolong jelaskan

        sebab setau saya tolak ukurnya orang nu kan perbuatan sahabat umar
        yang menyerukan solat tarawih dengan berjama’ah/ satu imam

        makanya ana minta contoh
        bid’ah hasana/bid’ah sayyi’ah yang di buat imam safi’i

        tapi anda tidak mampu menghadirkannya
        malah muter kemana mana

        imam berkata

        Bid`ah hasanah itu ada syarat2 lho mas bukan main ceplak aja, belum tahu ya ??? Makanya ngaji dengan para kyai non wahabi ( masuk pesantren saja ya

        jawaban saya

        kalo saya disuru belajar kekiyai non wahaby
        sudah jelas kalo saya di ajari babat alas baru
        atau sunnah ala kiyai bukan sunnah nabi

        imam berkata

        Sebuah tolok ukur yang salah kaprah menandakan yang membuat pernyataan jahil dalam agama.

        jawaban saya

        saya kira ngak ada orang yg pinter masalah agama
        karna agama ada yg membawah
        kita hanya tinggal mempelajari lalu mencontoh nabi dan para sahabatnya
        dalam beramal
        lo kamu kan ngak hidup dijaman itu/jaman sahabat

        betul ana tidak hidup dijaman nabi maupun sahabat
        akan tetapi kita bisa menela’ah semua itu dengan hujjah para ulama

        satu contoh masalah pembahasan kita yaitu masalah jamuan dalam berta’ziah
        tak satupun ulama yang mengatakan sunnah
        bahkan sebaliknya

        karna ulama berhujjah dengan hadis perintah rasulullah untuk menjamu ahli mayit bukan sebaliknya

        idjemak para sahabat tentang larangan berkumpul dan makan2 dirumah ahli mayit

        lo nabi kan makan dikeluarga mayit
        betul tapi ini bukan perintah untuk makan dikeluarga mayit
        karna perbuatan nabi tidak otomatis bisa di lakuakan oleh ummatnya
        contoh

        isteri nabi lebih dari empat
        lalu nabi pernah menika tanpa dinikahkan oleh walinya
        dan nabi pernah menegur muat bin jabal ketika memgimami sholat bacaan terlaalu panjang

        semua di atas itu dilakukan oleh nabi
        lalu apa diperbolehkan untuk ummatnya

        ma’af kalo menurut anda boleh

        saya setuju atas usulan anda untuk diskusi masalah tahlilan sampai kapan pun
        insa’allah masih ada sisa2 ilmu walaupun cuma terbatas
        kalo hanya membahas tahlilan
        walaupun anda memponisnya sudah habis ilmu saya

      • Mas Sukirno,

        Bukan saya tidak bisa menyebutkan fatwa dan contoh mengenai bid`ah hasanah oleh Imam Syafi`i, tetapi sengaja saya tidak membahasnya karena kita sedang bicara masalah tahlilan setelah kematian. Jadi khusus pembahasannya adalah pada topik itu, tidak melebar kemana2. Itulah diskusi Ilmiah …….

        Boleh kita bicara mengenai bid`ah dalam pandangan Imam Syafi`i dan madzhabnya sampai tuntas kalau topiknya mengenai itu, nah sekarang tinggal Anda cari di blog ini mengenai topik yang sama, sayapun tidak akan menolak membahasnya baik mengenai sholat taraweh itu ataupun bid`ah2 hasanah yang dilakukan oleh para sahabat dan sampai generasi sesudahnya disertai dalil2nya. ( saya Insya Alloh tidak akan mundur ).

        Hujjah mengenai penyediaan makanan oleh tetangga mayit untuk keluarga mayit adalah sunah itu bukanlah pembahasan kita karena para ulama sudah ijma bahwa itu hukumnya sunah ( Jadi itu tidak perlu dibahas ).

        Yang Jadi soal adalah yang sebaliknya yaitu penyediaan makanan oleh ahli mayit kepada manusia, nah ini pembahasan kita dan menurut kitab2 yang sudah Anda postingkan adalah hukumnya makruh bahkan bisa menjadi haram kalau ada ellat /sebab yang menjadikannya haram. (Lihat kitab I`anatuhth Tholibin ).

        Tidak ada ijma mengenai LARANGAN BERKUMPUL DAN MAKAN MAKANAN DI RUMAH AHLI MAYIT ( mengenai atsar sahabat yang menganggap berkumpul merupakan bagian dari niyahah adalah menandakan kemakruhan hukumnya bukan larangan atau keharaman ( Lihat kitab yang sama di atas ).

        Komentar Anda :

        lo nabi kan makan dikeluarga mayit
        betul tapi ini bukan perintah untuk makan dikeluarga mayit
        karna perbuatan nabi tidak otomatis bisa di lakuakan oleh ummatnya
        contoh

        TANGGAPAN SAYA :

        Sebuah analogi yang keliru dalam menyamakan dengan kasus lain.
        Tidakkah Anda baca terjemahannya (hadits ) bahwa para sahabat juga ikut mencicipinya ?

        Itu Artinya perbuatan itu boleh dilakukan oleh umatnya bukan hal khusus untuk Nabi ( sampai disini Anda keliru ).

        Perbuatan Nabi ( dalil fi`iliyah ) itu lebih di dahulukan dari pada dalil qauliyah, disini adalah dalil fi`iliyah Nabi yang menandakan bahwa perbuatan MAKAN DI RUMAH KELUARGA MAYIT ITU BOLEH SELAMA TIDAK ADA ELLAT YANG MENJADIKANNYA HARAM. ( Semoga Anda mengerti ).

      • Komentar Anda :

        saya kira ngak ada orang yg pinter masalah agama
        karna agama ada yg membawah
        kita hanya tinggal mempelajari lalu mencontoh nabi dan para sahabatnya
        dalam beramal
        lo kamu kan ngak hidup dijaman itu/jaman sahabat

        betul ana tidak hidup dijaman nabi maupun sahabat
        akan tetapi kita bisa menela’ah semua itu dengan hujjah PARA ULAMA.

        Sanggahan Saya :

        Sebuah pernyataan yang muter2, merupakan bukti bahwa Anda itu sudah kerepotan beranologi setelah dalil2 Anda terpatahkan.

        Tidak ada orang pinter dalam masalah agama tapi setelah itu Anda menelaah agama melalui ulama, jadi ulama orang pinter dong melebihi Anda jadi………pernyataan Anda salah.

      • to imam
        imam berkata

        Sebuah pernyataan yang muter2, merupakan bukti bahwa Anda itu sudah kerepotan beranologi setelah dalil2 Anda terpatahkan.

        jawaban saya

        lo dalil mana yang anda patahkan
        dalil masalah selamatan/makan 2 di keluarga mayit
        sudah ijmak para ulama bahkan para sahabat
        atas terlarangnya hal itu
        yang diperintahkan adalah kita yang menjamu ahli mayit
        kalo anda merasa mematahkan dalil ulama bahkan ijma para sahabat
        anda sangat hebat melibihi mereka

        imam berkata

        Tidak ada orang pinter dalam masalah agama tapi setelah itu Anda menelaah agama melalui ulama, jadi ulama orang pinter dong melebihi Anda jadi………pernyataan Anda salah.

        jawaban saya

        justru sangkaan saya anda yang salah
        ulama itu hanya dikarnakan lebih dulu menelaah dari ulama yang lain
        dan dia punya kesungguhan dalam mempelajari agama alloh
        karna para ulama tidak pernah ada
        yang bikin sesuatu yang baru dalam agama
        seperti yang anda sangkah
        sebab anda sampai saat ini belum mampu menghadirkan
        conto yang ana minta
        tentang bid’ah hasanah dan sayyiah yg dibikin imam safi’i

      • to imam

        Hujjah mengenai penyediaan makanan oleh tetangga mayit untuk keluarga mayit adalah sunah itu bukanlah pembahasan kita karena para ulama sudah ijma bahwa itu hukumnya sunah ( Jadi itu tidak perlu dibahas ).

        Yang Jadi soal adalah yang sebaliknya yaitu penyediaan makanan oleh ahli mayit kepada manusia, nah ini pembahasan kita dan menurut kitab2 yang sudah Anda postingkan adalah hukumnya makruh bahkan bisa menjadi haram kalau ada ellat /sebab yang menjadikannya haram. (Lihat kitab I`anatuhth Tholibin ).
        jawaban saya

        saya kurang mengerti apa yang mau kita bahas karna dari semua pernyataan anda sendiri sudah jelas
        1 bahwa menyediakan makan untuk ahli mayit itu hukumnya sunnah sesui dengan ijma’ ulama
        2 ahli mayit menyediakan makan untuk penta’ziah hukumnya dilarang/dibenci bahkan sampai haram

        sunnah……bila dikerjakan berpahala bilah ditinggalkan dia rugi/boleh
        makruh,,,,,,bila dikerjakan dibenci bilah ditingalkan berpahala

        setelah semuanya sudah jelas hukumnya apa lagi yang anda pertahankan
        apa memang ada dua hukum dalam satu masalah kalo sudah jelas
        yang diperintahkan adalah menjamu ahli mayit
        maka yang kita utamakan adalah perintah
        bukan perbuatan nabi

        dan merupakan ijma sahabat ketika umar melarang berkumpul2 penta’ziah dan ahli mayit menyuguhkan makanan itu sudah cukup sebagai dalil ijmahnya sahabat
        karna setelanya sahabat meninggalkan perbuatan itu

        dan ulama juga sepakat bahwa yang sunnah adalah
        menyediakan makanan untuk ahli mayit
        dan yang sebaliknya adalah dilarang

        lawan dari sunnah adalah bid’ah
        lawan dari halal adalah haram

        kalo anda punya qoidah lain itu hak anda

        dan kalo perkara yag sudah jelas kita tidak paham apalagiperkara yang masih remang2

        imam berkata
        Tidak ada ijma mengenai LARANGAN BERKUMPUL DAN MAKAN MAKANAN DI RUMAH AHLI MAYIT ( mengenai atsar sahabat yang menganggap berkumpul merupakan bagian dari niyahah adalah menandakan kemakruhan hukumnya bukan larangan atau keharaman ( Lihat kitab yang sama di atas ).

        saya kurang tau cara anda memahami mana itu ijma sahabat atau bukan
        setau ana ketika ada pengingkaran dari sahabat dalam suatu perbuatan
        dan sahabat yang lain mendiamkan pengingkaranya maka ini sudah cukup disebut ijma sukutuhim [diamnya]

        imam berkata

        Itu Artinya perbuatan itu boleh dilakukan oleh umatnya bukan hal khusus untuk Nabi ( sampai disini Anda keliru ).

        Perbuatan Nabi ( dalil fi`iliyah ) itu lebih di dahulukan dari pada dalil qauliyah, disini adalah dalil fi`iliyah Nabi yang menandakan bahwa perbuatan MAKAN DI RUMAH KELUARGA MAYIT ITU BOLEH SELAMA TIDAK ADA ELLAT YANG MENJADIKANNYA HARAM. ( Semoga Anda mengerti ).

        jawaban saya

        kalo demikian maka kita tidak boleh minum susu di campur sama madu
        karnah nabi tidak melakukan hal itu apa begitu ma’sudnya
        sbab kalo kita pahami secara mafhum mukholafanya seperti itu

        dan setahu ana bukan fi’liyah nabi yang kita dulukan,
        tapi perintahnya
        sebab kadang kala suatu perbuatan nabi ada yng tidak mengandung nilai ibadah

        contoh nabi memakai cincin dan berambut panjang dll
        sebagian ulama ini menganggap sunnah adiyah/kecintaan saja
        dan nabi juga berlombah lari dengan aisya dll

        dan yang perlu di ingat ketika sahabat mendapat suatu perintah dari nabi
        tak ada yg complain itu sunnah apa makruh [semoga faham]

        –> setahu saya.. makruh itu artinya jika ditinggalkan berpahala, jika dikerjakan tidak berdosa. Bukan seperti definisi anda … bila dikerjakan dibenci bilah ditingalkan berpahala. Itu definisi dari kitab mana mas?

      • Untuk Saudara sukirno,

        Baru mengulas komentar saya saja Anda sudah memilintir maknanya, yang jujur kenapa ?

        Ini Komentar Anda :

        saya kurang mengerti apa yang mau kita bahas karna dari semua pernyataan anda sendiri sudah jelas
        1 bahwa menyediakan makan untuk ahli mayit itu hukumnya sunnah sesui dengan ijma’ ulama
        2 ahli mayit menyediakan makan untuk penta’ziah hukumnya dilarang/dibenci bahkan sampai haram

        Lihat pada point ke dua : itu ucapan siapa mas ? ( Sebuah pemelintiran yang nyata ). Ini KOmnetar saya :

        Hujjah mengenai penyediaan makanan oleh tetangga mayit untuk keluarga mayit adalah sunah itu bukanlah pembahasan kita karena para ulama sudah ijma bahwa itu hukumnya sunah ( Jadi itu tidak perlu dibahas ).

        Yang Jadi soal adalah yang sebaliknya yaitu penyediaan makanan oleh ahli mayit kepada manusia, nah ini pembahasan kita dan menurut kitab2 yang sudah Anda postingkan adalah hukumnya makruh bahkan bisa menjadi haram kalau ada ellat /sebab yang menjadikannya haram. (Lihat kitab I`anatuhth Tholibin ).

        Jauh sekali makna ucapan Anda dengan ucapan saya.

        Kemakruhan itu tetap pada hukum makruh, kemakruhannya tidak sampai kepada hukam haram selama tidak ada ellat yang merubah hukumnya menjadi haram.

        Saya contohkan seperti dalam kitab I`anatuhth tholibin :

        ومن البدع المنكرة المكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع و الاربعين بل كل ذلك حرام ان كان من مال محجور او من ميت عليه دين او يترتب علي ضرر او نحو ذلك

        Artinya : ( Sekali lagi ini bukan berkumpul untuk tahlilan ).

        Dan termasuk (bagian) dari bid`ah yang munkar YANG MAKRUH MENGERJAKANNYA adalah berkesedihan, berkumpul, dan empat puluh harian (berkumpul), BAHKAN PERBUATAN ITU SEMUA BISA MENJADI HARAM BILA DIAMBIL DARI HARTA YANG HARAM ATAU DARI MAYIT YANG MEMPUNYAI HUTANG, ATAU HARTA YANG MENIMBULKAN BAHAYA DLL.

        Lihat yang berhuruf besar !!

        Jadi bersedih2, berkumpul dan empat puluh harian setelah kematian adalah makruh hukum mengerjakannya.

        Demikian pula bersedih, dan berkumpul dan empat puluh harian apabila di hidangkan makanan hukumnya juga tetap makruh kecuali modal hidangan itu diambil dari harta yang haram atau dari mayit yang berhutang dll.

        Jadi ellatnya adalah pada modal penghidangannya kalau dari yang halal berhukum makruh kalau dari modal yang haram berhukum haram.

        Itulah pemahaman saya…….

        Pemahaman saya pula demikian :

        Kalau di atas adalah cuma hanya berkumpul saja berhukum makruh tetapi kalau berkumpul dengan berdzikir (Tahlilan) dan dihidangkan makanan yang berasal dari modal yang halal maka hukumnya bukan makruh tapi jaiz alias boleh.

        Hal ini saya fahami dari Fatwa :

        Mufti agung Masr (Mesir) Syeh Prof. Dr. Ali Jum`ah Muhammad berfatwa ketika ditanya tentang berkumpul di keluarga mayit untuk bedzikir,berdoa dan makan makanannya ( الاجتماع عند اهلي الميت علي الذكر والدعاء والطعام ) .

        Beliau menjawab :

        لامانع من مثل هذا الاجتماع شرعا , بشرط ان لايكون في ذلك تجيد للأحزان وان لا يكون ذلك من مال القصر فان كان ذلك مما يشق علي اهلي ميت او يجدد أحزانهم فهو مكروم وان كان من مال القصر فهو حرام

        Perkara seperti itu ( berkumpul di keluarga mayit untuk berdoa dan makan makanannya ) TIDAK ADA LARANGAN dalam syareat, dengan SYARAT perbuatan itu tidak mendatangkan kesedihan kembali, dan biayanya bukan dari harta keluarga mayit yang tidak mampu. Jika perbuatan / acara itu membuat susah keluarga mayit atau membuat tambah bersedih kembali maka hukumnya adalah MAKRUH. Apabila biayanya diambil dari harta keluarga yang tidak mampu maka hukumnya HARAM.

        ومع ان جماعة من متأخرين الحنفية يذهبون الي القول بالكراهة الا ان العلامة الطحطاوي الحنافي حقق ان ذلك جائز ولا شيئ فيه ونقل ذلك عن محققي الحنفية.

        Sejumlah ulama Mutaakhirin Hanafiyah berpendapat melakukan acara seperti itu hukumnya MAKRUH kecuali pendapat Al-Allamah Ath-Thahawi Al-Hanafi,dalam kajiannya yang mendalam beliau menyimpulkan kebolehan mengadakan acara itu dan tidak mengapa . Ini sebagaimana dinukil oleh sejumlah ulama peneliti Madzhab Hanafi.

      • Kemudian,

        Definisi Anda mengenai hukum msunah dan makruh :

        sunnah……bila dikerjakan berpahala bilah ditinggalkan dia rugi/boleh
        makruh,,,,,,bila dikerjakan dibenci bilah ditingalkan berpahala

        Tolong tunjukkan rujukan definisi Anda yang mengatakan demikian ! karena baru pertama kali ini saya menemukan definisi seperti ini.

      • Kemudian,

        Itu Artinya perbuatan itu boleh dilakukan oleh umatnya bukan hal khusus untuk Nabi ( sampai disini Anda keliru ).

        Perbuatan Nabi ( dalil fi`iliyah ) itu lebih di dahulukan dari pada dalil qauliyah, disini adalah dalil fi`iliyah Nabi yang menandakan bahwa perbuatan MAKAN DI RUMAH KELUARGA MAYIT ITU BOLEH SELAMA TIDAK ADA ELLAT YANG MENJADIKANNYA HARAM. ( Semoga Anda mengerti ).

        jawaban saya

        kalo demikian maka kita tidak boleh minum susu di campur sama madu
        karnah nabi tidak melakukan hal itu apa begitu ma’sudnya
        sbab kalo kita pahami secara mafhum mukholafanya seperti itu

        TANGGAPAN SAYA ;

        Main cuplik tapi tidak sempurna kemudian salah pemahaman.

        Ini Tulisan Anda sebelumnya :

        lo nabi kan makan dikeluarga mayit
        betul tapi ini bukan perintah untuk makan dikeluarga mayit
        karna perbuatan nabi tidak otomatis bisa di lakuakan oleh ummatnya
        contoh

        isteri nabi lebih dari empat
        lalu nabi pernah menika tanpa dinikahkan oleh walinya
        dan nabi pernah menegur muat bin jabal ketika memgimami sholat bacaan terlaalu panjang

        Dan Ini Tanggapan saya sebelumnya :

        TANGGAPAN SAYA :

        Sebuah analogi yang keliru dalam menyamakan dengan kasus lain.
        Tidakkah Anda baca terjemahannya (hadits ) bahwa para sahabat juga ikut mencicipinya ?

        Itu Artinya perbuatan itu boleh dilakukan oleh umatnya bukan hal khusus untuk Nabi ( sampai disini Anda keliru ).

        Perbuatan Nabi ( dalil fi`iliyah ) itu lebih di dahulukan dari pada dalil qauliyah, disini adalah dalil fi`iliyah Nabi yang menandakan bahwa perbuatan MAKAN DI RUMAH KELUARGA MAYIT ITU BOLEH SELAMA TIDAK ADA ELLAT YANG MENJADIKANNYA HARAM. ( Semoga Anda mengerti ).

        Jadi siapa yang keliru mengambil kesimpulan terhadap hadits Nabi itu ? Anda ataukah saya ?

        Saya tidak mengatakan harus makan di ahli mayit tapi saya mengatakan hukumnya boleh makan di rumah ahli mayit berdasarkan hadits itu, kecuali Anda mengingkari hadits itu.

      • Kemudian,

        Tidak ada ijma mengenai LARANGAN BERKUMPUL DAN MAKAN MAKANAN DI RUMAH AHLI MAYIT ( mengenai atsar sahabat yang menganggap berkumpul merupakan bagian dari niyahah adalah menandakan kemakruhan hukumnya bukan larangan atau keharaman ( Lihat kitab yang sama di atas ).

        SANGGAHAN ANDA :

        saya kurang tau cara anda memahami mana itu ijma sahabat atau bukan
        setau ana ketika ada pengingkaran dari sahabat dalam suatu perbuatan
        dan sahabat yang lain mendiamkan pengingkaranya maka ini sudah cukup disebut ijma sukutuhim [diamnya]

        TANGGAPAN SAYA :

        Jawaban Anda dengan komentar saya itu tidak nyambung,

        Yang saya katakan adalah TIDAK ADA IJMA DALAM HAL PELARANGAN MAKAN DI RUMAH AHLI MAYIT ( Sudah saya tulis dengan capital ).

        Jadi fokusnya pada IJMA PELARANGAN BUKAN PADA DEFINISI IJMA, memang pemahaman Anda kurang dari awal2 diskusi, saya sudah tahu makanya banyak jawaban yang kacau.

        Ok saya buktikan,

        Dalam kitab I`anathuth tholibin :

        وما اعتيد من جعل اهل الميت طعاما ليدعوا الناس اليه بدعة مكروهة كاجابتهم لذلك لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع الى اهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن

        Artinya :

      • Kemudian,

        Tidak ada ijma mengenai LARANGAN BERKUMPUL DAN MAKAN MAKANAN DI RUMAH AHLI MAYIT ( mengenai atsar sahabat yang menganggap berkumpul merupakan bagian dari niyahah adalah menandakan kemakruhan hukumnya bukan larangan atau keharaman ( Lihat kitab yang sama di atas ).

        SANGGAHAN ANDA :

        saya kurang tau cara anda memahami mana itu ijma sahabat atau bukan
        setau ana ketika ada pengingkaran dari sahabat dalam suatu perbuatan
        dan sahabat yang lain mendiamkan pengingkaranya maka ini sudah cukup disebut ijma sukutuhim [diamnya]

        TANGGAPAN SAYA :

        Jawaban Anda dengan komentar saya itu tidak nyambung,

        Yang saya katakan adalah TIDAK ADA IJMA DALAM HAL PELARANGAN MAKAN DI RUMAH AHLI MAYIT ( Sudah saya tulis dengan capital ).

        Jadi fokusnya pada IJMA PELARANGAN BUKAN PADA DEFINISI IJMA, memang pemahaman Anda kurang dari awal2 diskusi, saya sudah tahu makanya banyak jawaban yang kacau.

        Ok saya buktikan,

        Dalam kitab I`anathuth tholibin :

        وما اعتيد من جعل اهل الميت طعاما ليدعوا الناس اليه بدعة مكروهة كاجابتهم لذلك لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع الى اهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن

        Artinya :

        ” Suatu yang menjadi kebiasaan yang dilakukan ahli mayit berupa penyediaan makanan untuk mengundang manusia adalah perbuatan BID`AH MAKRUHAH seperti jawaban mereka berdasarkan dalil (atsar) dari Jarir ra. : Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan penyediaan makanan setelah kematian adalah bagian dari meratap.

        Dan alasan perbuatan itu termasuk bagian dari meratap adalah adanya sesuatu yang sangat menyusahkan terhadap perkara kedukaan ( Lebih menyusahkan bagi orang yang berduka ).

        Tentu saja kalau ellat itu yakni LEBIH MENYUSAHKAN BAGI ORANG YANG BERDUKA tidak ada maka hukum bid`ah makruh itu hilang menjadi bid`ah mubah.

        Jadi jelaslah menurut kitab ini yang IJMA adalah KEMAKRUHAN BERKUMPUL DIKELUARGA MAYIT DAN MAKAN DI SANA BUKAN IJMA MENGENAI LARANGAN PERBUATAN ITU.

      • imam berkata

        Jadi jelaslah menurut kitab ini yang IJMA adalah KEMAKRUHAN BERKUMPUL DIKELUARGA MAYIT DAN MAKAN DI SANA BUKAN IJMA MENGENAI LARANGAN PERBUATAN ITU.

        jawaban saya

        kalimat yang sulit di fahami
        lo makruh sendiri ma’anahnya dilarang
        lalu anda bilang bukan ijma’larangan perbuatan itu

      • buat mas imam

        ini pernyataan para madhab imam safi’i
        seharusnya sudah cukup
        bahwa beliau mengatakan
        BID’AH yang tidak di SUNNAHKAN
        BID’AH yng mungkar alias haram bukan bidah hasanah

        III.MADZHAB SYAFI’I

        AL-SYARBINY

        Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)

        AL-QALYUBY

        Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)

        AN-NAWAWY

        Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)

        –> sudah jelas hukumnya.. bid’ah yg tidak disunnahkan. Dalam madzab syafi’i bid’ah masih dibagi menjadi 5 status hukum: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Dan sudah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tidak disunnahkan” adalah makruh,.. bukan haram. Jadi jangan campur aduk.

        Itu pun untuk perjamuan makan .. bukan untuk berdzikir tahlil bersama mendoakan si mayit.

        wallahu a’lam.

  146. imam berkata
    Hukum taklifi itu ada lima : wajib, sunah,haram, makruh daN mubah. Ini sudah ijma para ahli fiqh dan ahli hadits dari semenjak ulama salafus sholeh sampai sekarang.

    Kalau Anda mengingkarinya berarti Anda bukan penganut pemahaman mereka dan hanya omongan saja menyebut diri salafy tapi ternyata wahabiy. Kasian Anda ini.

    Kalau Anda minta dalilnya maka jawab saya : KITA SEDANG MEMBICARAKAN TAHLILAN BUKAN MEMBA

    jawaban saya

    hukum taklifi adalah hasil istimbat dari para ulama kita tidak mengingkari akan hal itu
    akan tetapi kita juga tidak salah ketika minta dalil dari hasil hukum istimbat tersebut

    2 saya kira pemahaman salafi wahabiy lebih baik dari pada pemahaman ahli bid’ah
    yang suka babat alas baru itu istilah anda lo????

  147. to admim

    berilah contoh bid’ah hasanah,dan syayiah
    yang dibikin oleh imam safi’i

    seperti para habaib yg bikin bid’ah syayiah zikir jama’ih
    ingat jangan contoh dari sahabat
    karna sahabat tidak ada yang b

    • Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

      Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

      Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

      Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)

      Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan

      Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.

      Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)

      Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)

      Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan “Sunda Wiwitan”

      Dua Pendekatan dakwah para wali.

      1. Pendekatan Sosial Budaya
      2. Pendekatan aqidah Salaf

      Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.

      Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan rina” (itulah yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga). Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).

      [Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]

      Nasehat Sunan Bonang

      Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:

      “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.

      Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.[2]

      [1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.

    • Mas Sukirno,

      Kita ini sedang membicarakan talilan setelah kematian bukan sedang membicarakan bid`ah secara luas, kalau kita membahas bid`ah maka tidak akan jelas pembahasan kita karena semakin melebar.

      Sebaiknya kita batasi hanya membahas tahlilan saja, dan silakan dalil Anda dikeluarkan dengan ilmiah.

      Dalil2 Anda terdahulu sudah saya buktikan bahwa itu bukan membicarakan tahlilan setelah kematian.

      • buat imam

        diartikel diatas juga membahas tahlilan
        boleh kok anda kritisi

      • BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN

        I. MADZHAB HANAFI

        HASYIYAH IBN ABIDIEN

        Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)

        AL-THAHTHAWY

        Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).

        IBN ABDUL WAHID SIEWASY

        Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)

        II.MADZHAB MALIKI

        AL-DASUQY

        Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)

        ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY

        Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

        III.MADZHAB SYAFI’I

        AL-SYARBINY

        Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)

        AL-QALYUBY

        Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)

        AN-NAWAWY

        Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)

        AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI

        Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)

        AL-AQRIMANY

        Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)

        RAUDLAH AL-THALIBIEN an makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)

        Adapun penghidang

        MADZHAB HAMBALI
        IBN QUDAMAH AL-MUQADDASY

        Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)

        ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY

        Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)

        ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY

        Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)

        MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY

        Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)

        KASYF AL-QANA’

        Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)

        IBN TAIMIYAH

        Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)

        sekarang anda mengikuti siapa
        kalo ulama saja sudah berpendapat demikian
        dan ini adalah pendapat mustahidun
        memang ada pendapat sebagaian kecil yang membolehkanya
        tapi ini pendapat yg sesuai dengan perintah rasulallah

        silakan kalo anda punya pendapat sendiri
        yang lebih shohih dari pendapat ulama tersebut

        dan saya kira permasalahan ini sudah sangat jelas
        bahwa ulama sepakat bahwa jamuan dari ahli mayit itu di larang

        bahkan ada yang sampai mengangap bid’ah mungkarah
        tak satupun menganggap sunnah dalam jamuan kematian

        saya kira cukup paham kecuali orang yng memang oleh Allah
        tidak dipahamkan

        karna paham dalam masalah agama merupakan ni’mat Allah yang agung
        dan merupakan bentuk kecintaanya terhadap hambahnya…………

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Itulah gaya Anda, main cuplik tapi tidak tahu apa makna yang dicuplik.

        Sekali lagi saya katakan bahwa dalam kitab-kitab itu menyebutkan tentang berkumpul dan penghidangan oleh ahli mayit yang hukumnya makruh bukan hukumnya dilarang alias haram.

        Saya kutip satu saja dari postingan Anda di atas sbb :

        ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY

        Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)…

        adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

        Lihatlah pada alinea ke dua ? bukankah pada komentar2 sebelumnya Anda seakan melarang sodakoh setelah kematian ?

        Selanjutnya kalau Anda lebih teliti maka Anda akan mendapatkan kata2 dalam kitab itu : makruh, bid`ah makruhah ( bid`ah yang makruh), bid`ah ghoeru mustahabbah, bid`ah munkaroh makruhah fi`luha, bid`atun makruhatun, ( Yang semuanya bersifat MAKRUH BUKAN HARAM ).

        dan yang terakhir ini lebih jelas lagi makna makruh tersebut :

        KASYF AL-QANA’

        Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…

        Dan DIMAKRUHKAN keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya KECUALI APABILA ADA HAJAT, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut.

        Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka HARAM HUKUMNYA melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)

        lIHATLAH YANG BERHURUF BESAR DI ATAS !
        PAHAMI DAN PAHAMI……

        Apakah makruh berarti haram dengan melihat kitab Kasyf al-Qina’ ?

        SAYA JAWAB TIDAK ……

        Maka jelaslah bahwa postingan Anda ini justru mendukung pemahaman saya , semoga Anda sadar…….

      • to imam
        imam berkata
        Sekali lagi saya katakan bahwa dalam kitab-kitab itu menyebutkan tentang berkumpul dan penghidangan oleh ahli mayit yang hukumnya makruh bukan hukumnya dilarang alias haram.
        jawaban saya

        makruh adalah suatu yng dibenci alias dilarang
        sebab orang ibadah itu mengharap pahala bukan malah dibenci
        justru yang diberi pahalah yang meninggalkan
        soal mencuplik suatu dalil dari manapun tidak masalah yang penting itu benar
        bukan harus dari pendapat sendiri tapi ngawur alias muter wae

        imam berkata
        Lihatlah pada alinea ke dua ? bukankah pada komentar2 sebelumnya Anda seakan melarang sodakoh setelah kematian ?
        jawaban saya

        disi tidak ada pembahasan sodaqoh
        tapi bab jamuan dalam ta’ziah
        karna sodaqoh ada pembahasan sendiri
        dan sepakat para ulama itu boleh dan termasuk sunnah
        jadi jangan di campur adukan yang batil dengan yang hak

        imam berkata
        Maka jelaslah bahwa postingan Anda ini justru mendukung pemahaman saya , semoga Anda sadar…….

        jawaban saya

        seharusnya anda yang sadar

        semua para ulama di atas tidak satupun yang mengatakan sunnah
        malah sebaliknya yaitu
        BID’AH MUNGKAROH ATAU BID’AH MAKRUHAH
        intinya apapun sebutanya makruhah atau mungkaroh
        semuanyaBID’AH TO BUKAN SUNNAH
        SEP[ERTI PENDAPAT ANDA DAN HABIB ANDA

        lalu didalil yang mana yang mendukung anda
        wong semuanya mengatakan BID’AH bukan SUNNAH

      • BUAT IMAM
        SEKARANG TERSERAH ANDA
        rternyata blog ini benar2 tablis iblis

        yang menjebak orang untuk menghabiskan waktunya sia sia
        bagaimana tidak pendapat sahabat dan para ulama sudah jelas bahwa semua itu hukumnya terlarang alias bid’ah
        lalu anda datang dengan berkata pendapat saya boleh atau jaiz
        dan anda lebih memilih pendapat yang menyelisih sahabat dan ulama

        sekarang saya ucapkan terimah kasih
        atas waktunya semoga bermanfaat untuk saya kedepanya
        dan dalam masalah ini saya pribadi mohon ma’af kepada semua ihwan yg coment juga pada admim
        ana mohon diri dan kusus akhuna imam saya kira cukup disini saja atas semua pembahasan yg tidak ada titik temu ana dan antum
        dan saya akan tetap dakwakan kepada semua kaum muslimin bahwa amalan ini
        adalah bid’ah mungkaroh atau makruhah SESUAI DENGAN PEMAHAMAN PARA ULAMA
        terserah anda kalau anda masih beranggapan bahwa amalan ini SUNNAH

        dan kalo kami benar datangnya dari AllAh dan kalo salah itu dari kami pribadi dan syaiton
        dan kami berlepas diri jikalau anda mengikuti pendapat kami yang salah
        akan tetapi ikutilah pendapatkami yang kami nukil dari para ulama saja bukan kata saya

        sekian dari akhukum
        pencari kebenaran
        SUKIRNO HADY PRISWANTO
        abu abdillah suka bumi

        –> kami tidak mengatakan makruh = sunnah. Itu kata-kata anda. Makruh itu yaa makruh. Sunnah itu yaa sunnah. Dan juga haram itu yaa haram. Masing2 berbeda makna dengan sangat jelas.

        makruh itu tidak haram mas….
        makna secara syar’i, diberi pahala jika meninggalkannya, tidak berdosa mengerjakannya.
        makna menurut bahasa, tidak disukai (lebih baik ditinggalkan)

        Tetapi ketika kata makruh, yang terjemah (bahasa) nya adalah tidak disukai.. kemudian dimaknai menjadi dibenci. Ini berbahaya karena persepsi orang menjadi berbeda, tidak sesuai makna awal/asli.

        Dan ketika kata dibenci tadi diolah lagi menjadi dilarang, maka inilah salah total. Karena dilarang itu berarti haram.

        Olah kata .. MAKRUH -> sebaiknya ditinggalkan -> tidak disukai -> dibenci -> HARAM, ini mengubah makna sebenarnya. Ini lah bid’ah sesat itu sendiri. Ini mengubah status hukum seenaknya, tanpa dalil syar’i .. hanya olah kata.

        Mohon maaf kl tak berkenan.
        Walau ada beberapa pertanyaan kami masih belum terjawab.. ok lah saya ikhlaskan. Silakan kalau anda mohon pamit. mohon maaf atas segala kesalahan. Semoga anda (dan kita, peserta diskusi) mendapatkan kebenaran yang haqiqi dari Allah swt. Kami doakan semoga anda kelak menjadi Umar ibn Khatab masa kini, menjadi pembela golongan ahlussunnah waljamaah yang sebenarnya. amien.

      • Untuk Saudara Sukirno,

        Seperti yang telah dikatakan Mas Admin bahwa saya tidak pernah mengatakan berkumpul dan makan makanan di rumah ahli mayit adalah sunah dan sesuai dengan pendapat ulama (khususnya Madzhab Syafi`i ) bahwa perbuatan itu berhukum makruh saja tidak sampai ke hukum haram, dan ini sudah saya buktikan dengan postingan2 Anda dengan menyebutkan kitab2nya.

        Makruh menurut pemahaman saya adalah :

        المكروه: وهو طلب ترك القيام بالفعل من غير إلزام وحكمه انه يثاب تاركه ولا يعاقب فاعله

        Definisi makruh Adalah perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tanpa keharusan atau paksaan (iltizam) dan hukumnya berpahala apabila meninggalkannya dan tidak berdosa bila melakukannya.

        Jadi kalau hukum makruh artinya dilarang yang artinya pula harus meninggalkannya itu jelas keluar dari definisi makruh tapi masuk definisi haram.

        Definisi haram adalah :

        الحرام: وهو طلب ترك القيام بالفعل على وجه الإلزام وحكمه انه يثاب تاركه ويعاقب فاعله كشرب الخمر والسرقة والكذب على الناس

        Perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan sifat keharusan meninggalkannya dan hukumnya berpahala jika meninggalkannya dan berdosa jika mengerjakannya.

        Jadi perbedaannya pada kata iltizam ( keharusan ) dan ghoeru iltizam ( tidak harus / dipaksa ).

        Terakhir untuk Anda ( dalam diskusi ini – karena Anda sudah berpamitan ).

        Diskusi di anggap selesai oleh Anda karena cara pandang kita berbeda dalam mendefinisikan kata makruh.

        Tapi sayang umpatan2 Anda dan sampai ke akhir diskusi ini tetap Anda pertahankan hingga keluar tuduhan pula bahwa blog ini adalah tablis iblis….

        Walau begitu semoga kita mendapatkan ampunan dari Alloh…..dan diberi jalan yang lurus mengikuti ulama-ulama pembela ahli sunah.

        Mohon maaf untuk semuanya…

  148. Adminya nulis amien nya yang bener dulu gan , , setau saya sih yang bener “aamiin”, , artinya ” ya allah kabulkanlah doa kami.”

    –> Kita tak bisa mengklaim tulisan saya benar dan tulisan kamu salah dalam hal me-latin-kan tulisan arab. Tidak ada padanan huruf yang persis pass dari huruf arab ke huruf latin, dan sebaliknya. Kalau mau bener 100% yaa pakai tulisan arabnya mbak. Tapi keyboard tidak memungkinkan.

    Anyway .. apapun anda menuliskan aaamiin, amin, amien, atau yg lain, asal pengucapan betul (sesuai maksud arabnya) maka tidak ada masalah. Begitulah kami menuliskan sebagai amien, namun insya Allah pengucapan benar.

    Semoga berkenan.

  149. subkhanallah walhamdulillah walaa ilaha illallahu allahu akbar,.
    Semoga allah swt senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada orang2 seperti anda
    amin ya allah
    allahumma amin

    –> amien. terima kasih. semoga demikian juga dengan anda. amien.

  150. Orang yang paling berani berfatwa adalah oarng yang pling berani masukl neraka, perhatikanlah wahai orang yang berilmu, bukan sedekahnya yang di haramkan tapi acara tahlilan n dan acara kumpul2 sambil makan2nya di tmp ahlul mayit inilah yang diharamkan dan diktegorikan mertap n bida”ah oleh para ulama sejak dahulu dari para sahabat sammpai sekarang, coba tunjukkan bib dalilnya acara talilan 9hari, 40 hari, 100 dll gak ada sama sekali dalilnya dari alqur’an dan assunnah dan yang anda sebutkan adalah dalil umum mengenai sedekah,kaidah Ushulfiqh sesuatu yang umum harus di bawa ke yang khusus supaya tidak terjadi kontra, antara dalil yang satu dengan yang lain na kalau di cari di kitab weda baru ada, kalau mau sedekah kenapa harus menunggu keluarga kita meninggal, ini namanya terpaksa bukan niat ikhlas, tuk imam pembantah Sukirno, agama bukan tuk anda jadi jangan sembarangan anda mengatakan suatu hukum menurut saya, lihat anda ini siapa, Ulama? udah Hapal Alqu’an, hapal ribuan Hadist, tawaduk lah anda, lihat tafsiran para ulama tentang makna makruh, menurt mazhab imam syafi’i makruh berarti sesutau yang dibenci dan harus ditinggalkan kita tdk berbicara masalah makruh menurt ulama fiqih, coba lihat perkataan Imam syafii dalam kitabnya ALL UMM nya, ok lah kita pakai pendapat anda yang menagtakan makruh pabila kita kerjakan gak mendapatkan apa2 apabila di tinggalkan mendapatkan pahala, alangkah bodohnya orang yang mengerjakan sesuatu tidak mendapatkan apa2 apalagi pahala, tentunya orang yang cerdas pasti akan meninggalkannya

    • Untuk Saudara Allomboki,

      Anda itu hanya bisa bercuap-cuap tapi tidak tahu apa yang Anda ucapkan, itulah sifat kelompok Anda.

      Suatu perbuatan yang tidak ada nash qot`i dalam al-quran dan hadits maka bukan berarti perbuatan itu tidak mempunyai dalil tapi harus ditimbang menurut hukum taklifi yang lima, itulah pemahaman ahlu sunah waljamah dari semenjak ulama salaf sholeh.

      Cara menimbangnya yaitu apakah perbuatan itu bersesuaian dengan Al-quran ataukah hadits ataukah malah berlawanan dengannya.

      Dari sini lahirlah apa yang disebut ijtihad, ijtihad bukanlah sesuatu yang haram selama dilakukan oleh orang / ulama yang mempunyai hak untuk berijtihad terutama para Imam empat madzhab itu.

      Hasil ijtihad dari sahabat sampai ulama2 penerusnya ( ulama salaf ) berbeda2, tetapi perbedaan itu bukan menunjukkan bahwa yang satu benar dan yang satu salah atau yang satu berpahala dan yang satu berdosa karena dalam ijitihad yang dilakukan oleh ahli ijtihad semuanya mendapatkan pahala, mana mungkin kalau mendapatkan pahala dalam ijtihadnya kemudian dia berdosa.

      Sudah saya katakan menurut kitab yang dibawakan oleh saudara Anda – Sukirno menyebutkan berkumpul dan makan makanan di keluarga ahli mayit adalah makruh bukan haram tapi bisa menjadi haram kalau ada sebab yang menjadikannya haram. Coba Anda lihat dan pahami saja kitab yang dibawakannya.

      Sekarang pertanyaan saya adalah Anda mengharamkan tahlilan,dan acara kumpul di tempat ahlu mayit itu menurut siapa ? bukankah justru itu menurut hawa nafsu Anda ? bukan menurut para Imam madzhab.

      Sekarang saya tunjukkan bahwa Anda itu tidak cerdas tapi menganggap diri Anda cerdas, ini komentar Anda :

      ACARA TAHLILAN dan ACARA KUMPUL2 sambil makan2nya di tmp ahlul mayit inilah yang diharamkan dan diktegorikan mertap n bida”ah oleh para ulama sejak dahulu dari para sahabat sammpai sekarang. ( LIHAT HURUF BESAR !!!).

      Tanggapan saya :

      Dalam kitab mana para ulama sejak dulu mengaharamkan tahlilan dan juga kumpul2 dikeluarga mayit ?

      Yang mengharamkan adalah Anda dan wahabi saja, ulama ahli sunah tidak mengharamkannya.

      Tuliskan redaksi arabnya di sini ya…..kalau tidak bisa menunjukkan dan menuliskannya berarti Anda hanya pembohong saja.

      Mengenai kaidah Ushul fiqh – menurut Anda :

      sesuatu yang umum harus di bawa ke yang khusus supaya tidak terjadi kontra

      Anda menggunkan kaidah ini hanya untuk ditujukan ke acara tahlilan tapi pada saat yang lain Anda Anda menolak kaidah ini – ini namanya plinplang :

      Buktinya : Saat Anda menerjemahkan kalimat umum : Kullu bid`atin dolalah ( Setiap bid`ah adalah sesat ) yang ditafsiri oleh golongan ahli sunah wal jamaah hadits ini harus di bawa ke yang khusus yaitu hanya bid`ah yang sesat saja yang dilarang maka oleh Anda ditolak mentah2 …..jadi ketawa saya. Jadi memang Anda itu tidak ilmiah.

      • Maaf Ralat untuk kalimat terakhir sehingga menjadi :

        Buktinya : Saat Anda menerjemahkan kalimat umum : Kullu bid`atin dolalah ( Setiap bid`ah adalah sesat ) yang ditafsiri oleh golongan ahli sunah wal jamaah BAHWA hadits ini harus di bawa ke (MAKNA) yang khusus yaitu hanya bid`ah yang SAYYI`AH (BURUK) SAJA YANG SESAT ALIAS DOLALAH yang dilarang maka oleh Anda ditolak mentah2 …..jadi ketawa saya. Jadi memang Anda itu tidak ilmiah.

    • Selanjutnya :

      Komentar Anda :

      ok lah kita pakai pendapat anda yang menagtakan makruh pabila kita kerjakan gak mendapatkan apa2 apabila di tinggalkan mendapatkan pahala, alangkah bodohnya orang yang mengerjakan sesuatu tidak mendapatkan apa2 apalagi pahala, tentunya orang yang cerdas pasti akan meninggalkannya.

      Tanggapan saya :

      Inilah pernyataan yang menunjukkan ketidakcerdasan Anda.

      Yang makruh adalah berkumpul untuk tujuan makan2 dikeluarga mayit tetapi berkumpul untuk tujuan ta`ziyah apakah itu juga berhukum makruh ? sedangkan ta`ziyah pasti orang menjadi berkumpul di rumah ahli mayit. Lalu apakah itu juga makruh dan tidak berpahala ?

      Kemudian bandingkan lagi dengan berkumpul untuk tujuan tahlilan alias dzikir agar dirumah itu turun rahmat dari Alloh sehingga keluarga juga menjadi tenang apakah itu juga makruh ?
      Kemakruhan berkumpul tidak menghilangkan pahala dzikir.

      Kemudian,

      Tidak ada orang bersodakoh menunggu kematian seseorang – itu hanya angan-angan Anda, apakah artinya itu haram ?

      Sudahkan Anda membaca hadits Nabi mengenai seseorang yang bersodakoh setelah kematian keluarganya dan pahalanya dikirimkan ke mayit itu ?

      Nah apakah artinya berarti orang itu bersodakoh dengan menunggu kematian keluarganya ?

      Anda itu cerdas ataukah hanya cuma bisa ngomong aja….~audzubillah…..

      • orang yang ga ngerti sunnah itu pasti jahil,,,kamu salah satu bukti kejahilan itu…dah dinasihati acara tahlilan dilarang tetap aja ngeyel…kalo kamu mau mengharap ridlo ALLOH kamu harus mengikuti manusia yang paling faham tentang ALLOH SWT dong, yakni NABI MUHAMMAD SAW, dan para sahabat yang nanti masuk surga bersama NABI MUHAMMAD SAW (10 orang ) gak pernah tahlilan pada acara kematian…begitu juga sahabat yang lain, tabiin, tabiuttabiin…kenapa? karena mereka mengharap ridlo ALLOH bukan ridlo manusia, sehingga mereka benar-benar mengikuti NABI dalam beramal tidak pakai analogi kaya otakmu itu dalam beramal….!!! itu yang lebih selamat. karenanya namamu ganti aja dah jangan imam tapi mami..itu cocok sama kamu tu mam.

  151. mas Sukirno Hady kaya orang yang paling bener disini nih…. (piye toh masss)
    padahal lahir dan hadirnya aja ke bumi BID’AH. Bid’ah Dolalah adanya antum mas Sukirno!!!
    Sukirno, sukirno… kirain Sukarno ehhhh, Sukirno tooooohhhh……….

    • buat sukirnosukarno

      anda ini kalo komen di baca dulu semua komen mas sukirno hady
      dia mengatakan semua apa yang ada dibumi ini semua bid’ah karna ALLOH
      menciptakan semua itu tidak ada conto sebelumnya
      tapi itu adalah BID’AH secara LUGOWI atau bahasa

    • buat sukirnosukarno
      ini saya postingkan lagi postinganya mas sukirno hady
      biar anda ngak ngawur kalo bercuap cuap

      Sukirno Hady berkata

      Desember 22, 2011 pada 12:49
      na’am saya tetap akan jawab pengetesan anda

      ma’na BID’AH Secara bahasa/umum perbuatan manusia itu sendiri,

      BID’AH secara syar’iat adalah suatu perbuatan baru dalam ibadah yng tidak ada contoh sebelumnya
      atau tidak ada landasan dasar dalil dari alqur’an dan sunnah

      BID’AH DUNIA /yaitu masuk pada bid’ah lugowi karna nabi tidak di utus untuk itu sebab pada dasarnya dunia ini semuanya BID’AH karna sebelumnya tidak ada dunia selainya/contonya

      makanya kita boleh bikin urusan dunia semampu kita
      tidak ada yg membatasi
      sebab kalau ada urusan dunia yg mengarah pada
      sesuatu yng haram maka hukum bicara

      contoh
      rokok ini urusan dunia akan tetapi disini setelah dicek
      oleh dokter sepenjuruh dunia
      ternyata rokok terdapat beberapa puluh racun didalamnya
      dan racun bukan perkara baru dan bukan perkara dunia karna dijaman nabi sudah ada larangnya minum racun/ khamer dll hukumnya haram

      maka dari itu anda boleh berbid’ah ria dalam urusan
      dunia sebelum ditemukan keharamanya
      tapi setelah ditemukan keharamanya kita sama’nah weatho’nah,jangan kayak kiyai suffi dimasjidpun dia merokok,memberi hukum makruh lagi
      sekalipun dia memberi hukum makruh sharusnya ditinggalkan karna seorang kiyai itu contoh bagi umatnya

  152. (Mohon maaf), dalam agama hindu, pengiriman doa dilakukan pada hari ke 1, 3, 5, 7, 40, 100, 1000, mendak pisan, mendak pindo dengan disertai berbagai sajian makan untuk mengiring doa dari keluarga mayit. Dalam islam, tahlilan/kenduri/yasinan juga dilakukan pada hari ke 1, 3, 5, 7, 40, 100, 1000, mendak pisan, mendak pindo disertai hidangan sajian makanan dari keluarga mayit. Bagi agama hindu, itu hukumnya wajib.

    Lebih dari 2 jam saya menyimak pembahasan di atas; mulai dari pertanyaan, pernyataan hingga perdebatan. Semoga komentar saya bisa membuka hati, akal dan pikiran.

    Terima kasih

    –> mohon maaf.. banyak orang terjebak pada alat, dan melupakan tujuan.

    Tujuan adalah menggapai ridlo ilahi. Berdzikir, bersedekah, dll adalah salah satu caranya. Hari ke 1, 3, 5, 7, 40, 100, 1000,.. adalah sarananya, syukur2 setiap hari.

    Ada sebuah masjid tua, warisan leluhur. Bershalat di sana adalah salah satu cara untuk menggapai ridlo ilahi juga. Sarananya yaa di masjid itu. Ketika ada orang mantan hindu datang, dia bilang.. ini masjid apa kelenteng, bangunannya mirip banget.

    Apakah haram beribadah di masjid tersebut, hanya karena mirip kelenteng?

    • barang siapa yng menyerupai suatu kaum maka dia dari golanganya
      tidak diragukan lagi apa bila membangun masjid yang meniru dengan fisik bangunan agama lain maka itu diharamkan,

      contoh
      anda membaangun masjid persis sama dengan gereja dan apa lagi terdapat salib dan lonceng

      2 anda membangun masjid meniru kelenteng apa lagi didalamnya terdapat tempat sesajen dll

      dan pertanyaan saya mengapa anda membangun masjid harus meniru kelenteng apakah anda kurang pede dengan gaya masjid kaum muslimin

      –> kalau ada sajennya itu namanya bukan masjid mas.. gimana siich. Demikian pula salib lonceng. Anda tak paham point kami.
      Tahukah anda .. di Belanda ada masjid bekas gereja. Di Surabaya ada masjid Ceng Hoo .. mirip kelenteng.
      Ngemeng2 .. gaya masjid muslimin itu yang kayak apa siich?

      • begini kang admin

        kalo bekas gereja atau kelenteng itu boleh saja dijadikan masjid
        akan tetapi kalo anda sengaja membangun masjid yang meyerupai tempat peribadatan agama lain itu di haramkan

        karna ada landasan hadist yang mengharamkan hal itu
        MAN TASYABAH BI KAUMIN FAWUWE MINHUM kurang lebih begitu bunyi hadisnya
        tapi kalo anda membolehkan ya terserah anda itu hak anda kok
        kalo kita pribadi mengedepankan hadist dari pada perkataan anda

        anda siapa? Rasul siapa?

        –> bung ..anda ini aneh.. saya tak pernah mengatakan “sengaja membangun masjid yang meyerupai tempat peribadatan agama lain”.

        Baca lagi cermat2. Anda sendiri yg mengatakan demikian.. kok kemudian ditembakkan ke kami.

        Dan juga … Tak hanya membolehkan.. melarang pun juga harus pakai dalil mas. Melarang tanpa dalil itu juga bid’ah mas..

      • buat admin

        tujuan tanpa mengikuti cara yg allah dan rasulnya tetapkan ya jelas tidak benar,LA YA’BUDULLOH ILLA BIMA SYARO’AH lihat perkataan al imam qurtubi

        walaupun ada sifat ibadah yang memang tidak terikat oleh waktu dan tempat
        akan tetapi berta’ziah itu sudah di ajarkan oleh RASULULLAH maka kita mengikuti cara ta’ziyah yg sudah ada
        kalo anda tanya bagaimana cara berta’ziyah ya anda pelacari dulu baru bercuap cuap,bisanya anda berlagak blo’on
        bagaimana bentuk masjid saja masih ditanyakan,tapi dia lebih paham sama bentuk kelenteng,dan gereja

      • admin bilang
        Dan juga … Tak hanya membolehkan.. melarang pun juga harus pakai dalil mas. Melarang tanpa dalil itu juga bid’ah mas..

        jawaban saya

        anda ini tidur apa mabok sih
        sayakan sudah bawakan dalil kok malah mengatakan bid’ah
        lah kamu mana dalilnya yang membolehkan sholat dimasjid yang menyerupai kelenteng?

        mantasyabah bikaumin fawuwe minhuum
        ini dalil mas bukan qosidah
        minum air kelapa mudah mas biar cepat sadar

    • Untuk Saudara Hakim,

      Maaf mas Admin, saya akan mencoba menanggapi pernyataan Saudara Hakim.

      Komentar Anda dengan membawakan hadits sebagai berikut :

      (barang siapa yng menyerupai suatu kaum maka dia dari golanganya).

      tidak diragukan lagi apa bila membangun masjid yang meniru dengan fisik bangunan agama lain maka itu diharamkan,

      TANGGAPAN SAYA :

      Matan hadits di atas ( yang ada dalam kurung ) seperti yang terdapat dalam kitab Aunul ma`bud : ( redaksi lengkapnya sbb : )

      حدثنا عثمان بن أبي شيبة حدثنا أبو النضر حدثنا عبد الرحمن بن ثابت حدثنا حسان بن عطية عن أبي منيب الجرشي عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من تشبه بقوم فهو منهم

      Artinya : ” Dari Ibnu Umar berkata : “Rosululloh SAW bersabda : Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari padanya ( bagian dari kaum itu ).

      Derajat Hadits Ini :

      قال المنذري : في إسناده عبد الرحمن بن ثابت بن ثوبان وهو ضعيف انتهى وقال المناوي في الفتح : حديث ابن عمر أخرجه أبو داود في اللباس .

      قال السخاوي : فيه ضعف لكن له شواهد ، وقال ابن تيمية : سنده جيد ، وقال ابن حجر في الفتح : سنده حسن .

      وأخرجه الطبراني في الأوسط عن حذيفة بن اليمان قال الحافظ العراقي : سنده ضعيف .

      وقال الهيثمي : رواه الطبراني في الأوسط ، وفيه علي بن غراب وثقه غير واحد وضعفه جمع وبقية رجاله ثقات انتهى

      Berkata Al-Mundziriy : ( mengenai hadits itu ) dalam sanadnya ada nama Abdurahman bin Tsabit bin tauban dia adalah perowi yang doif.

      Berkata As-Sakhowiy : dalam hadits itu ada periwayat yang doif tapi ada riwayat hadits lain sebagai syawahid. Berkata Ibnu Taimiyyah : Sanad hadits itu jayyid ( bagus ) dan berkata Ibnu hajar dalam kitab Al-Fathi : bahwa sanadnya hasan.

      Imam Thobroni mengeluarkan hadits ini dalam kitab Al-Ausath dari riwayat Khudzaefah bin Yaman dan berkata Al-Hafidz al-Iraqiy : Sanad hadits ini doif.

      Berkata Al-Haetsamiy : Imam Tobroni meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Ausath dan dalam sanadnya ada nama Ali bin Ghurob yang ditsiqohkan oleh tidak hanya oleh satu ahli hadits namun juga didoifkan oleh kebanyakan ahli hadits ( jamaah ) sedangkan periwayat lainnya adalah tsiqoh / terpercaya.

      Makna Menyerupai Suatu Kaum

      وقال القاري : أي من شبه نفسه بالكفار مثلا من اللباس وغيره ، أو بالفساق أو الفجار أو بأهل التصوف والصلحاء الأبرار ( فهو منهم ) : أي في الإثم والخير قاله القاري .

      قال العلقمي : أي من تشبه بالصالحين يكرم كما يكرمون ، ومن تشبه بالفساق لم يكرم ومن وضع عليه علامة الشرفاء أكرم وإن لم يتحقق شرفه انتهى .

      Berkata Al Qoriy : ( maksud menyerupai suatu kaum ) yaitu menyerupakan dirinya dengan orang kafir, misalnya dalam berpakain dan lainnya, atau menyerupai orang fasiq, pendusta atau ahli tasawuf ataupun orang2 saleh ( maka ia termasuk bagian dari golongan itu ) yaitu dalam dosa ( kalau menyerupakan hal yang dosa ) dan kebaikannya ( kalau menyerupakan hal yang baik).

      Berkata AlQomiyyu : ( Maksud menyerupai suatu kaum ) yaitu seseorang yang menyerupai orang2 muslim maka ia dimulyakan/ dihormati seperti orang2 muslim dan barangsiapa menyerupai seorang fasiq maka ia tidak dimulyakan. Barangsiapa yang padanya ada alamat orang-orang yang mulia maka ia dihormati walaupun belum pasti ia orang yang mulia.

      وقد روي عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن التشبه بالأعاجم ، وقال : من تشبه بقوم فهو منهم وذكره القاضي أبو يعلى .

      Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bahwa beliau melarang menyerupai orang-orang ajam / bukan arab dan beliau bersabda : ” Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari kaum itu. Disebutkan Riwayat ini oleh Al-Qodi dan Abu Ya`la.

      Kesimpulan Hukum oleh Para Ulama

      وَبِهَذَا احْتَجَّ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ عَلَى كَرَاهَةِ أَشْيَاءَ مِنْ زِيِّ غَيْرِ الْمُسْلِمِينَ وَأَخْرَجَ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا انْتَهَى كَلَامُهُ مُخْتَصَرًا

      Dengan dalil ini banyak ulama menghukumi makruh terhadap sesuatu yang serupa dengan selain orang-orang muslim.

      Imam Tirmidzi mengeluarkan hadits dari Umar bin Syueb dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rosululloh SAW bersabda : Bukanlah dari golongan kami yaitu orang yang menyerupai selain golongan kami. Selesai perkataan ringkasnya.

      وَقَدْ أَشْبَعَ الْكَلَامَ فِي ذَلِكَ الْإِمَامُ ابْنُ تَيْمِيَةَ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ وَالْعَلَّامَةُ الْمُنَاوِيُّ فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ ثُمَّ شَيْخُنَا الْقَاضِي بَشِيرُ الدِّينِ الْقَنُّوجِيُّ فِي مُؤَلَّفَاتِهِ .

      Pendapat di atas diperkuat oleh pendapat Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Sirotul Mustaqim, Al-Allaamah Al-Munawiy dalam kitabnya Fathul Qodir dan Guru kami Al-Qodli Basyiruddin Al-Qonujiy dalam karangannya.

      Demikian sekelumit pembahasan dalm kitab Aun Al-ma`bud.

      Sekarang pertanyaan saya untuk Saudara Hakim , apakah pada zaman Rosul sudah di bangun masjid seperti keadaannya sekarang ini ? lalu apakah ada ketentuan keharusan bahwa membuat masjid harus semodel dengan zaman Nabi ? atau apakah dilarang membuat masjid dengan mengikuti bangunan yang khas pada suatu negri ( adat ) ataupun pembangunan masjid dengan perpaduan gaya bangunan dibelahan dunia ?

      Menurut saya ( saya pernah membaca kitab – tapi saya lupa kitabnya apa – yang isinya bahwa selama tidak berniat untuk menyerupai orang-orang kafir dalam suatu hal misalnya berpakain maka hukumnya boleh sedangkan kalau sebaliknya adalah haram ( koreksi kalau salah, maaf ).

      Nah kalau semuanya haram maka pakain Indonesia adalah serupa dengan pakain orang-orang kafir, lalu menyedihkan kalau dihukumi haram dengan tanpa tafsil / diperinci hukumnya. Terimakasih.

      –> terima kasih mas imam. Begitulah yg saya tanyakan juga.. model masjid yg islami itu yang bagaimana siich.. krn di zaman Nabi saw memang sangat berbeda. Tapi kok malah dibodoh2in.

      • saya ngak akan panjang lebar
        untuk melanjutkan coment ini

        begini ya para al ustadz ya syukurlah anda juga sudah faham
        jika menyerupai suatu kaum itu di haramkan
        .
        contonya rasulullah tidak mau menatap wajah seorang majusi
        dikarnakan orang majusi itu menyukur jenggot dan memanjangkan kumis
        lalu rasulullah memerintahkan untuk menyelisihi kaum majusi

        begini al ustadz imam pada zaman rasulullah itu masjid memang belum di bangunan seperti zaman sekarang ini
        dan kita juga tidak harus meniru bangunan disuatu negeri tertentu

        akan tetapi kalo menyerupai bangunan tempat ibadah agama lain
        tidak di ragukan lagi keharamanya
        masjid yang islami itu yang tidak menyerupai tempat ibadah lain
        seperti masjidnya kaum muslimin sa’at ini

        afwan ya ustadz kalo ana salah namanya juga manusia tempatnya salah
        asal tidak menyalahi
        matur suwun

      • kalo soal pakain orang indonesia kami tidak mengatakan haram
        tapi yang menyeupai orang kafir itu yang haram
        contonya
        seorang wanita yang berpakain tapi telanjang
        laki2 yang memakai jelana jen yang ketat isbal lagi

        saya kira anda sepakat jugalah dengan saya
        kalo ngak sepakat ya sudah dada aja

      • buat admin
        anda bilang masjid dizaman rasulallah itu berbedah2 tapi kan ngak ada yang mirip kanisya kan?jadi yang bedah apanya? apa ada yang mirip kelenteng begitu

        sekarang intinya apapun yang menyerupai suatu golongan itu termasuk dari golonganya,kalo ada yang ngak setuju ok lah itu masing2 individu
        yang penting kita suda membawakan hujjah

        kang admin sekali2 membantahnya dengan dalil jangan pendapat anda saja
        jadi kita tambah ilmu
        biar ngak terlihat debat kusir syukron

      • Untuk Saudara Hakim,

        Pernyataan Anda :

        begini ya para al ustadz ya syukurlah anda juga sudah faham
        jika menyerupai suatu kaum itu di haramkan
        .
        TANGGAPAN SAYA :

        Apakah Anda tidak membaca penjelasan saya dengan teliti ?

        Menurut ulama seperti yang telah disebutkan dalam kitab di atas yaitu :

        وَبِهَذَا احْتَجَّ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ عَلَى كَرَاهَةِ أَشْيَاءَ مِنْ زِيِّ غَيْرِ الْمُسْلِمِينَ

        Dengan dalil ini banyak ulama MENGHUKUMI MAKRUH terhadap sesuatu yang serupa dengan selain orang-orang muslim. ( lIHAT HURUF BESAR ).

        Penyerupaan masjid dengan model lain itupun hukumnya harus ditafsil / diperinci atau paling tidak mengacu kepada pendapat ulama yang telah tersebut di atas.

        PERNYATAAN ANDA :

        kalo soal pakain orang indonesia kami tidak mengatakan haram
        tapi yang menyeupai orang kafir itu yang haram
        contonya
        seorang wanita yang berpakain tapi telanjang
        laki2 yang memakai jelana jen yang ketat isbal lagi

        TANGGAPAN SAYA :

        Pernyataan Anda sebelumnya mengatakan haram hukumnya menyerupai orang kafir.

        Kemudian Anda mengimplementasikannya pada wanita yang berpakain tapi telanjang atau laki2 yang berpakain ketat.

        Lalu bagaimana kalau saya contohkan bahwa orang2 Indonesia menyerupai orang kafir dalam hal berpakain misalnya memakai jas, berdasi, bersepatu yang nota bene bukan pakain khas muslim tapi itu adalah khas pakain orang2 kafir. Apakah Anda juga akan mengharamkan sebab menyerupai orang kafir karena yang menjadi ellat atau sebab keharaman adalah penyerupaannya ?

        Pernyataan Anda adalah pernyataan yang masih mentah dan terlalu terburu-buru.

        Makanya pernyataan saya pada kalimat terakhir di atas berbunyi ( saya postingkan lagi ) :

        Nah kalau semuanya haram maka pakain Indonesia adalah serupa dengan pakain orang-orang kafir, lalu menyedihkan kalau dihukumi haram dengan tanpa tafsil / diperinci hukumnya. Terimakasih.

        LIHAT KALIMAT : DIHUKUMI HARAM DENGAN TANPA TAFSIL / DIPERINCI HUKUMNYA.

        Semoga Anda bisa memahami pernyataan saya mengenai hukum yang harus ditafsil. Terimakasih.

      • kalo anda butuh tafsil ya anda tafsil sendiri
        mana yang menyerupai dengan orang kafir mana yang bukan?

        lalu anda mengaitkan niat dengan tasyabuh
        pertanyaan saya apa sih yang disebut NIAT itu

        lalu mengapa anda harus pakai jas dan dasi?
        dan bagaimanakah pakaian khas orang muslim?

        –> ada banyak alasan harus memakai pakaian jas dan dasi. pertanyaan kedua itu justru yg ditanyakan ke anda,

        sebagaimana pertanyaan saya bagaimanakah bangunan masjid yg islami itu (ketika anda mengkafirkan orang2 islam dengan masjid yg berarsitektur mirip gereja atau kelentheng). Itu pun belum anda jawab malah bodoh2in saya.

      • Untuk Saudara Hakim,

        Anda itu lucu, ditanya kok balik bertanya……..

        Ini menunjukkan kegoncangan pendapat Anda tanpa Anda sadari.

        Kata Anda :

        Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum ( ini juga sebagai koreksi penulisan Anda yang salah )

        Artinya : ” Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari kaum itu.

        Ditafsiri oleh Anda seperti yang ada dikomentar sebelumnya yaitu :

        begini ya para al ustadz ya syukurlah anda juga sudah faham
        jika menyerupai suatu kaum itu DIHARAMKAN ( LIHAT HURUF BESAR )

        Sedangkan para ulama menghukumi makruh saja.

        Kemudian saya implementasikan / saya terapkan hadits ini dengan kebiasaan orang Indonesia yang berpakaian seperti orang-orang kafir.

        Anda menjawab dengan kata haram apabila berpakaiannya wanita itu tapi telanjang, nah saya jawab inilah yang namanya menghukumi dengan cara tafsil / diperinci.

        Artinya kalau berpakaiannya wanita itu dengan tidak telanjang maksudnya tidak menunjukkan lekuk-lekuk tubuh itu tidak diharamkan walaupun pakaian itu serupa dengan pakaian orang-orang kafir.

        Nah kedua, saya terapkan hadits itu mengenai cara orang Indonesia yang berpakaian jas, berdasi, dan bersepatu itupun menyerupai orang kafir tapi pertanyaan saya itu tidak bisa dijawab oleh Anda.

        Kalau hanya mengharamkan (seperti pendapat Anda ) dengan ellat penyerupaan terhadap orang kafir maka harusnya semua hal yang bukan atau tidak ada dalam Islam artinya yang serupa dengan orang kafir adalah haram, Sedangkan menurut saya hukumnya harus ditafsil/ diperinci, mana penyerupaan yang diharamkan menurut syar`i ataupun mana yang dibolehkan menurut syar`i.

        Demikian juga dengan model masjid, lah wong wahabi sendiri sholat berjamaah di rumah kyainya ko seperti yang terlihat di artikel kyai Mahrus Ali mantan kyai NU ( ada di artikel ini juga ko ).

        Jadi yang namanya sholat tidak harus dimasjid yang bermodel seperti sekarang ini, dilapangan juga boleh kok atau di semua bumi adalah tempat sujud kecuali yang dilarang syar`i.

        Islam itu mudah maka janganlah dipersulit sendiri.

        Kemudian mengenai niat

        Semua hal bersumber dari niat ( definisi niat silakan Anda cari sendiri baik menurut lughot maupun istilah ).

        Pertanyaan Anda yaitu :

        lalu mengapa anda harus pakai jas dan dasi?

        Itupun menunjukkan niat karena niat menurut gampangnya adalah sesuatu yang menjadi pendorong melakukan suatu perbuatan.

      • ya sebelumnya dah ane bilang kalo anda ingin rinci ya rinci aja mana yng tasabuh mana yang ngak?
        tapi dalilnya begitu
        barang siapa yg menyerupai suatu kaum dia termasuk dari golangan kaum itu
        dan ane dah kasih dua contoh
        lalu apa yg anda bikin ngak setuju?degan dalil ini

        dan dalil ini umum apa saja baik pakaian, masjid.gaya dll
        memang benarsholat dimana saja itu boleh kecuali tempat yg di larang dan tasyabuh itu termasuk larangan
        walaupun ngak ada dalil kusus mengenai hal ini

        al ardu kuluhe masajid illa maqobur welhamam
        tapi golongan antum orang jumud ditempat ini qur’an juga dibaca dan sholat juga boleh khususnya dikuburan

      • Untuk Saudara Hakim,

        Kalau berdiskusi tidak usah membawa2 kata2 jumud ataupun membodohin rekan diskusi, diskusilah secara ilmiah.

        Inilah komentar Anda nengenai hadits :

        Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum ( ini juga sebagai koreksi penulisan Anda yang salah )

        Artinya : ” Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari kaum itu.

        Oleh Anda dipahami dengan :

        jika menyerupai suatu kaum itu DIHARAMKAN ( LIHAT HURUF BESAR )

        Makanya saya jawab hukum dalam hadits itu harus ditafsil/ diperinci, tidak seperti Anda yang langsung mengharamkan sesuatu yang menyerupai orang kafir.

        Namun pada saat diterapkan pada hal berpakaian malah Anda setuju dengan saya yaitu dengan memperinci hukum dalam hadits itu.

        Bukankah ini artinya ucapan Anda plingplang ?

        Menurut saya : kalau Anda setuju dengan pendapat saya seharusnya Anda menerimanya tidak usah muter-muter dan malu-malu mengakuinya.

        Oleh karena itu, sebaiknya kalau belum mampu berdalilkan langsung dengan hadits ataupun Al-quran sebaiknya mengikuti pendapat ulama, itu akan lebih selamat dan kita tidak usah repot-repot menafsirkan maksud hadits dengan akal kita.

        Selanjutanya,

        Komentar Anda :

        Tasyabuh itu termasuk LARANGAN
        walaupun ngak ada dalil kusus mengenai hal ini.

        Tanggapan saya :

        Sebuah pernyataan yang ngawur karena Anda tidak menemukannya bukan berarti tidak ada dalil khusus mengenai kebolehan tasyabbuh dengan orang kafir .

        Silakan Anda baca kitab Ad-darrul Mukhtar :

        كان رسول اللّه صلى الله عليه وسلم يلبس النّعال الّتي لها شعر وإنّها من لباس الرّهبان

        Rosululloh SAW pernah memakai sandal yang berhias rambut yang ia merupakan jenis dari pakaian para rahib / pendeta.

        Makanya pengarang kitab itu mengatakan :

        إنّ التّشبّه بأهل الكتاب لا يكره في كلّ شيء ، بل في المذموم وفيما يقصد به التّشبّه

        Penyerupaan segala hal terhadap golongan ahli kitab hukumnya tidaklah makruh tetapi menjadi tercela apabila dengan niat untuk menyerupainya.

        Sedangkan Imam Nawawi meriwayatkan dari Imam Asy-Syafi`i :

        ويرى النّوويّ من الشّافعيّة أنّ من لبس الزّنّار ونحوه لا يكفر إذا لم تكن نيّة

        ” Barangsiapa memakai zunnaar ( ikat pinggang khas yang dipakai orang nasrani ) dan lainnya tidaklah berhukum kafir selama tidak ada niat untuk tasyabbuh.”

        Banyak hal perbuatan tasyabbuh yang diharamkan tapi dalam hal ini saya tidak bisa menjelaskan secara panjang lebar, saya hanya memberi gambaran sekelumit saja. Terimakasih.

  153. setahu saya tradisi orang di saudi , memberi jamuan entah itu makanan atau minuman di keluarga duka pada tamu yang datang itu biasa,sampek2 mereka pesan makanan di restoran untuk menjamu makan2 mereka.kalo hal ini kategorikan hukum yamg mana atau apa?.dan lagi orang- orang saudi berkata haram itu biasa untuk melarang seseorang melakukan ato mengerjakan sesuatu. contohnya mereka mengatakan merokok haram, dengar musik haram dan masih banyak lagi, tapi hukum haram itu kalo di kerjakan kan berdosa, tapi kenapa mereka tetap banyak yang melakukanya. maaf karena saya bekerja di saudi arabia sampai sekarang,

    • buat musafir

      saudi atau indonesia itu bukan hujjah atau dalil,,hujjah itu alqur’an dan hadist

      • Fatwa pengharaman penghidangan makanan setelah kematian adalah produk dari fatwa Saudi yang ternyata tidak berlaku fatwanya di negara itu sendiri …kasihan….. tapi yang mengimpor fatwa tersebut sangat kuat berpegang padanya padahal kebanyakan ulama selain Wahabiy menghukumi makruh saja dalam penghidangan makanan setelah kematian kalau tidak ada ellat yang menjadikannya haram.

        Lihat komentar2 saya sebelumnya…atau silakan Anda tanggapi lagi komentar2 saya di atas untuk melanjutkan komentar Saudara Sukirno. Terimakasih….

      • buat imam

        benar sekali kang imam karna imam safi’i juga belajar di saudi dan rasul kami juga dari saudi

        kalo yang membolehkan berkumpul dan makan2di rumah ahli mayid dari mana ya
        apa dari yaman yang notebene negeri ini miskin
        sehingga bikin kesempatan dalam kesimpitan

      • Yang membolehkan makan makanan di rumah ahli mayit adalah ada dalam hadits Nabi, silakan saudara cek dikomentar saya sebelum-belumnya….

        Kemudian mengenai Imam Syafi`i belajar di Saudi dan Rosulloh itu dari Saudi, pernyataan ini apakah ada dalilnya mas hakim ?

        Apakah itu artinya juga pemahaman Imam Syafi`i berpahamkan wahabiy ? jauh….dan jauh sekali mas.

        Kata Saudi dikenal hanya pada masa pemerintahan As-Suud saja, sebelumnya banyak pemerintahan yang silih berganti termasuk faham keislaman dalam pemerintahannya itu. Semoga Anda mengerti.

      • tak satupun ulama’ yang menyunnahkan makan2 di keluarga ahli mayit
        mayoitas ulama’ menganggap BID’AH
        mungkaroh atau makruhah
        sekalipun ada yang membolehkan tetapi tidak mensunnahkan hal itu

        Riwayat yang menyatakan bahwa berkumpul dan membuat makanan dirumah ahli mayit adalah meratap merupakan atsar yang bersumber dari Jarir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu.

        عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
        “Dari Jarir bin Abdillah Al Bajali ia berkata: “Kami mengkategorikan berkumpul-kumpul di keluarga mayyit dan dibuatnya makanan setelah dikuburkannya termasuk meratap.” (HR. Ahmad No 6866)

        كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
        “Kami memandang berkumpul-kumpul di keluarga mayyit dan dibuatnya makanan setelah dikuburkannya termasuk meratap.” (HR. Ibnu Majah No 1612)

        Kedua riwayat diatas shahih, dishahihkan oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Albani dalam kitab Shahih Ibnu Majah 2/48

        dan dalam kitab Ahkam Al Janaiz : 210 Syeikh As-Sindi dalam menjelaskan riwayat ini beliau mengatakan bahwa kedudukan lafadz “Kunna Nauddu” (Kami mengkategorikan) atau “Kunna Naro” (Kami Memandang) sebanding dengan Ijma’ (kesepakatan) para sahabat atau taqrir (ketetapan) Rasul r. Jika dimaknai yang kedua (yakni ketetapan Rasul r) maka riwayat tersebut dihukumi marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah r). Namun baik makna yang pertama maupun yang kedua kedua-duanya dapat menjadi hujjah. (Lihat Hasyiyatus Sindi ‘Ala Sunan Ibni Majah 2/275).

      • Untuk Saudara Hakim,

        Sekali lagi Anda itu terlalu terburu-buru dalam memahami suatu kalimat, adakah saya menyebutkan makan makanan di rumah keluarga ahli mayit itu sunah ?

        Saya mengatakan makan makanan di keluarga ahli mayit itu adalah boleh berdasarkan hadits Nabi. SIlakan Anda cek lagi di komentar-komentar saya sebelumnya.

        Sedangkan Atsar yang saudara sebutkan itu adalah sebagai alasan para ulama mengenai makan makanan di rumah ahli mayit dengan hukum MAKRUH bukan HARAM.

        Kenapa dalam atsar itu menjadikan hukum makruh bukan haram ?

        Jawabnya : ( kalau Anda tahu bahasa Arab ) lihatlah kalimat terakhir dalam atsar itu digunakan kata min an-niyaakhah ( merupakan bagian dari meratap ) bukan kata an-niyaakhah ( meratap itu sendiri ).

        Hal itu bisa menjadi haram kalau penghidangan makanan itu berasal dari harta yang haram, atau harta ahli mayit yang berhutang atau harta yang mengandung bahaya. ( SIlakan Anda cek di kitab I`anathuth Tholibin ).

        Jadi tidak perlu saya ulas kembali karena komentar Anda sudah pernah saya bahas sebagai tanggapan kepada Saudara Sukirno.

      • ya sekarang kalo makan makan di ahli mayit itu makruh bukan sunnah menurut pendapat anda berdasarkan dalil dari jarir

        lalu anda berpendapat boleh makan2diahli mayit
        ini menunjukan bahwa anda sendiri dalam beribadah ngak sedikitpun dapat pahalah dalm masalah ini

        sebab anda mengamalkan perkara yg dimakruhkan,yg seharusnya anda meninggalkan perbuatan itu

        2 anda mengamalkan suatu ibadah yang anda hukumi mubah
        padahal setauh ana tidak satu ulama’pun yg punya pendapat hukum dalam ibadah itu mubah

        lalu anda sendiri membelah orang yang menyelisihi sunnah
        seharusnya kita menganjurkan untuk menegakan sunnah

      • Mas Hakim,

        Alhamdulillah, saya selalu ingin membela sunah dengan mengikuti pendapat para ulama yaitu ulama ahli sunah wal jam`ah.

        Setelah satu kali pendapat yang telah lewat terburu-burunya Anda menghukumi sesuatu, sekarangpun Anda melakukan yang sama tanpa melihat kepada atsar yang telah Anda sebutkan .

        Atsar itu sebagai berikut :

        عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

        Artinya : ” Kami menganggap BERKUMPUL di rumah ahli mayit DAN PENYEDIAAN MAKANAN setelah penguburannya MERUPAKAN BAGIAN DARI MERATAP.

        LIHAT HURUF BESAR !!!

        Dalam kontek hadits di atas yang dimakruhkan adalah berkumpul untuk tujuan makan makanan di rumah ahli mayit.

        Sedangkan berkumpul untuk tujuan ta`ziyah tidak terkena hukum makruh ini tapi malah hukumnya sunah.

        Tentu saja orang-orang yang berta`ziyah sudah pasti berkumpul, sangat sulit kiranya kalau orang berta`ziyah tidak berkumpul.

        Demikian juga orang yang berkumpul untuk membaca dzikir/ tahlil di rumah ahli mayit agar rahmat Alloh turun dan menentramkan orang yang sedang berduka itupun sunah, sunahnya terletak pada dzikirnya/ tahlilnya.

        Jadi seharusnya Anda dapat membedakan mana yang masuk kategori makruh dan mana yang kategori boleh alias jaiz dan mana yang kategori sunah.

        Kemudian komentar Anda :

        lalu anda berpendapat boleh makan2diahli mayit
        ini menunjukan bahwa anda sendiri dalam beribadah ngak sedikitpun dapat pahalah dalm masalah ini

        Tanggapan saya :

        Kalau kita hanya berkumpul dan berniat makan makanan di ahli mayit itu bukan kategori ibadah mas (kecuali ada niat lain ), jadi karena bukan ibadah maka kita jelas tidak mendapat pahala maka dari sana timbul hukum makruh.

        Sedangkan makruh sendiri bukan berarti harus dihindari alias wajib dihindari itu beda definisi lagi mas. ( Lihat komentar saya mengenai definisi makruh yang telah lewat ).

        Tapi kalau berkumpul dengan niat ta`ziyah maka jelas itu ibadah dan mendapat pahala.

        Kemudian,

        Andapun ternyata hanya melihat hukum makruh pada perbuatan makan makanan di keluarga ahli mayit atau Anda hanya memotong pendapat atau atsar yang hanya seolah mendukung pendapat Anda.

        Padahal atsar itu menyebutkan berkumpul dan penyediaan makanan, kenapa Anda mengambil hukum makruh hanya pada hal makan makanan saja sedangkan pada hal lain yaitu kata ijtima` / berkumpul itu sendiri malah Anda seolah tidak mahu tahu. Aneh Anda ini.

        Kalau Anda mengatakan seharusnya meninggalkan perkara yang dimakruhkan maka seharusnya juga pen`taziayah yang berkumpul harus dibubarkan karena itu perbuatan makruh, karena mereka berkumpul……

        Sungguh pendapat yang membingungkan dan merepotkan untuk melakukannya.

      • ya bagaimana anda ngak bingung
        kalo syareat islam anda pahami dengan pemahaman anda sendiri

        yang dima’sud berkumpul setelah kematian yaitu berta’ziah bukan kondangan
        ma’sudnya ketika hajat kt selesai secepatnya untuk meningalkan tempat itu
        bukan malah duduk2 berkumpul,di keluarga ahli mayit
        apa lagi sengaja mengumpulkan orang untuk tahlillan dsb.

        adapun makruh itu ya harus dihindari
        seperti conto ketika anda mau kemasjid dimakruhkan makan bawang merah /putih karna bau yang menyengat
        kemakruhanya terletak di BAUNYA BUKAN BAWANGNYA

        kalo anda disunnahkan berta’ziah di makruhkan berkumpul2 dalam berta’ziyah
        yang harus dihindari berkumpulnya bukan ta’ziahnya
        mana yang sulit
        kalo anda kebetulan bersamaan dengan beberapa orang bahkan ratusan orang itu tidak ada masalah karna tidak ada niat berkumpul hanya kebetulan bersamaan aja
        seperti anda kalo sholat ba’diya atau qobliyah mungkin saja anda bersama jamaah yang lain sholat bersamaan tapi bukan berarti sholat berjama’ah

      • Inilah pemahaman rancu Anda terbukti lagi sebagai berikut :

        1. Dalam hadits itu jelas dan terang benderang maknanya kecuali Anda mau memelintir maknanya.

        كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

        Kami menganggap BERKUMPUL di rumah ahli mayit dan PENGHIDANGAN MAKANAN setelah kematian adalah bagian dari niyahah / meratap.

        – Disana disebutkan BERKUMPUL DI RUMAH AHLI MAYIT, entah berkumpulnya kebetulan ataupun bukan kebetulan, entah berkumpulnya sebentar ataupun lama, yang penting terjadinya setelah kematian. baik berkumpulnya cuma karena sekedar datang ataupun berkumpul dengan maksud ta`ziyah, baik berkumpulnya oleh ahli mayit ataupun oleh tamu. Semuanya itu disebut berkumpul tapi ada yang berhukum makruh dan ada yang sunah.

        Kalau Anda menghususkan berkumpul di sini adalah hanya suatu kebetulan seharusnya ada dalil yang menjadi pijakan Anda.

        Jadi jangan mengandai-ngandai ya…..

        2. Komentar Anda :

        adapun makruh itu ya harus dihindari
        seperti conto ketika anda mau kemasjid dimakruhkan makan bawang merah /putih karna bau yang menyengat
        kemakruhanya terletak di BAUNYA BUKAN BAWANGNYA

        Tanggapan saya :

        Tidak ada definisi makruh itu artinya harus dihindari ( lihat definisi yang sudah pernah saya postingkan – apa mau saya kirim lagi, cape deeehhh…).

        Kalau Anda membandingkan kata makruh makan bawang putih, maka apakah berarti sholatnya batal ataukah sah ? apakah dia tetap mendapatkan pahala atau tidak ?

        Yang jelas tidak batal dan tetap berpahala sehingga bukan menunjukkan keharusan meninggalkannya sebab kalau menunjukkan keharusan meninggalkannya maka sholatnya menjadi batal.

        Demikian juga tahlilan, melihat dalil umum bahwa berkumpul adalah makruh maka tetap acara tahlilan tidak batal dan juga berpahala karena kemakruhan tidak membatalkan suatu ibadah. Semoga Anda paham…

      • ta’ziah di syare’atkan dalm kematian adapun berkumpul dan makan2dimakruhkan
        karna keduanya bukan termasuk syareat yang dianjurkan tapi mala dibenci

        akan tetapi tahlilan dalam kematianpun juga tidak pernah di syare’atkan
        bahkan tak satupun ulama’ yang melakukan perkara ini

        saya akan ikuti dan akan mendakwakan kepada kaum muslimin
        kalo anda bisa membuktikan bahwa imam syafi’i dan para pengikutnya melakukan tahlilan dalam kematian pada hal para imam inilah orang yang terlebih dahulu mengajarkan cara memenuhi hak mayit atas kita

        2dan kalo anda tidak bisa menghadirkan bukti maka coment ana saya
        cukupkan disini
        karna ngak akan berguna lagi kalo urusan agama hanya mengandalkan akal2an syukron

        ana mohon sertakan bacaan apa saja yang dilakukan oleh imama syafi’i dan para pengikutnya

    • duduk persoalanya
      membangun masjid yng menyerupai tempat ibadah agama lain itu haram ,adapun anda tarik kemana 2 untuk menutupi kesalahan anda of to you

      coment gratis aja kok repot

      • Untuk Saudara Hakim,

        Siapakah yang berdalil dengan akal-akalan, saya berdalil dengan dalil yang Anda berpijak dengannya. cuma bedanya Anda menafsirkannya menurut hawa nafsu Anda sedangkan saya ada pijakannya yaitu ulama, seperti :

        1. KItab yang dipostingkan oleh Saudara SUkirno ( rekan Anda )

        dan DIMAKRUHKAN keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya KECUALI APABILA ADA HAJAT, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula DIMAKRUHKAN mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka HARAM hukumnya MELAKUKAN PENGHIDANGAN tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)

        LIHAT HURUF BESAR !

        Kalau Anda jeli maka pada kitab di atas terdapat kata makruh / dimakruhkan dan kata haram.

        Makruh di sana bisa hilang kemakruhannya kalau ada hajat dan bisa menjadi haram apabila ada sebab yang mengharamkannya ( lihat di kalimat terakhir ).

        Kemakruhan itupun apabila berkumpul dan makan makanan di rumah ahli mayit.

        2. Fatwa mufti agung Masr (Mesir) Syeh Prof. Dr. Ali Jum`ah Muhammad ( saya postingkan lagi di sini, ini berarti yang ke tiga kalinya karena Anda belum membacanya )

        Mufti agung Masr (Mesir) Syeh Prof. Dr. Ali Jum`ah Muhammad berfatwa ketika ditanya tentang berkumpul di keluarga mayit untuk bedzikir,berdoa dan makan makanannya ( الاجتماع عند اهلي الميت علي الذكر والدعاء والطعام ) .

        Beliau menjawab :

        لامانع من مثل هذا الاجتماع شرعا , بشرط ان لايكون في ذلك تجيد للأحزان وان لا يكون ذلك من مال القصر فان كان ذلك مما يشق علي اهلي ميت او يجدد أحزانهم فهو مكروم وان كان من مال القصر فهو حرام

        Perkara seperti itu ( berkumpul di keluarga mayit untuk berdoa dan makan makanannya ) TIDAK ADA LARANGAN dalam syareat, dengan SYARAT perbuatan itu tidak mendatangkan kesedihan kembali, dan biayanya bukan dari harta keluarga mayit yang tidak mampu. Jika perbuatan / acara itu membuat susah keluarga mayit atau membuat tambah bersedih kembali maka hukumnya adalah MAKRUH. Apabila biayanya diambil dari harta keluarga yang tidak mampu maka hukumnya HARAM.

        ومع ان جماعة من متأخرين الحنفية يذهبون الي القول بالكراهة الا ان العلامة الطحطاوي الحنافي حقق ان ذلك جائز ولا شيئ فيه ونقل ذلك عن محققي الحنفية.

        Sejumlah ulama Mutaakhirin Hanafiyah berpendapat melakukan acara seperti itu hukumnya MAKRUH kecuali pendapat Al-Allamah Ath-Thahawi Al-Hanafi,dalam kajiannya yang mendalam beliau menyimpulkan kebolehan mengadakan acara itu dan tidak mengapa . Ini sebagaimana dinukil oleh sejumlah ulama peneliti Madzhab Hanafi.

        Itulah antara lain rujukan saya.

        Komentar Anda :

        saya akan ikuti dan akan mendakwakan kepada kaum muslimin
        kalo anda bisa membuktikan bahwa imam syafi’i dan para pengikutnya melakukan tahlilan dalam kematian pada hal para imam inilah orang yang terlebih dahulu mengajarkan cara memenuhi hak mayit atas kita

        TANGGAPAN SAYA :

        Itulah gaya Anda dan kelompok Anda setelah diskusi yang panjang lebar dan setelah saya tunjukkan kelemahan-kelamahan pemahaman Anda kemudian Anda tidak bisa menjawabnya maka Anda akan merujuk dan minta fatwa Imam Syafi`i ( pernah melakukan tahlilan atau tidak ), namun setelah saya rujuk ke pandapat Imam Syafi`i tentang suatu hal yang tidak ada di masa beliau maka Anda akan menjawab lagi bahwa Imam Syafi`i itu bukan Nabi maka pendapatnya tidaklah ma`sum dan nanti setelah saya tunjukkan lagi dalil dari rosulloh yang menjadi dasar tahlilan maka Anda akan mengatakan itu bukanlah dalil tapi hanya akal-akalan karena rosulloh tidak pernah melakukannya dan nanti setelah saya katakan bahwa dengan berdalil ” Rosulluloh tidak pernah melakukannya ” adalah bukan dalil buktikanlah bahwa kata-kata itu ada dalam hadits atau Al-qur`an kalau Anda termasuk orang-orang yang mempunyai pemahaman/ orang-orang yang benar , maka Anda hanya bisa diam ataupun tidak menanggapinya.

        Itu semua sudah ada di kantong saya, wal hasil bagaimanapun saya tunjukkan dalil dan tunjukkan dengan pemahaman para ulama maka tetap Anda akan menolaknnya karena Anda dan kelompok Anda menganggap diri paling benar dan yang lain salah , serta bid`ah dan halal darahnya seperti yang diajarkan oleh aliran nenek moyang Anda, aliran wahabi yaitu Muhammad bin Abdul wahhab yang lahir di najd / Riyad sebagai tempat keluarnya tanduk setan. ( Silakan Anda lihat di artikel admin juga ada, biar ga repot ).

        Terakhir kalau merasa diri sudah terdesak dan tidak bisa menanggapi dari tanggapan saya sebelumnya maka larilah Anda dengan tidak mau memahami dengan jernih apa yang sudah kita bahas. Semoga Anda mendapat petunjuk, amiin….

  154. Pemahaman rancu Anda yang ke – 3 :

    Komentar Anda :

    yang DIMAKSUD BERKUMPUL SETELAH KEMATIAN YAITU BERTA`ZIYAH bukan kondangan
    ma’sudnya ketika hajat kt selesai secepatnya untuk meningalkan tempat itu

    ( LIHAT HURUF BESAR )

    Inilah penafsirah Syeh Hakim yang makin nyleneh.

    Anda lihat tidak redaksi arab aslinya ? penafsiran yang hanya mengedepankan hawa dan mengikuti pendapat sendiri.

    Kalau menurut Anda yang di maksud BERKUMPUL dalam atsar riwayat Jarir adalah BERTA`ZIYAH maka hukum ta`ziyah bukan sunah lagi tapi makruh atau haram menurut Anda dalam menafsirkan atsar itu.

    Ok, saya terapkan penafsiran Anda kepada atsar itu :

    كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

    Kami menganggap BERKUMPUL – YAKNI BERTA`ZIYAH ( INI SESUAI PENAFSIRAN ANDA ) – di rumah ahli mayit dan PENGHIDANGAN MAKANAN setelah kematian adalah bagian dari niyahah / meratap.

    Sungguh pendapat yang kacau, ngomong2 Anda membaca atau sumber kitabnya apa , ko sampai begitu ?

    • coment semacam ini dah saya baca dari awal
      sampai akhir ngak ada hajat ana untuk mengulangi

      jawab saja pertanyaan saya karna pembahasan yg anda mintak adalah yang ilmiyah
      jadi yang disebut ilmiyah itu adalah sesuatu yang bisa di buktikan

      jadi kalo tahlilan dan selamatan itu dari syareat islam maka andaharus bisa membuktikan seperti apa yang ana minta diatas

      siapa saja yg melakukan tahlilan dan selamatan kematian diantara para salaf atau para imam arba’ah karnahmerekalah yang lebih dahulu membahas masalah jenasah syukron

      • : Tidak disyariatkan duduk-duduk untuk berta’ziah. Ini adalah pendapat beberapa ulama. Ulama muta’akhirin yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Utsaimin rahimahullah. Imam Nawawi berkata,” Orang yang tertimpa musibah dapat ditemui dimasjid, atau dijalan-jalan atau dipasar-pasar.” Pendapat ini berdalil pada hadits Jarir bin Abdullah. Ia berkata,”

        كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصُنعة الطعام من النياحة

        Kami menganggap berkumpul-kumpul dikeluarga mayat dan membuat makanan untuk itu termasuk dari meratapi mayat yang dilarang. (Dikeluarkan imam Ahmad dalam musnadnya )

      • الجلوس للعزاء

        هذا اختلف فيه العلماء رحمهم الله في الزمن السابق :

        الرأي الأول : لا يشرع الجلوس للعزاء ذهب إليه بعض العلماء وممن ذهب إليه من المتأخرين الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله، قال النووي رحمه الله المصاب يتلقى في المسجد وفي الطرقات وفي الأسواق ..إلخ ويعزى .

      • Jawaban Anda tidak menjawab kerancuan-kerancuan pemahaman Anda yang telah saya sebutkan kurang lebih ada tiga.

        Anda tidak menanggapinya menunjukkan bahwa kerancuan itu adalah benar adanya dan Anda tidak mau mengakui atas kesalahan pemahaman Anda dalam menafsirkan sebuah atsar, tapi malah semakin menjadi-jadi minta dalil lain padahal bagi orang yang berhati bersih dan melihat kebenaran maka komentar2 saya sudah cukup untuk membahas kebolehan tahlilan setelah kematian disamping juga ada pijakan dari pendapat ulama.

        Silakan Anda sanggah ketiga kerancuan itu maka baru melanjutkan ke pembahasan lainnya atau akuilah bahwa Anda keliru dalam memahami atsar maka pembahasan cepat selesai, dan ini lebih baik.

        Akui sajalah tidak usah malu-malu…..

      • kalo begitu imam nawawi juga salah dong?

        : Tidak disyariatkan duduk-duduk untuk berta’ziah. Ini adalah pendapat beberapa ulama. Ulama muta’akhirin yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Utsaimin rahimahullah. Imam Nawawi berkata,” Orang yang tertimpa musibah dapat ditemui dimasjid, atau dijalan-jalan atau dipasar-pasar.” Pendapat ini berdalil pada hadits Jarir bin Abdullah. Ia berkata,”

        كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصُنعة الطعام من النياحة

        Kami menganggap berkumpul-kumpul dikeluarga mayat dan membuat makanan untuk itu termasuk dari meratapi mayat yang dilarang. (Dikeluarkan imam Ahmad dalam musnad

        jawab aja kalo imam safi’i itu ngak perna tahlilan dan tak satupun ulama’ yang melakukan hal itu kelompok anda aja yang suka mengada ada

        mana katanya anda selalu berpegang teguh sama ulama’ ulama’mana yang melakukan tahlilan terus zikir bersama dll

        padahal kalo anda mau menujukan kalo para imam arba’ah sama pemahamanya seperti kelompok antum
        maka persoalanya dah klir

      • Untuk Saudara Hakim,

        Semua komentar Anda sudah saya bahas dan malah saya tunjukkan kesalahan pemahaman Anda dan Anda tidak bisa menanggapinya lagi ( itu menunjukkan bahwa tanggapan saya benar dan sebaliknya adalah Anda ).

        Komentar Anda :

        saya akan ikuti dan akan mendakwakan kepada kaum muslimin
        kalo anda bisa membuktikan bahwa imam syafi’i dan para pengikutnya melakukan tahlilan dalam kematian pada hal para imam inilah orang yang terlebih dahulu mengajarkan cara memenuhi hak mayit atas kita

        Tanggapan saya :

        sesuai pendapat ulama besar di mesir :

        ومع ان جماعة من متأخرين الحنفية يذهبون الي القول بالكراهة الا ان العلامة الطحطاوي الحنافي حقق ان ذلك جائز ولا شيئ فيه ونقل ذلك عن محققي الحنفية.

        Sejumlah ulama Mutaakhirin Hanafiyah berpendapat melakukan acara seperti itu hukumnya MAKRUH kecuali pendapat Al-Allamah Ath-Thahawi Al-Hanafi,dalam kajiannya yang mendalam beliau menyimpulkan kebolehan mengadakan acara itu ( tahlilan ) dan tidak mengapa . Ini sebagaimana dinukil oleh sejumlah ulama peneliti Madzhab Hanafi.

        KOMENTAR ANDA :

        Redaksi Arabnya : ( saya postingkan lagi tulisan Anda ini ) :

        الجلوس للعزاء

        هذا اختلف فيه العلماء رحمهم الله في الزمن السابق :

        الرأي الأول : لا يشرع الجلوس للعزاء ذهب إليه بعض العلماء وممن ذهب إليه من المتأخرين الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله، قال النووي رحمه الله المصاب يتلقى في المسجد وفي الطرقات وفي الأسواق ..إلخ ويعزى .

        Saya terjemahkan versi saya dengan terjemahan sebenarnya :

        Bab duduk untuk berta`ziyah

        Dalam masalah ini banyak perbedaan pendapat para ulama pada masa lalu, antara lain :

        Pendapat pertama : Tidak di syareatkan duduk untuk berta`ziyah, pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama. Salah satu ulama muta`akhirin yaitu Syeh Muhammad Usaimin berpegang terhadap pendapat ini.

        Bersambung ……

      • Sambungan…

        Berkata Imam Nawawi : Orang yang mendapat musibah dapat ditemui di masjid, jalan ataupun pasar…..Dst.

        Tanggapan saya :

        Itulah terjemahan yang ada dalam redaksi arab yang telah dipostingkan oleh Anda.

        Perincian saya terhadap redaksi itu :

        1. Tidak ada satupun dalam redaksi itu yang menunjukkan bahwa duduk untuk berta`ziyah adalah haram ataupun dilarang, kata tidak disyareatkan bukan berarti haram.

        2. Dalam bab itu yang dibahas adalah duduk untuk tujuan berta`ziyah bukan duduk untuk tujuan tahlil / berdikir, itupun menjelaskan duduk berta`ziyah tidaklah disyareatkan bukan diharamkan.

        3. Dalam redaksi arab yang telah dipostingkan Andapun menjelaskan hukum duduk untuk berta`ziyah adalah ikhtilaf baenal ulama atau ada perbedaan pendapat para ulama dan Anda hanya menyebutkannya satu pendapat saja yang seolah mendukung Anda.

        4. Tolong sebutkan pendapat ulama yang lainnya yang membahas masalah ini.

        5. Pendapat Imam Nawawi yang ada dalam redaksi itu ( kalaupun itu benar ) tidaklah menunjukkan menemui orang yang terkena musibah diselain di masjid , pasar, dan jalan adalah menunjukkan keharaman. Tidakkah Anda mengerti bahwa orang tertimpa musibah/kematian akan dikunjungi penta`ziyah di rumahnya dengan berbondong-bondong ? bahkan hukumnya sunah ?

        Jadi jelas jawaban Anda, tidak nyambung dengan sanggahan saya terutama dalam hal tiga kerancuan pemikiran Anda, karena memang benar pemahaman Anda itu rancu lalu bagiamana saya akan mengikuti Anda.

        Setelah saya uji pendapat Anda, menurut saya tidaklah ilmiah, Insya Alloh pembaca yang lainpun demikian memahaminya sebab saya tunjukkan dengan secara kongret kerancuan Anda.

      • Syeh BIn Baz ( ulama wahabi seperti juga syeh Utsaimin ) mengatakan dalam kitab Ad-durus al-muhimmah li`aamah al-ummah :

        Dan DIBOLEHKAN bagi keluarga mayit untuk MENGUNDANG tetangga-tetangga mereka atau selain mereka untuk MAKAN BERSAMA dari makanan yang dihadiahkan ke mereka. Dan tidak ada batasan waktu yang menentukan dalam masalah ini, sepanjang pengetahuan kami dalam syariat agama ini.

        Nah yang namanya makan bersama jelas sudah pasti duduk dan sudah pasti juga berkumpul. Bagaimana ?

      • Kemudian,

        Akhirnya Andapun memalsukan arti dari atsar Jarir agar seolah mendukung Anda, demikian redaksi saya postingkan lagi :

        كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصُنعة الطعام من النياحة

        Kami menganggap berkumpul-kumpul dikeluarga mayat dan membuat makanan untuk itu termasuk dari meratapi mayat YANG DILARANG. (Dikeluarkan imam Ahmad dalam musnadnya ) ( LIHAT HURUF BESAR ).

        Dari mana Anda mengartikan YANG DILARANG dari atsar tersebut padahal tidak ada dalam redaksi arabnya ?

        Atau Anda golongan mudallis ?

      • anda selalu berkata ilmiah
        padahal yg disebut ilmiyah itu harus bisa
        dibuktikan

        sekarang anda bisa membuktikan kalo para sahabat tahlilan dalm kematian
        atau rasululloh juga bertahlilan karna beliau lah yang mengajarkan tentang mayit,
        dalam anda berpegang dengan ulama mesir yang tanpa dalil itu bukan suatu kebenaran,kalopun ada dalil umum yang sudah di ingkari oleh para sahabat

        ok syukron ana pamit
        mohon ma’af kalo ada kesalahan

      • Untuk Saudara Hakim,

        KOMENTAR ANDA :

        anda selalu berkata ilmiah
        padahal yg disebut ilmiyah itu harus bisa
        dibuktikan

        Tanggapan saya :

        Sudah saya buktikan tentang kerancuan-kerancuan pemahaman Anda mengenai pembahasan atsar dari Jarir ( ada tiga hal dan Andapun tidak bisa menjawabnya )

        Sudah saya buktikan mengenai pemahaman Anda yang keliru mengenai fatwa yang Anda bawakan dari Syeh Utsaimin ( ada lima hal dan Andapun tidak bisa menjawabnya ).

        Sudah saya buktikan akan kebolehan acara tahlil atau dzikir setelah kematian menurut fatwa Syeh Prof. Dr. Ali Jum`ah.

        Sudah saya buktikan akan kebolehan keluarga mayit mengundang orang-orang untuk makan bersama di rumahnya dari makanan yang dihadiahkan ke mereka, menurut fatwa Ibnu Baz.

        Sudah saya buktikan duduk dan berkumpul untuk makan bersama di rumah ahli mayit boleh sebagai penafsiran fatwa Ibnu Baz di atas.

        Sudah saya buktikan bahwa Anda mudallis / pemalsu arti atsar riwayat Jarir dengan ditambahi kalimat ” YANG DILARANG ” dalam kalimat terakhir atsar itu.

        Sudah banyak bukti, tinggal Anda mau menyadarinya atau tidak. Semua bukti itu tidak bisa dibantah oleh Anda.

        KOMENTAR ANDA :

        sekarang anda bisa membuktikan kalo para sahabat tahlilan dalm kematian
        atau rasululloh juga bertahlilan karna beliau lah yang mengajarkan tentang mayit,

        Tanggapan saya :

        TIDAK ADANYA CONTOH DARI SAHABAT ATAU NABI ITU BUKANLAH DALIL.

        Dalil adalah berdasarkan Al-quran dan sunah/ hadits dan ijma ulama.

        Adakah dalil yang mengatakan perbuatan yang boleh dilakukan umatnya adalah perbuatan yang ada contoh dari Nabi dan sahabatnya ?

        Tolong mana redaksi arabnya kalau Anda termasuk orang-orang yang benar.

        KOMENTAR ANDA :

        dalam anda berpegang dengan ulama mesir yang tanpa dalil itu bukan suatu kebenaran,kalopun ada dalil umum yang sudah di ingkari oleh para sahabat

        Tanggapan saya :

        Universitas Al-azhar adalah gerbang pembela ahli sunah wal jama`ah dan Syeh Ali Jum`ah adalah ulama yang tsiqoh dan banyak menjadi rujukan umat seluruh dunia.

        Kalau Anda mengatakan bukanlah suatu kebenaran maka artinya pendapat beliau adalah salah padahal beliau sesuai dalam fatwanya merujuk juga kepada ulama Hanafi.

        Artinya pula yang benar adalah Anda. A`udzubillah min dzalik…

        Syeh Ibnu baz juga mengatakan boleh makan bersama di rumah ahli mayit ( lihat fatwa di atas ) artinya pula boleh duduk dan berkumpul.

        Jadi ternyata Anda tidak mengikuti siapa-siapa.

        Anda telah berpamitan maka silakan saja tapi kalau Anda sadar atas kekeliruan Anda maka pikirkanlah apa yang telah kita bahas dan membuka hati.

        Mohon ma`af juga……

      • ya afwan
        untuk yang paling terakhir
        ada point penting yang perlu saya sampaikan tentang perkataan syaitoniah saudara imam agar pembaca berhati2
        imam berkata
        TIDAK ADANYA CONTOH DARI SAHABAT ATAU NABI ITU BUKANLAH DALIL.

        2Adakah dalil yang mengatakan perbuatan yang boleh dilakukan umatnya adalah perbuatan yang ada contoh dari Nabi dan sahabatnya ?
        ALIKUUM BI SUNNAHTI WE SUNNATI KULAFAAROSIDIIN

        INI DALIL bahwa kita harus mengikuti apa yang dilakukan dan diperintahkan dan apa yang didiamkan oleh NABI. dan para sahabat ketika nabi telah tiada karna para sahabatlah yang paling tau tentang sunnah bukan UNIVERSITAS AL,AZAR

        jadi bagaimana kita akan bisa menemukan kebenarankalo dalilnya universitas sedangkan nabi dan sahabat bukan dianggap dalil oleh syech imam hada kumulloh,adapun kami sodorkan dalil dari sahabat semua dianggap rancau dan dusta,

        sedangkan dia selalu berkata ilmia itu bohong belaka karna dia ngak ngerti apa yang disebut ilmiah
        malah dia mencatat 3 kesalahan saya yg di anggap rancau

        padahal yang namanya ilmiah itu harus bisa dibuktikan
        secara amaliyah,atau minimalnya ada bentuk perintah atau didiamkannya oleh nabi tentang amalan tersebut

        yang sesuai dengan qaidah dalam sunnah itu sendiri
        tahlilan kematian belum dikenal dimasa nabi dan sahabat bahkan dimasa para imam arba’ah

        kalo ada yang mengatakan ada maka dia harus bisa membuktikan bahwa para imam itu juga brtahlilan dalam kematian
        inilah yang disebut ilmiah
        sedangkan saudara syech imam yang selalu bicara ilmiah
        ini hanya omongan dusta
        dia tidak bisa mendangakan bukti

        KALO IMAM SAFI’I ITU BERTAHLILAN DALAM KEMATIAN
        sudah diminta sama saudara sukirno hady dan juga sama saya sekarang
        tapi malah ngoce kemana2 untuk menghindari dari hal itu

        coba anda baca ketika dia membahas masalh bid’ah hasana sama saudara SUKIRNO HADY
        ternyata saudara imam lari kebirit birit tanpa pamit
        setelah di buktikan oleh sukirno hady bahwah BID’AH HASANA itu memang tidak ada
        itulah contoh pembahasan ilmia yg benar

      • Untuk Saudara Hakim,

        Pertama,

        Anda itu mudallis pemalsu arti dari atsar Jarir, dengan menambahi kata ” YANG DILARANG ” dalam terjemahanya, padahal tidak ada kata itu dalam redaksi arab atsar itu ( Inipun tidak bisa dibantah oleh Anda ).

        Setelah saya sebut sebagai mudallis, selanjutnya Anda saya sebut dengan seorang yang mencuplik dan memotong komentar orang dengan maksud memelintirnya, itulah kebiasaan kelompok Anda.

        Pada Komentar saya : (saya postingkan lagi ) :

        TIDAK ADANYA CONTOH DARI SAHABAT ATAU NABI ITU BUKANLAH DALIL.

        Dalil adalah berdasarkan Al-quran dan sunah/ hadits dan ijma ulama.

        Adakah dalil yang mengatakan perbuatan yang boleh dilakukan umatnya adalah perbuatan yang ada contoh dari Nabi dan sahabatnya ?

        Itulah komentar/ tanggapan saya dengan tidak dipotong maknanya.

        Gampangnya begini kalau Anda tidak tahu maksud yang saya sampaikan :

        Penggunaan kata ” Harus ada contoh atau harus dilakukan oleh rosululoh ” adalah bukan sebagai dalil atas suatu perkara tetapi perkara itu harus ditimbang dengan ukuran Al-quran, hadits dan Ijma ulama.

        Jadi kalau suatu perkara tidak dilakukan oleh Rosululloh bukan berati perkara itu adalah haram karena ada acuan lain yaitu qaul nabi ( ucapan Nabi ), kalau ada qaul Nabi maka itu bisa menjadi dalil untuk suatu perkara, dan seterusnya.

        kOMENTAR ANDA :

        jadi bagaimana kita akan bisa menemukan kebenarankalo dalilnya universitas sedangkan nabi dan sahabat bukan dianggap dalil oleh syech imam hada kumulloh,adapun kami sodorkan DALIL DARI SAHABAT SEMUA DIANGGAP RANCU dan DUSTA,

        ( LIHAT HURUF BESAR )

        Dibagian mana saya mengatakan dalil atau atsar sahabat itu rancu dan dusta ?
        Tolong postingkan lagi komentar saya itu, kalau Anda termasuk orang yang benar ! ( Sudah menjadi kebiasaan kelompok Anda kalau sudah kehabisan amunisi maka akan mengumpat, mencaci, memelintir maknanya bahkan kalau bisa membunuh saya ).

        YANG RANCU DAN DUSTA ADALAH PEMAHAMAN ANDA YANG TIDAK SESUAI PENDAPAT ULAMA, BUKAN ATSARNYA DAN INI SUDAH SAYA BUKTIKAN TINGGAL ANDA JAWAB SAJA.

      • KOMENTAR ANDA :

        KALO IMAM SAFI’I ITU BERTAHLILAN DALAM KEMATIAN
        sudah diminta sama saudara sukirno hady dan juga sama saya sekarang
        tapi malah ngoce kemana2 untuk menghindari dari hal itu

        Tanggapan saya :

        Sudah saya katakan , kepada Anda dan juga Saudara Sukirno yaitu silakan komentar saya ditanggapi ( terutama Anda tentang 3 hal dan lima hal di atas yang sudah saya postingkan ), baru saya akan menunjukkan dalil-dalil yang menjadi acuan acara tahlilan setelah kematian.

        Anda meminta dalil, dan saya meminta syarat menjawab dalil tapi ko malah Anda muter-muter kemana-mana.

        Kalau saya muter-muter kemana-mana adalah karena saya menanggapi pernyataan Anda yang kemana-mana, bukankah yang memulai mengkritik kami itu Anda. Jadi saya hanya sebagai cermin saja dalam menanggapi komentar Anda.

        Sebaiknya Anda tidak usah bawa-bawa nama Imam Syafi`i kalau Anda tidak tahu ajarannya Imam Syafi`i, kata makruh saja menurut Imam Syafi`i begini tapi menurut Anda dibenci alias haram, malah tidak nyambung mas….

        kOMENTAR ANDA :

        coba anda baca ketika dia membahas masalh bid’ah hasana sama saudara SUKIRNO HADY
        ternyata saudara imam lari kebirit birit tanpa pamit
        setelah di buktikan oleh sukirno hady bahwah BID’AH HASANA itu memang tidak ada
        itulah contoh pembahasan ilmia yg benar

        TANGGAPAN SAYA :

        Diartikel mana saya berdiskusi dengan Saudara Sukirno kemudian lari terbirit-birit, Anda jangan mengada-ada. Malah Sudara Sukirno setelah banyak berdiskusi dengan saya malah pamitan ko, seperti Anda.

        Tapi bedanya, Anda sudah pamitan kemudian balik lagi tanpa salam, sedangkan Sukirno tidak balik lagi setelah pamitan.

        Kenapa saya pada artikel ini tidak membahas makna bid`ah lebih dalam ?

        Karena kalau saya bahas lebih dalam maka akan melenceng dari topik artikel lebih jauh lagi.

        Silakan Anda cari artikel di sini tentang bid`ah maka saya akan menanggapinya, seperti juga saya katakan ini kepada Saudara Sukirno.

      • Jangan kuatir mengenai pembahasan bid`ah sudah saya siapkan hidangan kitab-kitabnya untuk Anda pahami, bahwa memang benar ada bid`ah hasanah, silakan Anda baca kitab-kitabnya ya…sbb :

        1. Imam Nawawi : Tahdzib al asma` wal lughot ( 3/22 )
        2. Khasyiyah Syeh Ibnu Abidin al-hanafiy ( 1/376 )
        3. Syarah Shoheh Bukhori ( 11/126 ) karangan Badru Ad-din Al-aeni
        4. Syarah Al-Muwathto ( 1/238 ) karangan Muhammad Az-zarqoni al-malikiy
        5. Ahmad bin Yahya almalikiy dalam kitab Al-Mi`yar ( 1 / 357-358 )
        6. Al-Baehaki dalam kitab Manaqib As-Syafi`i ( 1/469 )
        7. Ibnu Hajar dalam Fatkhul Barri ( 13/267 )
        8. Ibnu Abdus As-salam dalam Qowaid Al-ahkam ( 2/172-174 )
        9. Syarah shoheh Muslim oleh Imam Nawawi ( 6/154-155 )
        10. Ibnu Hajar dalam Fatkhul Barri ( 4/298 )
        11. Ibnu Atsir dalam An-nihayah fi ghorib al-hadits (1/ 106-107 )

        dan banyak lagi yang menunjukkan bahwa ada bid`ah hasanah dan yang berpendapat adalah para syeh dari emapat Imam madzhab.

        Maaf pada artikel ini tidak akan saya bahas, silakan Anda cari artikel yang berkaitan.

  155. Mengenai Hadits : ( maaf Anda ko menuliskannya blepotan kayak begitu )

    Seperti kata Anda :

    ALIKUUM BI SUNNAHTI WE SUNNATI KULAFAAROSIDIIN

    Saya betulkan dengan melihat redaksi arabnya yaitu : ( sekalian saya kasih harokat )

    َعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ

    Alaikum bisunnati wa sunnati al-khulafa`ir roosidiin.

    ” Wajib atas kalian berpegang kepada sunahku dan sunah khulafaur rosidin.”

    Maksudnya : Kalian wajib berpegang kepada jalanku yang tsabit dariku baik itu wajib atau sunah dan jalan khulafaur rosidin karena mereka tidak akan beramal kecuali dengan sunahku sedangkan apabila ADA TAMBAHAN DARI MEREKA adalah karena pengamalan mereka terhadap sunah itu atau karena istinbat dan pilihan mereka terhadap sunahku ( Lihat Mirqotul mafatih ). ( LIHAT HURUF BESAR ).

    Kalau Anda melihat huruf besar itu maka jelas bahwa dalil itu malah menunjukkan adanya bid`ah hasanah, semoga Anda paham. Kalau tidak paham akan saya jelaskan mengenai hal ini.

    • tidak usa kamu jelaskan kami sudah cukup jelas tentang pembahasan bid’ah hasana.kamu dngan mas sukirno hady

      karna,pembagaian bid’ah itu tidak didukung dalil
      bahkan membingungkan

      sebab
      dalam pengertian bid’ah itu sendiri sesuatu yng belum ada contoh sebelumnya,
      jadi ngak ada
      yang namanya

      1bid’ah wajibah
      2bid’ah muharamah
      3bid’ah makruhah
      4bid’ah mandubah
      5bid’ah mubahah

      hukum yang disebut sebagai bid’ah diatas itu hanya secarah bahasa saja
      karna pada hakekatnya semua hukum 5 diatas itu sudah ada dan dikenal di jaman rasulullah

      contohnya rokok itu sudah ada pada zaman rasulullah
      hanya saja tidak dikenal oleh bangsa arab
      dan kalo rokok dihukumi MAKRUH/HARAM kedua2nya hukum itu sudah dikenal
      dan ada sejak jaman rasulullah

      sudahlah ana sudah paham ngak usah anda jelaskan
      dan saya juga paham yang anda beri hurup besar apa itu ma’sudnya
      JADI APA2 YANG DIKERJAKAN DIJAMAN SAHABAT itu semua sunnah
      kecuali ada sahabat yang mengingkari perbuatan itu
      seperti conto ketika abu mas’ud menginkari DIKIR BERJAM’AH

      kalo perbuatan sahabat itu itdak ada yg mengingkari maka ITU SUNNAH yg boleh kita amalkan
      tapi apakah ada ulama’ yg mengatakan
      kita boleh membuat syareat baru seperti usman bikin adan ke2 dalm sholat jum’at
      2 lalu kita boleh bikin sholat berjama’ah tahyatul masjid karna umar melakukan sholat tarawe berjama’ah

      afwan ana cukup disini aja wesalam
      kecuali anda memberikan bukti
      bahwa imam safi’i atau imam nawawi
      membikin suatu perkara bid’ah dalam beribadah bukan wasilah seperti bangunan dll karna itu suatu perkara yg mubah bukan bid’ah

      buktikan duluh nanti kita lanjut/atau saya akui kalo anda benar

      • Pendapat para Imam Madzhab dan termasuk golongan ulama salaf yang sebenarnya, mengatakan bid`ah hasanah nyata adanya, dan saya berpegang kepada pendapat ini dan cukuplah bagi saya berpegang kepada pemahaman mereka bukan Anda atau golongan yang mengaku-ngaku salaf tapi malah pendapatnya berseberangan dengan mereka.

        Cari saja mengenai bid`ah hasanah di sini ( di artikel yang membahas bid`ah ) dan komentari maka saya akan membahas dengan tuntas, pembahasan saya dengan Sukirno baru hanya sekelumit karena saya anggap menyimpang dari artikel ini ( bab tahlilan ).

        Kalau saya membahas mengenai adanya bid`ah hasanah mungkin bisa memakan waktu 3 hari 3 malam, makanya tidak saya bahas lebih jauh, malah akan menyimpang dari artikel.

        KOMENTAR ANDA :

        sudahlah ana sudah paham ngak usah anda jelaskan
        dan saya juga paham yang anda beri hurup besar apa itu ma’sudnya
        JADI APA2 YANG DIKERJAKAN DIJAMAN SAHABAT itu semua sunnah
        kecuali ada sahabat yang mengingkari perbuatan itu
        seperti conto ketika abu mas’ud menginkari DIKIR BERJAM’AH

        TANGGAPAN SAYA :

        Sa`ban alay, Anda merasa sudah paham terhadap hadits itu tapi tenyata hanya dilisan saja, tidak sampai ke pemahaman Anda.

        kOMENTAR ANDA :

        afwan ana cukup disini aja wesalam
        kecuali anda memberikan bukti
        bahwa imam safi’i atau imam nawawi
        membikin suatu perkara bid’ah dalam beribadah bukan wasilah seperti bangunan dll karna itu suatu perkara yg mubah bukan bid’ah

        Tanggapan saya :

        Yang namanya diskusi itu adalah pembahasan pembicaraan yang telah dibahas dahulu baru melanjut ke pembasan berikutnya biar tidak kabur dan menjadi jelas, siapa yang pemahamannya yang keliru dan tidak, itulah diskusi ilmiah, jadi menjadi runut tidak loncat-loncat dan mudah dipahami pembaca.

        Jadi jawab dulu atas tuduhan yang telah saya buktikan ( ada 3 dan 5 hal di atas tentang Anda ), jangan loncat-loncat pembahasannya seperti kebanyakan kelompok Anda.

        Bagi saya menunjukkan dalil yang menjadi landasan tahlilan, mohon maaf …sangatlah gampang ( namun sayapun minta syarat : tanggapi 3 dan 5 hal yang berkaitan dengan Anda ), gampang ko…..kalau merasa keliru pemahamannya tinggal minta maaf dan selesai, kemudian saya lanjutkan mengenai dalil-dalil tahlilan…..kenapa Anda malah muter-muter……

        Anda memaksa saya lalu kenapa saya dilarang memaksa Anda supaya menjawabnya padahal itu ada didepan mata Anda.

        Saya sudah biasa bermujadalah dengan orang-orang seperti Anda wabil khusus ma`a wahabiyiin, baik dengan berbahasa Arab ataupun Indonesia, banyak dari mereka membahas melenceng dari topik dan ini merupakan siasat mereka setelah bingung menjawabnya. ( Maaf saya tidak mudah terpancing …..)

        Kalau Anda merasa pembahasan ini cukup sampai di sini,bagi saya tidak apa-apa, malah ini menunjukkan bahwa tuduhan saya benar terhadap Anda ( pada 3 dan 5 ponit di atas ).

        Jadi bukan sembarang tuduhan karena disertai bukti. Wasslam.

  156. Telah kita saksikan uber-uberan dua pemikir yg diwakili oleh sdr. Sukirno dgn sdr. Imam. Masing-masing menghendaki kemenangan. Yang menang akan mengacungkan benderanya tinggi-tinggi dan kemudian memproklamirkan kebenarannya. Setelah masing-masing mengajukan argumentasinya sekaligus, tanpa sadar, membusungkan dada mereka dg cara meng”quote” kitab itu-kitab ini, Imam itu-Imam ini, ternyata tidak ada dan memang tidak akan ada yg menyatakan siapa pemenangnya. Bagaimana akan ada penyematan sang juara atau sang pemenang, kalau tidak ada wasitnya. Begitulah pergumulan Salafus salih dgn Majelis Rasulullah yg sama-sama Ahlus-sunah. Ini baru dalam satu item, yakni tentang Tahlilam dan Yasinan (akhiran “an” ala bahasa Indonesia bukan dlm gramatika bahsaa Arab). Akhirnya saya ingin mengatakan, bahwa kedua-duanya mentok, atau boleh jadi jalan terus tanpa ditemui tempat pemberhentian, tanpa ada final.
    Buka-buka Alquran, saya teringat kepada Alquran, QS23:51-56. Hanya satu ayat saja yg ingin saya angkat, yakni QS23:53 bahwa, pada gilirannya mereka memotong,(tidak meneruskan) urusan (yg dibawa para Rusul itu) di antara mereka, (amun melanjutkannya) ke dalam bentuk zubur-zubur (kitab-kitab), setiap kelompok (golongan) akan merasa bangga, senang, cocok dg pendapat masing-masing . Ayat ini diturunkan masih dalam periode Makkah di saat kaum Muslimin belum membentuk koloni (kalau mengikuti catatan sejarah, karena memang di antara kita termasuk para Imam dan juga kita semua, tidak hidup sezaman dgn Rasulullah atau para sahabat). Namun ternyata bila disubstitusi, hal ini masih sangat relevan dg zaman sekarang. Contohnya? Yaitu-lah yg kita saksikan antara murid atau pengidola habib Munzir lawan tertuduh Wahabi. Tokoh-tokoh seperti Imam Syafi’I , Bakhari, Muslim, Nawawi , Ibnu Taymiyayah etc., etc., cocok istilah zuburan pada QS23:53.
    Yang namanya : Setiap kelompok merasa bangga, senang, cocok , indah terhadap apa yang ada di sisi mereka-pun, sepertinya sudah menjadi suratan tangan manusia(atau fitrah) , sebagaiman disebutkan dlm QS6:108, :” ………Demikianl Kami telah menjadikan apa yg meraka kerjakan itu indah bagi mereka…..” Jangankan mereka sudah sudah tertimbun kitab mereka sendiri, lantaran saking banyaknya tumpukan kitab-kitab, sedangkan kanak-kanak yang masih senang dengan mainannya, ketika mainannya diganggu atau direbut, ngamuklah anak itu….. Yah, begitulah balada anak kecil dan juga balada orang pinter yg masih ke-kanak-kanakan (termasuk habibnya atau siapa saja yg masih – boleh jadi – harus mempertahankan pahamnya sampai benar-benar mati, bukan setengah mati lagi.
    Bukankah dlm Alquran sudah jelas bahwa seseorang hanya akan memperoleh (nilai, balasan, pahala) kalau ia sendiri yg melaksanakannya. Tidak ada transfer pahala, Dan Engakau (Muhammad) tidak akan dimintai pertanggungan-jawab ttg yg telah mereka kerjakan (terhadap umat terdahulu, boleh jadi termsuk orang yg telah mati mendahului kita). Dan maksud “Alladzina jaa-u mimba’-dihim …..” bukanlah orang yang duluan meninggal, tapi maksud ayat tsb adalah kaum Muhajirin.
    Yang masih mungkin kita laksanakan adalah : “Walaa tasubbuna yad’uuna minduunillahi, fa yasubbullaha ‘adwan bighairi ilmin. Kadzalika zayyanaa likulli ummatin ‘amalahum……….” Kenapa sunnah ini tidak kita laksanakan?. Terhadap yang beda agama saja, tidak boleh dicaci-maki, dihina atau dikata-katain .Kita ini masih stu agama, mengapa Ahlussunah begitu benci abis kepada Wahabi, wahabi benci kepada pada Syiah, NU ingin selalu menang atas Muhammdiyah, Muhammadiyahpun tidak mau kalah dari yg lainnya. Maka sebaiknya bertahkimlah kepada Alquran. Semuanya berlomba untuk memperoleh kemenangan. Indikasi kemenangan adalah banyak pengikut. Masih berlakukah Qaliilan matadzakkarun, Qaliilan maa tasykurun, Fa abaa aktsaran nasi illa kufuran pada zaman sekarang? Atau boleh jadi ayat ini sudah dimansukh? Yah…. kalau demikian akan nyuksruk atau kejedut lagi ke hadits, yang mengandung dan mengundang kontroversi.

    –> maaf…saya tidak melihat sbgmana anda. Bagi saya itu diskusi terbuka. Biar pembaca yg menilai.

  157. Ya saya termasuk pembaca juga. Dan saya melihat pada pernyataan terakhir Anda:

    Saya sudah biasa bermujadalah dengan orang-orang seperti Anda wabil khusus ma`a wahabiyiin, baik dengan berbahasa Arab ataupun Indonesia, banyak dari mereka membahas melenceng dari topik dan ini merupakan siasat mereka setelah bingung menjawabnya. ( Maaf saya tidak mudah terpancing …..)

    Kalau Anda merasa pembahasan ini cukup sampai di sini,bagi saya tidak apa-apa, malah ini menunjukkan bahwa tuduhan saya benar terhadap Anda ( pada 3 dan 5 ponit di atas ).

    adalah sebagaimana orang balapan (racing), tiba-tiba langsung mangacungkan bendera sambil mengtakan “saya menang, saya menang…….!”
    Karena itu, dalam diskusi yg tidak ada keputusan ini, saya – sekali lagi – mengqoute Alquran (juga biar pembaca yg menilai), bahwa untuk mengetahui siapa yang benar (menang) siapa yang kalah (salah) dalam ikhtilaf sekarang ini, adalah : “……wa inna rabbaka layahkumu baynahum yaumal qiyaamti fiima kanuu fiihi yakhtalifuun”.

    –> ehm.. anda tidak cermat, salah alamat. Kesimpulan anda hampir pasti keliru karena diambil dari hasil baca yg tidak cermat. Saya .. tuan rumah .. bukan mas Imam, mas Imam bukan saya.

    Siapa pun boleh komentar dan diskusi di sini. Bukan untuk menang-menangan, namun untuk mencari kejelasan dan kebenaran. Ternyata dari artikel dan diskusi …. (silakan ambil kesimpulan sendiri). Bacalah dengan cermat dan obyektif.

    Semoga petunjuk Allah menyertai pengunjung yang membacanya dengan hati bersih. amien.

  158. Memang benar semua ucapan sabda rasulullah ,rasulullah prnah berdoa :3 do,a rasulallah 2.di trma 1.tdk di terima.umat islam tdk akan mati kelapara ,yg ke dua sy lupa,yg ke tiga bhwa umat islam akan trpecah blh.sekarang org bodoh ikut komentar hukum allah padaha di katakan oleh para ulama yg sy dgr di mjls ta,lim baahwa perbeda,an itu rahmat klu yg ngomong prbeda,an itu org yg brilmu.lah ini baca alif aja msh bengkok bicara fikih .saudaraku,org yg selalu mmdang org lain lbh buruk dri dri kita hanya akan mendapatkan sifat setan.biaarlah ulama kita sj yg brbeda pndapat kita ikuti sj guru kita masing-2.Bukanya rasulallah prnh brsabda ;sahabat-2ku sprti bintang di langit siapa yg mgikuti pasti akan slmt.jadi tlg yg suka brmuka masam sama sdra muslim seyumlah.bnyk -2 ucap laailahaillah biar selamat.wassalam.

  159. Saya sangat setuju dengan apa yang sodara Dasuki katakan.

    Kalau saya sih diniyah aja gak lulus. Makanya apa-apa yang gak saya tahu ya tanya sama para kyai,para habib. Sekalian silaturahim dan didoakan. Hehehehe Gak berani baca buku yang macam-macam dan tak tahu maknanya. Takut tersesat.

    Wassalam

  160. Yang ingin saya tanyakan disini, kalau memang niatnya sedekah kenapa tidak ke anak yatim atau fakir miskin saja? kenapa harus tetangga?Saya rasa sedekah kepada mereka yang lebih membutuhkan lebih bermanfaat.

  161. assalamu’alakum.. diskusi yg sangat menarik. Saya sbg org awam sangt tertarik degan diskusi anda2.
    Menurt saya(boleh dibantah), dalil2 yg digunakan antara sdr imam (pengidola habaib,menurt saya) dan saudara sukirno (yang kata sdr imam dia adl wahabi) sama2 kuat, hanya saja cara penafsiran anda2 yg berbeda, selain itu saya rasa diskusi anda2 sedkit melenceng dari topik. Anda2 hanya berkutat pada mslh menghidangkan jamuan, sedangkan topik disini yg lebih penting adalah masalah RITUAL tahlilannya..
    Untuk masalah jamuan saya agak sependapat dg sdr imam, yg mengatakan bahwa hukumnya makruh (berdasarkan hadist yg disebtkan sdr Imam diatas), dimana hukum makruh menurut ulama fikih jika dilakukan ndak apa2, tpi jika ditinggalkan mendapat pahala. (conth: Allah tidak melarang orang untuk bercerai,tetapi membencinya), dan akan mjd haram jika cara mendapatkan hidangn jamuan dengan cara yg batil(contoh: berlebihan ato bahkan sampai menggunakan harta ahli waris tanpa seijinnya), selainitu jika menurut sdr Sukirno makruh menurt Imam Syafi’i berarti haram lalu apa sebutan haram menurut Imam Syafi’i??(jika sdr Sukarni bisa mengemukakan dasar dalilnya scr logis InsyaAllah saya akan rujuk dg pendapat anda)
    Berikutnya adalh masalah RITUAL tahlilan, sebelumnya saya hanya ingin sekedar mengingatkan kpada sdr2. Syarat diterimanya suatu ibadah itu ada dua, yakni ikhlas Lillahita’ala, dasrnya adalah Syahadat kita yg pertama (bukankah kita diperintahkan untuk hanya beribadah kpd Allah??) dan yg kedua adalah harus sesuai dengan sunnah Rasulullah, dasrnya adlah syahadat kita yg kedua. Kedua syarat itu hars terpenuhi agar ibadah kita diterima oleh Allah.JIka ada yg meragukan kaidah ini, tolong disertakan hujahnya. Lalu yg menjadi pertanyaan adalah, adakah hadits yg secara jelas menunjkkan tentang adanya RITUAL TAHLILAN?? kalau kita lihat dalil2 yang dikemukakan sdr Imam diatas hanya memakai dalil yg bersifat umum, contoh untuk masalah sedekah, sebenarnya tdk ada perbedaan antara pendapat sdr imam dg sdr Sukirno, dimana mereka sama2 mengaku ahlussunnah wal jama’ah, yg meyakini sampainya/bermanfaatnya pahala sedekah kepada sang mayit..akan tetapi yg menjadi masalah adlh bagaimana cara kita bersedekah…apakah Rasulullah sallallahu’alahiwasssalam tidak mencontohkan cara bersedekah?? kalau ada diantara saudara yg mngatakan tidak ada contohnya, berarti sdr hars lebih byk lagi belajar agama. Tata cara bersedekah menurut contoh dari Rasulullah ya hanya dengan memberikan harta atau makan kpd orang yg kita kehendaki misal fakir miskin ato ank yatim tanpa adany tambahan ritual ataupun bacaan2 tertentu.. Lalu untuk apa kita mengadakan tambahan ritual2 ato bacaan tertentu (acara Tahlilan) yg bahkan ritual tersebut kita tiru dari agama lain?? apakah sdr kurg merasa yakin atao mungkin kurang terima dengan contoh ibadah dari Rasulullah?Bukankah sebaik2nya petunjuk itu dari Rasulullah? itu sebenarnya yg menjadi masalahnya..bukan masalah sedekah ato baca al qur’an yg menjadi masalahnya, tapi TATA CARA (RITUAL) NYA, itu!!. Contoh kira2 jika kita sholat pake cara kita sendiri tidak pake cara Rasulullah bgimana? boleh apa tidak? ataupun kita berpuasa tapi tdk dg cara berpuasanya Rasulullah, misal puasa putih yg hanya boleh berbuka dg makanan tertentu, ato puasa ngebleng yg tidak berbuka satu hari penuh??? kira ibadah2 semacam itu diterima apa ndak?? sudah memenuhi syarat diterimanya ibadah apa ndak??? Mari kita sama2 berfikir..Bukankah Rasulullah sudah mengajarkan seluruh tata cara ibadahnya…lalu untuk apa kita membuat ritual ibadah yg tidak dicontohkan Rasulullah???
    Berikutnya lagi untuk masalah pembagian bid’ah, lepas dari perbedaan pendapt tentang dibaginya bid’ah mjd bebrapa macam, kita sama2 sepakat dg adanya bid’ah itu sendiri dimana arti bid’ah tsb adlah sesuatu yg baru dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia..LAlu yg menjadi pertanyaan adalah, kalo kita sama2 mengaku bagian dari golongan Ahlussunnah wal jama’ah, knp kita tidak hanya mengamalkan amalan yg sunnah saja,yg sudah jelas dasarnya??? Sedangkan RITUAL tahlilan yg ada sekarang ini tidak pernah dilakukan oleh Rasul, sahabat Tabi’in,bahkan dikalangan imam 4 Madzhab pun tidak ada /tidak pernah dilakukan. Jika ada yg mengatakan pernah melakukan, tolong tunjukkan dikitab mana yg menyebutkan detail ttg tatacara tahlilan..misal hrs 3,5,7,40,100hari,dll Tentunya sdr2 akan mengatakan tidak ada. Kalopun anda masih ngotot dg menggunakan dalil yg bersifat umum, atopun mengatakan bahwa yg anda lakukan adl. termasuk bid’ah khasanah (menurut anda), maka saya katakan berarti anda bukan termasuk golongan ahlussunnah wal jama’ah melainkan ahlul bid’ah khasanah wal jama’ah….ato jika yg anda gunakan adalah pendapat Imam Syafi’i yg mengatakan makruh hukumnya dalam masalah jamuan makan setelah kematian, bukan haram (padahal arti makruh disini, walau mungkin tidak sampai taraf haram, tapi kita sepakat bahwa Imam Syafi’i membencinya dan tidak pernah melakukannya). Maka anda juga bukan termasuk gol’ ahlussunnah wal jama’ah, melainkan ahlul makruh wal jama’ah. Karena tidaklah gol ahlussunnah akan melakukan ibadah makruh apalagi haram..
    Maaf jika ada kata yang salah, mohon koreksinya… karena saya adl. manusia biasa yg tak lepas dari salah dan dosa.

    • Untuk Saudara Styabayu,

      Andaikan Anda menuliskan komentar Anda dengan dilengkapi spasi maka akan dapat mempermudah pembaca memahaminya, walau begitu saya akan mencoba menangkap inti dari komentar Anda, yaitu :

      1. Hukum perjamuan makanan setelah kematian berhukum makruh ( sudah saya jelaskan panjang lebar dari komentar saya yang pertama sekali – untuk hal ini tidak saya jelaskan lagi )
      2. Dalil ritual tahlilan
      3. Tata cara ritualnya
      4. RITUAL tahlilan yg ada sekarang ini tidak pernah dilakukan oleh Rasul, sahabat Tabi’in,bahkan dikalangan imam 4 Madzhab pun tidak ada /tidak pernah dilakukan.

      Kurang lebih 4 hal di atas akan saya bahas (kecuali No : 1 ), Insyaalloh ( pada waktu yang tepat ).

      • Assalamu’alaikum Wr. Wb.
        Pak Imam yang dirahmati Allah SWT.

        Saya bangga dengan penjelsannya yang begitu santun, sabar dan penuh kebijakan. Di sini saya hanya menghimbau kepada seluruh kaum muslimin/muslimat umat Rasulullah SAW, agar jangan memperkarakan yang jelas2 hukumnya (masalah Tahlilan dst) terkait di tempat kematian.
        Saya berikan contoh di keluarga saya. Suatu ketika kakak ipar kami meninggal, semua pelayat kami bagi dengan uang karena niat kami bersedekah untuk kakak kami yang begitu besar jasanya kepada kami dan rasa kasih sayang kami kepada beliau kami ungkapkan dengan perbuatan itu. Apalagi ini terjadi kepada Ibu/Bapak/Anak/Adik orang-orang yang sangat berarti dalam kehidupan kita. Maka andainya saya diberikan kemampuan oleh Allah SWt, untuk bersedekah, Tahlil (beramal Sholih/Doa) maka akan saya lakukan setiap hari tidak menunggu Seminggu, 40hr, 100hr lebih2 1000hr.

        KESIMPULAN: SAYA AKAN BERUSAHA SEKUAT TENAGA UNTUK SENANTIASA MEMBERI SEBANYAK MUNGKIN KEPADA ORANG YANG KITA CINTAI DAN KITA SAYANGI (Baik Masih Hidup/Sudah wafat) SAMPAI MAUT MENJEMPUT.

        Wallahu A’lam Bisawab.
        Wassalam.

    • Alhamdulillaah penjelasan nya cukup jelas dan terang, terutama untuk saya yang awam. semoga Allah. Swt selalu membingbing kita di jalan yang di ridhoinya. amiin

  162. Udah Mas anak buahnya MUNZIR MUSAWA, akan selalu ngeles kaya bajay….. ga tau aturan, srobot sana srobot sini
    MUNZIR MUSAWA AJA suka nanya mana dalil larangannya ?
    Kalau kita sholat subuh ditambah jadi 5 rakaat kan baik, ga ada larangannya… mungkin itu yang dimangsud si MUNZIR MUSAWA

    –> yaa beda mas .. yang satu sunnah, semakin banyak diamalkan semakin banyak pula pahalanya. Yang satunya lagi sudah diatur ketat syarat rukunnya. Jelas beda tohh mas.

    • Untuk Saudara Seagade,

      Penyerupaan hukum atau pengqiyasan Saudara adalah lemah, dimana ?
      Letak kelemahannya terletak pada hukum yang sudah jelas-jelas qot`i disandingkan dengan perkara yang tidak mempunyai dasar yang qot`i yang disini bisa masuk perkara ijtihad.

      Sholat subuh dua rokaat adalah berdalil qot`i demikian juga sholat dzuhur dan asar 4 rokaat sudah berdalil qot`i jadi tidak bisa dimasuki perkara ijtihad dalam jumlah rokaatnya,

      Jadi penambahan rokaat solat subuh dari dua rokaat menjadi 5 rokaat sudah jelas-jelas perkara bid`ah dolalah karena melawan dalil qot`i.

      Untuk mencari dalil qot`i jumlah rokaat sholat wajib silakan Anda cari sendiri hadits-haditsnya. (maaf).

      Berbeda dengan acara tahlilan, maulid Nabi dan Rajaban misalnya. Acara itu jelas masuk wilayah ijtihadiyah.

  163. sebenarnya tahlilal itu bukan merupakan hal yang wajib tapi cuma merupakan kebaikan yang bernilai shodaqoh… jadi ngga usah lah diributin karena sampai hari kiamatpun ngga akan selesai, sekarang yang penting jaga persatuan umat islam dengan saling menghormati bukan saling membenci atau saling menuduh. yang mau tahlil ya silahkan karena didalam tahlilan kita berzikir kepada Allah, kita mengagungkan Allah dan kita bermunajat kepada Allah dan Allah cinta kepada hamba-hambanya yang berbuat demikian, dan yang ngga suka tahlilan mbok ya jangan mencela, memaki dan menghukumi bid’ah atau kafir karena memang sudah jelas apa yang dikatakan oleh para ulama salah satunya Habib Munzir, dan kita bermunajat kepada Allah semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua. Amin yaa robbal ‘alamin…..

    • Adanya bid’ah atau bukan bid’ah, itu diperoleh dari penelusuran keilmuan, kalau hanya sebatas ungkapan apologetik, sebaiknya tidak pula diungkap.

  164. Assalamu’alaikum Wr. Wb…
    cuma mau beri sedikit komentar ah..hehe
    nyembah kepada Gusti Allah koq pecicilan.. yang tahlilan ya monggo dan yang gak mau tahlilan ya jangan ngegangguin yg tahlilan.. jd inget Syiir Tanpo Watonnya Almarhum Kiyai Gus Dur yg bunyinya,”akeh kang apal Qur’an Haditse seneng ngafirke marang liyane,kafire dewe dak digatekke yen isih kotor ati akale”.. Jangan sibuk ngurusin orang kalo diri kalian sendiri masih kotor hati dan akalnya.. Inget deh cuma Iblis yang selalu merasa paling benar sendiri dan juga berusaha untuk mencegah hamba Allah untuk beribadah,berdzikir,bertahmid,bertakbir dan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW..
    Buka hati dan pikiran supaya gak mengedepankan nafsunya untuk mencemooh dan mengejek suatu kelompok yg gak sependapat dengan kita..
    Jauh lebih baik orang_orang yang berkumpul untuk berdzikir kpd Allah dan bersholawata kepada Nabi daripada kelompok orang-orang yang berkumpul untuk mencari-cari kesalahan golongan yg lain yang belum tentu perbuatan golongan yang dianggap salah itu memang benar-benar salah.. Hati-hati deh dalam bertndak dan berfikir.. Takutlah kepada Allah,

    wallahu a’lam bis showab

    • menyalahkan pihak lain sebenarnya menunjukkan kelemahan diri kita sendiri, jadi lebih baik perbanyak dzikir mengingat Alloh SWT dalam segala hal dimanapun dan kapan pun, maka akan ditinggikan dan ditunjukkan kepada kita kebenaran Alloh yang sesungguhnya. Kita akan menyadari akan kebenaran kalimat Hauqolah

      لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِالله
      ” Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Alloh” maka hendaklah kita perbanyyak dzikir sehingga kita senantiasa mengagungkan kebesaran dan kebanaran Alloh.

      • Memang seperti itulah tujuan agama. Namun tidaklah cukup sebatas dzikrullah dan atau berbanyak shalawat bagi Rsulullah SAW saja. Masih banyak lagi hal-hal yang juga merupakan bagian dari agama. Memahami sejarah perjalanan agama, sejak Rasulullah SAW bangkit dari gua Hira, berlanjut hingga deklarasi (khutbah) Hijjul Wada’, wafat dan sepeninggal Rasulullah SAW hingga kini, sehingga agama bergerak tanpa nabinya, perjalanan agama menggelinding begitu jauh laksana gelindingan bola salju (mengikuti gaya bahasa, sekalipun di Indonesia belum pernah ada salju, apa lagi sampai menggelinding). Dalam perjalanan agama yang telah begitu lama atau panjang (2012 minus 610=1402 tahun), di sana-sini muncul tambahan-tambahan (dan boleh jadi banyak pengurangan atau penghilangan) dan di sinilah perluya kaji ulang atau kritisi, dan dari sini pula kita akan melihat tentang luasnya wawasan agama seseorang. Sebatas ikut-ikutan atau taklid, maka karena ini-lah kaum muslimin dijuluki ‘awwam. Tidak boleh mengikuti sesuatu tanpa mengilmuinya terlebih dahulu merupakan syariat (=jalan yang harus dilalui) dalam beragama. Duduk bersama, berbagi pandangan dibarengi hati yang dingin dan bersih, itulah jalan keluarnya. Menyatakan bahwa se-seorang mengikuti hawa nafsunya atau mengikuti iblis, itupun sama-sama berpotensi, mengkafirkan orang lain.

      • Untuk Saudara Akiadnani,

        Anda seolah mengajak kita untuk mengkritisi tambahan2 dalam agama, namun tidak semua orang sempat dan mempunyai ilmu untuk mengkritisi mengenai hal itu. Dari sini muncullah orang yang disebut dengan bertaklid.

        Apabila kita diajak untuk mengkritisi pendapat para Imam Madzhab dan para tokohnya.

        Menurut saya kita bukanlah sekaliber mereka. Jadi sungguhlah berat untuk mengkritisi mereka, jangan-jangan malah kita akan nyasar.

        Bagi orang yang mampu keilmuannya dan punya kesempatan untuk menelaah pendapat2 para tokoh madzhab maka kita cukuplah menelaah kajian dalil2 yang mendasari dari pendapat2 itu.

        Sebagai contoh saja tentang kekeliruan Anda dalam menelaah perkataan dari saudara kita – Joko sbb :

        KOMENTAR SAUDARA JOKO

        MENYALAHKAN PIHAK LAIN sebenarnya menunjukkan kelemahan diri kita sendiri, jadi LEBIH BAIK perbanyak dzikir mengingat Alloh SWT dalam segala hal dimanapun dan kapan pun

        Lihat huruf besar !!!

        Lebih baik perbanyak dzikir dari pada menyalahkan pihak lain. Inilah bahasan pokok dari pernyataan saudara Joko.

        NAMUN….ditanggapi oleh Anda yang tidak nyambung, dimana ?

        Ketidaknyambungan Anda terletak pada pokok masalah yang dikaji Saudara Joko.

        Sdr Joko sedang membandingkan sesuatu yang buruk dengan yang baik, sehingga logis Saudara Joko mengatakan lebih baik berdzikir dari pada menyalahkan orang lain.

        Namun Anda menanggapinya dengan perkataan sbb :

        Namun tidaklah cukup sebatas dzikrullah dan atau berbanyak shalawat bagi Rsulullah SAW saja. Masih banyak lagi hal-hal yang juga merupakan bagian dari agama.

        Saudara Joko tidak sedang mengatakan cukup atau tidak cukup dalam masalah agama.

        Dari sini saja Anda sudah kelihatan salah dalam mengkritisi Saudara Joko lalu bagaimana Anda bisa mengkritisi para Imam Madzhab dan tokoh2nya ?

        Mengenai pernyataan Anda :

        Menyatakan bahwa se-seorang mengikuti hawa nafsunya atau mengikuti iblis, itupun sama-sama berpotensi, mengkafirkan orang lain.

        Jawab saya :

        لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به

        Nabi bersabda : Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti kepada apa yang telah datang kepadaku.

        Qola An-nawawiyyu fi arba`iinih hadza haditsun shohiihun

        ( Berkata Imam Nawawi dalam kitab Arbain bahwa hadits ini shoheh.

        Bagaimana komentar Anda ?

      • Ass. Kalau jawaban itu tidak mengena kepada sasaran, yang terjadi atau yg muncul adalah sengketa. Sepertinya saya sudah jenuh dengan debat atau adu argument melalui internet seperti ini. Kalau memang Anda tidak berkapasitas untuk mengkaji ulang, biarlah mereka yang memilki kemampuan untuk itu. Kalau Anda mengikuti ajakan Mas Joko, untuk dzikrullah, Insya Allah sayapun selalu seperti itu, Demikian pula bila Anda menganggap saya keliru,atau Anda tidak merasa keliru, biarkanlah Alquran yang saya kuasai atau hadits yang saya fahami, berada di sisi saya. Anda memperoleh agama melalui cara Anda, sayapun Insya Allah dengan cara-cara saya. Berat atau ringanmya seseorang menghadapi masalah (ilmu) keagamaan hanya dirinyalah yang tepat menimbang. Siapapun yang mengaitkan apapun dengan agama adalah bertujuan baik di hadapan Allah. Ketika para ulama (yg kemudian diklaim imam) meneliti hadits-hadts, sehingga kemudian muncullah hadits shahih dan dhaif plus berbagai jenis sebutan hadits (a.l: hadits qudsi) adalah bertujuan baik. Ketika Imam Zamakhsyari menyampaikan analisisya, dimana banyak gagasannya ditolak banyak ilmuwan, iapun bertujuan baik. Ketika Wahabi tampil mewarnai bumi Arab, meski dicerca kelompok sunnah waljamaah (Indonesia) juga bertujuan liwajhillahi ta’ala, Tentu saja, tujuan baik seseorang belum tentu baik di hadapan sesama manusia.Bersitegang mengangkat pandangan dari berbagai kitab karya para ulama idolanya, tidak memiliki potensi mendamaikan bumi Islam agar bersatu. Yang pasti adalah memicu menjamurya firqah-firqah. Yang pada gilirannya: Kullu hizbin bimaa ladayhim farihuun.Berpegang kepada: Hal jazaa-ul ihsaan, illal ihsaan, adalah salah satu dari banyak kunci guna mencapai ketenangan/kedamaian bagi masing-masing pribadi.Wassalam.

      • Untuk Saudara Akiadnani,

        Komentar saya sebelumnya sudah menjelaskan bahwa komentar Anda terhadap Saudara Joko tidak nyambung dan saya sudah menunjukkan ketidaktepatan Anda.

        Penunjukan itu adalah untuk menunjukkan : Bagaimana mungkin kemudian Anda memahami Al-quran dan Hadits berdasarkan analisa pertimbangan Anda sendiri ataupun pertimbangan setiap individu padahal dia sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu.

        Serahkan kepada Ahlinya adalah itu perintah Al-qur`an bukan menimbang menurut diri masing2 tanpa dilengkapi perangkat pemahaman dalam agama.

        Sebagai contoh, Anda mengatakan (DALAM KOMENTAR SEBELUMNYA) :

        Bukankah dlm Alquran sudah jelas bahwa seseorang hanya akan memperoleh (nilai, balasan, pahala) kalau ia sendiri yg melaksanakannya. TIDAK ADA TRANFER PAHALA.

        LIHAT HURUF BESAR

        Jawab saya :

        Kita buka Surat An-Najm : 39

        وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

        Artinya :

        “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

        Bagaimana penafsiran ahli tafsir mengenai ayat tersebut ?

        Silakan buka tafsir Al-Bughowi, berikut redaksinya :

        وقال ابن عباس : هذا منسوخ الحكم في هذه الشريعة ، بقوله : ” ألحقنا بهم ذريتهم ” ، ( الطور – 21 ) فأدخل الأبناء الجنة بصلاح الآباء

        Berkata Ibnu Abbas : ayat ini ( An-Najm :39 ) telah dihapus hukumnya dalam syareat ini ( Islam ) dengan Surat At-Thur : 21 – arti lengkapnya – “Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, KAMI HUBUNGKAN ANAK CUCU MEREKA DENGAN MEREKA,

        Maka oleh karena itu anak-anak dimasukkan ke surga karena kesolehan bapak-bapaknya.

        وقال عكرمة : كان ذلك لقوم إبراهيم وموسى ، فأما هذه الأمة فلهم ما سعوا وما سعى لهم غيرهم ، لما روي أن امرأة رفعت صبيا لها فقالت : يا رسول الله ألهذا حج ؟ قال : ” نعم ، ولك أجر ” .

        Berkata Ikrimah : ayat itu diperuntukkan bagi kaum Nabi Ibrohim dan kaum Nabi Musa, sedangkan untuk umat ini ( Islam ) bagi mereka mendapatkan balasan apa yang mereka kerjakan dan juga mendapatkan balasan apa yang dikerjakan orang lain untuk mereka.

        Hal ini berdasarkan riwayat bahwa “Ada seorang wanita yang sedang menggendong anaknya dan berkata, “Apakah bagi anak ini juga memiliki keharusan haji?” beliau menjawab: “Ya, dan kamu juga mendapatkan ganjaran pahala.”

        وقال رجل للنبي – صلى الله عليه وسلم – : إن أمي افتلتت نفسها ، فهل لها أجر إن تصدقت عنها ؟ قال : ” نعم ”

        bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam: “Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bershadaqah untuknya (atas namanya)?”. Beliau menjawab: “Ya, benar”.

        وقال الربيع بن أنس : ” وأن ليس للإنسان إلا ما سعى ” يعني الكافر ، فأما المؤمن فله ما سعى وما سعي له

        Berkata Ar-Rabi` bin Anas : ayat “ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Yaitu untuk orang kafir sedangkan untuk orang mukmin mendapat balasan dari apa yang ia kerjakan dan juga apa yang orang lain kerjakan untuknya.

        وقيل : ليس للكافر من الخير إلا ما عمل هو ، فيثاب عليه في الدنيا حتى لا يبقى له في الآخرة خير

        Dikatakan : “ Tidak ada kebaikan untuk orang kafir kecuali apa yang ia kerjakan dan akan mendapat balasan di dunia saja sehingga tidak ada tersisa kebaikan baginya di akherat.

        Dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengindikasikan bahwa adanya tranfer pahala ( atau silakan Anda lihat benar-benar isi artikel dan komentar-komentarnya. Terimakasih.

    • Bila QS53:39 telah dimansukh oleh QS52:21, itu kan menurut ilmu Nasikh-Mansukh, bahkan saya ingin menambahkan yg menasikh QS53:39 itu, dengan sebagian ayat pada QS4:11 …Abaaukum wa abnaa-ukum, laa tadruuna ayyuhum aqrabu lakum naf’an….. Kalau saya tidak setuju ilmu nasikh-mansukh, belum ada ayat yg mengkafirkan atau memurtadkan orang yg tidak setuju dg ilmu nasikh mansukh. Saya hanya ingin mengetengahkan bahwa agar QS52:21 difahami dengan sempurna. Bila Anda keberatan mengkaji surah Ath=thur dari ayat 1, setidaknya kaji dari ayat 11 hingga ayat 16, itulah kelompok penduduk neraka. Lalu Anda lanjutkan ke ayat 17 hingga ayat 28, nah inilah kelompok ahli surga. Pada bagian inilah penyatuan orang-tua dan anak-anaknya disatukan (karena kedua-duanya bapak/ibu dan anak-anaknya memang sudah berada di surga) Bahkan pada akhir ayat (QS52:21) disebutkan dg tegas: …..Wa kullum-ri in bimaa kasaba rahiin…….. Kata basahasa kitanya: Tiap-tiap manusia terikat (ditentukan) dengan apa yang telah dikerjakannya. (Kasaba : past tense: it means: ia telah mengerjakan/waktu hidup di dunia). Silahkan mau pake gagasan Ibnu Abbas, Ikrimah etc., etc., atau ikut ayat yg pure di Alquran. Tapi memang, kalau kagak punya alat-alatnya, mau ambil air kelapa aja susah. Demikian pula, gara-gara tidak punya alatnya memahami Alquran-pun teu becus.

  165. Assalamualaikum…
    habib semoga penyakit mu di angkat oleh Allah swt.
    ane mau nanya ada gak habib kalo ilmu sihir dan ilmu santet itu di jaman rasulillah saw..

    maaf habib kalo pertanyaan alfaqir kurangsopan kpda habib”’

    atas jawabannya alfaqir mengucapkan trima kasih..

    Wassalam…

  166. Assalaamu’alaikum untuk semuanya,

    Apa saja yang merupakan ucapan, perbuatan, atau hal-hal yg tidak dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka janganlah ada yang membantah /mendebatnya/menyelisihinya.

    Semoga nasehat2 orang-orang bijak di bawah ini menjadi penutup debat yg sangat melelahkan:
    1. Nabi Muhammad shållallåhu ‘alayhi wa sallam
    “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.”
    (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah)
    2. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
    Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:
    “Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.”
    [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
    3. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa
    “Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.”
    [al-Fakihi dalam Akhbar Makkah]
    4. Abud Darda radhiyallahu ‘anhu
    “Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam dzikir tentang Allah.”
    [Darimi: 299]
    5. Muslim Ibn Yasar rahimahullah
    “Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.”
    [Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra; Darimi: 404]

    Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Barakallaahu fiikum.

    –> wa’alaikum salam wrwb. Kami tidak memancing debat. Kami hanya mengeluarkan dalil ttg amalan kami. Silakan dinilai, apakah dalil kami kuat atau ngawur (hanya debat saja).

    Mohon maaf kl tak berkenan.

  167. He…he…memang sekarang zamannya modifikasi, semua-semuanya dimodifikasi, sampai-sampai syari’atpun dimodifikasi, sehingga kayaknya sih islam ini kurang sempurna, padahal Alloh telah memvonis di dalam surat al-maidah ayat 3 bahwa islam ini sudah sempurna, banyak orang yg mempunyai sanad sampai Rasululloh, namun terkadang hanya sebagi cap saja untuk mem-verifikasi pendapat-pendapatnya. Islam itu mudah Koq..kalau Rasululloh tidak melaksanakan/memerintah ya nggak usah kita laksanakan, kalau Rasululloh memerintahkan ya kita laksanakan…Ketahuilah para Pembaca yang di muliakan Alloh..Islam itu sangat komplek

    Tulisan-tulisan di atas adalah sangat mencerahkan, yang perlu dicermati apakah Rasululloh pada saat meninggal dunia, para sahabatnya juga mengadakan tahlilan, atau yasinan ?, begitu juga apakah ada para sahabatnya (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) pada saat meninggal dunia keluarga mereka mengadakan tahlilan ?, kepada yang masih awam seperti saya, maka marilah kita kerjakan saja dulu yang shahih lagi sharih seperti kita kerjakan aja rukun islam dan iman semaksimal mungkin. Mohon jangan ada yang marah sama saya ya.. karena saya belum menemukan riwayat yang menyatakan bahwa keluarga Rasululloh/sahabat beliau mengadakan Tahlilan dan Yasinan 3 hari, 7 hari, 40 hari untuk memperingati yg wafat. ingat para sahabatpun yg begitu cinta sama Rasululloh saja nggak tahlilan dan yasinan di rumahnya Rasullulloh pada saat beliau wafat.

    Demikian semoga kita tidak termasuk orang-orang yang suka memodifikasi syari’atnya Alloh dan Rasul-NYA. Amiiin.

    –> iyaa mbak .. tidak hanya tahlil atau yasin, atau 3 7 40 hari saja. Para sahabat yg begitu cinta sama Rasululloh itu membaca al Qur’an setiap hari. Namun itu bukan berarti kemudian amal ini terus menjadi sesat hanya gara2 tidak setiap hari dan tidak seluruh al Qur’an yg dibaca.

    Kami tidak memodifikasi syariat manapun. Syariat mana sihh yg dimodifikasi hanya karena ada orang baca tahlil. Apakah syariat berubah hanya gara-gara ada orang baca yasiin tidak setiap hari. Lucu… Justru yang mengharamkan/mensesatkan itu yg memodifikasi syariat. Hal yg tak haram kok diharamkan, hal yg tak sesat kok divonis sesat.

    Artikel justru menjelaskan bahwa amalan kami, tahlil dan yasiin, ada dalilnya. Tidak sesat.

    Amien atas doanya.

    • Hati2 dng hadits krn ada yg palsu.. klo hadits dari org anshar atw tdk disebutkan namanya kq dipake ya terserah kamu. Hadits yg gk jls bgtu periksa dlu sanad n perawi nya jgn asal caplok, kena yg dlaif baru tau lo…

  168. Assalamu’alaikum.
    Yuup…. Syari’at itu tentunya sama sebagaimana yang diturunkan Alloh kepada Rasulnya untuk setiap umat Rosululloh,…yang saya ketahui koq beda syariat tahlilannya antara daerah satu dengan daerah yang lain, misalnya : kalau di Pulau Lombok- NTB, tidak dikenal tahlillan dan yasinan pada hari 3,7 yang dikenal adalah mulai dari hari pertama sampai hari ke-9 yang disebut “NYIWAK”, kalau di Jawa pada umumnya mulai hari pertama sampai hari ke-7..beda ‘kan Pak…bagi saya, koq syaria’at tahlilan dan yasinan-nya nggak sama… hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Tahlillan dan Yasinan merupakan perpaduan antara ADAT dan SYARI’AT AGAMA, inilah pengertian saya tentang modifikasi tersebut, tapi kalau dianggap hal itu tidak termasuk dalam ranah “modifikasi” ya nggak apa-apa..

    Kepada Abang Admin yang baik atau siapa saja…mohon saya ditunjukkan satu saja ATSAR/RIWAYAT yang dapat dipertangungg jawabkan ke shahiannya tentang adanya TAHLILLAN dan YASINAN 3,7,40 hari yang dilakukan oleh Rosululloh dan para sahabatnya..maklum bang, saya baru baca buku agama dikit-dikit, jadi saya agak lebay-lah… kalau baca Alqur’an sih boleh-boleh aja, malah dianjurkan tapi tidak untuk membaca al-qur’an 24 jam non stop..justru kalau membaca Al-Qur’an 24 jam non stop tiap hari tidak dibolehkan…terus kapan sholatnya….lebay lagi ya bang, karena semua yang dinamakan ibadah pastinya ada tata caranya, sedangkan tahlillan dan Yasinan koq tata-caranya beda-beda antara daerah satu dengan yang lainnya.
    Semoga Abang Admin yang baik dan pembaca yang budiman tidak marah sama saya…

    • Untuk Saudara Arofah,

      Semoga nama Anda menjadi seorang yang arifah.

      Kalau Anda hanya sekedar mencari dalil atsar ataupun hadits soheh yang menunjukkan secara dzohir lafdzi ( leter lek ) bunyinya mengenai adanya tahlilan dan yasinan setelah kematian yang dilakukan Rosul dan sahabatnya maka tentunya tidak akan Anda dapatkan.

      Satu pertanyaan untuk Anda dan tolong dijawab : ” Apakah suatu perbuatan yang memang tidak ada dalil secara qot`i ( secara jelas berbunyi mengenai tahlilan itu ) maka menunjukkan bahwa perbuatan itu haram ? kalau Anda mengatakan haram maka bagaimana dengan hasil ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid yang jelas2 tidak adanya dalil secara qot`i tentang suatu perbuatan ?

      lalu tidak adakah dalil yang dapat mendasari adanya tahlilan ?

      Itu saja dulu….

    • ini pertanyaan yang sederhana tapi sangat baik, bagi mereka yang berislam dengan niatan yang lurus, tampa dibarengi degan kepentingan lain selain mengharaf ridho Allah, insyaAllah akan menemukan jawaban pertanyaan ini yang muaranya adalah aqidah salafus sholeh. Apabilah Allah mencintai seorang hamba maka akan difahamkannya hamba tersebut atas islam yang lurus. Semantara perdebatan pada persoalan diatas (yasinan, tahlilan dlsb.) sdh berlangsung lama dan tidak kunjung berhenti, yang dianya hanya menghabiskan tenaga,pikiran dan waktu bahkan beaya. Pelaku- pelaku bid’ah dan para ahlinya akan selalu mempunyai banyak dalih untuk membela kebid’ahan mereka, bahkan mereka sangat berani, lebih berani dibanding dengan orang2 kafir, mereka menisbatkan dalih dalih pembelaan mereka kepada ulama- ulama terkenal dan mutabro’. Ahirnya apakah yang lebih penting saat ini, melanjutkan perdebatan yang tiada manfaat ini atau kita sama menjalin persaudaraan untuk berfikir, berjuang bersama-sama menegakkan dien Allah di muka bumi ini. Maka menurut hemat kami marilah kita bersatu dahulu dalam satu kepemimpinan dalam rangka tegaknya kembali kekhalifahan islam .

    • KEPADA AROFAH: memang benar yang anda utarakan,saya juga sependapat dengan anda.setiap turun perintah dari AL

  169. sekarang kebanyakan saudara saudari kita menuntut ilmu hanya dengan membaca buku ( ilmu sebuku ),tanpa guru yang ada sanadnya,tks

  170. Kalau ngikutin para ulama atau kitab-kitab karya mereka boleh jadi akan kita dapati ada yang bacaan-bacaan atau amal-amal itu pahalanya akan sampai kepada si mayit, dan ada juga yang mengatakan tidak sampai. Daripada berebut sampai atau tidak, mendingan ikuti apa kata Alquran. Di akhirat nanti Allah akan menentukan keputusan yang tidak ikut habib-habib atau ulama manapun (ulama NU, ulama Muhammadiah, ulama Wahabi etc.,) seseuai dengan ayat ke 54 surah Yaasin (QS36:54), yg artinya: “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dizhalimi dgn cara apapun dan juga tidak akan diberi balasan (pahala), kecuali (sesuai) dengan apa yang kalian kerjakan”. Begitu jelas tegas ayat Allah tersebut. Ngapain kita harus terjebak kepada pendapat para ulama yg dipastikan bisa saja salah atau keliru, atau atau berkelompok yg ngotot mempertahankan “kedoyanannya”. Ikut Alquran atau ikut hadits? Kalau haditsnya kontradiktif dengan Alquran, taruh itu hadits di bakul sampah….

    • ass. Mustafa, Hadist itu adalah perkataan, perbuatan, sifat, Rasululloh SAW dan tidak ada yang Palsu, yang Palsu adalah yang meriwayatkan atau yang menukilkan, jadi sumber Hadist adalah benar ….

  171. hai manusa kabeh!!!menghukum tahlil, yasinan, muludan = bid’ah? emangnya pernah ikutan acara diatas kaya tau aja, tahu apa yang dibacanya? bacaan tahlil=memperbaharui iman baca surat yasin
    Rasulullah Saw telah bersabda, “Bacalah Surat Yassin karena ia mengandungi keberkatan”, yaitu:

    Apabila orang lapar membaca Surat Yassin, ia menjadi kenyang.
    Jika orang tidak mempunyai pakaian akan mendapat pakaian.
    Jika orang belum menikah, segera mendapat jodoh.
    Jika dalam ketakutan akan hilang perasaan takut.
    Jika terpenjara akan dibebaskan.
    Jika musafir membacanya, akan mendapat kesenangan apa yang dilihatnya.
    Jika tersesat, sampai ke tempat yang ditujuinya.
    Jika dibacakan kepada orang yang telah meninggal dunia, Allah meringankan siksanya.
    Jika orang yang dahaga membacanya, hilang rasa hausnya.
    Jika dibacakan kepada orang yang sakit, terhindar daripada penyakitnya.
    Rasulullah s.a.w bersabda, “Sesungguhnya setiap sesuatu mempunyai hati dan hati al- Quran itu ialah Yassin. Sesiapa membaca surat Yassin, niscaya Allah menuliskan pahalanya seperti pahala membaca al-Quran sebanyak 10 kali.
    Sabda Rasulullah s.a.w, “Apabila datang ajal orang yang suka membaca surat Yassin pada setiap hari, turunlah beberapa malaikat berbaris bersama Malaikat maut. Mereka berdoa dan meminta dosanya diampunkan Allah, menyaksikan ketika mayatnya dimandikan dan turut menyembahyangkan jenazahnya”.
    Malaikat Maut tidak mau memaksa mencabut nyawa orang yang suka membaca Yassin sehingga datang Malaikat Ridwan dari syurga membawa minuman untuknya. Ketika dia meminumnya alangkah nikmat perasaannya dan dimasukkan ke dalam kubur dengan rasa bahagia dan tidak merasa sakit ketika nyawanya diambil.
    Rasulullah s.a.w bersabda selanjutnya: “Barang siapa sembahyang sunat dua rakaat pada malam Jumaat, dibaca pada rakaat pertama surat Yassin dan rakaat kedua Tabaroka, Allah jadikan setiap huruf cahaya dihadapannya pada hari kemudian dan dia akan menerima suratan amalannya ditangan kanan dan diberi kesempatan membela 70 orang daripada ahli rumahnya tetapi sesiapa yang meragui keterangan ini, dia adalah orang-orang yang munafik.
    Muludan =mengingat kembali kelahiran, ahlaq mulia dan perjuangan menyebarkan islam beliau (SAW) coba cari dalil syariat yang melarangnya sampai 7 turunan pun tidak pernah ketemu yang ada cuma dalil umum tidak khusus ke acara yang tiga ini.
    ngaco kabeh!!! mau ibadah ngelarang itu baru dosa pastinya ‘ntu yang bidah

  172. wah panjang ya. Capek bacanya, tapi sangat bermanfaat. Mirip debat saya sama teman saya tentang gelar Haji.

    Kurang lebih debat nya seperti dibawah ini
    S : Memakai gelar haji itu sesat
    T : Apa alasannya ?
    S : Kalo gelar haji itu baik, Rosullulah dan para sahabat sudah pasti bergelar haji. Imam yang 4 mazhab itu pasti gelarnya haji semua.
    T : Lalu orang yg memakai gelar haji masuk neraka gitu ? karena menyelisihi Rosul gitu ?
    S : Wah saya tidak tau. Itu hanya ALLAH yang bisa menjawabnya.
    T : Coba kasih saya dalil ttg sesat nya gelar haji.
    S : Tidak ada
    T : Kenapa kamu bilang sesat ?
    S : Rosul tidak mencontohkannya
    T : Tapi Rosul juga tidak mengharamkannya kan ?
    S : Ya tidak diharamkan Rosul
    T : Trus kenapa kamu bilang sesat ? Rosul saja tidak bilang sesat.
    S : Ok. Saya salah. Itu tidak sesat. Tetapi tetap harus dihindari karena bukan contoh dari Rosul.
    T : (tersenyum puas)
    S : (Dalam hati) bukannya semua yang mengada-ada itu bid’ah dan bid’ah itu sesat ya ? Tapi mana yang sesungguhnya mengada-ada : pemakaian gelar haji, atau saya yang menghukumi sesat pemakaian gelar haji ?

    Jadi tanggapan dari saya adalah,
    memang benar Rosullulah tidak mengerjakan tahlilan, seperti diceritakan tentang saat meninggalnya Siti Khadijah dan juga putra Rosul, Ibrahim, Rosul tidak menggelar tahlilan dan jamuan. Tapi Rosul juga tidak melarangnya. Kalo dilarang seharusnya ada Hadist tidak boleh berkumpul dan mendo’akan mayat.

    Sedangkan mendo’a kan orang yang sudah meninggal itu ada dalil nya. Dan mengadakan jamuan itu juga ada dalil nya (di atas banyak tuh, dalil tentang jamuan yg diperbolehkan dan yg tidak diperbolehkan). Kalo digabung : mendo’akan orang yg sudah meninggal & mengadakan jamuan itu keduanya sudah ada dalil yang mengatur nya.

    Ketika kedua amalan ini digabung menjadi satu kemudian dinamai Tahlilan, maka Tahlilan ini diatur oleh dalil jamuan dan dalil mendoakan org yg sdh meninggal. Jadi, bukan merupakan suatu bid’ah. Karena ADA DALIL nya. Dan dalam dalil itu kan sudah ada jamuan mana yg boleh dan jamuan mana yg haram. Jadi hukum tahlilan itu tergantung jamuan nya yg bagaimana, doa orang yg meninggal nya yg bagaimana.

    Kalo jamuan nya berlebihan kan jatuhnya haram. Kalo do’a nya sambil meratapi mayat dan menangisi mayat kan jatuhnya haram. Apalagi kalo sampe ada dangdutan… ada lagi sampe mukulin orang lewat/ orang gak boleh lewat padahal jalan umum.

    Kesimpulan saya setelah membaca sampe capek adalah : Tahlilan bukan bid’ah. Tetapi bisa jadi haram kalo pelaksanaannya menentang Al-Quran dan Hadist.

  173. Assalamu’alaikum.
    Segala puji milik Allah. Shalawat salam terlimpahkan kepada Rasulullah SAW. InsyaAllah, kita termasuk golongan umat yang senantiasa berhak atas limpahan syafa’atul udhma fid diini wad dunya hattal akhirah. Amiin.
    Perkenankanlah Saya turut berpendapat. Semoga, tidak menyinggung perasaan.
    Kepada teman-teman yang mengharamkan tahlil:
    1. Mohonlah ampunan kepada Allah.
    2. Berhentilah menghujat kegiatan tahlil.
    3. Berhentilah mengkafirkan teman-teman yang menjalankan tahlil.
    Kepada teman-teman yang menjalankan tahlil:
    1. Mohonlah ampunan kepada Allah.
    2. Teruslah membaca tahlil.
    3. Janganlah bersedih-hati, walaupun Anda dituduh kafir, karena membaca tahlil.
    Semoga Allah menjaga hati kita, dari buruknya prasangka.
    Semoga Allah menjaga lisan kita, dari buruknya perkataan.
    Semoga Allah menjaga jemari kita, dari buruknya tulisan.
    Wassalamu’alaikum.

  174. Alhamdulillaahh..nambah pengetahuan membacanya…
    dan harus lebih digali lagi agar tidak termakan mentah-mentah..
    tiada manusia yang sempurna…
    wassalam..

  175. ass. wr. wb.
    kalau main internatan, facebookan itu hukumnya didalam islam apa ya? apa bid’ah juga? maaf saya tahunya cuma sholat 5 waktu terus puasa, haji dll
    wass. wr. wb.

  176. assalamualaikum wr. wb
    untuk smuanya ana bukan ahli agama, tpi ana suka berfikir adakah manusia yang sempurna di muka bumi ini, kasihan para ummat yang fakir dalam ilmu tu, .adalah tugas antum-antum semua untuk mengiring ummat kepada ridho Allah SWT, bukan untuk berdebat hingga mengabaikan kami, membuat kami resah, sehingga moral bangsa ummat ini bejat, kami bingung mana yang kami pegang, jadi rangkul kami selamatkan kami, itu tugas waliyullah, jangan malah mencerai berai umat, lihat orang kafir persatuan mereka lebih erat, dari pada ummat kita, sebagian orang islam menjadi kafir, karna kurangnya perhatian antum semua terhadap umat, malah yang dibesar besar kan debat, gk penting banget !!! selamatkan umat, bukan membiarkan umat jadi sesat ikut agama lain. wallahu’alam,, (afwan ana hanya al-fakir yang ingin kita bersatu bukan saling manghancurkan) KASIHAN UMMAT AWWAM !!!

  177. arofah, tolong sya ditunjukkan dalil yang melarang yasinan , tahlilan . biar sya gak lebay hanya asal asalam dan ikutikutan menyalahkan orang tahlilan dan yasinan.

  178. Hati2 dng hadits krn ada yg palsu.. klo hadits dari org anshar atw tdk disebutkan namanya kq dipake ya terserah kamu. Hadits yg gk jls bgtu periksa dlu sanad n perawi nya jgn asal caplok, kena yg dlaif baru tau lo…

  179. saudara2ku yang pinter2 kenapa hal yang seperti ini sangat kalian pertentangkan?kalau kalian tidak suka tinggalkan kalau menurut kalian baik kerjakan.disini malah adanya saling membodohi dan saling menghina.ayooo masih banyak sesuatu yang mesti kita lakukan untuk umat dibanding ribut tentang hal2 sepeti ini.

  180. *BERHATI-HATILAH,AJARAN KELOMPOK SYIAH YG SESAT MEMASUKI KAMPUNG ANDA*saudaraku kaum muslimin warga NU seluruh Indonesia,saat ini kelompok sesat syiah sedang berusaha masuk/menyusup ke mushala/masjid bahkan berusaha menyusup ke ponpes NU diwilayah jawa dan aceh.ketahuilah kelompok sesat syiah adalah agama sesat yg bermarkas di Iran yaitu negara terkutuk yg selalu dilanda fitnah serta bencana.coba anda perhatikan,, semua negara yg dihuni atau dipimpin/presidennya orang-orang syiah dimanapun diseluruh dunia ,,setiap hari terus-menerus terjadi perang,pertumpahan darah,perang saudara.

  181. *KEOMPOK SYIAH SESAT DAN MENYESATKAN*warga NU yg saya hormati.kelompok sesat syiah telah dilarang bercokol di negeri tercinta Indonesia sejak th 1984 sampai sekarang. Ingat peristiwa di jawa timur, sampang madura pasuruan malang jember lombok dll. ingat pula di timur tengah iran,irak,pakistan,afganistan,kyrgistan, lebanon,bahrain,suriah…!dll..setiap hari dilanda peperangan sampai skrg. rakyat iran,irak,lebanon,suriah kocar-kacir mengungsi mencari perindungan.1,5juta rakyat suriah mengungsi,44 ribu tewas sia-sia dibantai oleh penguasa syiah, yg bertahan dinegerinya mendapatkan perlakuan yg kejam,intimidasi ,hidup penuh ketakutan..sungguh peristiwa sangat menyedihkan yg dialami rakyat yg hidup ditengah penguasa syiah yg sarat dgn kekerasan. waspadalah anda…!

  182. AL-ADABU FAUQL ILMI..
    assalamualaikum buat pra akhwan yg dimuliakan allah.
    dan salam rindu serta knal saya trhadap para habaib YARHAKUMULLAH YA HABIBIY HABAIB. bnyak kementar yg dhapkan kepda habib mindzir oleh saudra kita ini bgus buat pekmbangan pkiran umat islam supya tnggap dgn setuiasi atau malsalh yg terjadi dlm agma mereka tapi sngat disygkan mereka kurng mmprhatikan adb sopan santun bila berbicara kpd orng tua aplagi seorang gru yg alim,apalagi ini kpd seorang habib yg mulia karena ilimunya sreta nasabnya, bukankah rasul pernah bersabda ” sesungguhnya sya diutus tuk menymprnkan akhlaq manusia” dan ” adab itu lbih tinggi dari ilmu” mka pa gunanya berilmu tunggi tmatan kairo ahli filsuf dhormati orng jika tidak memiliki sopan santun. seharusnya brktlah dgn sopan walaupun kta krg suka dgn pndaptnya sbagi rsa ta’dzim kpd beliau, ini jga ldg phala buat saudara qu, yg trbaik adlh betpapun kta tdk suka dgn pndpat orng lain kta tmpakkan bhw kta berjwa bsr yg mghargai pendpt orng lain, saudra q hrus tahu bgaimana habib mberikan hujjah, bnyak kitab yg beliau nukilkan untuk mmperkuat argumennya distu tmpak keluasan ilmu beliau, sementra kita bru mmbca terjmhan aj sudah berani berlagk sombong sok pntar, sok alim dri beliau dgn melontarkan kta yg tdk enak didngar, pdahal kita hnya berdlilkn stu hadis yg didapt dgn mmbca buku sepintas lalu apakh pntas kita berkta sombong??
    ingtlah wajib hukumnya menghormati orang alim, berilmu tnggi. jika beliau dibanding dgn kita (sya n saudra) tda kad apapanya baik disegi ilmu maun disegi nasab beliau oleh karna itu marilah kita berlku arif dalam menggapi perbedaan jgnlh berkta dlm keadaan emosi krna kta tidak akan bisa mngontrol ucpan kita sprti bnyak komntr trhadab mukrram habib mundzir, jika dilihat dri ucapannya (komen yg kontra) bnyak berkat didsrkan kpda dorongan hawanafsu dn dlam kondisi emosianal. sehigga tk dapt berfikir dgn jernih. buat seluruh umat muslim marilah kita muliakan orng yg lbih tua dri kita palagi mereka yg alim ucapkanlah kpada mereka ucapan yg baik, bukakh kt disurubrkat baik kpda k2ortu kita? bgtu juga kpda pra habib karena mereka juga orang tua kita disgi rohaniyah. dan jgalh lisan dari brkat yg kotor krna keselamtan insan itu apblia mereka mnjga lidah nya.

  183. SILAHKAN FAHAMI INI!!
    Salah Memahami Ibadah Menyebabkan Kaum Wahabi Terkenal Ngawur

    Asal Muasal Munculnya Pertanyaan: “MANA DALILNYA”

    Kepada teman-teman Salafi Wahabi yang masih dalam kebingungan memahami persoalan ibadah sehingga masih tetap saja ngeyel membid’ahkan amal-amal shalih kaum muslimin…. Marilah kita belajar bersama. Simak dulu uraian berikut ini dan apabila masih ada yang belum paham silakan bertanya…, nanti teman-teman Ummati insyaallah akan memberikan jawabannya.

    Baiklah, yuk kita mulai saja pelajarannya…. Kita ambil salah satu contoh kasus dari isu-isu bid’ah yang anda selalu menganngapnya bid’ah yang haram. Misalnya MAULID Nabi. Contoh kasus MAULID yang semenjak dulu sampai sekarang terus selalu saja anda menganggapnya berdosa jika melakukannya. Walaupun sudah banyak penjelasan dijelaskan oleh para pelaku Maulid, tetapi rupanya anda sekalian belum bisa paham-paham juga. Sebabnya mungkin karena hati yang keras atau mungkin hanya karena belum mengerti persoalan ibadah.

    Apakah anda sudah pernah mengikuti acara peringatan MAULID NABI? Jika pernah mengikutinya, tentunya anda tahu bahwa di dalam acara maulid itu berisi aktifitas yang isinya antara lain tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir, pembacaan biografi Nabi dan biasanya di akhir acara ada tausiyah keislaman. Nah… anda pastinya sangat hafal dengan dalil-dalil tentang tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir dan tausiyah, dalil-dalilnya sudah banyak tersebar di seantero Dunia Maya, silakan cari sendiri atau tanya saja kepada ustadz Gugel.

    Oke, bisa ditebak apa yang ingin anda tanyakan disini dan ini bagi anda adalah sangat bermasalah yaitu adakah Dalil dari “Peringatan MAULID”? Benar-benar adakah dalilnya atau tidak ada? Hemmm, baiklah memang selama ini anda selalu bertanya: MANA DALILNYA? Seakan-akan menggambarkan isi kepala anda yang sudah yakin 100 persen bahwa MULID itu tidak ada dalilnya. Benar demikian kan keyakinan anda?

    Sebelum menjawabnya, di sini sebaiknya akan dijelaskan sedikit tentang kaidah ushul fiqh. Kita mulai dari suatu kaidah dalam ushul fiqh yang sering digembar-gemborkan oleh teman-teman Salafi Wahabi bahwa: “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”.

    Bermula dari kaidah ini suatu amalan yang diangap ibadah selalu muncul pertanyaan: “Mana Dalilnya?” Ini karena amalan dipersepsikan kepada sifat dari ibadah yang tauqif. Permasalahannya adalah sudah tahukah anda, untuk ibadah yang jenis atau macam apakah kaidah tersebut seharusnya diterapkan?

    Penjelasan dari Kitab

    Kita akan coba mengambil penjelasan dari kitab ushul Fiqh:

    الأصل في العبادات التوقيف

    وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعاً وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، ” أن الأصل في العبادات التوقيف ” كما “أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة”، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جداً ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادةً لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحدٍ أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصاً أو تقديماً أو تأخيراً أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعاً، والعصر أربعاً، والمغرب ثلاثاً، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدّقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلاً أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقداً جديداً لم يكن موجوداً في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه رباً ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذٍ نقول: هذا العقد مباح؛

    Langsung ke maksudnya …. Bahwa yang dinamakan ibadah sifatnya tauqif yaitu sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu…., contohnya ibadah wajib shalat lima waktu, ibadah haji, dll. Tentunya ini berbeda dengan muamalah yang asalnya boleh sampai adanya dalil yang melarangnya… Nah sekarang kita lihat apakah sebenarnya ibadah tauqif itu….

    التوقيف في صفة العبادةالعبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلاً أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع

    Tauqifi dalam sifat ibadahIbadah itu tauqifi dalam semua hal, dalam sifatnya….Maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi, seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya… oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( pembuat syari’ah yaitu Allah ).

    التوقيف في زمن العبادةزمان العبادة توقيفي -أيضاً- فلا يجوز لأحد أن يخترع زماناً للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلاً

    Tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadahWaktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. Maka tidak boleh seseorang itu membuat-buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.

    التوقيف في نوع العبادةكذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعاً، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلاً، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلاً، فهذه بدعة!

    Tauqifi dalam macamnya ibadahBegitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at…. Artinya termasuk dari macam / jenis ibadah yang disyari’atkan. Maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyari’atkan, seperti menyembah matahari. Atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata: aku ingin melatih badanku misalkan. Maka ini semua bid’ah.

    التوقيف في مكان العبادةكذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعاً، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلاً- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجاً أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدّى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.

    Begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah.Maka ini juga harus masyru’. Maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. Seperti jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji. Atau wuquf di Mina, atau bermalam ( muzdalifah ) di ‘Arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. Kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’.

    Ibadah Mahdhoh, Ghoiru Mahdhoh, Wasail dan Maqosid

    Berdasarkan dari penjelasan kitab di atas dapat ditangkap 4 point, dan bila diperhatikan maka di situ didapat kesimpulan bahwa ibadah yang sifatnya tauqif itu adalah ibadah mahdhoh… faham? Jadi yang dimaksud ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”, adalah diterapkan untuk ibadah yang sifatnya mahdoh saja,bukan semua ibadah.

    Nah untuk bisa membedakannya, ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).Untuk ibadah yang sifatny mahdhoh Cuma ada maqoshid, sedangkan untuk ghoiru mahdhoh ada maqoshid juga ada wasail. Baiklah, langsung contoh saja…. biar gampang dan cepat mudeng, perhatikan baik-baik ya mas-mas Wahabi …?

    Ibadah Sholat, ini sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada Cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.

    Misalnya Anda seorang penulis di blog, kegiatan menulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah. Tapi karena anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah dengan jalan menulis di blog maka dalam Islam ini berpahala dan termasuk ibadah. Setuju kan? Padahal ini nggak ada lho contoh dari Rasulullah, ya kan? Wasailnya anda menulis di blog, maqoshidnya anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah. Pekerjaan menulis yang begini ini juga termasuk ibadah, tapi ibadah semacam ini tidak dicontohkan oleh Rasul Saw, juga tidak dicontohkan oleh Para Sahabat Nabi.Nah, yang salah kaprah ketika anda menganggap kegiatan menulis ini disamakan dengan ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Kalau dipandang sedemikian maka seharusnya MENULIS dianggap bid’ah sesat (dholalah). Begitulah, karena salah anggapan seperti inilah, maka selama ini sedikit-sedikit anda bilang bid’ah! Tahlilan itu bid’ah, Maulid juga bid’ah, Yasinan itu bid’ah dan berdosa para pelakunya. Padahal semua ini adalah ibadah ghoiru mahdhoh yang ada wasail dan maqosid-nya sebagaimana contoh di atas. Jadi kalau semua itu ditanya mana dalilnya pasti ada di maqosidnya, demikianlah.

    Kita kasih contoh lagi biar semakin jelas ya? Di Indonesia ada macam-macam kegiatan Pengajian (kajian ilmiyyah) dan Tabligh Akbar. Awalnya bentuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tidak ada contoh dari Rasul jadi hukumnya mubah. Tapi karena isi dari kegiatan ini adalah ibadah berupa tholabul ilmi dan tausiyah atau bahkan dakwah maka kegiatan pengajian dan tabligh akbar insyaallah berpahala, bernilai ibadah. (wasailnya kegiatan pengajian dan tabligh akbar, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka tholabul ilmi dan berdakwah). Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan pengajian dan tabligh ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh maka sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah.

    Demikian juga dengan Maulid, bahwa maulid adalah wasail (perantara atau ada yang bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul dan mengagungkannya. Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jawabnny adalah mubah, boleh dilakukan juga boleh tidak dilakukan. Tapi kenapa menjadi sunah? Menjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidnya adalah sunah (mengenal dan mengagungkn Rasul adalah Sunah). Karena yang namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maqoshid) – ini adalah kaidah ushul fiqh.

    Pertanyaan yang Salah Bagaimana Bisa Dijawab?

    Contoh gampangnya untuk penjelasan Lil Wasail hukmul Maoshid: anda membeli air hukumnya mubah, mau beli atau nggak, gak ada dosanya. Tapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.

    Kembali lagi ke Maulid. Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yang bid’ah (dholalah)? Ya, bisa jika anda menganggap Maulid adalah sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Perlu digaris bawahi pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah ada dalilnya memperingati maulid Nabi? INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH. Tidak ada ceritanya namanya wasail ada dalil qoth’inya.

    Contoh lagi biar lebih gampang mencerna: anda berangkat bersekolah, ini adalah wasail. Maqoshidnya adalah tholabul ilmi. Karena tholabul ilmi itu hukumnya wajib maka berangkat ke sekolah pun menjadi wajib dan bernilai ibadah. Dalil yang ada adalah dalil tentang tholabul ilmi. Jika ditanya: “Manakah dalil yang menyuruh kita berangkat ke sekolah?” JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.

    Begitu pula dengan Maulid, kalau anda tanya dalil maqoshidnya yaitu tentang mengenal dan mengagungkan Rasul ya pasti ada dalilnya dong? Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu memperingati Maulid? JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.

    Dalil Wajibnya Bermadzhab

    Sedikit tambahan; ini juga dalil kenapa bermadzab itu wajib hukumnya bagi kita, karena madzab adalah wasail, dan ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengerti agama ini, kita gak mungkin bertanya langsug ke Rasul. Sedangkn maqoshidnya agar kita bisa mengerti tentang agama Islam sehingga kita bisa mengamalkannya dengan benar (ini hukumnya ini wajib). Maka bermadzab menjadi wajib. Kalau anda tanya mana dalil naqlinya secara leterleg yang menyuruh kita bermadzab? Yaa gak ada, lha wong bermadzab itu cuma wasail kok, Mas? Bagaimana teman-teman Wahabi…. apakah anda semua sudah paham?

    Demikianlah, kita semua berharap setelah penjelasan ini anda-anda bisa belajar dan lebih mengerti sehingga tidak serampangan dalam bertanya. Ingatlah, sebaiknya anda tidak lagi sering-sering membuat pertanyaan-pertanyaan yang salah. Kalau pertanyaannya saja salah, bagaimana menjawabnya?

    Jangan sedikit-sedikit bertanya “MANA DALILNYA” tanpa tahu sesuatu hal itu perlu dalil atau tidak.Sadarlah kalian, bagaimana pertanyaan bisa dijawab kalau pertanyaannya saja salah? Sejak sekarang mulailah belajar membedakan apakah sesuatu itu butuh dalil atau tidak. Sebab tidak semua hal itu harus ada dalilnya.

    Wallahu a’lam…..

  184. Mazhab Qur’an & sunah
    Rasulullah SAW bersabda :

    تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا مَسَكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيّهِ. مالك، فى الموطأ 2: 899

    Kutinggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat apabila kamu berpegang teguh kepada keduaya, yaitu : Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya”. [HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ juz 2, hal. 899]

    Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menjamin bahwa orang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, mereka tidak akan sesat.
    وَمَا اتكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهيكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا. الحشر:7

    “Dan apa-apa yang telah didatangkan Rasul kepadamu, maka ambillah dia; dan apa yang kamu telah dicegah mengerjakannya, maka tinggalkanlah”. [QS. Al-Hasyr : 7].
    اِذَا اَتَاكَ اَمْرٌ فَاقْضِ ِبمَا فِى كِتَابِ اللهِ. فَاِنْ اَتَاكَ مَا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ فَاقْضِ ِبمَا سَنَّ فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ص. . الموفقات4: 6

    “Apabila datang kepadamu suatu urusan, maka hukumilah dengan apa yang ada di dalam Kitab Allah dan jika datang kepadamu apa yang tidak ada di dalam Kitab Allah, maka hukumilah dengan apa yang pernah dihukumi oleh Rasulullah SAW”. [Al-Muwafaqaat 4 : 6]

    Berkenaan dengan kedudukan sunnah Rasul SAW ini, Imam Syafi’i berkata :

    كُلُّ مَا حَكَمَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ص فَهُوَ ِممَّا فَهِمَهُ مِنَ اْلقُرْآنِ.

    “Segala apa yang telah dihukumkan oleh Rasulullah SAW itu, semuanya dari apa-apa yang difahamkannya dari Al-Qur’an”.
    Wajib mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah

    عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اَصْدَقَ اْلحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَ اَحْسَنَ اْلهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَ شَرُّ اْلاُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَ كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. النسائى 3: 188

    Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan ialah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek perkara itu yang diada-adakan, dan tiap-tiap yang diada-adakan itu bid’ah, dan tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di neraka”. [HR. Nasai juz 3, hal. 188]

    عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَقُوْلُ: اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ خَيْرَ اْلحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَ خَيْرُ اْلهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَ شَرُّ اْلاُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. مسلم 2: 592

    Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW bersabda, “Adapun sesudah itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat. [HR. Muslim juz 2, hal. 592]

    عَنِ اْلعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ اِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيّيْنَ، فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَ اِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ اْلاُمُوْرِ، فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. احمد 6: 83، رقم: 17145

    Dari ‘Irbadl bin Sariyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Saya berpesan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, mendengar dan thaat, sekalipun (yang menjadi pemimpin) budak Habsyiy, karena sesungguhnya orang yang hidup diantara kamu sekalian sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak, maka dari itu hendaklah kamu sekalian (berpegang) pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus lagi menetapi petunjuk yang benar, berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham. Dan jauhkanlah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya tiap-tiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah, dan tiap-tiap bid’ah itu sesat”. [HR. Ahmad juz 6, hal. 83, no. 17145]

    عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ اْلكَلاَمُ وَ اْلهَدْيُ فَاَحْسَنُ اْلكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ وَ اَحْسَنُ اْلهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ. اَلاَ وَ اِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ اْلاُمُوْرِ فَاِنَّ شَرَّ اْلاُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. ابن ماجه 1: 18، رقم: 46

    Dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Hanyasanya ada dua perkara (yang penting), perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan ialah firman Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad. Ketahuilah, jauhkanlah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya sejelek-jelek perkara itu yang diada-adakan, dan tiap-tiap yang diada-adakan itu bid’ah, dan tiap-tiap bid’ah itu sesat”. [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 18, no. 46]

    Hadits-hadits tersebut menerangkan bahwa sebenar-benar perkataan itu ialah yang tersebut dalam kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Nabi Muhammad SAW, dan sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan, dan tiap-tiap perkara yang diada-adakan dalam urusan agama itu bid’ah, dan tiap-tiap bid’ah itu sesat”.

    Dengan hadits-hadits tersebut cukuplah menunjukkan bahwa kita (ummat Islam) dalam mengerjakan agama haruslah mengikuti sunnah Nabi SAW dan menjauhi perbuatan-perbuatan bid’ah.
    Bahaya bid’ah

    عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. مسلم 3: 1344

    Dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan perintah kami, maka ia tertolak”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1344]

    عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. مسلم 3: 1343

    Dari ‘Aisyah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Bartangsiapa mengada-adakan dalam perintah kami ini, apa-apa yang bukan dari padanya, maka ia tertolak”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1343]

    قَالَ ابْنُ عِيْسَى قَالَ النَّبِيُّ ص: مَنْ صَنَعَ اَمْرًا عَلَى غَيْرِ اَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ. ابو داود 4: 200

    Ibnu ‘Isa berkata, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang berbuat sesuatu urusan selain dari perintah Kami, maka ia tertolak”. [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 200]

    عَنْ اَنَسٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنّى. مسلم 2: 1020

    Dari Anas RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”. [HR. Muslim juz 2, hal. 1020]

    عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَبَى اللهُ اَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ. ابن ماجه 1: 19، رقم: 50

    Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak mau menerima amal orang ahli bid’ah sehingga ia meninggalkan bid’ahnya”. [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 19, no. 50, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Zaid dan Abu Mughirah, keduanya majhul]

    عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَ لاَ صَلاَةً وَ لاَ صَدَقَةً وَ لاَ حَجًّا وَ لاَ عُمْرَةً وَ لاَ جِهَادًا وَ لاَ صَرْفًا وَ لاَ عَدْلاً. يَخْرُجُ مِنَ اْلاِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنَ اْلعَجِيْنِ. ابن ماجه 1: 19، رقم: 49

    Dari Hudzaifah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak mau menerima dari orang ahli bid’ah akan puasanya, shalatnya, shadaqahnya, hajjinya, ‘umrahnya, jihadnya, taubatnya dan tidak pula tebusannya, ia telah keluar dari Islam seperti keluarnya sehelai rambut dari adonan tepung”. [R. Ibnu Majah juz 1, hal. 19, no. 49, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin Mihshan]

    عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ مَشَى اِلىَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ لِيُوَقّرَهُ فَقَدْ اَعَانَ عَلَى هَدْمِ اْلاِسْلاَمِ. الطبرانى فى الكبير20: 96، رقم: 188

    Dari Mu’adz bin Jabal RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berjalan kepada seorang ahli bid’ah karena akan menghormatinya, maka sesungguhnya ia telah bersekongkol untuk merobohkan Islam”. [HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir juz 20, hal. 96, no. 188, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Baqiyah bin Walid]

    عَنْ غُضَيْفِ بْنِ اْلحَارِثِ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: مَا اَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً اِلاَّ رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ فَتَمَسُّكٌ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِحْدَاثِ بِدْعَةٍ. احمد6: 40، رقم: 16967، ضعيف

    Dari Ghudlaif bin Al-Harits RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum mengada-adakan bid’ah, melainkan diangkatlah semisalnya daripada sunnah, maka berpegang dengan sunnah itu lebih baik daripada mengada-adakan bid’ah”. [HR. Ahmad juz 6, hal. 40, no. 16967, dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Bakar bin ‘Abdullah]

    عَنِ اْلحَكَمِ بْنِ عُمَيْرٍ الثّمَالِيّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَْلاَمْرُ اْلمُفْظِعُ وَ اْلحِمْلُ اْلمُضْلِعُ وَ الشَّرُّ الَّذِى لاَ يَنْقَطِعُ اِظْهَارُ اْلبِدَعِ. الطبرانى، فى الكبير 3: 219، رقم: 3194

    Dari Al-Hakam bin ‘Umair Ats-Tsimaliy, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Perkara yang sangat jelek, dan beban yang amat berat, dan perbuatan jahat yang tidak ada putusnya ialah menampakkan perbuatan- perbuatan bid’ah”. [HR. Thabrani dalam Al-Kabir juz 3, hal. 219, no. 3194, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Baqiyah bin Walid]

    عَنْ عَاصِمٍ قَالَ: قُلْتُ ِلاَنَسٍ: اَحَرَّمَ رَسُوْلُ اللهِ ص اْلمَدِيْنَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ. مَا بَيْنَ كَذَا اِلىَ كَذَا. لاَ يُقْطَعُ شَجَرُهَا مَنْ اَحْدَثَ فِيْهَا حَدَثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَ اْلمَلاَئِكَةِ وَ النَّاسِ اَجْمَعِيْنَ. قَالَ عَاصِمٌ: فَاَخْبَرَنِى مُوْسَى بْنُ اَنَسٍ اَنَّهُ قَالَ: اَوْ آوَى مُحْدِثًا. البخارى 8: 148

    Dari ‘Ashim, ia berkata : Aku bertanya kepada Anas, “Apakah Rasulullah SAW mengharamkan kota Madinah ?”. Ia menjawab, “Ya, yaitu antara daerah ini dan daerah ini, tidak boleh ditebang pepohonannya. Barangsiapa mengadakan sesuatu cara yang baru (bid’ah) di daerah itu, maka ia mendapat la’nat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya”. Lalu ‘Ashim berkata, “Musa bin Anas pernah meriwayatkan kepadaku bahwa beliau pernah bersabda, “Atau orang yang melindungi kepada orang yang membuat bid’ah”. [HR Bukhari juz 8, hal. 148]

    عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى اْلحَوْضِ لَيُرْفَعَنَّ اِلَيَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتىَّ اِذَا اَهْوَيْتُ ِلاُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوْا دُوْنِى فَاَقُوْلُ أَيْ رَبّ اَصْحَابِى فَيَقُوْلُ: لاَ تَدْرِى مَا اَحْدَثُوْا بَعْدَكَ. البخارى 8: 87

    Dari Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, Aku adalah pendahulu kamu di telaga (haudl). Sungguh ada orang-orang diantara kalian yang diangkat kepadaku, sehingga ketika aku mengulurkan (tangan) untuk menjangkau mereka, maka mereka ditarik dariku. Lalu aku berseru, “Wahai Tuhanku, mereka itu ummatku”. Maka Allah berfirman, “Kamu tidak tahu apa yang mereka lakukan sesudahmu”. [HR. Bukhari juz 8, hal. 87]

    عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: كُلُّ اُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ اْلجَنَّةَ اِلاَّ مَنْ اَبَى قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَنْ يَأْبَى؟ قَالَ مَنْ اَطَاعَنِي دَخَلَ اْلجَنَّةَ وَ مَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ اَبَى. البخارى 8: 139

    Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya semua ummatku akan masuk surga, kecuali orang yang tidak mau”. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang tidak mau itu ?”. Beliau SAW bersabda, “Barangsiapa yang menthaatiku, ia pasti masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka berarti ia tidak mau”. [HR. Bukhari juz 8, hal. 139]
    Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan
    Pertanyaan dan jawaban
    A. Mereka mengatakan bahwa Tahlilan dan Yasinan tidak ada dalil yang Melarangnya.
    Maka Jawabnya :
    Pekataan ini menunjukkan bahwa mereka tidak paham kaidah Ushul Fiqh
    Hadits ‘Aisyah radhiAllahu ‘anha, Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
    “Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)

    Faedah Hadits :
    1. ANJURAN beramal sesuai dengan al qur’an dan as sunnah [ Ziarah Kubur misalnya]
    2. LARANGAN beramal yang tidak sesuai dengan al qur’an dan as sunnah [ Tahlilan misalnya]
    [Jadi Hadits ini sudah lengkap ada ANJURAN dan LARANGANNYA]
    Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
    فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
    “Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

    KAIDAH BESAR INI telah disepakati oleh Para Ulama salaf ahlus sunnah wal jama’ah yaitu BAHWA HUKUM ASAL IBADAH ADALAH TERLARANG SAMPAI DATANG KETERANGANNYA DARI ALLAH DAN RASUL-NYA. APABILA TIDAK TEGAK DALIL INI, MAKA MASUKLAH DIA KE DALAM BID’AH.
    Nah ! Seharusnya MEREKALAH yang melakukan TAHLILAN dan YASINAN yang wajib memberikan dalil
    Ambil misal, apabila ada orang shalat maghrib 5 raka’at, tentu Ahlus Sunnah akan menyalahkan, bukan berarti mana larangannya, akan tetapi karena tidak ada contohnya, begitu juga TAHLILAN dan YASINAN ini MASUK ke dalam bagian ibadah, maka wajiblah MEREKA memberikan dalil yang SHAHIH dan SHARIH (tegas) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasssalam pernah menganjurkannya ?
    B. Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid’ah ?

    Ada dua pendapat ’ekstrim’ terkait dengan bahasan ini.
    Pendapat ke-satu :mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa disebut bid’ah. Ini tergantung niat atau bentuknya. Jika niat atau bentuknyanya (mereka anggap) baik, maka jadilah ia bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at mereka. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah.
    Pendapat ke-dua; mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut bid’ah secara mutlak.[1]

    Dua pendapat ini keliru. Ada satu kaidah yang sangat penting (dalam mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai berikut :

    إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة

    ”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.[2]

    Ada dua kata kunci di sini, yaitu :

    1. Keberadaan faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.

    2. Ketiadaan faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.

    Contoh
    (1) : Pengumpulan Al-Qur’an di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak pernah dilakukan pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun apakah hal ini bisa disebut sebagai bid’ah ? Jawabnya : Tidak. Mengapa ? Karena faktor atau sebab yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum ada. Pada waktu itu, Al-Qur’an dijaga dalam dada para shahabat melalui hafalan mereka. Ini sekaligus sebagai faktor penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengumpulan Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum dirasa perlu sehingga hal itu belum/tidak dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Namun setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr radliyallaahu ’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur (sebanyak 70 orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong atau sebab dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan faktor penghalang yang dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Ini tercermin pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada Abu Bakr radliyallaahu ’anhuma :

    ”Dalam peperangan Yamamah para shahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para shahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang perlu dikumpulkan”.
    Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab yang sangat kuat dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan kaum muslimin.

    Hal yang sama juga seperti kasus pembubuhan titik dan harakat pada huruf hijaiyyah.[3] Setelah banyak terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya perselisihan karenanya, maka dipandang perlu untuk membubuhkan tanda-tanda dalam Al-Qur’an sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad Ad-Dualiy, yang kemudian dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim dan Yahya bin Ya’mar pada jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan kemudian disempurnakan lagi oleh Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.

    Contoh (2) :
    Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat) ?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah : Ya. Mengapa ? Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya, maulid Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal. Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan (faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai kemaslahatan dalam syari’at.

    Ibnu Taimiyyah berkata :

    فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص . وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان
    ”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan”.[4]

    Atau jika kita ingin contoh yang lebih jelas dari nomor 2, maka kita ambil contoh ’ekstrim’ : adzan dan iqamah yang dilakukan di shalat ’Ied. Saya yakin kita semua akan mengatakan bahwa itu bid’ah.[5]
    Apa indikasinya ? Faktor pendorong untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum muslimin agar berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan (mushalla); sementara itu faktor penghalangnya tidak ada sama sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau tetap tidak melakukannya.[6] Maka sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.

    Contoh (3) :
    Shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Kita jawab : ”Ya, akan tetapi hanya dilakukan beberapa malam saja, dan kemudian beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti sampai sekarang bisa dikatakan bid’ah ? Jawabannya : Tidak. Mengapa ? Karena ada faktor penghalang yang kuat dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan kepada shahabat mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid :

    فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
    ”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”.

    Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan syari’at telah mantap[7], maka hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor penghalangnya. Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :
    إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
    “Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk”.

    ****
    Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja, penentuan bid’ah atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan kaidah di atas saja. Masih banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang perlu diketahui oleh kaum muslimin semua. Saya persilakan bagi rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang lebih berkompeten untuk membahasnya secara mendalam…………

    Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
    ———————————————–
    [1] Sebagian ikhwah memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.

    [2] Kaidah turunan yang lebih luas dari yang di atas adalah :
    كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا
    ”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang tidak dilakukan oleh ¬as-salafush-shaalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.

    [3] Huruf hijaiyyah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai tanda, titik, dan harakat.
    [4] Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615.
    [5] Kecuali yang sudah ‘kebangetan’ doyan bid’ah.
    [6] Sebagaimana yang telah shahih dalam riwayat :
    عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
    Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no. 887].

    [7] Tidak ada kewajiban tambahan yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, karena Islam telah sempurna dengan turunnya QS. 5 Al-Maaidah ayat 3.
           •       •                                                •    
    3. diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    [394] Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.
    [395] Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.
    [396] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka’bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka’bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
    [397] Yang dimaksud dengan hari Ialah: masa, Yaitu: masa haji wada’, haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
    [398] Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.

    3. DEFINISI BID’AH
    Asal Bid’ah dinamakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai MUHDATS, yakni ;” SESUATU YANG BARU DI DALAM AGAMA YANG TIDAK PERNAH DISYARI’ATKAN OLEH ALLAH DAN RASUL-NYA.” atau ” SATU CARA YANG DIADAKAN/DIBUAT OLEH ORANG DI DALAM AGAMA ISLAM YANG MENYERUPAI SYARI’AT UNTUK TUJUAN BERIBADAH KEPADA ALLAH.” (Al Iqtidla’ hal.276 oleh syakhul islam Ibnu taimiyyah, Al I’tisham juz I hal 38-45 oleh Imam asy Syathibi)
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
    Amma ba’du :
    فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل
    ضلالة فيالنار.
    “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.” (Shåhih, HR. Muslim no. 867)

    1. Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah).. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,

    بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

    “Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.

    Juga firman-Nya,
    قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
    “Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah) [Definisi Secara Istilah]
    2. Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
    عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
    Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
    4. DEFINISI DZIKIR
    a. Dzikir secara bahasa berasal dari kata : (-ذكر -يذكر-ذكرا ) artinya : menyebut,mengucapkan mengagungkan,mengingat-ingat.(Almunjid :236 )
    b. Dzikir Secara istilah : Sayyid syabiq berkata:”Dzikir ialah apa yang dilakukan oleh hati dan lisan berupa tasbih atau mensucikan Allah Ta’ala,memuji dan menyanjungnya,menyebut-nyebut sifat- sifat dan kebesaran,keagungganya, serta sifa-t sifat indah yang
    5. Mereka mengatakan مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً adalah hadits yang menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat
    * Ada yang berkata,” Ada hadits lain yang menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, yaitu hadits riwayat Muslim Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
    مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوِْرِهمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
    “Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.”

    Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan adanya sunnah yang baik dan sunnah yang buruk sehingga diambil kesimpulan adanya bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk.

    Jawaban :
    sesungguhnya diantara tata cara memahami hadits adalah dengan melihat sebab terjadinya hadits tersebut, sehingga kita dapat memahaminya dengan benar. Dengarkanlah kisah berikut ini yang merupakan sebab terjadinya hadits itu :
    Jarir radliyallahu ‘anhu berkata,” Kami berada disisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di waktu siang, lalu datanglah suatu kaum dengan telanjang kaki, telanjang badan dan memakai nimar (sarung wol yang bergaris-garis) sambil menghusunkan pedang, kebanyakan mereka dari Mudlor bahkan semuanya. Maka berubahlah wajah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena melihat mereka yang sangat papa, beliaupun masuk lalu keluar, dan menyuruh Bilal untuk adzan kemudian iqomat, setelah sholat beliau berkhutbah :

    “Wahai Manusia, bertaqwalah kamu kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa… sampai akhir ayat, dan ayat dalam surta Al Hasyr : 18. Hendaklah seseorang bershodaqoh dengan dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, sha’ burrnya, sho’ kurmanya sampai beliau bersabda : walaupun dengan setengah kurma”.
    Lalu datanglah seseorang dari kalangan anshor dengan membawa kantung yang tangannya hampir tidak bisa membawanya bahkan tidak mampu, kemudian orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan besar dari makanan dan pakaian, maka aku melihat wajah Rosulullah berseri-seri bagaikan perak bersepuh emas, lalu beliau bersabda :
    مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوِْرِهمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
    “Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.”
    Perhatikanlah saudaraku, hadits tersebut berhubungan dengan shodaqoh yang dilakukan oleh seorang shahabat yang diikuti oleh shahabat lain, tentu pembaca semua mengetahui bahwa shodaqoh bukanlah perkara yang diada-adakan, maka berdalil dengan hadits tersebut untuk menyatakan adanya bid’ah hasanah adalah sebuah pemahaman yang aneh
    6. Mereka mengatakan Ada hadits lain yang menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah sesat yaitu HR. At Tirmidzi
    oleh Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan pada 18 November 2010 pukul 9:31 •
    * Ada yang berkata,” Ada hadits lain yang menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah sesat yaitu hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi :

    وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلَ آثاَمِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا.

    “Dan barangsiapa yang mengadakan sebuah bid’ah dlolalah (sesat), yang tidak diridlai Allah dan Rasul-Nya, maka dia memperoleh dosa sebanyak dosa orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.
    Dalam hadits di atas disebutkan,”Barangsiapa yang mengadakan sebuah bid’ah dlolalah (yang sesat).” Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah sesat, andaikan semua bid’ah sesat tentu beliau saw akan langsung berkata,”Barangsiapa yang mengadakan sebuah bid’ah.” Dan tidak akan menambahkan kata dlolalah, maka logikanya adalah ada bid’ah yang tidak dlolalah (sesat).

    ** Jawaban : Hadits terbut dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam sunannya no 2677 ia berkata : Haddatsana Abdullah bin Abdurrahman akhbarona Muhammad bin ‘uyainah dari Marwan bin Mu’awiyah Al Fazari dari Katsir bin Abdillah yaitu ibnu ‘Amru bin ‘Auf Al Muzani dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal bin Al Harits… Al Hadits.

    Qultu : sanad hadits ini dlo’if (lemah) karena ada tiga perawi yang cacat yaitu :
    1. Muhammad bin ‘uyainah disebutkan oleh ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat, namun sebatas keberadaannya dalam kitab tersebut tidak menjadikannya tsiqah, karena ibnu Hibban terkenal suka mentiqahkan perawi-perawi majhul.
    Ibnu Hajar berkata dalam Taqributtahdzib,”Maqbul”. Maksudnya bila dimutaba’ah, jika tidak maka layyin haditsnya, dan disini ia tidak dimutaba’ah.

    2. Katsir bin Abdullah dikatakan oleh imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in,”Laisa bisyai’in”.
    Al Aajurri berkata,”Aku bertanya kepada Abu Dawud tentangnya (Katsir bin Abdlillah), ia menjawab,” Ia salah satu perawi kadzdzab (tukang berdusta), aku mendengar Muhammad bin Al Wazir Al Mishri berkata,” Aku mendengar Asy Syafi’I disebutkan padanya Katsir bin Abdillah bin ‘Amru maka beliau berkata,”Ia adalah salah satu perawi kadzdzab”.
    Ad Daroquthni dan An Nasai berkata,” matruk haditsnya”.

    Ibnu Hibban berkata,”Ia (Katsir) meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya sebuah naskah yang maudlu’ (palsu), tidak halal menyebutkannya dalam kitab-kitab, dan tidak halal juga meriwayatkan darinya”.

    3. Abdullah bin ‘Amru dikatakan oleh Al Hafidz dalam taqribnya,” Maqbul”.
    Maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun perkataan At Tirmidzi mengenai hadits ini,”Hadits Hasan”. Adalah tidak hasan, karena telah kita ketahui bahwa sanadnya lemah bahkan sangat lemah.
    7. Mereka beralasan bahwa kata ” KULLU ” tidak menunjukkan semuanya yaitu Qs.46 Al Ahqaf : 25
     •              
    25. yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.
    * Bila ada yang berkata,” bukankah ada dalil yang menunjukkan bahwa kata kullu tidak menun jukkan kepada semua ?
    Dalam ayat ini Allah menggambarkan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang kafir tersebut terkubur di dalam bumi. Kendati disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan kulla syai’in (segala sesuatu), ternyata rumah orang-orang kafir itu tidak ikut hancur. Ini membuktikan bahwa kata kullu tidak selalu berarti semua. Dalam ayat diatas, rumah orang-orang kafir yang tidak hancur tersebut merupakan salah satu pengecualian.

    ** Jawaban : Sesungguhnya kata kullu dalam ayat tersebut tetap pada makna semua, karena dalam ayat itu dikatakan : بأمر ربها (Dengan perintah Rabb-Nya), maksudnya adalah bahwa angin tersebut menghancurkan semua yang Allah perintahkan untuk menghancurkannya, adapun yang tidak diperintahkan untuk dihancurkan tidaklah hancur. Inilah yang difahami oleh para ahli tafsir;.
    Ibnu Jarir berkata,” Sesungguhnya yang dimaksud firman Allah تدمر كل شيء بأمر ربها yaitu مما أرسلت بهلاكها (Yang angin tersebut diutus untuk menghancurkan
    nya) karena angin itu tidak menghancurkan Hud dan orang yang beriman kepadanya”.
    Al Qurthubi berkata,” Maksudnya segala sesuatu yang dilewati angin berupa kaumnya Hud dan harta mereka”.
    Ibnu ‘Abbas berkata,” Artinya Segala sesuatu yang angin tersbt diutus untk (menghancurkanya)
    Sehingga ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengatakan bahwa kata kullu tidak selalu berarti semua.

    8. Mereka beralasan bahwa Hadits “Kullu bid’atin dlolalah” disana ada sesuatu yang dikecualikan yaitu HR.Muslim
    * Ada yang berkata,” Hadits “Kullu bid’atin dlolalah” disana ada sesuatu yang dikecualikan. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
    مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
    “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak”. (HR Muslim).
    Perhatikan kalimat “yang tidak bersumber darinya (agama)”. Inilah kalimat yang menjelaskan bahwa tidak semua bid’ah sesat. Karena yang tertolak adalah yang mengadakan sesuatu yang baru yang tidak bersumber dari agama, adapun bila mengadakan sesuatu yang baru yang bersumber dari agama maka tidaklah tertolak.
    Berdasarkan sabda Rosulullah saw diatas, maka hadits “kullu bid’atin dlolalah” dapat diartikan sebagai berikut : Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al Qur’an dan Assunnah.

    ** Jawaban pertama : sesungguhnya pemahaman seperti ini tidak pernah diucapkan oleh para shahabat, tidak pula tabi’in, tidak pula para ulama setelahnya, tidak pula imam yang empat. Ia hanyalah pemahaman sebagian orang di zaman ini yang keilmuannya tidak sampai kepada ilmu para ulama terdahulu.
    Dan telah kita bahas bahwa sesuatu yang bersumber dari agama tidak boleh disebut bid’ah secara istilah syari’at. Maka perkataannya “Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al Qur’an dan Assunnah” adalah batil, karena yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah tidak disebut bid’ah.

    Kedua : imam Bukhari no 2697 dan Abu Dawud no 3597 meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz
    مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ.
    “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak ada padanya (agama), maka dia tertolak.”
    Dalam hadits ini dengan lafadz ma laisa fiihi, sementara lafadz sebelumnya ma laisa minhu, dimana kata min disini ditafsirkan oleh kata fihi karena hadits itu saling menafsirkan. Dan kalimat ma laisa fiihi ini sangat sepadan dengan hadits “Kullu bid’atin dlolalah”.

    Ketiga : Secara I’rab bahasa arab, kalimat “Ma laisa minhu atau ma laisa fihi” berkedudukan sebagai na’at (sifat) untuk kalimat “man ahdatsa” artinya bahwa sifat muhdats adalah yang tidak bersumber dari agama atau tidak ada dalam agama, adapun bila bersumber dari agama maka tidak disebut muhdats. Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa muhdats ada dua macam : muhdats yang bersumber dari agama dan muhdats yang tidak bersumber dari agama.

    Keempat : Pemahaman dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,” yang tidak bersumber darinya (agama)”. Untuk menetapkan adanya muhdats yang bersumber dari agama, adalah pendalilan secara mafhum (konteks), dan mafhum yang masih dugaan tersebut ternyata bertentangan dengan manthuq (teks) hadits ”Kullu bid’atin dlolalah (Semua bid’ah adalah sesat)”. Dalam kaidah ushul fiqih, bila mafhum bertabrakan dengan manthuq maka didahulukan manthuq.

    Kelima : Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz
    مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
    “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak ada diatasnya urusan (agama) kami, maka dia tertolak”.
    Perhatikan kalimat “Laisa ‘alaihi amruna” (Yang tidak ada diatasnya urusan agama kami), ia adalah na’at (sifat) untuk amal, dan amal disini berbentuk nakirah, sedangkan nakirah mempunyai makna umum, artinya semua amal yang tidak di atas dalil agama adalah tertolak, dan lafadz ini membantah adanya pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dlolalah. Inilah yang di fahami para ulama.

    Berkata imam An Nawawi rahimahullah,” Hadits ini adalah kaidah yang agung dari kaidah-kaidah islam, ia termasuk jawami’ kalim Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tegas menolak semua bid’ah dan sesuatu yang diada-adakan. Dan dalam riwayat kedua (yaitu riwayat : man ‘amila amalan..) terdapat tambahan,
    yaitu terkadang sebagian pelaku bid’ah ngeyel melakukan bid’ah yang telah didahului sebelumnya, jika kita berhujjah kepadanya dengan riwayat pertama (yaitu riwayat : man ahdatsa fi amrina hadza..) ia berkata,” Aku tidak membuat sesuatu yang baru”. Maka kita berhujjah dengan riwayat yang kedua yang tegas menolak semua yang muhdats (yang diada-adakan).”
    WALLOHU A’LAM BISHAWAB

  185. Maaf
    Tuk yg anti tahlil..
    Klo emang ga setuju dgn adanya tahlilan, kenapa ga melakukan protes langsung sama NU..?
    Apakah ga berani..?
    Apakah takut kalah hujah..?
    Klo emang anda merasa benar ngapain takut..
    Mudzakaroh lah dgn yg ga sefaham dgn anda yg anti..
    Jgn kaya org banci beraninya di belakang…
    Jentle meen….

  186. ada tuhan selain alllah, lalu dihadihkan kepada mayit , mayit akancelaka ? tidak ada tuhan selain allah , dihadiahkan kepada mayit mayit menjadi selamat?

  187. Singgkat Aja..Rasulullah Saw bersabda..
    إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
    Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

    kita Lihat Doa Anak yg Shaleh…bagiman Kalau orang yg ditakdirkan tidak Kawin…Sebagian Ulama berpendepat Bahwa anak yg shaleh yang dimaksud adalah kita-kita yg datang mendoakan mayit. contoh Tahlilan atau yasinan diruamah duka..toh didalam tahlilan itu mengandung doa2 dan aya-ayat Alqur’an juga Zikir-Zikir…Maslah makan itu Kalau diniatkan sebagai sodakah dari keluarga mayit maka itu Sunnah Sebagaiman Rasullah pernah memerintahkan sahabat yg terkutip hadist koment Diatas..kalau yg Prinsip dalam agama itu tidak bole ditamba-tamba..tapi kalau rincian silahkan ditoleransi selama tidak larih dari kaidah dan Syariat Agama…toh Semua Punya Rujukan..Wllahu Alam Bissawab

  188. sy suka membaca sejarah apa saja, termasuk sejarah kehidupan Rosululloh SAW. Beliau memiliki 6 anak. Pertama laki2 bernama Qosim (meninggal sewaktu masih kecil), yang empat orang perempuan, termasuk Fatimah dan yg terakhir Ibramim (meninggal sewaktu masih kecil).
    Ketika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg meninggal tidak satupun di TAHLILI, kl di do’akan sudah pasti, karena mendo’akan orang tua, mendo’akan anak, mendo’akan sesama muslim amalan yg sangat mulia.

    Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg TAHLILAN untuk NABI,
    padahal ABU BAKAR adalah mertua NABI,
    UMAR bin KHOTOB mertua NABI,
    UTSMAN bin AFFAN menantu NABI 2 kali malahan,
    ALI bin ABI THOLIB menantu NABI.
    Apakah para sahabat BODOH….,
    Apakah para sahabat menganggap NABI hewan…. (menurut kalimat sdr sebelah)
    Apakah Utsman menantu yg durhaka.., mertua meninggal gk di TAHLIL kan…
    Apakah Ali bin Abi Tholib durhaka.., mertua meninggal gk di TAHLIL kan….
    Apakah mereka LUPA ada amalan yg sangat baik, yaitu TAHLIL an koq NABI wafat tdk di TAHLIL i..

    Saudaraku semua…, sesama MUSLIM…
    saya dulu suka TAHLIL an, tetapi sekarang tdk pernah sy lakukan. Tetapi sy tdk pernah mengatakan mereka yg tahlilan berati begini.. begitu dll. Para tetangga awalnya kaget, beberapa dr mereka berkata:” sak niki koq mboten nate ngrawuhi TAHLILAN Gus..”
    sy jawab dengan baik:”Kanjeng Nabi soho putro putrinipun sedo nggih mboten di TAHLILI, tapi di dongak ne, pas bar sholat, pas nganggur leyeh2, lan sakben wedal sak saget e…? Jenengan Tahlilan monggo…, sing penting ikhlas.., pun ngarep2 daharan e…”
    mereka menjawab: “nggih Gus…”.

    sy pernah bincang-bincang dg kyai di kampung saya, sy tanya, apa sebenarnya hukum TAHLIL an..?
    Dia jawab Sunnah.., tdk wajib.
    sy tanya lagi, apakah sdh pernah disampaikan kepada msyarakat, bahwa TAHLILAN sunnah, tdk wajib…??
    dia jawab gk berani menyampaikan…, takut timbul masalah…
    setelah bincang2 lama, sy katakan.., Jenengan tetap TAHLIl an silahkan, tp cobak saja disampaikan hukum asli TAHLIL an…, sehingga nanti kita di akhirat tdk dianggap menyembunyikan ILMU, karena takut kehilangan anggota.., wibawa dll.

    Untuk para Kyai…, sy yg miskin ilmu ini, berharap besar pada Jenengan semua…., TAHLIL an silahkan kl menurut Jenengan itu baik, tp sholat santri harus dinomor satukan..
    sy sering kunjung2 ke MASJID yg ada pondoknya. tentu sebagai musafir saja, rata2 sholat jama’ah nya menyedihkan.
    shaf nya gk rapat, antar jama’ah berjauhan, dan Imam rata2 gk peduli.
    selama sy kunjung2 ke Masjid2 yg ada pondoknya, Imam datang langsung Takbir, gk peduli tentang shaf…

    Untuk saudara2 salafi…, jangan terlalu keras dalam berpendapat…
    dari kenyataan yg sy liat, saudara2 salfi memang lebih konsisten.., terutama dalam sholat.., wabil khusus sholat jama’ah…
    tapi bukan berati kita meremehkan yg lain.., kita do’akan saja yg baik…
    siapa tau Alloh SWT memahamkan sudara2 kita kepada sunnah shahihah dengan lantaran Do’a kita….

    demikian uneg2 saya, mohon maaf kl ada yg tdk berkenan…
    semoga Alloh membawa Ummat Islam ini kembali ke jaman kejayaan Islam di jaman Nabi…, jaman Sahabat.., Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
    Amin ya Robbal Alamin

  189. dari perdebatan di atas dapat saya simpulkan bahwa hakim jauh lebih cerdas dan selaras dengan sunnah…. dari pada lawan debat nya…

  190. Saya mau tanya..kalo semua amalan yang tadinya tidak di terima atau tidak sampai..tp dengan doa bisa di terima/sampai..trus apa gunanya al-qur’an dan asunnah..yg mengajarkan umat,,contoh mengerjakan shalat sunat tahajud yg semestinya di kerjakan sepertiga malam.. Trus qt kerjakan saja misal sebelum shalat isya.. Kalo tida akan di terima, y berdoa sj biar di terima..seperti itu..mohon penjelasanya.

  191. Apakah kurang sempurna tuntunan ibadah yg telah dicontohkan Rosulullah?… kalau sudah sempurna kenapa masih bikin peribadatan baru ?… bukankah Rosulullah pernah berduka cita waktu meninggalnya Siti Khadijah?… apakah dikediaman Rosul digelar acara kenduri arwah, tahlilan dan yasinan? ternyata tidak!
    tolong direnungkan!!!…
    Karena dengan mengadakan/ membenarkan acara kenduri arwah, tahlilan dan yasinan, akan timbul pemikiran bahwa Habib Munzir lebih sempurna daripada Rosulullah dan para sahabat dalam mengurus ahlul mayit.

  192. kalo kita baca runutan bantahan sang habib ternyata ada sisi kelemahan diantaranya sisi pendalilan secara khusus, secara lughowi dan maknawi serta sisi asbabul wurudnya…. makanya tidak bisa dalil2 tersebut kita maknai tanpa ada sisi tersebut…

  193. Masya Allah, masalah klasik masih dibawa2, sing arep tahlilan n yasinan yo monggo, sing ora yo monggo,,, kalo ada dalilnya kita kerjakan kalo gak kita tinggalkan urusan beres,,,,

  194. memang manusia bodoh dan durhaka pada rasul yang gak mau doa dan tahlilan itu memang biadab.bertobatlah kau.kalian belum tau rasa mati dan gak punya perasaan bagai mana keadaan manusia yang mati.sama seperti hidup masih membutuhkan doa dan perhatian dari keluarga.alangkah sedihnya mamak bapak kau jika meninggal gak mau sedekah pada orang.biadapppppppppppnya hatimu nak.

  195. “BAGI MEREKA YANG HAUS SYAHWAT ,SYAITAN MEMASANG PERANGKAP MAKSIAT.DAN BAGI MEREKA YANG HAUS TAAT,SYAITAN MEMASANG PERANGKAP SYUBHAT(BID’AH)”memang benar adanya.bagi yang haus syahwat ,syaitan menjadikan maksiat menjadi perkara yang indah & mengasyikan sehingga mereka menjadi terlena dan lupa kepada ALLAH SWT.Dan bagi yang haus taat,syaitan menjadikan syubhat (bid’ah) menjadi perkara yang apabila mereka mengerjakannya,mereka merasa dekat dengan ALLAH.sehingga mereka mengira kami telah menegakkan syariat ALLAH.NAUDZUBILLAAH

  196. setelah membaca semua debat kusir semua komentar di atas, saya jadi sangat terharu dan prihatin terhadap yang menimpa umat islam, tapi kita harus percaya bahwa islam tetap terjaga, itulah cara tuhan membersihkan akidah islam sehingga, tinggal kita pandai-pandai membedakan yang mana sesuai sunnah rasul, yang mana hasil hasutan syetan, yang penting kita percaya bahwa salah kita memilih cara kita beribadah dan tidak sesuai dengan sunnah rasul, neraka tempat kita, silahkan nada semua belajar dan pakai otak yang jernih dan ikhlas. ok

  197. Saudaraku semua, kenapa kita harus bersikukuh dengan ikhtilaf2 yang dari kibaarul ulama dulu telah di bahas, dan ini tidak pernah selesai. bukankah para imam yang 4 tdk pernah bertengkar dg perbedaan pendapat. coba baca buku sejarah tentang Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) di sana akan lebih jelas, bagaimana hidupnya dan bagaimana fahamnya, cara mencari ilmunya. setahu yang saya baca, Muhammad bin Abdul Wahab, tidak selesai dalam belajar, dan menghilang ketika masih menuntut ilmu dg bapaknya,,, saat ,muncul kembali dia sudah menjadi syeh dan mempunyai faham seperti itu. bahkan setahu saya, dia pernah bersekutu dengan inggris untuk membantai muslim yang tdk sepaham dengan dia, dan mengajak Abdul Aziz, raja Arab saudi Sekarang, untuk menghidupkan Faham Wahabi. ikhtilaf yang kita perdebatkan saya pikir itu sudah masing2 punya maroji’nya. kenapa orang2 wahabi selalu sibuk dengan ikhtilaf sehingga menimbulkan keresahan umat muslim bahkan perpecahan,,, yang harus kita bangun sekarang dari perbedaan tersebut hayooo kita bangun umat islam yang kokoh. kenapa kita tidak mikir, orang2 yahudi pada ketawa melihat kita berpecah seperti ini. lagian kalau keilmuan kita tdk secara komfrehensif, kita tdk ush menyalahkan ulama2 terdahulu. apa yang kita yakini, hayoo kit kerjakan dengan spenuh hati.

  198. Assalamau’alikum Wr.Wb, Almukarom Habib munjir yang saya hormati,..
    Tolong saya ingin tahu silsilah/sanad Imam Nawai dan imam syafi’i! kalau mengenai tahlil/tahlilan saya sudah tidak ragu lagi, itu adalah perbuatan yang benar karena didalamnya Dzikir dan doa’a serta mendo’akan orang yang telah meninggal. tTerima kasih
    wassalamu’alikum Wr.Wb.

Leave a reply to Afif fatkhurrohman ibn Muhammad Da'iy Cancel reply